Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

"ABSTRACTThe "everydayness" of the modern life, "unthinking, mundane reality" as described by Lukács in History and Class Consciousness, is often associated with the reified state of consciousness in bourgeois society. Also, linked with repetitive, uncreative, and contingent qualities of housework, the everyday tends to be gendered feminine, as Henri Lefebvre declares that "women symbolizes everyday life in its entirety" and that women are its "active critique". However, if women immerse themselves in everyday life so as to be the symbol of it, the question is: how can women acquire the revolutionary consciousness that enables them to perceive, theorize, and alter the everyday? How can women's creative work such as poetry be both the symbol and at the same time an active critique of their everyday life?This paper will examine how postwar and contemporary women poets writing in Japanese and in the proletariat literary tradition - such as Ishigaki Rin, Chong Chuwol, Park Kyongmi - have been seeking for an alternative poetic language in which they could represent and critique women's everyday life. Particular focus will be given to the interconnections between women, their domestic work, and objects used for their work, as typically seen in Ishigaki's famous poem, "In Front of me the Pot and Rice-Pot and Burning Flames" (1959). Where as Ishigaki follows realistic methods to portray women's life, Chong and Park, being second- generation Korean poets and ever uncomfortably affiliated with the Japanese language, are visibly more experimental. As a contemporary "postmodern" poet, Park argues that in poetic language, words should carefully be arranged and combined so that they cannot invoke sentiments that are attached to so-called "mother tongue". This alienated state of language, or language as butsu (thing/ object), becomes analogous to women's body, labour, and their everyday life."

"Buku, bantal, sepatu, bolpoin, jam tangan, mainan, uang, dan sikat gigi... Ini adalah berbagai benda yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya begitu biasa sehingga kita menerimanya begitu saja, seolah-olah semua benda itu sudah menjadi bagian hidup kita. Pada kenyataannya, kemampuan untuk membuat benda mungkin adalah cara kita mendefinisikan spesies kita dan membuat kita berbeda dari makhluk hidup lainnya. Coba tengok keadaan di sekitar kita perhatikan jumlah benda yang ada di sekeliling yang terus bertimbun sepanjang hidup kita. Seorang manusia mungkin mengawali hidupnya hanya dengan tarikan napas pertama, kemudian tidak membawa apa-apa ke dalam kuburnya selain yang dihiaskan orang lain pada jasadnya yang sudah tak bernyawa.Padahal, selama hidupnya, dia bergantung pada berbagai benda, bukan hanya untuk memungkinkannya berfungsi, melainkan juga agar memiliki identitas dan tujuan: Berbagai benda dan barang yang diciptakan dan diproduksi oleh sesama manusia yang dapat digunakan untuk mengendalikan serta memanipulasi lingkungannya dan menentukan takdirnya. Berbagai barang yang mengisi tidak hanya ruang yang ditempatinya, tetapi juga yang pada akhirnya mengacaukan dan menyesakkan seluruh Bumi, yang sekaligus menyisakan semakin sedikit ruang bagi makhluk hidup lainnya untuk berkembang.The Book of Everyday Things adalah pengingat bahwa terlepas dari kemampuan spesies kita untuk menaklukkan alam dan menciptakan aneka benda menakjubkan untuk membuat hidup kita lebih nyaman, obsesi kita untuk memproduksi dan mengonsumsi beragam benda mungkin justru membuat kita makin tidak memahami tujuan sebenarnya keberadaan kita. Bahwa mungkin kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada berbagai benda buatan manusia, tetapi juga menghargai apa yang diberikan alam kepada kita."