Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71061 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa
"Latar belakang: Nyeri pascabedah ortopedi ekstremitas bawah masih menjadi masalah yang berkaitan dengan risiko pascabedah dan lama perawatan di rumah sakit. PCA intravena morfin dan oxycodone masih belum dikaji lebih jauh sebagai analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas PCA intravena morfin dengan oxycodone untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah. Subjek penelitian berjumlah 50 orang yang didapatkan dengan consecutive sampling selama Januari-April 2019. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, dirandomisasi menjadi kelompok morfin dan kelompok oxycodone. Efektivitas dinilai dengan banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pascabedah dan efek samping antara 2 kelompok. Penilaian derajat nyeri diam dan bergerak pada jam ke-0, 6, 12, dan 24 dengan menggunakan Visual Analogue Score (VAS) dan kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga dinilai untuk komponen penilaian tambahan. Hasil dianalisis dengan SPSS.
Hasil: Seluruh subjek penelitian menyelesaikan penelitian dan tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang signifikan antara 2 kelompok. Banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pertama pascabedah antara 2 kelompok (p 0,574) dan kejadian efek samping antara 2 kelompok tidak berbeda. Derajat nyeri istirahat dan bergerak juga tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna (p 0,109 ; 0,163). Kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga tidak berbeda bermakna, namun secara umum pasien puas dengan penggunaan PCA, dan kepuasan pasien pada PCA oxycodone (76%) lebih banyak dibanding PCA morfin (52%)
Simpulan: PCA intravena oxycodone tidak lebih efektif dibandingkan PCA intravena morfin untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah pada penelitian ini. Pasien yang setuju dengan penggunaan PCA sebanyak 30 subjek, tidak ada perbedaan signifikan antara 2 kelompok.

Background: Postoperative pain after lower extremity orthopedic surgery may increase morbidity after surgery and prolong the length of hospitalization. The study investigating effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone has not been extensively studied for managing pain after lower extremity orthopedic surgery.
Methods: This study is a double-blind randomized study clinical trial to evaluate effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery. Total of 50 subjects were enrolled with consecutive sampling within January-April 2019. Subjects were randomly allocated into 2 groups, received intravenous PCA morphine or intravenous PCA oxycodone. Post-operative opioid consumption in 24 hours and side effects were considered the primary efficacy variable. Pain scores were measured using Visual Analogue Score (VAS) at time 0, 6, 12, and 24 after surgery. Patient satisfaction in both groups was also evaluated. Data was analyzed statistically using SPSS.
Results: All the subjects done this study. There were no differences in the characteristics of both groups. Opioid consumption between two groups no significantly different (p 0,574) and incidence of side effects between two groups were similar. Pain scores during rest and move also no significant differences (p 0,109 ; 0,163). Patient satisfaction no significant difference, but almost patient satisfied with using PCA, while group oxycodone (76%) higher than group morphine (52%).
Conclusion: Intravenous PCA oxycodone had no more effective than intravenous PCA morphine for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery in this study. Patient satisfaction was higher in group oxycodone than in group morphine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cipta Suryadinata
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi meningkatkan morbiditas, komplikasi pulmonal dan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit. Teknik anestesia perioperatif dapat meningkatkan manajemen nyeri dan tingkat kepuasan pasien. Anestesia epidural dapat dikombinasikan dengan ajuvan untuk meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi analgesia, mengurangi kebutuhan opiod dan efek sampingnya. Morfin memberikan kualitas analgesia yang baik tapi berkaitan dengan sering munculnya efek samping. Deksametason merupakan glukokortikoid yang dapat digunakan sebagai ajuvan anestesia epidural. Penelitian ini mencoba mengetahui perbandingan efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas penambahan ajuvan deksametason 8 mg dan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 64 subyek dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen epidural bupivakain 0,125 12,5 mg deksametason 8 mg kelompok bupivakain-deksametason dan bupivakain 0,125 12,5 mg morfin 2 mg pascaoperasi kelompok bupivakain-morfin . Subyek kemudian mendapatkan anestesia umum tanpa pemberian regimen epidural intraoperatif. Sesaat sebelum operasi belum selesai subyek diberikan parasetamol 1 gr iv. PCA morfin pascaoperasi diberikan bila VAS >4. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan opioid, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan, rerata derajat nyeri dan efek samping analgesia epidural pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi.Hasil: Kebutuhan opioid 24 jam pascaoperasi, saat pertama membutuhkan analgesia tambahan dan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil tidak berbeda bermakna dengan nilai p 0,701, 0,729, dan 0,817. Kejadian mual/muntah didapatkan pada kelompok bupivakain-morfin 1,6 .Simpulan: Penambahan ajuvan deksametason 8 mg memiliki efektivitas yang sama dengan penambahan morfin 2 mg pada bupivakain 0,125 12,5 mg epidural untuk analgesia pascaoperasi ekstremitas bawah. Dosis deksametason 8 mg tidak berkaitan dengan timbulnya efek samping.Kata Kunci: ekstremitas bawah, pascaoperasi, epidural, bupivakain, morfin, deksametason, nyeri

ABSTRACT
Background Post operative pain enhances morbidity, pulmonary complications and increases hospital length. The technique of perioperative anesthesia can improve pain management and patient satisfaction. Epidural anesthesia can be combined with adjuvants to improve the quality of analgesia, prolong the duration analgesia, reduce opioid requirements and side effects. Morphine provides good quality analgesia but it associated with adverse effects. Dexamethasone is a glucocorticoid that can be used as an adjuvant of epidural anesthesia. This study attempt to determine the effectiveness comparison of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg addition as adjuvants in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity.Methods In this double blinded randomized clinical trial, we evaluate the effectiveness of adjuvant addition of dexamethasone 8 mg and morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12,5 mg epidural for post operative analgesia of the lower extremity surgery. After obtaining permission from the ethic committee and informed consent, a total 64 subjects with consecutive sampling were randomly allocated to two groups to receive a total volume of 10 ml epidural plain bupivacaine 0,125 12,5 mg with either 8 mg dexamethasone in the bupicaine dexamethasone group or 2 mg morphine in bupivacaine morphine group. Subjects then receive general anesthesia without epidural regimen administration intraoperatively. Shortly before the end of operation subjects were given intravenous paracetamol 1 gr. Patient Controlled Analgesia PCA of morphine was given when Visual Analog Scale VAS 4. Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement, pain score and adverse effects in both group were recorded within the first 24 hours postoperatively.Result Post operative opioid consumption, the time to first analgetic requirement and pain score between the two groups showed no significant difference with p value respectively 0.701, 0.729 and 0.817. The incidence of nausea vomiting was found in the bupivacaine morphine group 1,6 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg had the same effectiveness as morphine 2 mg in bupivacaine 0,125 12.5 mg epidural for post operative analgesia in the lower extremity surgery. Dosage of dexamethasone 8 mg was not associated with adverse events.Keywords lower extremity, post operative, epidural, bupivacaine, morphine, dexamethasone, pain "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy
"Latar Belakang. Nyeri pascaoperasi abdomen bawah merupakan salah satu komplikasi yang sering dikeluhkan pasien. Walaupun intensitasnya lebih rendah dibandingkan nyeri pascaoperasi abdomen atas, tetapi prosedur pembedahan ini lebih sering dilakukan di rumah sakit. Penggunaan gabapentin sebagai analgesia preemtif yang diberikan dua jam sebelum operasi dilaporkan dapat mengurangi nyeri pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan analgesia pascaoperatif pada pasien yang menjalani pembedahan. Penelitian mengenai efektivitas gabapentin oral sebagai analgesia preemtif pada operasi abdomen bawah belum pernah dilakukan di Indonesia. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda terhadap 72 subjek yang didapatkan dengan consecutive sampling pada November 2019 – Februari 2020 di RSU Kabupaten Tangerang. Subjek yang memenuhi kriteria dirandomisasi menjadi dua kelompok untuk mendapatkan regimen analgesia preemtif gabapentin 600 mg oral atau plasebo dua jam sebelum insisi. Pasien dilakukan penilaian kebutuhan morfin, derajat nyeri, saat pertama membutuhkan morfin, dan efek samping pada kedua kelompok dalam 24 jam pertama pascaoperasi. Analisis hasil menggunakan uji general linear model (GLM) dan anova untuk pengukuran berulang dan Mann-Whitney U. Hasil. Uji GLM menunjukkan ada perbedaan bermakna pada total kebutuhan morfin dalam 24 jam pascaoperasi antara kelompok gabapentin (2,47±1,90 mg) dengan plasebo (5,33±1,97 mg; p<0,001). Derajat nyeri saat istirahat dan bergerak saat pulih sadar, 2 jam, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok didapatkan hasil berbeda bermakna dengan p<0,05. Uji Mann-Whitney menunjukkan ada perbedaan bermakna pada saat pertama subjek membutuhkan morfin untuk rescue analgesia antara kelompok gabapentin (161,5 [25 – 990] menit) dengan plasebo (67,5 [10 – 371] menit) dengan p<0,001. Kejadian mual pada kelompok gabapentin didapatkan lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo. Simpulan. Gabapentin 600 mg oral lebih efektif dibandingkan plasebo sebagai analgesia preemtif pada operasi abdomen bawah nonobstetrik. Kejadian mual lebih sedikit pada pemberian analgesia preemtif gabapentin.

Background. Lower abdominal postoperative pain is one of the most common postoperative complications reported by the patients. Although the pain intensity is lower than upper abdominal postoperative pain, lower abdominal surgery procedures are more often conducted in the hospital. Gabapentin therapy as preemptive analgesia given two hours before surgery has been reported to reduce postoperative pain and decrease postoperative analgesia requirements. There have been no studies in Indonesia reporting the effectiveness of oral gabapentin as preemptive analgesia to reduce lower abdominal postoperative morphine requirements. Method. Double-blind randomized clinical trial was conducted from 72 subjects by consecutive sampling on 2019 November-2020 February at Tangerang District General Hospital. Subjects fulfilling criteria were randomized into two groups and were given gabapentin 600 mg orally or placebo two hours before incision. Patients’ morphine requirements, pain scale at the first time morphine administration, and side effects on two groups on the first 24 hour postoperative were assessed. Result analysis was conducted using general linear model (GLM) and anova for repeated measurements and Mann-Whitney U. Result. GLM showed that there was significant difference on first 24-hour postoperative total morphine requirements between gabapentin group (2.47±1.90 mg) and placebo group (5.33±1.97 mg; p<0.001). Pain scale at rest and movement while on recovery, 2 hours, 6 hours, 12 hours, and 24 hours after surgery were significantly different between two groups with p<0.05. Mann-Whitney test showed significant different results for the first time patient requiring morphine as rescue analgesia between gabapentin group (161.5 [25 – 990] minutes) and placebo group (67.5 [10 – 371] minutes) with p<0.001. Nausea events on gabapentin group was reported lower than placebo group. Conclusion. Gabapentin 600 mg orally is more effective than placebo as preemptive analgesia for nonobstetric lower abdominal surgery. Nausea events were reported lower when gabapentin given as preemptive analgesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yasir Mustafa Banadji
"Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani
dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan
menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin,
gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut
pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan
multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik.
Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk
menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan
sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian,
untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler
asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan
asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan
formularium nasional.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai
efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk
analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria
inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua
kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi
bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek
mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15
mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang
setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC
saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k-
12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat
pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24
jam pertama pascabedah.
Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak
berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6,
12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue
selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32
subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan
saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit
pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok
asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%).
Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan
asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada
pasien pediatrik.

Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled
due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain
treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism,
cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological
dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below
umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional
anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for
analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite
effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as
acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto
Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted
due to National Drugs Regulation.
Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness
of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15
mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric
patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour
subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and
injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the
subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole
15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was
given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest
and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h,
6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first
time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for
24 hours post-operative.
Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully
recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not
significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative
in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue
in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300
to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in
acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting:
25% vs 12.5%)
Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to
acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical
surgery in pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nismaya Sari Dewi
"Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg.
Disain : Uji klinis acak tersamar ganda
Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi.
Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok
Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.

Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5%
Design : Double blind, randomized clinical study.
Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS.
Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression.
Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pryambodho
"Latar belakang: Teknik CIEA untuk analgesia persalinan belum banyak digunakan dibandingkan teknik ILA yang sudah lebih populer. Secara teori teknik CIEA dapat memberikan analgesia yang lebih stabil dibandingkan ILA. Untuk itu dilakukan uji klinis prospektif untuk membandingkan keefektifan teknik CIEA menggunakan pompa infus portabel dengan teknik ILA sebagai kontrol.
Metode: Sebanyak 72 parturien yang memenuhi krnteria penerimaan dibagi secara randomisasi menjadi 2 kelompok yaitu 36 parturien mendapat teknik ILA menggunakan ropivakain 3,75mg plus martin 0,2mg sedangkan 36 Iainnya mendapat teknik CIEA menggunakan ropivakain O,15% plus fentanil 2 µglmL untuk analgesia persalinan. Dilakukan pencatatan berkala sejak sebelum tindakan sampai 12 jam pasca tindakan penelitian terhadap variabel-variabel visual analogue pain scale (VAPS), skor Bromage, efek samping yang ditimbulkan (hipotensi, gangguan buang air kecil, pruritus dan mual-muntah), lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan, dan tingkat kepuasan parturien.
HasiI: Secara deskriptif teknik CIEA menghasilkan nilai median VAPS yang lebih rendah dibandingkan ILA untuk menit ke 30,60,120,300 dan kala II ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; dan 3 vs 6). Teknik CIEA menghasilkan skor Bromage 0 yang lebih besar dibandingkan ILA namun secara statistik tidak berbeda bermakna (83,3% vs 77,8%, p>0,05). Teknik CIEA menghasilkan efek samping yang pada umumnya lebih sedikit dibandingkan teknik ILA (hipotensi 0% vs 6,3%; gangguan buang air kecil 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; mual-muntah 63,3% vs 96,9%) namun secara statistik hanya efek samping mual-muntah yang berbeda bermakna (p<0,05). Lama persalinan kala I (230,54 menit) pada teknik CIEA Iebih panjang dibandingkan ILA (194,00 menit) namun tidak berbeda bermakna. Demikian pula halnya pada lama persalinan kala II (27,89 menit pada CIEA vs 38,47 menit pada ILA). Banyaknya persalinan pervaginam pada CIBA (77,8%) walaupun lebih kecil tetapi tidak berbeda bermakna dengan ILA (83,3%). Persalinan spontan pervaginam tanpa instrumenlasi pada CIEA (85,7%) lebih banyak dibandingkan ILA (76,7%) namun secara statistik juga tidak berbeda bermakna. Skor APGAR >7 pada menit pertama untuk bayi yang dilahirkan dengan teknik CIEA (94,4%) relatif sama dengan ILA (91,7%), sedangkan untuk skor APGAR menit kelima pads kedua kelompok tersebut semuanya >7 (100% vs 100%). Tingkat kepuasan parturien pada kelompok CIEA (92,9% puas sampai dengan puas sekali) juga tidak berbeda bermakna dengan kelompok ILA (86,7%).
Kesimpulan: Teknik CIEA lebih efektif untuk mengatasi nyeri persalinan sejak menit ke 30 pasca tindakan sampai dengan kala II dibandingkan teknik ILA.Teknik CIEA menghasilkan efek samping hipotensi, pruritus dan gangguan buang air kecil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan ILA, sedangkan efek samping muaI-muntah pada CIEA Iebih rendah dibandingkan ILA dan berbeda bermakna. Teknik CIEA menghasilkan efek blok motorik, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan dan tingkat kepuasan parturien yang tidak berbeda bermakna dengan ILA.

Background; CIEA for labor analgesia is rarely done eventhough theoretically it could provide more stable level of analgesia compared with ILA as the most popular technique in Indonesia. This prospective randomized controlled trial compared the efectivity of CIEA using ambulatory infusion pump for labor analgesia with ILA as control.
Method: Seventy two parturients was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups, each had 36 parturients. One group received ILA using ropivacaine 3,75 mg plus morphin 0,2 mg and the other received CIEA using ropivacaine 0,15% plus fentanyl 2 .tglmL. Some variables were recorded from preanesthetic procedures to 12 hours post procedures, including visual analogue pain scale (VAPS), Bromage score, side effects (hypotension, retensio urine, pruritus, and nausea-vomiting), duration of labor, mode of labor, APGAR score of newborn, and the level of parturients' satisfaction.
Result: Descriptively, CIEA group showed smaller median value of VAPS at 30,60,120,300 minutes and second stage of labor, compared with ILA ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; and 3 vs 6): CIEA group showed more parturient with Bromage score null than ILA group, but statistically indifferent (83,3% vs 77,8%, p>0,05). CIEA group showed less side effects than ILA group (hypotension 0% vs 6,3%; retensio urine 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; nausea-vomiting 63,3% vs 96,9%), however only nausea-vomiting variable that showed significan difference (p<0,05). Duration of the first stage of labor (230,54 minutes) in CIEA group was longer but statistically indifferent with ILA group (194,00 minutes)_ Duration of the second stage of labor was also statistically indifferent (CIEA 27,89 minutes vs ILA 38,47 minutes). The number of vaginal delivery in CIEA group (77,8%) was less than ILA group (83,3%) but indifferent. The number of spontaneus vaginal delivery (uninstrumented) in CIEA (85,7%) was higher than ILA group (76,7%) but indifferent. The newborn's APGAR score more than 7 at the first minute in CIEA group (94,4%) looked similar to ILA group (91,7%), while the APGAR score more than 7 at the fifth minute for both groups are 100%. The level of parturients' satisfaction also showed indifferent (in CIEA group 92.9% parturients was satisfied to very satisfied vs ILA 86,7%).
Conclusion: CIEA technique was more efective than ILA to reduce labor pain from minute 30 post procedure to the second stage of labor. CIEA technique showed indifferent in hypotension, pruritus, and retensio urine, as side effects of labor analgesia compared with ILA, but CIEA produced significantly less nausea-vomitting than ILA. CIEA technique produced the same level of motoric blockade, duration of labor, mode of labor, newborn's APGAR score, and the level of parturients' satisfaction as ILA technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
"Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM.
Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian.
Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3).
Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat.

Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence.
Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration.
Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3).
Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Immaculata Astrid Budiman
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal masih menjadi hal yang mengganggu bagi sebagian besar pasien. Nyeri pascaoperasi ini dapat diatasi dengan berbagai cara, salah satunya dengan penggunaan anestetik lokal. Obat anestetik lokal yang sering digunakan sebagai analgesia pascaoperasi mata adalah bupivakain 0,5 . Teknik penggunaan anestetik lokal sebagai analgesia pascaoperasi mata pun beragam, salah satunya adalah subkonjungtiva. Minimnya resiko dan komplikasi teknik ini bisa menjadi pilihan yang baik dibandingkan teknik lainnya. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui efektivitas bupivakain 0,5 subkonjungtiva sebagai analgesia pascaoperasi minyak silikon intravitreal.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis pada pasien yang akan menjalani operasi evakuasi minyak silikon intravitreal terencana di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 30 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Oktober 2016 ndash; Februari 2017. Pasien langsung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok bupivakain B dan kelompok NaCl 0,9 NS , sesuai hasil randomisasi. Kelompok B akan diberikan bupivakain 0,5 subkonjungtiva pada akhir operasi, sedangkan kelompok NS mendapatkan NaCl 0,9 subkonjungtiva pada akhir operasi. Kedua kelompok juga mendapatkan parasetamol 20 mg/kgBB intravena pada akhir operasi. Data yang diperoleh adalah nilai Visual Analgoue Scale VAS , saat pertama kebutuhan analgesia dan angka kejadian mual-muntah selama 24 jam pertama pascaoperasi. Dengan menggunakan SPSS 21 dilakukan uji Anova for repeated measure untuk membandingkan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok. Uji Fischer digunakan untuk mengetahui perbandingan saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal antara kelompok B dan kelompok NS dengan nilai p=0,001. Terdapat perbedaan bermakna antara saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok dengan p=0,042. Insiden mual-muntah hanya terjadi pada kelompok NS dengan proporsi mual 6 dan proporsi muntah 3 .Simpulan: Bupivakain 0,5 subkonjungtiva efektif sebagai analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal. Kata Kunci: analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal, bupivakain 0,5 subkonjungtiva

ABSTRACT
Background Intravitreal silicon oil removal surgery can cause mild moderate postoperative pain and discomfort in most patients. Postoperative pain can be managed by using many methods, including local anesthetic drug. One of the common local anesthetic drugs is bupivacaine 0,5 . The application techniques also vary, such as subconjungtival application.It was a good alternative for postoperative analgesia in the ophtalmic surgery because its minimal risks and complications. The purpose of this research was to measure the effectiveness of subconjunctival bupivacaine 0,5 as postoperative analgesia in silicon oil removal surgery.Method This was a double blind randomized clinical study in patients undergoing elective intravitreal silicon oil removal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. Thirty consecutive patients, enrolled from October 2016 ndash February 2017, were randomized to receive subconjunctival bupivacaine 0,5 or subconjunctival placebo NaCl 0,9 at the end of the surgery. The primary outcome was the pain score 24 hours after surgery, using a 100 mm Visual Analogue Scale VAS . Intraveous injection of tramadol 50 mg were given if the VAS 4. Secondary outcomes were the time to first analgesic requirement and the incidence of nausea vomiting. Statistical analysis was conducted to measure the difference between 24h pain score in the bupivacaine group compare to placebo group group NS .Result The overall 24 hours postoperative pain score was significantly different between the bupivacaine group compare to placebo group, p 0,001. In 24 hours postoperative there were only five samples need additional analgesia in the placebo group. The time to first analgesic requirement was significantly different between the two group, p 0,042. Nausea ndash vomiting only happened in the placebo group with proportion 6 and 3 respectively.Conclusion Subconjunctival bupivacaine 0,5 was effective as postoperative analgesia in intravitreal silicon oil removal surgery. Keywords postoperative analgesia, intravitreal silicon oil removal surgey, subconjunctival bupivacaine"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Syauqi
"Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan penambahan morfin 0.05 mg intratekal dan morfin 0.1 mg intratekal dalam hal kekerapan pruritus yang ditimbulkan oleh efek samping morfin intratekal dengan efek analgesia pasca bedah-nya tetap sama pada kasus bedah sesar dengan tehnik analgesia spinal.
Disain : uji klinis acak tersamar ganda.
Metode : 84 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 42 orang mendapat 0.05 mg morfin dan kelompok B sebanyak 42 orang mendapat 0.1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0.5% 10 mg intratekal. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan skor VAS, tekanan darah, laju nadi dan laju nafas pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi. Selama pemantauan juga diamati kekerapan dan derajat pruritus. Penilaian pruritus dengan menggunakan skor VAS.
Hasil : Pada kelompok A memberikan efek analgesia paska bedah yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok B dalam 24 jam (p X0.05 ). Sedangkan kekerapan pruritus pada kelompok A dan kelompok B masing-masing 16.7% dan 40.5% (p<0.05). Derajat pnuitus ringan dan sedang pada kelompok A didapat 7% dan 0%. Sedangkan pada kelompok B pruritus ringan 35,7 % dan pruritus sedang 4.8 %. Dan kedua kelompok tidak ada yang mengalami pruritus berat.
Kesimpulan : morfin 0.05 mg intratekal lebih efektif menurunkan kekerapan pruritus dibanding morfin 0.1 mg intratekal tetapi menghasilkan efek analgesia pasca bedah yang sama pada bedah sesar dengan analgesia spinal.

This study compared the quality of analgesia and the incidence and degree of pruritus of 0.1 mg morphine intrathecally to 0.05 mg intrathecal morphine in patients undergoing Caesarean section.
Design: randomized and double-blinded study
Method: 84 patients who underwent Caesarean section were divided randomly into two groups. 42 patients in group A received intrathecal morphine 0.05 mg and group 13, 42 patients, received 0.1 mg morphine intrathecally in addition to a standard intrathecal dose of 10 mg bupivacaine 0.5% heavy. The quality of analgesia was assessed using Visual Analogue Score ( VAS) and the incidence and degree of pruritus were recorded during the first-24 hour postoperatively.
Result: there was no statistically significant difference in the quality of analgesia between the two groups (p > 0.05 ). The incidence of pruritus in group A and group B was 16.7% and 40.5% respectively (p<0.05 ). The degree of pruritus in group A were mild : 7% and moderate : 0% while in group B mild : 35.7% and moderate 4.8%. There was no severe pruritus in the two groups.
Conclusion : 0.05 mg intrathecal morphine significantly reduced the incidence of pruritus compared to 0A mg intrathecal morphine while there was no significant difference statistically in the quality of analgesia in the two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>