Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andra Aswar
"ABSTRAK
Pendahuluan:
Modifikasi dari kriteria klinis infeksi menurut International Disease Society of America dan International Working Group on Diabetic Foot (IDSA-IWGDF) diperlukan untuk mengevaluasi infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Prokalsitonin (PCT), penanda infeksi yang spesifik untuk infeksi bakteri diketahui bermanfaat dalam menegakkan diagnosis infeksi pada ulkus kaki diabetik. Namun, peranannya dalam menentukan ada tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan belum diketahui, begitu juga nilai tambahnya terhadap penanda klinis infeksi. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kemampuan penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi dan PCT dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan.
Metode:
Dilakukan studi potong lintang berbasis riset diagnostik pada penyandang diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang sedang mendapatkan pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada kurun waktu Oktober 2011-April 2012. Pasien yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian dilakukan penilaian infeksi pada ulkus menggunakan kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi (eritema, edema, nyeri, dan panas) dan pemeriksaan PCT. Kemudian dinilai kemampuannya dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong dengan sensitivitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini yang dibandingkan dengan baku emas berupa pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus.
Hasil:
Dari 47 subjek yang diteliti, terdapat 41 subjek dengan ulkus kaki diabetik yang masih terinfeksi berdasarkan pemeriksaan bakteri secara kuantitatif dari kultur jaringan ulkus. Penanda klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memilki kemampuan prediksi yang baik dalam menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan dengan AUC: 0,744 (IK 95% 0,576-0,912) dengan titik potong bila ditemukan ≥2 tanda klinis infeksi (Sn: 41,46%; Sp: 100%; NPP: 100%, NPN: 20%). Sedangkan, untuk prokalsitonin didapatkan AUC: 0,642 (IK 95% 0,404-0,880).
Simpulan:
Kriteria klinis infeksi menurut IDSA-IWGDF yang dimodifikasi memiliki kemampuan yang baik untuk menentukan masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan. Belum didapatkan manfaat prokalsitonin dalam mengevaluasi masih ada atau tidaknya infeksi pada ulkus kaki diabetik setelah pengobatan."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arshita Auliana
"Latar Belakang: Pasien DM dengan ulkus kaki lebih banyak yang mengalamidepresi dan memiliki kualitas hidup yang buruk. Dalam tatalaksana ulkus kaki diabetic perlu diperhatikan faktor psikososial karena diperkirakan dapat mempengaruhi penyembuhan luka melalui induksi gangguan keseimbangan neuroendokrin-imun. Beberapa penelitian mengenai pengaruh depresi pada proses penyembuhan ulkus diabetik telah dilakukan dengan hasil yang masih kontroversial.
Tujuan: Mengetahui pengaruh depresi terhadap proses perbaikan infeksi ulkus kaki diabetik, serta tingkat depresi pada pasien ulkus kaki diabetik rawat inap.
Metode: Observasional, kohort prospektif, terhadap 95 pasien ulkus kaki diabetic terinfeksi yang dirawat di RSCM dan RS jejaring dalam kurun waktu penelitian, terbagi 2 kelompok yaitu kelompok depresi dan kelompok tidak depresi. Data klinis, penilaian depresi, dan data laboratorium diambil saat pasien masuk rumah sakit kemudian dinilai perbaikan infeksi ulkus kaki diabetik dalam 21 hari masa perawatan. Dilakukan analisis bivariat dengan uji Chi-square berdasarkan batas kemaknaan (α) sebesar 5% dan analisis multivariat.
Hasil: Dari 95 subyek penelitian, 38 orang (40%) masuk dalam kelompok tidak depresi, sedangkan kelompok depresi terdiri atas 57 orang (60%). Subyek perempuan jumlahnya dominan pada kelompok depresi (70%). Komorbid terbanyak adalah hipertensi, dengan angka komorbiditas dan penyakit kardivaskular lebih tinggi pada kelompok depresi. Malnutrisi dan obesitas juga lebih banyak pada kelompok depresi (64,9% dan 31,6%), demikian pula dengan kontrol glikemik yang buruk (73,7%). Sebagian besar pasien (73,7%) yang masuk dalam kelompok depresi memiliki depresi ringan. Pada kelompok depresi 40,4% mengalami perbaikan infeksi dalam 21 hari masa perawatan, sedangkan pada kelompok tidak depresi 68,4%.
Simpulan: Depresi cenderung meningkatkan risiko atau kemungkinan tidak terjadinya perbaikan infeksi ulkus kaki diabetik, walaupun setelah dilakukan penyesuaian terhadap variabel perancu, hasil tersebut tidak bermakna secara statistik (adjusted OR 2,429 dengan IK 95% 0,890-6,632). Lebih banyak subjek dengan depresi sedang yang tidak mengalami perbaikan infeksi ulkus kaki diabetik dibandingkan dengan subjek dengan depresi ringan (93,3% dan 47,6%).

Background: Patients with diabetic foot ulcers are more depressed and have a poor quality of life. In the management of diabetic foot ulcers, psychosocial factors need to be considered because it can influence wound healing through induction of neuroendocrine-immune balance disorders. Several studies on the effect of depression in diabetic ulcer healing process has been carried out with results that are still controversial.
Objective: To investigate the effect of depression on diabetic foot ulcer infection healing process, as well as the level of depression in patients with diabetic foot ulcers.
Methods: Observational, prospective cohort, of the 95 patients with infected diabetic foot ulcers treated at Cipto Mangunkusumo hospital and networking hospitals within the study, divided into 2 groups: group of depressed and non-depressed group. Clinical data, assessment of depression, and laboratory data were taken on admission to hospital then we assessed improvements infection of diabetic foot ulcers in 21 days of treatment. Bivariate analysis performed using Chi-square test based on the limit of significance (α) of 5%, also does multivariate analysis.
Results: Of the 95 subjects, 40%was not depressed, while the depressed group consisted of 60%. Female subjects was dominant in the depressed group (66,7%). Most comorbid was hypertension, with a number of comorbidities and disease cardivascular higher in depressed group. Malnutrition and obesity are also higher in the depression group (64,9% and 31,6%), as well as poor glycemic control (73,7%). Most patients (73,7%) included in the depressed group had mild depression. In the depressed group, 40,4% experienced improvement in 21-day period of treatment, whereas in the non-depressed group 68,4%.
Conclusion: Depression tends to increse diabetic foot ulcer infection risk to not improved, although after adjusment of confounding variables the result was not statistically significant (adjusted OR 2,429 with CI95% 0,890-6,632). More subjects with moderate depression who did not exeperience improvement when compared to subjects with mild depression did not exeperience improvement (93,3% and 47,6%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Dwi Kurniawan
"Latar Belakang: Ulkus kaki diabetik terinfeksi merupakan kasus DM yang paling banyak dirawat di RS, berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, biaya yang tinggi dan bersifat multifaktorial. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah albumin. Belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Belum ada batasan mengenai konsentrasi albumin yang dapat mempengaruhi perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai konsentrasi albumin serum awal perawatan dan hubungannya dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Metodologi: Penelitian dengan desain kohort prospektif terhadap 71 pasien diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang dirawat inap di RSUPNCM, RSPADGS atau RSP pada kurun waktu April-Agustus 2014. Diagnosis dan klasifikasi ulkus kaki diabetik terinfeksi menggunakan kriteria IDSA. Data klinis dan albumin serum diambil dalam 24 jam pertama perawatan dan diikuti dalam 21 hari perawatan dengan terapi standar untuk dilihat perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Perbedaan rerata konsentrasi albumin antara subjek yang mengalami perbaikan klinis infeksi dan yang tidak, diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk analisis multivariat, digunakan analisis regresi logistik dengan koreksi terhadap variabel perancu. Kemudian dinilai kemampuan konsentrasi albumin serum dalam memprediksi perbaikan klinis dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong konsentrasi albumin serum dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini.
Hasil: Rerata konsentrasi albumin pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik dan yang perbaikan, masing-masing sebesar 2,47 (0,45) g/dL dan 2,94 (0,39) g/dL (p<0,001). Setelah penambahan variabel perancu, didapatkan adjusted OR untuk setiap penurunan konsentrasi albumin 0,5 g/dL adalah 4,81 (IK95% 1,80;10,07). Konsentrasi albumin kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi bahwa ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan mengalami perbaikan dalam 21 hari perawatan dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Konsentrasi albumin serum kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan membaik dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.

Background: Infected diabetic foot ulcer is the most common case of diabetes mellitus (DM) for hospitalization. It is associated with high morbidity, mortality, expensive cost of treatment and has multifactorial aspects. Albumin is considered as one of the factors associated with the disease. No studies have been conducted to demonstrate direct association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Moreover, no standardized value on albumin level has been set, particularly that may influence the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Objective: To obtain data about serum albumin level at early hospitalization and to recognize its association with clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Methods: A prospective cohort study was conducted. The study evaluated 71 patients with infected diabetic foot ulcers who were hospitalized at Cipto Mangunkusumo Hospital, Gatot Soebroto Hospital or Persahabatan Hospital between April and August 2014. Diagnosis and classification of infected diabetic foot ulcers were made using the IDSA criteria. Clinical data and serum albumin level were obtained within the first 24 hours of hospitalization and the data were followed within 21 days of hospitalization with standard treatment in order to evaluate any clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Unpaired t test with significance value of p <0,05 was used to show the difference of the mean of serum albumin level between subjects with clinical improvement and without clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Afterwards, a logistic regression analysis with adjustment to the confounding variables was used. ROC curve and AUC were used to analyze the capacity of serum albumin level in predicting clinical improvement. Then, a cut-off point of serum albumin level with the best sensitivity and specificity was determined to predict the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Results: The mean of serum albumin concentration of the group with clinical improvement and without improvement were 2,47 (0,45) g / dL and 2,94 (0,39) g / dL (p <0,001) respectively. After adjusting the confounding variables, we found that serum albumin level had an adjusted OR of 4,81 (95% CI 1,80;10,07) for every decrease in albumin level of 0,5 g / dL. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL had sensitivity of 75% and specificity of 69,6% in predicting that the infected diabetic foot ulcers would not improve within 21 days of hospitalization.
Conclusions: There is a association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL can predict that the infected diabetic foot ulcers will not improve with sensitivity of 75% and specificity of 69,6%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kusmardi Sumarjo
"Latar Belakang: Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui gambaran klinis dan mikrobiologis penderita infeksi kaki diabetik derajat 3 dan 4 sesuai klasifikasi PEDIS. Penelitian prospektif terakhir pada ulkus/gangren kaki diabetik di RSCM dilakukan tahun 1984. Bahan dan Metode: Penelitian dilakukan prospektif potong-lintang di RSCM pada bulan Maret-Desember 2004 dan didapatkan 52 penderita infeksi kaki diabetik yang memenuhi kriteria inklusi. Gambaran klinis penderita meliputi luka (Iokal) maupun sistemik sesuai klasifikasi PEDIS (Perfusion, Extent, DeptMissue lose, Infection, Sensation), ditambah modifikasinya (bau luka dan krepitasilgas). Pemeriksaan mikrobiologis infeksi kaki diabetik dilakukan biakan kuman aeroblanaerob dan tes kepekaan antibiotik.

Background. This study aimed to recognize clinical pictures and microbiological pattern in 3rd and 4th degrees of the PEDIS classification of diabetic foot infection (OFI). The last prospective study on diabetic ulcer/gangrene in RSCM was conducted in 1984. Materials and Methods. The design was a prospective cross sectional study conducted in RSCM from March till December 2004. There were 52 OFl's patients fulfilled the inclusion criteria. The clinical pictures were included local wounds and systemic manifestations according to the PEDIS classification with additional modification (the wound's odour and crepitation/gas). Microbiological examination were done culture for aerobic/anaerobic microorganisms and the antibiotics sensitivity test."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Febriana
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kaki diabetik terinfeksi masih menjadi permasalahan serius bagi penderitanya dan kerapkali berujung pada amputasi ekstremitas bawah. Penentuan agresifitas tindakan diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Prokalsitonin sebagai salah satu penanda infeksi sensitif diharapkan dapat membantu untuk mendiagnosis lebih awal sehingga manajemen yang diterapkan lebih tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan prokalsitonin terhadap risiko terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Metode. Dilakukan studi analitik komparatif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM periode Januari 2013-Juni 2016 pada semua pasien kaki diabetik terinfeksi yang datang ke IGD RSCM yang tidak disertai infeksi pneumonia, malaria, trauma berat, luka bakar, autoimun, dan karsinoma tiroid medula. Subjek dikelompokkan menjadi amputasi dan tidak, kemudian dilakukan analisis untuk melihat hubungan nilai prokalsitonin terhadap terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Sumber data diambil dari rekam medik data sekunder . Dilakukan uji statistik dengan kemaknaan p ABSTRACT
Background. Diabetic foot infection remains a serious problem for the patient and often lead to lower limb amputation. Determination of aggressive action is needed to prevent the worsening of the patient 39 s condition. Procalcitonin as a sensitive marker of infection is expected to help to diagnose early so that management implemented more precise. This study aims to determine the relationship of procalcitonin on the risk of lower limb amputation. Method. Comparative analytic study with cross sectional design conducted at the Vascular and Endovascular Divison Department of Surgery Faculty of Medicine Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to June 2016 in all patients with diabetic foot infection who come to the ER RSCM without pneumonia, malaria, severe trauma, burns, autoimmune, and medullary thyroid carcinoma. Subject are grouped into amputation and not amputation, then do analysis to find correlation values of procalcitonin on the occurence of the lower limb amputation. Data are extracted from medical records secondary data and performed statistical tests with significance p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Fairus
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian waktu henti (withdrawal time) trimetoprim dalam ayam pedaging . Pengujian menggunakan sampel 60 ekor ayam pedaging dengan berat badan 1 - 1,2 kg. Ayam mendapat pengobatan secara peroral dengan doeje trimetoprim 20 mg/kg BB dan eulfadiazin 100 mg./kg BB per hari selama lima hari berturut-turut. Analisie dilakukan dengan cara eketrakei menggunakan metanol dan dimurnikan pada kolom alumina. Selanjutnya tnimetoprim ditentukan dengan metoda kromatografi cain kinerja tinggi dengan kolom faea terbalik C18 , pada panjang gelombang 240 run, fasa gerak metanol-larutan dapar fosfat pH 4 (25 : 75). Batas detekel alat 0,05 ug/g. Hasil analisis menunjukkan waktu henti tnimetoprim dalam ayam pedaging adalah pada hari kelima setelah pengobatan. Konsentrasi trimetopnim pada hari kelirna 0,0181 ug/g dalam daging dan 0,0705 ug/g dalam hati, ini berada di bawah batas toleransi residu yang diperbolehkan oleh FDA, yaltu 0,1 ug/g."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R Gantira Wijayakusumah Danasasmita
"Latar Belakang. Pasien demam neutropenia yang bukan akibat efek samping kemoterapi
angka kejadiannya semakin meningkat. Kondisi neutropenia meningkatkan risiko terjadinya
infeksi, adapun penyebab neutropenia tidak hanya obat kemoterapi. Beberapa sistem
penilaian risiko komplikasi digunakan untuk dasar terapi antibiotik pada pasien demam
neutropenia pasca kemoterapi, belum ada penelitian terhadap pasien demam neutropenia
selain pasca kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk validasi dan menilai performa skor
MASCC dan penambahan prokalsitonin pada populasi demam neutropenia tidak terkait
kemoterapi.
Metode. Penelitian dilakukan pada rekam medis 68 pasien demam neutropenia yang bukan
terkait kemoterapi di ruang perawatan RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan
Januari 2018-November 2019. Dilakukan penilaian validasi kalibrasi menggunakan Hosmer-
Lameshow dan deskripsi dengan ROC.
Hasil. Terdapat variasi skor MASCC dan nilai prokalsitonin subjek penelitian. Median skor
MASCC adalah 21 (18-24) yang masuk dalam kategori low-risk. Median prokalsitonin
subjek adalah 1,99 ng/mL (0,72-10,60). Performa MASCC menghasilkan kalibrasi baik
p>0,05 dan area under curve (AUC) sebesar 0,888(IK95% 0,813-0,962, p = 0,000).
Prokalsitonin menunjukkan AUC sebesar 0,797 (IK95% 0,683-0,911, p = 0,000), titik
potong 1,67 dengan sensitifitas 78,8% dan spesifisitas 72,4%. Performa gabungan skor
MASCC dan prokalsitonin juga menghasilkan kalibrasi Hosmer-Lameshow dengan p>0,05
dan AUC sebesar 0,901 (IK95% 0,827-0,974).
Kesimpulan. Dapat disimpulkan bahwa MASCC merupakan instrumen yang baik untuk
mendeteksi komplikasi perawatan pada pasien dengan FN yang tidak terkait kemoterapi.
Gabungan antara MASCC dan PCT didapatkan hasil yang bermakna dalam prediktor
komplikasi dengan validasi baik.

Background. Neutropenia patients who are not due to side effects of chemotherapy are
increased. Neutropenia increases the risk of infection. Several complications risk assessment
systems are used for antibiotic therapy in patients with post-chemotherapy neutropenia. There
are no studies in neutropenic fever patients who are not due to chemotherapy drugs. This
study aims to validate and assess the performance of the MASCC score and the addition of
procalcitonin in the neutropenia fever population not related to chemotherapy.
Methods. The study was conducted on the medical records of 68 neutropenic fever patients
who were not chemotherapy-related in the National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo in
January 2018-November 2019. The calibration validation was assessed using Hosmer-
Lameshow and description with ROC.
Results. There are variations in MASCC scores and procalcitonin scores in the study subjects.
The median MASCC score is 21 (18-24). The median procalcitonin subject was 1.99 ng / mL
(0.72 - 10.60). MASCC's performance resulted in a good calibration of p> 0.05 and area
under curve (AUC) of 0.888 (IK95% 0.813 - 0.962, p = 0.000). Procalcitonin showed AUC of
0.797 (IK95% 0.683 - 0.911, p = 0.000), the cut point 1.67 with a sensitivity of 78.8% and
specificity of 72.4%. The combined performance of MASCC and procalcitonin scores also
resulted in Hosmer-Lameshow calibration with p> 0.05 and AUC of 0.901 (IK95% 0.827-
0.974).
Conclusion. It can be concluded that MASCC is a good instrument for detecting treatment
complications in patients with FN that are not chemotherapy related. The combination with
PCT has significant results
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mufqi Handaru Priyanto
"Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan luka kronik pada pasien diabetes melitus (DM). Vitamin D dipercaya memiliki peran penting pada diferensiasi, proliferasi, pertumbuhan sel, dan modulasi sistem imunitas sehingga kadar yang optimal dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Defisiensi vitamin D juga diduga mengganggu produksi dan sekresi insulin sehingga berkontribusi pada kronisitas UKD. Penelitian bertujuan membandingkan kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD; serta untuk mengetahui korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) dengan kadar vitamin D. Serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) dianalisis menggunakan in-vitro chemiluminescent immunoassay (CLIA). Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan tujuan penelitian. Perbandingan nilai median (Q1-Q3) kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD secara berurutan adalah 8,90 ng/mL (6,52-10,90) dan 16,25 ng/mL (13-19,59), serta bermakna secara statistik (p<0,001). Tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D, serta tidak bermakna secara statistik. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D pada pasien DM dengan UKD lebih rendah dibandingkan pasien tanpa UKD. Namun belum ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D.

Diabetic foot ulcers (DFU) are chronic wounds in patients with diabetes mellitus (DM). Vitamin D believed have important role in differentiation, proliferation, cell growth, and immune system modulation hence optimal levels are needed for wound healing. Vitamin D deficiency also thought to interfere insulin production and secretion, thereby contributing to DFU chronicity. This study aims to compare vitamin D levels in DM patients with and without DFU; and determine the correlation between DFU duration and severity by PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) score to vitamin D levels. 25-hydroxyvitamin D serum analyzed using in-vitro chemiluminescent immunoassay. Appropriate statistical analysis was done following the study. Comparison of median values ​​(Q1-Q3) vitamin D levels in DM patients with and without DFU were 8.90 ng/mL (6.52-10.90) and 16.25 ng/mL (13-19.59) respectively, and statistically significant (p<0.001). There was no correlation between DFU duration and severity PEDIS score to vitamin D levels, and it was not statistically significant. The results of this study indicate that vitamin D levels in DM patients with DFU are lower than patients without DFU. However, there is not enough evidence to conclude that there is no correlation between DFU duration and severity by PEDIS score to vitamin D levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eliza Miranda
"Diabetes sering menyebabkan komplikasi ulkus kaki diabetik (UKD) yang penyembuhannya terhambat pada fase inflamasi dan terjadi gangguan pada pembentukan jaringan granulasi. LL-37 memiliki aktivitas antimikrobial, memicu angiogenesis, serta migrasi dan proliferasi keratinosit. Penelitian ini menganalisis pengaruh krim LL-37 terhadap kecepatan penyembuhan UKD derajat ringan dengan mengkaji IL-1a, TNF-a, serta pola dan jumlah kolonisasi bakteri aerob.
Penelitian ini adalah uji klinis buta ganda acak yang dilaksanakan Januari 2020–Juni 2021 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUP Persahabatan, Jakarta. Subjek adalah penyandang UKD tanpa infeksi atau infeksi derajat ringan, berusia 18–60 tahun, ABI 0,9–1,3, luas luka ≥ 2 cm2, kedalaman luka sampai dengan subkutis, dan tanpa infeksi sistemik. Subjek dibagi menjadi kelompok krim LL-37 dan plasebo yang dioles dua kali seminggu selama 4 minggu. Dilakukan pengamatan luka pada akhir minggu dengan metode planimetri dan fotografi digital lalu diolah dengan ImageJ. Subjek diperiksa kadar IL-1a dan TNF-a cairan luka dengan metode ELISA dan kultur bakteri aerob dari apusan luka pada setiap akhir minggu.
Kadar LL-37 cairan luka pada kelompok LL-37 adalah 1,07 (0,37–4,96) ng/mg protein dan plasebo sebesar 1,11 (0,24–2,09) ng/mg protein (p = 0,44). Penurunan luas luka pada hari ke-14, ke-21, dan ke-28 dibandingkan hari ke-1 pada kelompok LL-37 lebih besar daripada plasebo, walaupun tidak bermakna. Pada kelompok LL-37 terjadi peningkatan luas jaringan granulasi yang lebih besar daripada plasebo pada semua hari, walaupun hanya bermakna pada hari ke-14 yaitu 0,95 (±1,34) cm2 pada kelompok LL-37 dibandingkan -0,24 (±1,01) cm2 pada kelompok plasebo (p = 0,020). Terjadi peningkatan indeks granulasi yang secara konsisten lebih besar dan bermakna (p < 0,05) pada kelompok LL-37 dibandingkan plasebo pada semua hari. Tidak terjadi penurunan kadar IL-1a dan TNF-a yang lebih besar pada kelompok LL-37. Pada hari ke-1, frekuensi bakteri aerob terbanyak adalah S. aureus yaitu 37,1% pada kelompok LL-37 dan 45% pada kelompok plasebo. Penurunan jumlah koloni bakteri pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan dengan kelompok LL-37 pada hari ke-28 dibandingkan dengan hari ke-1, walaupun tidak bermakna (p = 0,98).
Simpulan: Kadar LL-37 pada UKD kedua kelompok rendah. Pemberian LL-37 mempercepat penyembuhan UKD tanpa infeksi maupun derajat ringan dengan meningkatkan indeks granulasi. Pemberian LL-37 tidak menurunkan kadar IL-1a dan TNF-a pada UKD. Pemberian LL-37 tidak memengaruhi pola dan jumlah kolonisasi bakteri aerob pada UKD.

Diabetes often causes DFU (diabetic foot ulcer). Wound healing in DFU has prolonged inflammation phase and defective granulation tissue formation. LL-37 has antimicrobial property, induces angiogenesis, and keratinocyte migration and proliferation. This study analyzes the efficacy of LL-37 cream on wound healing rate in DFU with mild infection by examining IL-1a, TNF-a, and aerobic bacteria colonization.
This study was a randomized double-blind controlled trial conducted from January 2020–June 2021 at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUP Persahabatan, Jakarta. Subjects were patients with uninfected DFU or DFU with mild infection according to IDSA, aged 18–60 years old, ABI 0.9–1.3, wound area ≥ 2 cm2, wound no deeper than subcutaneous layer, and without systemic infection. Subjects were divided into the LL-37 cream and placebo cream group which were applied twice a week for 4 weeks. Wounds were measured at the end of every week using planimetric method and digital photography and subsequently processed with ImageJ. The levels of IL-1a and TNF-a from wound fluid were measured using the ELISA method and aerobic bacteria culture was performed using wound swabs.
The level of LL-37 from wound fluid in the LL-37 group was 1.07 (0.37–4.96) ng/mg protein and in the placebo group was 1.11 (0.24–2.09) ng/mg protein (p = 0.44). The decrease in wound area on day 14, 21, and 28 compared to day 1 in the LL-37 group was greater than in the placebo group, although the difference was not significant. In the LL-37 group, there was a greater increase in granulation tissue area than in the placebo group on each day, although the difference was only significant on day 14 which was 0.95 (±1.34) cm2 in the LL-37 group compared to -0.24 (± 1.01) cm2 in the placebo group (p = 0.020). There was a consistently and significantly greater increase in granulation index (p < 0.05) in the LL-37 group compared to placebo group on each day. There was no greater decrease in IL-1a and TNF-a levels in the LL-37 group. On day 1, the highest frequency of aerobic bacteria was S. aureus which was 37.1% in the LL-37 group and 45% in the placebo group. The decrease in the number of bacterial colonies in the placebo group was greater than in the LL-37 group on day 28 compared to day 1, although the difference was not significant (p = 0.98).
Conclusion: The level of LL-37 in DFU was low in both groups. Administration of LL-37 accelerated the healing of uninfected DFU or DFU with mild infection by increasing the granulation index. Administration of LL-37 did not reduce the levels of IL-1a and TNF-a in DFU. Administration of LL-37 did not affect the pattern and number of colonization of aerobic bacteria in DFU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Ulhaq
"Latar belakang: Pemanfaatan modalitas diagnostik terbaru dalam diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan kolangitis akut telah berkontribusi pada penurunan mortalitas yang signifikan. Salah satu modalitas diagnosis kolangitis akut yang dewasa ini banyak digunakan secara luas adalah menggunakan kriteria diagnosis Tokyo. Walaupun demikian, kriteria TG18 masih memiliki spesifisitas yang relatif kurang, sehingga menyebabkan masih cukup tingginya temuan diagnosis positif palsu. Oleh karena itu, diperlukan penanda inflamasi yang lebih spesifik terhadap infeksi, misalnya procalcitonin (PCT), yang diharapkan dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis kriteria TG18. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik dan nilai tambah pemeriksaan kadar prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut. Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di Unit Gawat Darurat, rawat jalan, dan Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan April sampai Desember 2022. Penelitian ini melibatkan 84 pasien ikterus obstruktif yang direncanakan untuk tindakan drainase bilier di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kriteria yang digunakan adalah kriteria TG18. Pemeriksaan baku emas dikatakan positif apabila ditemukan salah satu bukti dari pemeriksaan baku emas, yaitu drainase bilier purulen secara makroskopik pada drainase yang pertama dan kultur bilier positif. Hasil: Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif dari kriteria diagnostik Tokyo 2018 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; dan 0,97.Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kriteria diagnostik prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kombinasi prokalsitonin dan kriteria TG18 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38 Kesimpulan: Kriteria TG18 dengan parameter prokalsitonin tidak terbukti dapat meningkatkan nilai diagnostik dari parameter prokalsitonin secara tunggal dalam mendeteksi kolangitis akut.

Background: Utilization of the latest diagnostic modalities in the diagnosis and management of patients with acute cholangitis has contributed to a significant reduction in mortality. One of the modalities for the diagnosis of acute cholangitis which is widely used today is the Tokyo diagnostic criteria. Even so, the TG18 criteria still have relatively low specificity, resulting in a relatively high number of false positive diagnosis findings. Therefore, a marker of inflammation that is more specific to infection is needed, for example procalcitonin (PCT), which is expected to increase the specificity of the diagnosis of the TG18 criteria. The purpose of this study was to determine the diagnostic accuracy and added value of testing procalcitonin levels in the diagnosis of acute cholangitis. Methods: This prospective observational study with a cross-sectional design was conducted at the Emergency Unit, outpatient care, and PESC of Cipto Mangunkusumo General Hospital from April to December 2022. This study involved 84 patients with obstructive jaundice who were planned for biliary drainage at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The criteria used are the TG18 criteria. The gold standard examination is proven positive if one of the following criteria was noted: namely macroscopic purulent biliary drainage in the first drainage and positive biliary culture.
Results: Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and positive likelihood ratio of TG18 criteria in detecting acute cholangitis were 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; and 0,97, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of procalcitonin in detecting acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of combined procalcitonin and TG18 criteria in the diagnosis of acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Conclusion: TG18 criteria combined with procalcitonin was not found to be superior to procalcitonin only in the diagnosis of acute cholangitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>