Ditemukan 201658 dokumen yang sesuai dengan query
Nur Alia Safriana
"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan
mariage forc/em>atau pernikahan paksa di Prancis pada masa pemerintahan Jacques Chirac dan François Hollande. Kebebasan individu untuk menikah direnggut oleh adanya praktik pernikahan paksa yang mana bertolak belakang dengan prinsip negara Prancis yang tertulis dalam Konstitusi Republik Kelima tahun 1958. Perbedaan sikap Prancis dalam melawan fenomena pernikahan paksa diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan yang disahkan oleh kedua presiden. Berawal dari pengesahan kebijakan pertama yang memperketat kontrol praktik pernikahan paksa, hingga dibentuknya hukum pidana pada pelaku pernikahan paksa. Karakteristik kebijakan dari kedua masa pemerintahan yang berdampak terhadap praktik pernikahan paksa di Prancis penting untuk dibahas berdasarkan pengaruh ideologi politik dan kepentingan otoritas publik pada kedua masa pemerintahan. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi literatur, penelitian ini memaparkan kebijakan Jacques Chirac dan Fraois Hollande serta kondisi sosial masyarakat pada masanya untuk menguraikan keterkaitan ideologi politik kedua pemerintahan, sikap Prancis terhadap pernikahan paksa pada periode itu, serta dampak implementasi terhadap jumlah praktiknya. Melalui analisis dengan konsep ideologi politik dan konteks pada masa kedua pemerintahan, ditemukan bahwa ideologi politik tidak sepenuhnya menjadi faktor pengendali sikap Prancis pada kedua masa pemerintahan, mementingkan perlindungan wanita dan anak secara keseluruhan, dan bukan mengangkat imigran sebagai fokus utama permasalahan.
This article aims to explain the differences and similarities of mariage forc or forced marriage in France under Jacques Chirac and François Hollande presidency. Individual freedom to marry were torn by the existence of the practice of forced marriage which is contrary to the principle of France written in Fifth French Republic Constitution 1958. Frances different attitude in fighting against this phenomenon is manifested in policies made by the two presidents. Starting from the first policy ratification which reinforce control of the marriage, until the creation of criminal law on perpetrators of the practice. The policies characteristic of the two presidency that have impacts on the practice are important to be discussed based on the influence of political ideology and the interests of public authorities in both presidency. Using qualitative methods and literature study techniques, this study describes Jacques Chirac and Franois Hollandes policies and the social conditions of society at the time to describe the interrelationships of the political ideologies of the two presidency, the attitude of France to forced marriage in that period, and the impact of implementation on the number of practices. Through analysis with the concept of political ideology and the context of the two presidency, found that political ideology was not entirely a controlling factor of French attitudes in both presidency, but rather concerned with the protection of women and children in general, rather than focused on the immigrant."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Disa Putri Sabilla
"
ABSTRAKCita-cita besar negara-negara di daratan Eropa untuk membentuk kerja sama yang membawahi bidang politik dan ekonomi diwujudkan dalam berbagai perjanjian dan perserikatan sejak dibentuknya European Coal and Steel Community 1951 . Kerja sama ini menjadi cikal bakal Uni Eropa dan bentuk integrasi penuh Uni Eropa adalah pemberlakuan mata uang tunggal. Pemberlakuan ini memunculkan berbagai reaksi dari sektor sosial, politik, dan ekonomi, tak terkecuali di Prancis. Pemberlakuan euro pada masa pemerintahan Jacques Chirac ini memacu perekonomian Prancis menjadi lebih baik meskipun dalam sektor sosial dan politik terdapat golongan yang kontra terhadap integrasi ini.
ABSTRACTThe ambitions of the countries in mainland Europe to establish a partnership that oversees the political and economic fields embodied in treaties and alliances beginning with the establishment of the European Coal and Steel Community 1951 . This cooperation became the forerunner of the European Union and the form of its full integration is the adoption of the single currency. Implementation of this integration has led to various reactions from the social, political, and economic sectors, not least in France. Adoption of the euro single currency during the reign of Jacques Chirac sparked improvement of the French economy but nonetheless the social and political sectors disagree with this integration."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Clara Emily Jessica
"Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan kebijakan mengenai aborsi di Prancis pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Aborsi atau yang dalam Bahasa Prancis disebut dengan LInterruption Volontaire de Grossesse, secara resmi adalah tindakan legal di mata hukum yang ditandai dengan deklarasi Hukum Veil tahun 1975 pada masa pemerintahan Valery Giscard dEstaing. Pelegalan aborsi ini menjadi salah satu momentum bersejarah bagi Republik Kelima di Prancis. Pelegalan aborsi menandai bahwa pemerintah mengakui hak para wanita untuk dapat memilih akan pilihan yang diambil terhadap tubuhnya. Dalam perkembangan dan praktiknya di masyarakat, hukum aborsi mengalami beberapa perubahan dan perkembangan. Perkembangan hukum aborsi ini memiliki karakteristik yang berbeda antara pemerintah yang satu dengan yang lainnya berdasarkan pengaruh ideologi politik dan kepentingan otoritas publik pada masa kedua pemerintahan.
Dengan menggunakan metode penelitian kebijakan dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini memaparkan perkembangan kebijakan aborsi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan Francois Hollande dan kondisi sosial masyarakat pada kedua masa untuk menguraikan keterkaitan ideologi politik kedua pemerintahan. Kebijakan yang dibuat keduanya akan berdampak pada praktik aborsi di masyarakat. Melalui analisis dengan konsep ideologi politik dan konteks pada masa kedua pemerintahan, hasilnya adalah bahwa ideologi politik dan kondisi sosial budaya mempengaruhi keduanya dalam membuat kebijakan dan kebijakan aborsi. Kebijakan yang diterapkan dalam masa pemerintahan Nicolas Sarkozy lebih mempersulit wanita melakukan aborsi dibandingkan dengan pada masa Francois Hollande."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Afilia Tri Hanjani
"Artikel ini bertujuan untuk mengetahui tingkat xenofobia dari tahun 2012 hingga 2018, pada masa Pemerintahan dua Presiden yaitu François Hollande dan Emmanuel Macron. Pada masa pemerintahan presiden François Hollande banyak terjadi peristiwa terorisme di Prancis yang telah diklaim dilakukan oleh jihadist Islam diluar Prancis, membuat banyak masyarakat Prancis merasa khawatir dan takut kepada imigran. Pada masa pemerintahan Presiden Emmanuel Macron juga terjadi krisis ekonomi, sehingga membuat rakyat Prancis merasa adanya persaingan antara warga lokal dan warga pendatang. Karakteristik kebijakan dari kedua masa pemerintahan berdampak terhadap tingkat toleransi dan juga aksi rasisme yang terjadi di Prancis. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini mendeskripsikan kebijakan François Hollande dan Emmanuel Macron, dengan kondisi sosial politik pada dua masa yang bertentangan dengan ideologi politik kedua pemerintahan dan sikap terhadap fenomena xenofobia. Di samping itu, solusi yang dibentuk oleh kedua presiden juga dipengaruhi oleh kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut tertuju, yaitu keturunan imigran yang tinggal di Prancis. Maka diketahui, pada masa pemerintahan Emmanuel Macron kehidupan kedua pihak antara masyarakat Prancis dan masyarakat pendatang lebih baik dibandingkan dengan masa pemerintahan François Hollande karena tingkat xenofobia terlihat lebih rendah.
This article aims to determine the level of xenophobia from 2012 to 2018, during the reigns of two Presidents François Hollande and Emmanuel Macron. During the reign of President François Hollande, there were many incidents of terrorism in France which had been claimed by Islamic jihadists outside France, making many French people feel worried and afraid of immigrants. During the reign of President Emmanuel Macron, there was also an economic crisis, which made the French people feel that there was competition between local residents and immigrants. The characteristics of the policies of the two reigns had an impact on the level of tolerance and also the acts of racism that occurred in France. By using qualitative methods and literature study techniques, this study describes the policies of François Hollande and Emmanuel Macron, with the socio-political conditions at two times which contradicted the political ideologies of the two governments and attitudes towards the xenophobic phenomenon. In addition, the solution formed by the two presidents is also influenced by who the policies are aimed at, namely the descendants of immigrants living in France. Thus, it is known that during the reign of Emmanuel Macron, life between the French and immigrant communities was better than during the reign of François Hollande because the level of xenophobia was seen to be lower."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Firdania Iryanti
"Sebagai negara yang meregulasi praktik prostitusi, Prancis memiliki serangkaian kebijakan dan masalah seputar legalitas Pekerja Seks Komesial (PSK). Setelah penandatangan konvensi PBB (mengenai eksploitasi manusia) pada tahun 1949, Prancis resmi menjadi negara abolisionis yang melarang praktik muncikari dan transaksi seksual berbayar yang melibatkan pihak ketiga. Larangan ini kemudian yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Penelitian ini membandingkan kebijakan mengenai regulasi praktik prostitusi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan masa pemerintahan François Hollande dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa keputusan Sarkozy untuk mengimplementasikan la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) pada tahun 2003 menimbulkan masalah karena PSK menjadi pihak yang dikriminalisasi. Di sisi lain, keputusan Hollande untuk menghapus kebijakan Sarkozy dan menerapkan la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée juga tidak menyelesaikan masalah karena mengkriminalisasi pelanggan jasa prostitusi. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa Sarkozy dan Hollande memiliki pendekatan berbeda dalam menanggulangi masalah prostitusi, namun tujuan akhir dari keduanya adalah untuk menghapus budaya prostitusi di Prancis secara bertahap.
As a state that regulates prostitution, France has a set of policies and problems on the legalities of commercial sex workers (CSWs). After ratifying a UN convention (on abolishing slavery and human trafficking) in 1949, France banned pimping activities and third-party sexual transactions, thus officially becoming an abolitionist state. This ban became the precedent for regulations made by the Nicolas Sarkozy and François Hollande administration respectively. This research compares the regulations on prostitution by both administrations using qualitative method and literature review. This research shows that Sarkozy’s decision to implement la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) in 2003 was problematic as it criminalises CSWs. On the other hand, Hollande’s decision to reverse Sarkozy’s policy and enact la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée also fails to offer a solution as it instead criminalises patrons of prostitution. Finally, this research proves that although both Sarkozy and Hollande have different approaches to curb prostitution, their goal is to gradually suppress prostitution culture in France."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Riska Elvriza
"
ABSTRAKMasa cohabitation pertama pada Republik V Prancis dimulai dengan diangkatnya Jacques Chirac sebagai perdana menteri. Presiden Prancis Francois Mitterrand memilih Jacques Chirac sebagai perdana menteri setelah koalisi partai kanan berhasil memenangkan pemilihan legislatif tahun 1986.
Francois Mitterrand yang berasal dari Partai Sosialis dan beraliran kiri harus bekerja sama dengan Jacques Chirac dari RPR (Rassemblement pour la Republique) yang beraliran kanan untuk menjalankan pemerintahan. Banyak konflik yang timbul karena perbedaan politik di antara keduanya.
Saling akomodasi antara Francois Mitterrand dan Jacques Chirac terjadi pada saat pembentukan kabinet. Jacques Chirac menyetujui untuk melibatkan Francois Mitterrand dalam pembentukan kabinet. Sebagai gantinya, Jacques Chirac meminta dilibatkan dalam pengambilan keputusan masalah luar negeri. Namun, pada saat penetapan kebijakan, tidak ada akomodasi di antara keduanya. Francois Mitterrand menolak kebijakan yang diambil oleh cabinet Jacques Chirac dengan cara menolak menandatanganinya atau melalui wakil-wakilnya di parlemen.
"
2001
S13453
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Revinda Syahniza Renata
"Kekerasan rumah tangga merupakan isu yang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Prancis, kekerasan rumah tangga disebut sebagai violence conjugale, yaitu kekerasan yang terjadi pada pasangan yang telah resmi di mata hukum ataupun belum. Biasanya, kekerasan tersebut dialami oleh perempuan. Kekerasan rumah tangga di Prancis tidak hanya berdampak pada keamanan masyarakat, tetapi juga pada perekonomian negara. Pada 2010, berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Évaluation économique des violences conjugales en France (Penilaian ekonomi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Prancis) diketahui bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga di Prancis mencapai 2,472 miliar euro per tahun. Sebagai Presiden yang menjabat pada periode 2012-2017, François Hollande berjanji untuk menangani isu-isu gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan, secara lebih serius dan berkomitmen untuk melindungi para perempuan di Prancis pada kampanyenya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar upaya Presiden François Holland dalam memenuhi janji kampanyenya terkait perlindungan terhadap perempuan dan kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan di masa pemerintahannya untuk mengatasi tingginya angka kekerasan rumah tangga di Prancis serta melihat apakah kebijakan tersebut sudah mencapai sasarannya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan teori yang digunakan adalah analisis kebijakan milik William Dunn, khususnya analisis retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Francois Holande telah berusaha menepati janji pemilunya, di antaranya adalah dengan meratifikasi Konvensi Istanbul pada 2014 dan mengesahkan undang-undang 4 Agustus (La Loi de 4 Aôut) tahun 2014 beserta kebijakan-kebijakan kesetaraan gender yang mencakup usaha untuk mengurangi jumlah angka kekerasan terhadap perempuan. Namun, berdasarkan data pada tahun 2012-2017, penerapan kebijakan tersebut tidak terlalu berhasil dalam menurunkan angka kematian akibat kasus kekerasan rumah tangga secara signifikan. Nyatanya, angka korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam ranah domestik, masih bersifat fluktuatif. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat di Prancis untuk lebih peduli terhadap masalah kekerasan rumah tangga dengan cara melapor kepada pihak yang berwenang.
Domestic violence is an issue that can be found in various parts of the world. In France, domestic violence is referred to as the violence conjugale, which is violence that occurs to partners who are legal or not. Usually, this violence is experienced by women. Domestic violence in France has an impact not only on the security of the society but also on the country's economy. In 2010, based on the results of a study with the title of Évaluation économique des violences conjugales en France (Economic assessment of domestic violence in France), the losses caused by domestic violence in France reached 2.472 billion euros per year. François Hollande, as The President who served in the 2012-2017 period, during the presidential campaign promised to take gender issues, including violence against women, more serious and committed to protecting women in France. This study aims to see how much effort President Francois Holland has made in fulfilling his campaign commitments regarding the protection of women and what policies have been issued during his presidential reign to solve the high number of victims of domestic violence in France and to see whether these policies have achieved their goals. In this research, the method used is a qualitative method and the theory used is William Dunn's policy analysis, particularly the retrospective analysis. The result shows that President Francois Hollande attempted to keep his election commitments, by ratifying the Istanbul Convention in 2014 and passing the law of August 4 (La Loi de 4 Aôut) in 2014 along with gender equality policies that include efforts to reduce the number of rates of violence against women. However, based on data for 2012-2017, the implementation of this policy was not very successful in reducing the mortality rate, caused by domestic violence, significantly. The number of victims of violence against women, especially in the domestic domain, is still fluctuating. Nevertheless, these policies have succeeded in increasing the awareness and consciousness of the society of France to be more concerned about the problem of domestic violence by speaking up and reporting to the authorities."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S5758
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raka Darmawan
"Prancis saat ini menjadi negara di Eropa yang memiliki keberagaman di dalamnya, mulai dari agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini disebabkan salah satunya oleh kedatangan para imigran dan orang asing, khususnya saat periode Pasca-Perang Dunia Kedua. Alasan awal kedatangan imigran adalah faktor ekonomi atau pekerjaan. Dalam menangani mobilisasi penduduk ini, Prancis memberlakukan kebijakan-kebijakan imigrasi yang beragam yang tertuang pada situs Kementerian Dalam Negeri dan Seberang Lautan. Oleh karena itu, perlu diketahui bentuk kebijakan imigrasi di Prancis. Penelitian ini kemudian berfokus pada kebijakan imigrasi pemerintahan François Hollande dan Emmanuel Macron berdasarkan perbedaan poros politik mereka. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan perbedaan isi kebijakan imigrasi antara pemerintahan Hollande dan Macron. Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kebijakan imigrasi kedua pemerintahan selama lima tahun menjabat. Untuk menemukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif oleh Iosifides dengan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough dan konsep ideologi politik oleh D. Parenteau dan I. Parenteau. Hasil temuan dari penelitian ini adalah orientasi kiri dari Hollande menghasilkan kebijakan imigrasi yang pro-masyarakat (imigran), sedangkan orientasi tengah Macron lebih memperketat kebijakannya terhadap masyarakat asing.
France is a country in Europe that embraces diversity in terms of religion, race, and ethnicity in its society. The arrival of migrants and foreigners, especially in the post-Second World War period contributed to France’s current demographic landscape. In dealing with the influx of population, France has adopted various immigration policies, as stated on the website of the Ministry of the Interior and Overseas, but has not significantly improved the current situation. As the immigration issue has continuously become prominent in French society, this research takes on comparing the policies carried by the governments of François Hollande and Emmanuel Macron on the issue while also taking into account their different political axes. Thus, the purpose of this study is to analyze the political discourses embedded in the immigration policies between the Hollande and Macron administrations. This research makes use of available sources from the immigration policies of both governments during their five years in office. The data was collected by employing qualitative research methods by Iosifides combined with critical discourse analysis theory by Norman Fairclough and the concept of political ideology by D. Parenteau and I. Parenteau. The findings of this research suggest that Hollande's leftist orientation contributed to his pro-people (immigrants) immigration policy, while Macron's center orientation attempted to tighten the immigration policy towards foreigners."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Astrid Vionisa Casondra
"Prancis adalah salah satu negara yang mendukung kebebasan individu dan persamaan hak bagi setiap warga negaranya. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kebijakan mengenai homoseksualitas di Prancis yang terus mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Kebijakan pertama yang berkaitan dengan pengakuan terhadap kaum homoseksual di Prancis adalah PACS yaitu, (Pacte Civil de Solidarité) yang diresmikan tahun 1999. Lalu pada perkembangan terakhir, tanggal 18 Mei tahun 2013 akhirnya pernikahan sesama jenis dilegalkan di Prancis yang dikenal dengan mariage pour tous yaitu pernikahan untuk semua. Dengan adanya UU mariage pour tous, kaum homoseksual di Prancis dapat melegalkan hubungan mereka melalui ikatan pernikahan yang diakui oleh negara. Kaum homoseksual berharap dengan adanya UU tersebut, pandangan negatif masyarakat Prancis terhadap pasangan homoseksual dapat dihilangkan. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan serta teori analisis wacana kritis Norman Faircglough (1995), hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah UU mariage pour tous dilegalkan, tindak kekerasan dan diskriminasi oleh kaum homofobia masih terus meningkat.
France, is one of the countries in the world that upholds individual freedom and equal rights for every citizen. This is evidenced by the policy regarding homosexuality in France which continues to develop over time. The first policy related to the recognition of homosexuals in France was the PACS (Pacte Civil de Solidarité) which was inaugurated in 1999. Then the latest development, on May 18, 2013 finally legalized same-sex marriage in France, known as mariage pour tous, namely marriage for all. With the mariage tous law, homosexuals in France can legalize their relationship through the original marriage bond by the state. Homosexuals people hope that with this law, the negative view of French society towards homosexuals can be eliminated. By using qualitative methods and literature study techniques as well as analysis of critical discourse theory by Norman Faircglough (1995), the result of the study shows that after the marriage law was legalized, acts of violence and discrimination by homophobic people still continued to increase."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library