Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174578 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutanto, 1950-
"ABSTRACT
In the area of Cibinong-Citeureup Bogor has many industries, dusty and there are has been acid rain. About 75.63 % people in this area take well water for drinking. It was studied impact of acid rain for well water degradation in order to know the trend and rate of well water pH change. Preliminary research was done in order to make sure the effect of acid rain to well water using soil column leaching simulation. The main research was done by pH monitoring of acid rain and well water in the specific location. The pH of acid rain was monitored in the first 30 minutes on 12 locations from the year of 1999 to 2009, and the well water pH was measured from the year of 1995 to 2009. The acidity (pH) was measured using pHmeter electronic. The rate of pH change was calculated by first order reaction. The result showed that the well water acidity has uptrend (the pH to be lower). The acid rain has a little impact to the acidity of well water (r = 0.68). The rate of acidity of well water has constant value, k = 0.004 year-1."
Bogor: Program Pascasarjana Universitas Pakuan, 2018
370 JPLH 6:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Iryani
"Kualitas udara di wilayah industri pada umumnya menunjukkan kecenderungan meningkatnya polusi yang disebabkan adanya emisi gas dari aktivitas industri dan transportasi. Jenis dan jumlah emisi atau pencemar udara bergantung pada jenis dan atau jumlah industri yang ada di wilayah itu. Pada umumnya pencemar udara yang berasal dari industri dan transportasi berupa partikel debu dan gas-gas seperti oksida nitrogen (NOx), oksida belerang (SOx), karbonmonoksida (CO), dan hidrokarbon (HC).
Emisi gas dari udara dapat langsung masuk ke badan air atau terbawa oleh air hujan dan meresap melalui tanah ke badan air. Gas-gas buang yang mengandung oksida nitrogen dan oksida sulfur (NOx dan SOx) dapat bereaksi dengan molekul-molekul air di udara membentuk asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3) kemudian turun ke bumi sebagai hujan asam. Melalui sistem rembesan dalam tanah (ground wafer cycle), hujan asam ini berpengaruh terhadap kualitas air sumur.
Daerah Cibinong-Citeureup-Gunung Putri dengan luas wilayah 36,42 km2 merupakan contoh wilayah industri yang padat transportasi dan banyak aktivitas industrinya. Terdapat lebih dari 13.748 kendaraan bermotor dan 228 industri berskala besar dan sedang yang ada di Kecamatan Cibinong-Citeureup dan Gunung Putri (BPS Kab. Bogor, 2000). Jenis industri yang ada meliputi industri rumah tangga, farmasi dan obat-obatan, tekstil, kimia, otomotif, dan semen.
Berdasarkan data sebelumnya (tahun 1999), pH rata-rata air hujan di wilayah Cibinong-Citeureup adalah 5,07. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi hujan asam di wilayah tersebut. Kualitas air sumur penduduk di wilayah Cibinong-Citeureup juga rendah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diperoleh data bahwa pH rata-rata air sumur di wilayah Cibinong-Citeureup 5,09 (tahun 1995) dan turun menjadi 4,63 pada tahun 1999.
Untuk mengetahui apakah kualitas udara berpengaruh pada kualitas air hujan dan apakah kualitas air hujan memang berpengaruh pada kualitas air sumur, maka dilakukan penelitian dengan mengukur parameter-parameter kunci. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengetahui kualitas air hujan di wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri dan wilayah pembanding, dengan mengukur konsentrasi ion nitrat (NO3-), ion sulfat (S042 ), dan keasaman (pH);
(b) mengetahui kualitas air sumur penduduk wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri dan wilayah pembanding, dengan mengukur konsentrasi ion nitrat (NO3-), ion sulfat (SO42), keasaman (pH), logam Fe, dan kesadahan/CaCO3;
(c) mengetahui hubungan antara derajat keasaman (pH) dengan konsentrasi logam besi (Fe) dalam air sumur; dan (d) mengetahui pengaruh pencemaran udara yang berasal dari kualitas air hujan terhadap kualitas air sumur.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat: (a) memberikan informasi mengenai kualitas air hujan dan air sumur di wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri terutama kepada PEMDA setempat, industri yang mencemari, dan masyarakat/penduduk di wilayah itu; (b) memberikan informasi mengenai bahaya pencemaran terhadap badan air terutama air sumur yang digunakan untuk keperluan rumah tangga kepada masyarakat/penduduk di wilayah penelitian, serta memberikan solusi untuk pengolahan air agar dapat dipakai untuk air minum.
Hipotesis yang diajukan adalah: (a) terdapat perbedaan kualitas air hujan dari wilayah industri Cibinong-Citeureup-Gunung Putri dengan wilayah pembanding; (b) terdapat perbedaan kualitas air sumur penduduk dari wilayah industri Cibinong Citeureup-Gunung Putri dengan wilayah pembanding, dan (c) terdapat hubungan antara derajat keasaman (pH) dengan konsentrasi logam besi (Fe) dalam air sumur.
Penelitian dilakukan dengan metode survei dan expost facto, dimana sampel air hujan diambil dari 14 titik lokasi penelitian dan air sumur diambil dari sumur-sumur penduduk yang berada pada lokasi yang sama dengan pengambilan air hujan.
Parameter pH (derajat keasaman), daya hantar listrik (DHL), dan Total Dissolved Solids/total padatan terlarut (TDS) diukur langsung di lapangan, sedangkan pengukuran konsentrasi N03 (nitrat), S042 (sulfat), logam Fe (besi), dan kesadahan (CaCO3) dilakukan di Laboratorium Kimia, Fakultas MIPA-Universitas Pakuan Bogor.
Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran secara langsung di lapangan dan di laboratorium. Data sekunder diperoleh dari penelitian sebelumnya, studi pustaka, instansi terkait, dan dari sumber-sumber lain. Data primer dan sekunder ini kemudian dianalisis secara deskrptif dan dilakukan uji statistik Two-Independent-samples Test untuk menguji perbedaan kualitas air hujan dan air sumur di wilayah industri dan wilayah pembanding, dan uji Bivariate correlation, utuk melihat hubungan antara derajat keasaman (pH) dengan konsentrasi logam besi (Fe) dalam air sumur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
(a)Air hujan untuk wilayah industri mempunyai nilai rata-rata derajat keasaman (pH) 4,47; kadar nitrat (NO3) 3,3302 mg/L; sulfat (SO42) 3,5806 mg/L, sedangkan untuk wilayah pembanding, nilai rata-rata derajat keasaman (pH) adalah 6,13; kadar nitrat (NO3) 0,0283 mg/L dan sulfat (SO42-) 0,0079 mg/L. Jadi pada tingkat kepercayaan 95% secara statistik diperoleh nilai Z hitung (-2,58 untuk pH, -2,575 untuk S042-, dan -2,569 untuk N03), sehingga terdapat perbedaan kualitas air hujan dari wilayah industri dengan wilayah pembanding untuk parameter derajat keasaman (pH), kadar nitrat (NO3), dan sulfat (SO42-);
Air sumur penduduk di wilayah industri mempunyai nilai rata-rata derajat keasaman (pH) 4,11; kadar nitrat (NO3-) 6,19 mg/L; sulfat (SO42) 5,44 mg/L, besi (Fe) 0,27 mg/L, dan kesadahan (CaCO3) 30,10 mg/L sedangkan untuk wilayah pembanding, nilai rata-rata derajat keasaman (pH) 6,70; kadar nitral (NO3-) 0,4011 mg/L; sulfat (SO42) 1,6599 mg/L, besi (Fe) 0,3508 mg/L, dan kesadahan (CaCO3) 34,30 mg/L. Jadi pada tingkat kepercayaan 95% secara statistik diperoleh nilai Z hitung (-2,569 untuk pH, -2,260 untuk S042-, -2,569 untuk N03, -0,584 untuk Fe dan -0,857 untuk Ca C03), maka terdapat perbedaan kualitas air sumur penduduk dan wilayah industri dengan wilayah pembanding untuk parameter derajat keasaman (pH), kadar nitrat (NO3-), dan sulfat (S042), tetapi tidak terdapat perbedaan untuk parameter kandungan besi (Fe) dan kesadahan (CaCO3);(c} Nilai koefisien korelasi (r) antara derajat keasaman (pH) dengan konsentrasi logam besi (Fe) adalah sebesar -0,976. Jadi terdapat hubungan negatif yang cukup erat antara pH dengan konsentrasi besi (Fe) dalam air sumur. Makin rendah pH (makin asam), konsentrasi besi makin tinggi.
Jadi kesimpulan umum dari penelitian ini adalah: Pencemaran udara yang berasal dari air hujan berpengaruh terhadap kualitas air sumur.
Selanjutnya disarankan untuk mengadakan penelitian lanjutan untuk menentukan besarnya persentase distribusi dari sumber bahan pencemar (industri/pertanian), kepadatan penduduk, jenis/kondisi tanah dan akibat yang berpengaruh terhadap kualitas air sumur. Hal ini penting untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas air sumur dan menentukan prioritas dalam pengendalian pencemaran air sumur. Untuk sumur-sumur yang mempunyai derajat keasaman tinggi (nilai pH rendah), maka untuk menaikkan nilai pH bisa diberikan CaO (kapur). Hal ini pemah diteliti sebelumnya dimana untuk menaikkan pH satu liter air sumur dari 5,732 menjadi 7,00 (pH netral), jumlah CaO yang diperlukan adalah 0,0204 gram.

The Influence of Air Pollution To The Quality Of Well Water(Case Study: Well Water Used by Population of the Cibinong-Citeureup-Gunung Putri Industrial Districts)Generally, the air quality in the industrial districts indicates the increase of pollution due to the existence of gas emission coming from industrial and transportation activities. The type and the number of emission or air pollutant will depend on the type and or the quantity of industries located in respective district. In general, air pollutant which comes from industry and transportation consists of dust particles and gasses such as nitrogen oxides (NOx), sulfur oxides (SOx), carbon monoxide (CO), and hydrocarbons (HC).
Gas emission from the air could directly come to the body of water or be brought by rainwater and then absorbed to the body of water through the ground. The exhausts that contain nitrogen oxides and sulfur oxides (NOx and SOx) could react with water molecules in the air to form sulfuric acid (H2SO4) as well as nitric acid (HNO3), afterwards they fall to earth as an acid rain. Through the ground water cycle system, this acid rain influences the quality of well water.
The Cibinong-Citeureup-Gunung Putri districts with area of 36.47 km2 are the example of industrial districts that have massive transportation and have many industrial activities. There are more than 13,748 motor vehicles and 228 large as well as medium scale industries which are located in Cibinong-Citeureup-Gunung Putri sub-districts (BPS [Central Bureau of Statistics] of Bogor Regency, year 2000). The industries available are including household, pharmaceutical and medicines, textile, chemical, automotive, and cement industries.
Base on previous data year of 1999, the average of the acidity (pH) of rainwater in Cibinong-Citeureup districts was 5.07. This indicates that there has been an acid rain occurred on these districts. The quality of well water used by population of Cibinong-Citeureup becomes worst. Based on the previous research, the average of acidity (pH) of well water in the Cibinong-Citeureup districts was 5.09 (year 1995) and it decreased to 4.53 in 1999. In order to find out whether the air quality gives influence to the quality of rainwater and whether the quality of rainwater really gives influence to the well water, a research it needed by measuring the key parameters.
This research has purposes to: (a) find out the quality of rainwater in the Cibinong-Citeureup-Gunung Putri industrial districts as well as in the reference district by measuring the concentration of nitrate ion (NO3-), sulfate ion (SO42'), and acidity (pH); (b) find out the quality of well water used by population in Cibinong-Citeureup-Gunung Putri industrial districts as well as the quality of well water in the reference district by measuring the concentration of nitrate ion (N03), sulfate ion (SO42-), acidity (pH), Fe metal, and hardnesslCaCO3; (c) to find out the corelation between degree of acidity (pH) and concentration of iron metal (Fe) in the well water; and (d) to find out the influence of air pollution which comes from the quality of rainwater to the quality of well water.
The output of research hopefully could: (a) gives information about the quality of rainwater and the quality of well water in Cibinong-Citeureup-Gunung Putri industrial districts to the respective local government (PENIDA), all industries who tend to create pollution as well as society / population of those districts; (b) gives information to the society / population in the research location regarding the danger of pollution to the body of water, mainly the domestic well water, and also gives a solution about the treatment for the water that would use as a drinking water.
The proposed hypothesis was: (a) there is difference between the quality of rainwater in the Cibinong-Citeureup-Gunung Putri industrial districts and that of the reference district; (b) there is difference between the quality well water of population in Cibinong-Citeureup-Gunung Putri industrial districts and that of the reference district; (c) there is a correlation between the degree of acidity (pH) and the concentration of iron (Fe) in the well water.
Research is carried out by using a survey and ex post facto methods where the samples of rainwater were collected from 14 research locations, while sample of well water were collected from the residential wells at the same location whit that of samples of rainwater were collected.
Degree of acidity (pH), electric conductivity (DHL), and total dissolved solids (TDS) parameters were measured directly on the spot, while concentration of N03 (nitrate), SO4 (sulfate), Fe (iron), and hardness (CaCO3) were analyzed at the Laboratory of Chemical, Faculty of Mathematics and Natural Sciences (MlPA) University of Pakuan, Bogor. Research data consist of primary and secondary data. Primary data were obtained by direct measurement on the spot and at the laboratory. Secondary data were obtained from previous research, bibliography (references), related institutes, as well as other sources of information. These primary .and secondary data were, then analyzed descriptively and statistically with Two-Independent-Samples Test to examine the difference of rainwater and well water quality in the industrial districts and the reference district. One more test called Bivariate Correlation is done in order to see the correlation between the degree of acidity (pH) and the concentration of iron (Fe) in the well water.
Research conclusions were:
(a) Rainwater in the industrial districts has average value of acidity degree (pH) of 4.47; nitrate (NO3-) content of 3.3302 mg/L; sulfate (SO42-) content of 3.5806 mg/L, while rainwater in the reference district has the average value of acidity degree (pH) of 6.13; nitrate (NO3) content of 0.0283 mg/L and sulfate (SO42-) content of 0,0079 mg1L. Thus, at 95% level of confidence, statistically it was obtained the calculated Z value (-2.58 for pH, -2.575 for S042-, and -2.569 for N03-), so that there was a difference between the quality of rainwater in the industrial districts and that the reference district for the parameter of degree of acidity (pH), nitrate (NO3-), and sulfate (SO42') content;
(b)Well water used by population of the industrial districts has average value of acidity degree (pH) of 4.11; nitrate (NO3') content of 6.19 mg/L; sulfate (50422') content of 5.44 mg/L,; iron (Fe) content of 0.27 mg/L; and hardness (CaCO3) of 30.10 mg/L, while well water in the reference district has the average value of acidity degree (pH) of 6.70; nitrate (NO3-) of 0.3508 mg/L; and hardness (CaCO3) of 4.30 mg/L. Thus, at 95% level of confidence, statistically it was obtained the calculated Z value (-2.569 for pH, -2.260 for 5042-, -2.569 for NC3-, -0.584 for Fe and -0.857 for CaCO3). So that there was a difference between the quality of well water of the industrial districts and that of the reference district for the parameter of degree of acidity (pH), nitrate (NO3-) content and sulfate (SC42..) content, but there is no significant difference for the parameter of iron (Fe) content and hardness (CaCO3);
(c) the value of correlation coefficient (r) between the degree of acidity (pH) and the concentration of iron (Fe) is -0.976. Hence, there is a close negative correlation between pH and concentration of iron (Fe) in the well water. The lower (the more acid) the pH, the higher the concentration of iron (Fe).
The general conclusion of this research is: Air pollution which come from rainwater affected to the quality of well water. For the next step, it is suggested to conduct a further research to determine the distribution percentage of the source of pollutant materials (industry/agriculture), population density, type/condition of soil and aquifer that influence to the quality of well water. This is important to be done to find out the most influencing factor to the quality of well water, and to determine the priority in reference ling the well water pollution. To increase the pH value for the wells that have high degree of acidity (low pH value), it could be added with CaO (quick lime). It has been examined previously, where 0,0204 gram of CaO was needed to increase the pH of one liter of well water from 5.732 to 7.00 (neutral pH)."
2002
T3039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indarti
"ABSTRAK
Jambu air (Eugenia aguea Burm. f.) banyak dijumpai di sekitar pabrik semen kawasan industri Cibinong-Citeureup Bogor Jawa Barat. Untuk mengetahui pengaruh debu terhadap daun E. aguea di kawasan tersebut, terutama pengaruhnya pada kiorofil a dan b ser'ta hubungannya dengan indeks luas daun, maka dilakukan penelitian pendahuluan di lokasi kontrol dan lokasi yang berjarak 500 m, 1500 m, 2500 m, 3500 m dan pusat surnber emisi. Berat debu pada daun E. aguea ditentukan menurut metode Smith, kadar kiorofil a dan b ditentukan menurut metode Arnon, dan . indeks luas daun dItentukan rnenurut metode Krebs. Berat debu rata-rata yang tertinggi dan yang terendah (4,8373; 0,1091 mg/cm 2 ) terdapat pada lokasi 500 m dan kontrol. Kadar kiorofil a dan b rata-rata yang tentinggi dan yang terendah (0,5842 dan 0,3520; 0,4711 dan 0,2695 rng/g daun) terdapat pada lokasi kontrol dan 500 rn. Indeks luas daun yang tertinggi dan yang terendah (0,903; 0,447) terdapat pada lokasi kontrol dan 500 m. Uji korelasi peringkat Spearman menunjukkan, bahwa makin banyak debu pada daun E. aguea makin menurun kadar kiorofil a dan b serta indeks luas daun dari daun tersebut. Debu selain berpengaruh pada kadar kiorofil a dan b daun E. aguea, secara tidak langsung berpengaruh juga pada indeks luas daun E. aguea."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S35931
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Deni Mulyana
"Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa sumber air bersih yang banyak digunakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan adalah air tanah dangkal berupa sumur gali (47,40%). Hal ini karena pembuatan sumur gali mudah, murah, dan sederhana. Sumur gali yang baik harus memenuhi syarat kesehatan baik dari segi konstruksi maupun kualitas airnya. Hanya 35,50% sumur gali yang digunakan masyarakat terlindung dalam arti dilengkapi konstruksi, dan hanya 47,75% berjarak lebih dari 10 meter dari jamban.
Untuk mengetahui tingkat risiko pencemaran pada sumur gali, dilakukan surveilans kualitas air melalui kegiatan Inspeksi Sanitasi (IS). Sedangkan untuk mengetahui kualitas bakteriologik air dilakukan pemeriksaan sampel air di laboratorium. Permasalahannya adalah apakah tingkat risiko pencemaran hasil IS sesuai dengan kualitas bakteriologik air sumur gali. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil pengukuran tingkat risiko pencemaran dengan IS dan hasil pemeriksaan bakteriologik pada sumur gali.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi diagnostik, yaitu untuk mengetahui kesesuaian antara hasil pengukuran tingkat risiko pencemaran dengan IS dan hasil pemeriksaan kualitas bakteriologik pada bersih sumur gali. Diharapkan adanya kesesuaian yang baik dengan nilai Kappa antara 0,40 sampai dengan 0,75. Populasi penelitian adalah sumur gali yang ada di wilayah kerja Puskesmas Rancabungur, Kabupaten Bogor pada tahun 2003 dengan sampel sebanyak 88 yang diambil secara bertingkat di 3 desa (21 RW) di Rancabungur. Data yang dikumpulkan dengan melakukan pengamatan menggunakan formulir IS dan pemeriksaan bakteriologik sampel air sumur gali.
Hasil analisis, menunjukkan bahwa dari 10 variabel IS ada 1 variabel yang tidak reliable, dan tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan tingkat risiko pencemaran, yaitu dinding sumur sedalam 3 meter tidak diplester. Seluruh variabel tidak berhubungan bermakna secara statistik dengan kelas kualitas bakteriologik. Kesesuaian antara tingkat risiko pencemaran dan kualitas bakteriologik, sangat rendah (Kappa 0,009 untuk 2 katagorik dan Kappa 0.006 untuk 4 katagorik).
Dapat disimpulkan bahwa formulir IS tidak seluruhnya reliable untuk mengukur tingkat risiko pencemaran. Tingkat risiko pencemaran dengan mempergunakan IS tidak dapat dipergunakan untuk dapat menduga kualitas bakteriologik air. Disarankan perlu evaluasi kembali formulir IS dengan memperhatikan variabel apa saja. yang berhubungan dengan kelas kualitas bakteriologhik air, pembobotan yang berbeda untuk masing-masing dan penetapan titik potong untuk menetapkan tingkat risiko dan/atau kualitas bakteriologik air sumur gali. Instrumen IS harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam diteksi dini kualitas air oleh masyarakat.
Daftar Pustaka, 30 (1983 - 2002)

Compatibility Between Measurement Results of Pollution Risk Level from Sanitary Inspection and Bacteriological Assessment Results of Dug-Wells at Puskesmas Rancabungur, Bogor District, 2003The results of National Socio-Economy Survey 2001 indicated that most rural community (47,40%) utilized dug-wells as clean water source, due to low cost, simplicity and not complicated in the construction. A good dug-wells should meet health standard, both in its construction and water quality as well. From 47,40% of dug-wells, it was found that only 35,50% of those possessed complete construction or met health standard. In addition, only 47,75% of those had a 10-meter distance from latrine.
In order to find out pollution risk level of dug-wells, water quality surveillance was conducted through sanitary inspection (SI). Whereas, to find out bacteriological water quality, this study also carried out water sample analysis in the laboratory. The problem of this research tried to find an answer whether pollution risk level from the SI results was compatible with bacteriological quality of dug-wells based on colrfarm number. This research was implemented to find out the compatibility between the measurement results of pollution risk level from the SI and the results of bacteriological analysis of dug-wells.
In the effort to assess compatibility between measurement results of pollution risk level from the SI and the results of bacteriological analysis of dug-wells, research design used diagnostic study with expected Kappa compatibility from 0,40 up to 0,75 and classified as a good grade. The research population was dug-wells which existed in the working area of Puskesmas (health center) Rancabungur, Bogor District in the year 2003. This research used stratified sampling method with a total of 88 samples, taken from 3 villages (21 RW) in Rancabungur. Data were compiled through observation and using the SI forms. In addition to data collection, it also took water samples of dug-wells for bacteriological quality analysis.
Statistical results showed that from 10 variables of the SI only 1 variable was statistically unreliable and not significant with pollution level risk. This variable was the line/wall of dug-wells without 3-meter ring of Ferro-cement. All of the SI variables statistically revealed no significant association with bacteriological quality level. The research also revealed that the compatibility between pollution risk level and water quality class was very low, where Kappa 0,009 for 2 categories and Kappa 0,006 for 4 categories.
Based on the results, it may be concluded that not all of SI forms were reliable to measure pollution risk level. The SI forms could not be used to predict and assess class of bacteriological water quality. Eventually, it is recommended that the utilization of SI forms should be reevaluate with taking into account on certain variables which may potentially influence on bacteriological water quality class. Moreover, every variable should be treated with different weight (score) and a cutting point should be determined to measure pollution risk Level and/or bacteriological water quality of dug-wells. Finally it is expected that the SI can be used as early warning method, particularly for water quality control in the community.
Bibliography, 30 (1983 - 2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T13006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Ahmad Aprilando
"Pengaruh substitusi terak baja sebagai agregat kasar pada kekuatan tekan dan korosi baja tulangan pada beton geopolimer berbahan dasar fly ash dalam air laut dan lingkungan hujan asam Nilai kuat tekan dievaluasi dengan mengukur beban maksimum yang dapat diterima menggunakan peralatan pengujian kompresi Kuat tekan tergantung pada beberapa faktor seperti waktu dan suhu curing serta proporsi pencampuran Kekuatan tekan beton geopolimer dengan substitusi terak baja lebih tinggi dibandingkan dengan beton geopolimer normal dengan agregat kerikil Nilai kuat tekan optimum ditemukan pada hari ketiga curing pada suhu 60oC untuk beton geopolimer dengan substitusi terak baja dan beton geopolimer normal Korosi tulangan dievaluasi dengan mengukur kepadatan arus korosi menggunakan polarisasi linear potensiostatik scan Laju korosi icorr baja tulangan dalam beton geopolimer dengan substitusi terak baja lebih tinggi dibandingkan dengan beton geopolimer normal tanpa terak baja dalam medium air laut Sedangkan dalam lingkungan hujan asam substitusi terak baja meningkatkan ketahanan korosi Laju korosi geopolimer beton dengan substitusi terak baja ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan beton geopolimer normal Laju korosi sangat tinggi pada hari hari awal dan menurun seiring waktu.

The effect of steel slag substitution as coarse aggregate on compressive strength and corrosion of reinforcing steel in fly ash based geopolymer concrete in seawater and acid rain environment was studied The compressive strength was evaluated by measuring maximum acceptable load using compression testing equipment The compressive strength depends on several factors such as time and temperature of curing and mixing proportion The compressive strength of geopolymer concrete with steel slag substitution is higher as compared to normal geopolymer concrete with gravel aggregate The compressive strength optimum was found in the third day curing at temperature 60oC for both of geopolymer concrete with steel slag substitution and normal geopolymer concrete The reinforcement corrosion was evaluated by measuring the corrosion current density using liner polarization potentiostatic scan The Corrosion rate icorr of reinforcing steel in geopolymer concrete with steel slag substitution were found to be higher as compared to normal geopolymer concrete without steel slag in seawater medium Whereas in acid rain environment steel slag substitution increase corrosion resistance Corrosion rate geopolymer concrete with steel slag substitution were found to be lower as compared to normal geopolymer concrete The corrosion rate is very high early days and decreases by time "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S54657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi
"ABSTRAK
Perkembangan pembangunan di Jakarta cenderung mengubah tanah menjadi kedap air. Daerah yang sebelumnya merupakan media yang bisa dirembesi air diubah menjadi daerah yang ditutupi berbagai jenis bangunan seperti permukiman, pertokoan, jalan, dll. Sementara itu kebutuhan akan air bersih yang berasal dari air tanah cukup tinggi, yaitu menurut Transoto (1988) 78 %, sedang dari hasil penelitian ini di lapangan adalah 94,7 %. Kebutuhan air bersih yang berasal dari air tanah diperkirakan akan semakin meningkat, karena tingkat pertambahan penduduk yang cukup tinggi (3,0%/tahun), dan meningkatnya jumlah pertokoan, perkantoran serta industri, sementara kemampuan Perusahaan Air Minum (PAM) DKI masih sangat terbatas untuk memasok air bersih.
Sebagai akibat dari kekedapan permukaan tanah terhadap air di DKI maka timbul berbagai masalah lingkungan seperti kekeringan pada musim kemarau, (karena persediaan air tanah kurang) dan intrusi air laut.
Permasalahan di atas erat kaitannya dengan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya air hujan, yang pada akhirnya mempengaruhi pengelolaan air hujan yang di terapkan mereka selama ini. Untuk meliput persepsi masyarakat terhadap air hujan serta tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah dalam hubungannya dengan IMB, terutama Koefisien Dasar Bangunan dan ruang terbuka, maka dalam penelitian ini dicoba untuk meneliti seluruh wilayah DKI Jakarta yang dibagi ke dalam 4 zone.
Pembagian zone didasarkan pada perbedaan topografi, dan sifat air tanah. Pada masing-masing zone diambil tiga tempat yang diharapkan dapat menggambarkan zone secara keseluruhan. Sedangkan untuk kelurahan contoh dipilih daerah yang terdapat dibagian tersebut, karena diasumsikan bahwa pada daerah yang terpadat kebutuhan akan air tanah adalah sangat tinggi, dan daerah yang tertutup oleh bangunan atau kedap air lebih luas.
Menurut hasil penelitian ini, di zone 2 rasa air tanahnya sekarang adalah payau, sedangkan pada tahun 1979 (Sandy, 1979) rasa airnya masih tawar. Dengan demikian intrusi air laut telah meluas sampai ke zone 2 dalam selang waktu 9 tahun terakhir.
Dalam hubungan dengan pengelolaan air hujan yang diterapkan masyarakat ataupun perkantoran, ternyata masyarakat lebih banyak yang membuang air ke selokan atau sungai, tanpa usaha untuk mengembalikannya ke dalam tanah. Hanya sebagian kecil yang mengalirkan air hujan ke dalam kolam atau bak resapan. Ada juga yang membiarkan air hujan itu jatuh dari atap ke halaman, tetapi hal ini bukan untuk mengupayakan air hujan masuk ke dalam tanah. Nampaknya masyarakat selama ini masih menganggap bahwa air hujan merupakan limbah yang secepat mungkin harus dibuang atau dialirkan ke sungai, bukan sebagai suatu sumberdaya yang harus diselamatkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air hujan hanya sebagian kecil saja masyarakat yang menggunakan air hujan untuk berbagai keperluan, sedang yang terbanyak mempergunakan air hujan tersebut adalah masyarakat di zone pantai atau zone 1.
Sebagian rumah yang dibangun developer telah menerapkan pengelolaan air hujan dengan cara mengalirkan hujan dan atap lewat rantai ke bak resapan. Bak resapan tersebut terletak di sudut teras, akan tetapi bak ini terbuka dan volumenya juga kecil. Tetapi oleh sementara pemilik rumah tersebut, sistem yang begini telah diubah dengan mengalirkan air dari atap ke selokan, berarti kualitas pengelolaannya menjadi turun. Dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemerintah, terlihat bahwa mayoritas masyarakat memiliki KDB (koefisien Dasar Bangunan) di atas 41 % baik di zone 1, 2, 3 dan maupun di zone 4. Sedangkan dalam peraturan pemerintah KDB diharuskan 40 %. Di samping itu khusus untuk bagian selatan Jakarta pemerintah DKI telah menetapkan bahwa pada setiap kapling harus ada ruang terbuka sebesar 85 % agar air berkesempatan meresap ke dalam tanah lebih banyak. Ternyata dari hasil penelitian ini, umumnya (96 %) masarakat memiliki ruang terbuka di bawah 69 %, bahkan 25 % dan diantaranya hanya 0-17 % saja yang mempunyai ruang terbuka.
Dari analisis regresi dan korelasi antara tingkat pendidikan dengan pengelolaan air hujan di zone pantai atau zone 1 ternyata bahwa orang yang berpendidikan lebih tinggi menggunakan sistem pengelolaan air hujan yang lebih baik dari orang yang berpendidikan lebih rendah, akan tetapi hubungannya adalah nyata. Sedangkan masyarakat yang bermukim di zone 2 dan 3 ternyata orang yang berpendidikan lebih tinggi menerapkan sistem pengelolaan air hujan yang lebih jelek dari pada orang yang berpendidikan lebih rendah. Khusus bagi masyarakat yang bermukim di zone 4, sistem pengelolaan air hujan yang diterapkan oleh orang yang berpendidikan lebih tinggi hampir tidak ada bedanya dengan sistem pengelolaan air hujan yang diterapkan oleh orang yang berpendidikan lebih rendah.
Hubungan antara tingkat pendidikan dengan penggunaan air hujan oleh masyarakat di zone 1 (pantai) ternyata orang yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak menggunakan air hujan dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi hubungannya tak nyata. Di zone 2 dan 3 juga orang yang berpendidikan lebih rendah lebih banyak menggunakan air hujan dari pada orang yang berpendidikan lebih tinggi, dan hubungannya adalah nyata. Akan tetapi di zone 4 temyata orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih banyak menggunakan air hujan dibandingkan dengan orang yang berpendidikan lebih rendah, dan hubungannya nyata.

ABSTRACT
The development of Jakarta tends to alter land to become impermeable areas which are functioning among others to absorb rainwater, have been changed into buildings, settlements, business centers, roads, etc. In the meantime, the capability of public water supply of Jakarta is limited. Only less then 40 % of 7.5 million populations is supplied with tap water. In the study area there are kampungs that only have 33.8 % tap water supplies. Therefore, the need for clean water is substituted mostly by using river water and pumping the groundwater. It was assumed that the exploitation of groundwater will increase proportionally with the population growth rate of 3.0 % per year.
This has become even more serious due to the lack of appropriate management of rainwater by the community. The prospect of rainwater as a resource is neglected, and rainwater is even regarded as a problem.
The rapid growths of buildings are also made worse due to the fact that most people do not follow the regulation concerning license to build. They neglect the limit of the allowable building base coefficient. The allowable building basic coefficient is 15 %, while the fact shows that in the study area the coefficient is increasing to 41 %. These conditions gave rise to a lot of environmental problems, such as drought, intrusion of seawater, particularly into densely populated areas where high-rise buildings were built.
With the population of 7.5 million people and the water consumption of 200 liter per day per person, there is a daily need for clean water of 15 million cu.m. While the whole Jakarta area (approximately 560.sq. km with its 2,000 mm annual rainfall) may have a daily supply of rain-water of 32 million cu.m. If during the rainy season (with is 6-7 months annually) 50 % of the rainwater can be met. Therefore, there is an urgency to develop rainwater conservation campaign.
The conservation of rainwater will serve as a resource, reducing the use of groundwater or dirty river water.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Evita
"Pemanasan global yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang menghasilkan gas rumah kaca pada dua abad terakhir mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Peningkatan suhu bumi ini pada gilirannya akan membawa perubahan pada pola dan distribusi curah hujan yang membawa pengaruh pada sistem sumber daya air. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam tesis ini dilakukan penelitian terhadap perubahan intensitas curah hujan maksimum untuk melihat indikasi perubahan iklim seiring terjadinya perubahan iklim global.
Perubahan pada intensitas curah hujan maksimum pada penelitian ini, dilihat dari kecenderungan peningkatan maupun penurunannya. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan data intensitas curah hujan maksimum dari tiga stasiun penakar hujan yaitu stasiun Pondok Betung, Darmaga dan Citeko. Metode yang digunakan adalah studi kasus pada wilayah Jakarta sebagai daerah pesisir dan Bogor sebagai daerah pegunungan. Pengolahan data dilakukan dengan metode statistik yaitu Spearman Rank Test dan Moving Average.
Hasil analisis memperlihatkan untuk ± 15 tahun pengamatan terjadi kecenderungan peningkatan intensitas hujan maksimum pada bulan-bulan musim hujan di ketiga stasiun penakar hujan tersebut walaupun tidak semua periode waktu signifikan. Namun untuk ± 10 tahun terakhir kecenderungan peningkatan intensitas hujan dilihat dari nilai koefisien korelasi (Rs) lebih kuat dibandingkan dengan 15 tahun pengamatan. Perubahan yang dilihat ini diduga adalah bagian dari perubahan iklim global.
Diharapkan dengan hasil analisis ini pengelolaan sumber daya air dapat lebih ditingkatkan untuk mengantisipasi meningkatnya ketersedian air pada musim ? musim penghujan yang diakibatkan perubahan iklim global.

Global warming due to increasing greenhouse gases in the last two centuries had changed global climate. Increasing global temperature will change precipitation patterns and distributions. This condition leads to the change on water resources system. This paper studies the change on intensity of maximum precipitation in order to indicate climate change along with global climate change.
In this research, intensity of maximum precipitation changing is observed from its trend both increase and decrease. Data from three stations Pondok Betung, Darmaga, and Citeko are collected and analyzed with Spearman Rank Test and Moving Average. In the research method Jakarta as a coastal area and Bogor as a mountain area are used as cases study.
The result shows that in ±15 years observed there have been trends of increasing intensity of maximum precipitation on months in rainy season in three stations considered even though it only significant in some periods. However, according to correlation index (Rs) the trend of increasing intensity of precipitation in the last 10 years is more considerable than 15 years periods observed. This condition is believed as a part of global climate change.
This research also suggests that water resources should be manage more appropriate in order to anticipate the increasing water supply on months in rainy season as a result of global climate change."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T23292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Evita
"Pemanasan global yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang menghasilkan gas umah kaca pada dua abad terakhir mengakibatkan terjadinya perubahan iklim lobal. Peningkatan suhu bumi ini pada gilirannya akan membawa perubahan ada pola dan distribusi curah hujan yang membawa pengaruh pada sistem umber daya air. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam tesis ini dilakukan penelitian terhadap perubahan intensitas curah hujan maksimum untuk melihat ndikasi perubahan iklim seiring terjadinya perubahan iklim global. Perubahan pada intensitas curah hujan maksimum pada penelitian ini, dilihat dari ecenderungan peningkatan maupun penurunannya. Analisis dilakukan dengan engumpulkan data intensitas curah hujan maksimum dari tiga stasiun penakar ujan yaitu stasiun Pondok Betung, Darmaga dan Citeko. Metode yang digunakan dalah studi kasus pada wilayah Jakarta sebagai daerah pesisir dan Bogor sebagai daerah pegunungan. Pengolahan data dilakukan dengan metode statistik yaitu pearman Rank Test dan Moving Average.
Hasil analisis memperlihatkan untuk ± 5 tahun pengamatan terjadi kecenderungan peningkatan intensitas hujan aksimum pada bulan-bulan musim hujan di ketiga stasiun penakar hujan ersebut walaupun tidak semua periode waktu signifikan. Namun untuk ± 10 tahun erakhir kecenderungan peningkatan intensitas hujan dilihat dari nilai koefisien orelasi (Rs) lebih kuat dibandingkan dengan 15 tahun pengamatan. Perubahan ang dilihat ini diduga adalah bagian dari perubahan iklim global. Diharapkan analisis ini pengelolaan sumber daya air dapat lebih itingkatkan untuk mengantisipasi meningkatnya ketersedian air pada musim - musim penghujan yang diakibatkan perubahan iklim global.

Global warming due to increasing greenhouse gases in the last two centuries had changed global climate. Increasing global temperature will change precipitation patterns and distributions. This condition leads to the change on water resources system. This paper studies the change on intensity of maximum precipitation in order to indicate climate change along with global climate change. In this research, intensity of maximum precipitation changing is observed from its trend both increase and decrease. Data from three stations Pondok Betung, Darmaga, and Citeko are collected and analyzed with Spearman Rank Test and Moving Average. In the research method Jakarta as a coastal area and Bogor as a mountain area are used as cases study.
The result shows that in ±15 years observed there have been trends of increasing intensity of maximum precipitation on months in rainy season in three stations considered even though it only significant in some periods. However, according to correlation index (Rs) the trend of increasing intensity of precipitation in the last 10 years is more considerable than 15 years periods observed. This condition is believed as a part of global climate change. This research also suggests that water resources should be manage more appropriate in order to anticipate the increasing water supply on months in rainy season as a result of global climate change."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T23288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>