Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198460 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susatyo Jati Pratomo
"Pendahuluan: KDOQI menyebutkan infeksi adalah komplikasi utama terkait penggunaan kateter akses hemodialisis jangka panjang. KDOQI merekomendasikan pemasangan kateter vena tunneling (TCC) hemodialisis pada vena jugularis interna (VJI) kanan dengan posisi ujung TCC ditempatkan di atrium kanan dan bukaan lumen arteri menghadap ke mediastinum. Berdasarkan penelitian yang dilakukan angka catheter related bacteremia (CRB) sebesar 35% pada pemakaian 3 bulan dan 54% untuk pemakaian 6 bulan. Posisi ujung TCC akses hemodialisis VJI kiri mempunyai pengaruh terhadap kejadian disfungsi dan infeksi dibandingkan jika terpasang di sisi kanan.
Metode: Dilakukan studi cross sectional dengan 62 subjek pasien hemodialisis menggunakan akses TCC VJI. Dicari hubungan antara posisi pemasangan TCC, posisi ujung TCC dan faktor risiko dengan kejadian terduga CRB menggunakan uji Chi Square dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik dan penghitungan odd ratio (OR) interval kepercayaan 95%. Diambil data posisi pemasangan TCC, posisi ujung TCC, terduga CRB serta karakteristik berupa usia, jenis kelamin serta status DM di RSCM Januari 2018 sampai Januari 2019.
Hasil: Enam puluh dua subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini 45 orang (72,6%) berusia 60 tahun kebawah. Empat puluh satu subjek (66,1%) berjenis kelamin pria. Lima belas subjek menderita DM (24,2%). Posisi ujung TCC yang didapatkan dari 62 subjek tersebut, 39 (62,9%) berada di VKS, 2 (3,2%) pada CAJ
dan 21 (33,9%) pada atrium kanan. Dari 62 subjek tersebut 22 (35,48%) diantaranya mengalami kejadian terduga CRB. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara posisi ujung TCC VJI dengan kejadian terduga CRB (p = 0,92, OR 1,05 dengan IK 95% = 0,35 – 3,08). Usia, jenis kelamin, dan status DM tidak merupakan faktor risiko bermakna secara statistik berhubungan dengan kejadian terduga CRB.
Kesimpulan: Studi ini mendapatkan hasil tidak ada hubungan kemaknaan posisi ujung TCC dan faktor risiko diteliti dengan kejadian terduga CRB.

Introduction: KDOQI stated infection is the main complication of long-term catheter use as hemodialysis access. KDOQI recommends insertion of tunneling venous hemodialysis catheter in the right internal jugular vein (IJV) with the tip placed in the right atrium and the arterial lumen opening facing the mediastinum. Previous study stated that the number of catheter related bacteremia (CRB) is 35% at 3 months use and 54% at 6 months use. The TCC tip position as hemodialysis access in left IJV is correlated more to dysfunction and infection compared to the right IJV.
Method: A cross-sectional study was conducted with 62 subjects of hemodialysis patients using IJV TCC access. The correlation between TCC insertion location, TCC tip position, and risk factors with suspected CRB was analyzed using Chi Square Test. A p value <0.05 was considered statistically significant. The odds ratio (OR) with 95% confidence interval was analyzed. The data of TCC insertion location, TCC tip position, suspected CRB incidence, and subject’s characteristics including age, sex, and DM status were gathered in RSCM from January 2018 to January 2019.
Results: Within 62 subjects included in this study 45 (72,6%) were 60 y.o or less. Forty one (66,1%) subjects were male. Fifteen had DM as comorbid (24,2%). Thirty nine TCC tip position were in SVC (62,9%), 2 were in CAJ (3,2%) and 21 were in (33,9%)RA. Twenty two from 62 had suspected CRB (35,48%). There is no significant correlation between TCC tip position with suspected CRB incidence (p
= 0.92, OR 1,05, 95% CI = 0.35 – 3.08). Age, sex, and DM status were not statistically proven as risk factors of suspected CRB.
Conclusion: There is no significant correlation between TCC tip position and studied risk factors with suspected CRB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oky Noviandry Nasir
"Hemodialisis merupakan tatalaksana renal replacement yang tersering pada pasien gagal ginjal kronik stadium 5, Akses vaskular dan morbiditas sebagai akibat komplikasi akses merupakan penyebab utama perawatan di rumah sakit. Pada tahun 1989 sampai sekarang posisi tip pada pemasangan kateter double lumen masih belum ada keseragaman. Inti dari perbedaan
ini adalah kepentingan terhadap keselamatan pasien dan keinginan untuk kinerja kateter yang optimal dalam hal ini untuk akses hemodialisa yang adekuat. Rancangan penelitian adalah sebuah penelitian prospektif potong lintang terhadap pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa dengan menggunakan CDL tunneling. Penelitian ini merupakan penelitian analitik
korelatif, mencari korelasi antara posisi tip CDL tunneling dengan lancar atau tidak lancarnya selang CDL dan kekuatan tarikan quick blood saat hemodialisa. Hasil yang didapatkan posisi rontgen thorax CAJ lebih memberikan kenyamanan pada pasien dibandingkan dengan posisi
SVC. Uji statistic menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Ro Thorax dengan kenyamanan (p<0.05). Posisi tip di SVC memiliki blood flow <300 mL. sedangkan pada pasien dengan posisi tip di CAJ memiliki blood flow >300 mL. Uji statistic menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara ro thorax dengan blood flow (p>0.05).

Hemodialysis is the most common procedure of renal replacement in patients with stage 5 chronic renal failure, vascular access complications and morbidity as a result of access is a major cause of hospitalization. In 1989 to the present position of the tip of double lumen catheter is still no uniformity. The core of this difference is of interest to patient safety and the desire for optimal performance in terms of catheters for hemodialysis access adequate. The study design was a prospective cross-sectional study of patients with renal failure undergoing hemodialysis using tunneling CDL. This research is a correlative analytic, looking for a correlation between the position of the tunneling tip CDL smoothly or not smooth hose pull quick CDL and force of blood when hemodialysis. The results obtained CAJ thorax X-ray positioning more comfortable for patients compared to the SVC. Statistical test shows that there is a significant relationship between Ro Thorax with comfort (p <0.05). Position tip at SVC have blood flow <300 mL. whereas in patients with tip position in the CAJ have blood flow> 300 mL. Statistical tests showed no significant association between ro thorax with blood flow (p> 0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Wahyu Hidayat
"Latar Belakang : Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) stadium 5 memerlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Pemasangan akses vaskular untuk hemodialisis pada tahap awal adalah melalui catheter double lumen (CDL) vena sentral. Posisi ujung distal kateter hemodialisis jangka panjang menjadi hal yang penting untuk efisiensi dialisis jangka panjang. Penelitian mengenai pengaruh posisi ujung kateter CDL terhadap kejadian disfungsi CDL jangka panjang belum banyak dilakukan, terutama di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat retrospektif kohort dan dilaksanakan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Hermina Bekasi selama bulan September hingga November 2023. Hasil: Terdapat 36 subjek penelitian yang memenuhi kriteria. Pasien gagal ginjal tahap akhir di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Hermina Bekasi sebagian besar terdiri dari perempuan (52,8%), kelompok usia >60 tahun (33,3%), memiliki lama patensi kateter ≥3 bulan (52,8%), letak ujung kateter pada cavoatrial junction (38,9%) dan mengalami disfungsi akibat terbentuknya fibrin sheath (68,3%). Terdapat korelasi derajat sedang yang tidak signifikan secara statistik antara letak ujung kateter dengan lama patensi kateter CDL jangka panjang kurang atau lebih dari 3 bulan (p=0,202). Terdapat korelasi derajat sedang yang tidak signifikan secara statistik antara letak ujung kateter dengan penyebab terjadinya disfungsi kateter CDL yaitu fibrin sheath, trombosis, atau stenosis (p=0,209). Kesimpulan: Penelitian ini menemukan bahwa korelasi antara letak ujung kateter dengan lama patensi CDL jangka panjang atau penyebab terjadinya disfungsi kateter CDL jangka panjang tidak signifikan secara statistik.

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 patients require renal replacement therapy such as hemodialysis. The initial vascular access for hemodialysis is through a central venous double lumen (CDL) catheter. The distal tip position of the long-term hemodialysis catheter is important for long-term dialysis efficiency. Research on the effect of CDL catheter tip position on the incidence of long-term CDL dysfunction has not been widely conducted, especially in Indonesia. Method: This retrospective cohort study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta and Hermina Hospital Bekasi from September to November 2023. Results: There were 36 research subjects who met the criteria. Patients with end-stage renal failure at Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta and Hermina Bekasi Hospital were mostly female (52.8%), aged >60 years (33.3%), had catheter patency ≥3 months (52.8%), catheter tip location at cavoatrial junction (38.9%) and experienced dysfunction due to fibrin sheath formation (68.3%). There was a statistically insignificant moderate correlation between the location of the catheter tip and the duration of long-term CDL catheter patency of less or more than 3 months (p=0.202). There was a statistically insignificant moderate correlation between the location of the catheter tip and the causes of CDL catheter dysfunction, namely fibrin sheath, thrombosis, or stenosis (p=0.209). Conclusion: This study found that the correlation between catheter tip location and the length of long-term CDL patency or the cause of long-term CDL catheter dysfunction was not statistically significant.

"

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Radi Noorsyawal
"Latar Belakang: Secara insidensi, statistik akses vaskular di pada tahun 2009 di Amerika Serikat adalah: 81,8% dengan kateter vena sentral (CVC). KDOQI juga menyarankan pengunaan non cuffed catheter untuk jangka waktu sementara (<2 minggu), namun pada kenyataan nya di Indonesia, masih banyak penderita HD yang menggunakan non cuffed catheter >2 minggu. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah desain kohort historikal. Penelitian dilakukan di Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta periode Januari 2021 sampai dengan November 2023. Dilakukan uji bivariat dan multivariat pada data yang didapat. Hasil: didapatkan 262 sampel penelitian dengan 39 (14.9%) sampel yang mengalami CRBSI dan 223 (85.1%) sampel yang tidak mengalami CRBSI. Variabel yang meningkatkan risiko terjadinya CRBSI adalah durasi pemasangan kateter >2 minggu (p < 0,001), durasi rawat inap >7 hari (p < 0,001) , lokasi kateter di femoral (p = 0,005), dan lokasi tindakan bedside (p < 0,001). Dari uji multivariat didapatkan durasi pemasangan kateter >2 minggu memiliki peningkatan risiko mengalami CRBSI sebesar 14 kali lipat dibanding durasi  2 minggu. Durasi rawat inap >7 hari memiliki risiko 71 kali lipat mengalami CRBSI dibanding durasi  7 hari. Lokasi kateter di femoral memiliki peningkatan risiko mengalami CRBSI sebesar 10 kali lipat dibanding lokasi di jugular. Lokasi tindakan bedside memiliki peningkatan risiko mengalami CRBSI sebesar 54 kali lipat disbanding tindakan di ruang operasi. Kesimpulan: Angka kejadian CRBSI pada penderita yang menjalani hemodialisa dengan non-cuffed catheter durasi ≤2 minggu secara bermakna lebih rendah dibandingkan durasi >2 minggu. Faktor yang mempengaruhi kejadian CRBSI pada penderita yang menjalani hemodialisa dengan non-cuffed catheter adalah lokasi tindakan pada bedside, lokasi pemasangan kateter pada vena femoralis, dan lamanya rawat inap >7 hari.

Backgrounds: In terms of incidence, vascular access statistics in 2009 in the United States were: 81.8% with central venous catheters (CVC). KDOQI also recommends using non-cuffed catheters for a temporary period (<2 weeks), but in reality in Indonesia, there are still many HD sufferers who use non-cuffed catheters for >2 weeks. Methods: The research design used was a historical cohort design. The research was conducted in the Medical Records of the National Central General Hospital, dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta for the period January 2021 to November 2023. Bivariate and multivariate tests were carried out on the data obtained. Results: There were 262 samples with 39 (14.9%) samples with CRBSI and 223 (85.1%) samples without CRBSI. Variables that increase the risk of CRBSI are duration of catheter placement >2 weeks (p < 0.001), duration of hospitalization >7 days (p < 0.001), femoral catheter location (p = 0.005), and bedside procedure location (p < 0.001) . From the multivariate test, it was found that a duration of catheter placement >2 weeks had an increased risk of experiencing CRBSI by 14 times compared to a duration of 2 weeks. A duration of hospitalization >7 days has a 71 times greater risk of having CRBSI than a duration of 7 days. Femoral catheter locations have increased risk of having CRBSI by 10 times compared to jugular locations. Bedside procedures have increased risk of having CRBSI by 54 times compared to procedures in the operating room. Conclusion: The incidence of CRBSI in patients undergoing hemodialysis with a noncuffed catheter for a duration of ≤2 weeks is significantly lower than for a duration of >2 weeks. Factors that influence the incidence of CRBSI in patients undergoing hemodialysis with a non-cuffed catheter are the location of the procedure at the bedside, the location of the catheter in the femoral vein, and the length of stay >7 days."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuansun Khosama
"

Latar belakang :

Akses vaskular untuk hemodialisis adalah jalur kehidupan bagi pasien gagal ginjal. Pada pasien hemodialisis anak, kualitas hemodialisis yang baik mempengaruhi luaran pasien termasuk proses tumbuh kembangnya. Kualitas hemodialisis dipengaruhi oleh patensi dari akses vaskular.  Catheter double lumen (CDL) sebagai salah satu akses hemodialisis yang sering digunakan perlu dipertahankan patensinya agar dapat mendukung tercapainya blood flow yang ditargetkan. Kejadian trombosis kateter mempengaruhi patensi dari CDL. Alteplase (TPA) digunakansebagai trombolitik untuk trombosis kateter, di samping heparin, streptokinase, dan urokinase.

Subjek dan Metode:

Studi kohort dengan pembanding, subjek penelitian adalah anak berusia 0-18 tahun, mengalami penyakit ginjal kronik (PGK) stadium5, menjalani hemodialisis reguler di RSCM, terpasang CDL dan mengalami trombosis kateter. Analisis statistik dengan uji chi square dan uji t tidak berpasangan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS version 20 for Windows.

Hasil :

Selama periode Januari 2014 sampai September 2019 terdapat 66 subjek yang memenuhi kriteria; pada kelompok terekspos terdapat 25 subjek (56,8%) laki-laki dan 19 subjek (43,2%) perempuan dengan dasar penyakit 28 subjek (63,6%) anatomis dan 16 subjek (36,4%) inflamasi. Pada kelompok tidak terekspos terdapat 6 subjek (50%) laki-laki dan 6 subjek (50%) perempuan dengan dasar penyakit 9 subjek (75%) anatomis dan 3 subjek (25%) inflamasi. Uji chi square menunjukkan keberhasilan trombolitik alteplase dengan nilai p signifikan (p=0,001).  Interpretasi kekuatan pengaruh berdasarkan Odd ratio mendapatkan bahwa pemberian alteplase dapat meningkatkan keberhasilan trombolitik 10.6 kali lebih besar dibandingkan tanpa alteplase. Penggunaan alteplase memberikan efisiensi biaya sebesar 37,10% terhadap kejadian trombosis kateter. Tidak ada kejadian efek samping yang dilaporkan pada penggunaan alteplase pada studi ini.

Kesimpulan:

Penggunaan alteplase 2mg/ml efektif dalam mengembalikan blood flow pada pasien hemodialisis anak yang mengalami trombosis kateter. Penggunaan alteplase memberikan efisiensi biaya dan minimal efek samping.


Background  :

Vascular access for hemodialysis is a life line for end stage renal disease patient. In pediatric patients, the quality of hemodialysis affect the output include their growth and development. The quality of hemodialysis is influenced by the patency of access. Catheter double lumen (CDL) as one of the most commonly used hemodialysis access needs to be maintained in order to support the achievement of targeted blood flow. Catheter thrombosis affects CDL patency. Alteplase (TPA) is used as thrombolytic agent for catheter thrombosis, in addittion to heparin, streptokinase, and urokinase.

Methods :

 A cohort study with comparison, subject of study are children aged 0-18 years old, chronic kidney disease stage 5 who underwent regular hemodialysis at RSCM with double lumen catheter and had an thrombotic episode. Statistical analytic with chi square and unpaired t-test. Testing is done using software SPSS version 20 for Windows.

Result :

From January 2014 to September 2019 we found 66 subjects that fullfil the inclusion criteria, in the exposed group there are 25 subjects (56,8%) male and 19 subjects (43,2%) female with the basic disease 28 subjects (63,6%) anatomical and 16 subjects (36,4%) inflamation.  In the unexposed group there are 6 subjects (50%) male and 6 subjects (50%) female with the basic disease 9 subjects (75%) anatomical and 3 subjects (25%) inflamation. Chi square test show the success of alteplase as the thrombolitic with significance p value (p=0,001). Interpretation of influence strength based on odd ratio shows that alteplase could increased the successful of thrombolytic 10.6 higher than non-exposed group. The use of alteplase provides cost efficiency of 37,10%  for the incidence of thrombosis catheter. There is no side effect of alteplase that had been reported on this study.

Conclusion :

The use of alteplase 2mg/ml is effective in restoring blood flow in hemodialysis patients with catheter thrombosis.  The use of alteplase provides cost efficiency and minimal side effects.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Epi Rustiawati
"Adekuasi hemodialisis tercapai dengan terpenuhinya dosis sesuai kebutuhan pasien untuk mendukung pasien mampu hidup secara optimal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan dosis dengan adekuasi pada pasien yang menjalani hemodialisis di RSUD Serang Banten.
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi melibatkan 46 pasien hemodialisis dengan tehnik purposive sampling. Variabel penelitian ini meliputi durasi HD, quick of blood, dan adekuasi dengan perhitungan rumus Kt/V.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara durasi HD dengan adekuasi hemodialisis. Rerata adekuasi hemodialisis pasien 1,6. Seluruh pasien menjalani hemodialisis dengan frekuensi 2 kali per minggu dengan durasi HD 4-5 jam, quick of blood 200-265 ml/mt.
Hasil pemodelan menunjukan durasi HD berkontribusi paling besar terhadap adekuasi setelah dikontrol oleh jenis kelamin, ukuran tubuh, lama menjalani terapi, akses vaskuler, dan dialiser pengunaan ulang. Perawat perlu memperhatikan pengaturan durasi HD untuk mencapai adekuasi hemodialisis yang optimal.

The adequacy of hemodialysis can be achieved by meeting the needs of hemodialysis patients given, in order that the patients able to life optimally. The purpose of this research was to identify the correlation between dose with adequacy on patients undergoing hemodialysis at RSUD Serang Banten.
Description correlation involved 46 patients hemodialysis with technical purposive sampling. This study observed the duration of hemodialysis, quick of blood, and adequacy with Kt/V formula.
There was significant corelation between the duration of hemodialysis and adequacy. The average of hemodialysis adequacy patients 1,6, twice per week by 4 - 5 hours, quick of blood 200-265 ml/mt.
The modelling result that duration of hemodialysis the most contributed to the adequacy after being controlled by sex, body size, vintage of hemodialysis therapy, vascular access, and dialyzer reuse. The nurses need to pay attention to the duration to achieve optimal adequacy hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmadu Muradi
"Introduction: Central venous stenosis (CVS) or occlusion is a severe complication in hemodialysis patients, which significantly decreases the patency of all vascular dialysis access components, including arteries and branches, AV anastomosis, peripheral veins, and central veins. The main etiology of CVS is mostly secondary to the placement of temporary or permanent dialysis catheters in the subclavian vein, internal jugular vein, and femoral vein. Standard endovascular therapy for central venous stenosis is conventional balloon angioplasty. Method: This is a retrospective study using medical records from June 2013 to August 2018. Patients who underwent plain old balloon angioplasty (POBA) procedures in the CVS condition due to the installation of hemodialysis catheter access were included in this study. The analysis was performed to assess the characteristics and data distribution of each variable. Results: Significant factors related to the success of endovascular procedure in patients with central venous stenosis with POBA were the onset of clinical symptoms (<3 months; p <0.001), duration of catheter placement (<2.5 months; p <0.001), history of previous catheter placement (no more than once, p <0.001), initial stenosis (<80; p <0.001), and diameter of POBA (≥ 10 mm; p <0.001). Conclusion: Some factors influenced the success of the POBA procedure for overcoming CVS. The need to understanding the use of hemodialysis catheter access according to the guideline is important."
Jakarta: PESBEVI, 2020
616 JINASVS 1:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ginjal adalah organ vital yang sangat penting untuk mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Fungsi ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa, kegagalan ginjal dalam melakukan fimgsinya menyebahkan keadaan yang disebut uremia atau penyaldt ginjal. Gagal ginjal stadium akhir/terminal merupakan keadaan yang paling parah dengan karakterislik CCT 5 - 10 ml/mnt, GFR 10 %, BUN meningkat, urine isoosmosis dengan beratjenis tetap sebesar 1,010, ginjal tidak dapat menjalani fungsinya dan bila tidak dilakukan tindakan akan menyebabkan kematian. Salah satu cara memperbaiki kualitas atau memperpanjang hidup klien, dilakukan hemodialisis yang mana dilakukan secara kontiyu seumur hidup. Frekwensi dilakukan hemodialisa bervariasi, tergantung dari tingkat kerusakan ginjal, ukuran badan (BB), Iaju aliran darah klien (Black & Jacobs, 1997).
I-lemodialisa dilakukan dilakukan selama empat s/d 5 jam dengan frekwensi dua sampai tiga kali seminggu (Whitwonh, 1987). Lamanya menjalani hemodialisa dan frekwensi pelaksanaan hemodialisa dapat menjadi sumber stressor yang merupakan ancaman terhadap integritas klien meliputi ketidakmampuan fisiologis dimasa yang akan datang (Stuart & Sundeen, 1998). Disamping juga adanya paparan alat/ unit dialisa yang mempakan salah satu stressor terhadap klien, disamping lingkungan dan perawat (Lazarus & Folkrnan, 1984 dalam Welch, 2000). Yang dapat menyebabkan kecemasan bagi klien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara lama dan frekwensi menjalani hemodialisa terhadap tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa pada klien GGK Desain yang digunakan adalah deskriptifkorelasi. Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 4 - 10 Desember 2001 di Ruang hemodialisa RSUPN CM. Jakarta, dengan metode purposive sampling dan jumlah sampel sebanyak 30 orang _ Hasil analisa terhadap seluruh data yang masuk menunjukkan bahwa ada hubungan positif sangat rendah dan tidak bermakna antara lama dan frekwensi dilakukan hemodialisa terhadap tingkat kecemasan terkait alat/unit dialisa pada klien GGK dilakukan hemodialisa Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini masih diperlukan Secara lebih spesifik. Namun berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Perlunya uji realibilitas dan validitas intrumen untuk mendapatkan data yang lebih terukur dan valid dan menghindari kesalahan dalam pengolahan data. Sampel penelilian perlu diperbanyak atau disesuaikan dengan populasi yang ada agar dapat memperkuat generalisasi hasil data yang diperoleh. Kriteria sampel penelitian diperjelas dan dipertegas guna men gurangi kesalahan pengambilan sampel akibat subjektifitas yang tinggi. Perlunya pemilihan desain yang lebih tepat dalam mengolah data yang diperoleh. Bagi praktik keperawatan, penelitian ini dapat menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien GGK yang dilakukan hemodialisa, dimana lamanya menjalani hemodialisa dan frelnvensi dilakukan hemodialisa dapat mernpengaruhi tingkat kecemasan pada klien spesilik kecemasan yang terkait dengan penggunaan alat I unit dialisa "
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA5023
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arles
"Telah dilakukan penelitian secara before and after terhadap pasien HD kronik antara bulan Mei 1997 - Juli 1997 di Subbagian Ginjal Hipertensi, SMF llmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sistem koagulasi akibat hemodialisis. Setelah melalui proses eksklusi terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem koagulasi, diteliti 30 subyek yang terdiri dari 20 laki-laki (66,6%) dan 10 perempuan (33,3%). Umur termuda 13 tahun dan tertua 71 tahun dengan rerata 45,5; 13,5 tahun.

A before and after study has been conducted on chronic HD patients between May 1997 - July 1997 in the Hypertension Kidney Subdivision, SMF llmu Internal Medicine FKUI / Dr.Cipto Mangunkusumo Hospital. This study aims to determine the changes in the coagulation system as a result of hemodialysis. After going through the process of exclusion of factors that can affect the coagulation system, 30 subjects consisting of 20 male (66.6%) and 10 female (33.3%). The youngest age is 13 years old and the oldest is 71 years old with an average of 45.5; 13.5 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>