Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174079 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edi Darmawan
"Latar belakang: Laringoskopi dan intubasi endotrakeal adalah prosedur untuk memfasilitasi pengelolaan jalan nafas dan ventilasi pada anestesi umum. Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan variabel hemodinamik akibat respon saraf simpatis. Fentanyl merupakan agonis opioid dengan onset cepat dan durasi pendek yang dapat menekan respon saraf simpatis. Oxycodone menjadi agonis opioid kuat dengan potensi mirip morfin dan onset mirip fentanyl. Laporan penggunaan oxycodone dalam menekan tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada pasien yang menjalani anestesi umum di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilaporkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda pada 64 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi blok; Grup A 32 pasien dan grup B 32 pasien. Sebelum induksi anestesi, Grup A diberikan fentanyl 2 µg/kg dan Grup B diberikan oxycodone 0,2 mg/kg. Penilaian hemodinamik menggunakan variabel sistolik, diastolik, MAP, dan denyut jantung pada saat sebelum diberikan premedikasi, sesaat sesudah diberikan premedikasi, dan setelah dilakukan laringoskopi dan intubasi. Variabel hemodinamik ini dicatat dan dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Pada variabel denyut jantung menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dengan nilai P < 0,05. Pada variabel sistolik, diastolik dan MAP menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dimana nilai P > 0,05.
Simpulan: Terdapat perbedaan efektivitas oxycodone dibandingkan fentanyl dalam mengurangi tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum berupa denyut jantung, namun tidak dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan MAP.

Background: Laryngoscopy and endotracheal intubation are procedures to facilitate the management of airway and ventilation in general anesthesia. These procedures can cause changes in the hemodynamic variables due to the sympathetic nerve response. Fentanyl is an opioid agonist with rapid onset and short duration that can suppress sympathetic nerve responses. Oxycodone becomes a strong opioid agonist with morphine-like potential and fentanyl-like onset. Reports of the use of oxycodone in suppressing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation in patients undergoing general anesthesia in Indonesia have not been reported so far.
Method: This study used a double blind randomized clinical trial method in 64 patients who underwent surgery under general anesthesia using endotracheal tubes. Patients were divided into two groups with block randomization; Group A 32 patients and group B 32 patients. Before induction of anesthesia, Group A was given fentanyl 2 µg/kg and Group B was given oxycodone 0.2 mg/kg. Hemodynamic assessment uses the systolic, diastolic, MAP, and heart rate variables before premedication, shortly after premedication, and after laryngoscopy and intubation. These hemodynamic variables were recorded and analyzed using an unpaired T test.
Results: The heart rate variable showed a significant difference between fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P < 0.05. In the systolic, diastolic and MAP variables showed no significant difference between the fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P > 0.05.
Conclusion: There is a difference in the effectiveness of oxycodone compared to fentanyl in reducing hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation under general anesthesia in the form of heart rate, but not in terms of systolic blood pressure, diastolic blood pressure and MAP."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2019
T58833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Prakoso Adji
"Latar belakang: Prosedur laringoskopi dan intubasi merupakan prosedur di bidang anestesi yang sering dilakukan namun merupakan prosedur yang mencetuskan rangsang nyeri yang hebat. Tekanan darah dan laju nadi dapat meningkat karena rangsang simpatis. Respon kardiovaskular tersebut dapat berbahaya pada pasien yang rentan, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung ataupun serebrovaskular. Salah satu metode untuk mengurangi hal tersebut adalah penggunaan anestesi, termasuk dengan lidokain. Peningkatan kadar plasma lidokain yang diberikan dengan intravena dapat menimbulkan berbagai efek samping. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek lidokain yang diberikan secara inhalasi.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 24 pasien diberikan inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dan 25 subjek diberikan inhalasi NaCl 0.9% sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Paramater kardiovaskular yang diteliti yakni perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP) dan laju nadi yang dinilai secara serial.
Hasil. Pada menit pertama pasca intubasi, MAP dan laju nadi pada kelompok NaCl lebih tinggi, dengan perbedaan MAP sebesar 15,5 mmHg(9,2-21,7 95%IK; p<0,001) dan laju nadi sebesar 9,5 denyut/menit (4,8-14,2 95% IK; p<0,001). Pada menit ke-3 pasca intubasi, perbedaan MAP dan laju nadi kedua kelompok yakni 16,6 mmHg (9,6-23,6 95%IK; p <0,001) dan 11,2 denyut/menit (5,2-17,2 95%IK ; p<0,001 ). Pada menit ke-5 pasca intubasi, tetap terdapat perbedaan bermakna variabel MAP dan laju nadi kedua kelompok, yakni 16,7 mmHg (11,3-22,2 95%IK; p<0,001) dan 10,0 denyut/menit (3,5-16,5 95%IK; p=0,03).
Simpulan. Inhalasi lidokain mampu menekan respon peningkatan tekanan darah dan laju nadi akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.

Background. Laryngoscopy and intubation are routine anaesthesiological procedures which stimulate great amount of pain. Blood pressure and heart rate can be increased by symphatetic stimulation. Laryngoscopy and intubation procedure is a procedure in the field of anesthesia is often done however is a procedure which sparked great pain stimuli. Blood pressure and pulse rate can be increased by stimulation of the sympathetic. The cardiovascular response can be harmful in patients who are vulnerable, especially those who have cardiac or cerebrovascular problems. One method to reduce these was the use of anesthetics, including lidocaine. Increased plasma levels of lidocaine given intravenously can cause various side effects. This study aimed to assess the effects of lidocain inhalation.
Methods. Method. This study was a randomized, double-blind clinical trial on patients at the Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. A total of 24 patients were given inhaled lidocaine 1.5 mg / kg and 25 subjects were given inhaled NaCl 0.9% before laryngoscopy and intubation. Cardiovascular parameters being investigated were changes in systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP) and heart rate in a serial manner.
Results. In the first minute after intubation, MAP and heart rate were higher in NaCl group. The difference in MAP was 15.5 mmHg (95% CI 9.2 - 21.7; p <0.001) while heart rate was 9.5 beats / min (95% CI 4.8 - 14.2; p <0.001). In the 3rd minute after intubation, MAP and heart rate kept different in both groups: 16.6 mmHg (95% CI 9.6 - 23.6; p <0.001) and 11.2 beats / minute (5.2 - 17, 2, 95% CI; p <0.001), respectively. In the 5th minute after intubation, MAP and heart rate remained different between two groups: 16.7 mmHg (95% CI 11.3 - 22.2; p <0.001) and 10.0 beats / min (3.5 - 16.5, 95% CI; p = 0.03), respectively.
Conclusions. Lidocain inhalation was able to suppress the increased of blood pressure and heart rate due to pain stimuli and sympathetic stimulation after laryngoscopy and intubation."
Depok: Universitas Indonesia, [;2016, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Reza
"ABSTRAK
Latar belakang. Cedera inhalasi dapat terjadi saluran napas atas hingga bawah. Sebagai prediktor diagnosis cedera inhalasi di instalasi gawat darurat IGD masih terbatas pada temuan klinis adanya edema laring pada saluran napas atas. Bronkoskopi sebagai baku emas diagnostik cedera inhalasi belum dapat dilakukan di IGD. Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara temuan klinis edema laring dengan temuan bronkoskopi pada pasien luka bakar dengan cedera inhalasi.Metode. Studi potong lintang retrospektif pada 18 subjek. Di IGD dilakukan laringoskopi untuk menilai adanya edema laring. Hanya subjek yang dilakukan pemasangan selang endotrakeal dan dilakukan bronkoskopi dimasukkan sebagai kriteria inklusi, sedangkan derajat cedera inhalasi dibagi menurut kriteria Chou yang diamati melalui bronkoskopi.Hasil. Subjek terbanyak pria yaitu 16 subjek. Usia berkisar antara 19-56 tahun. Luas luka bakar berkisar antara 5-95 . Dari 14 subjek didapatkan adanya edema laring. Dari 14 subjek yang didapatkan edema laring, 13 subjek terdapat cedera inhalasi. Hubungan antara temuan klinis edema laring dengan adanya cedera inhalasi yang diamati melalui bronkoskopi memiliki nilai sensitivitas 76,4 , spesifitas 0 .Kesimpulan. Adanya edema laring berhubungan dengan cedera inhalasi pada saluran napas bawah meski secara statistik belum signifikan serta belum mampu menunjukkan akurasi derajat cedera inhalasi.

ABSTRACT
Background. Inhalation injury may occur from the upper until the lower respiratory tract. In the ER, diagnose of inhalation injury only suspected from the presence of laryngeal edema based on laryngoscopy. Bronchoscopy as a gold standard diagnostic of inhalation injury could not been done in the ER. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Objectives. This study was conducted to determine the association between clinical findings of laryngeal edema and bronchoscopic findings in burns which is suspected inhalation injury.Materials and Methods. A retrospective cross sectional study was conducted in 18 subjects. In the ER laryngoscopy was performed to assess the presence of laryngeal edema. Only subjects which is intubated and bronchoscopy were included as inclusion. The degree of inhalation injury was divided according to the Chou criteria which is observed through bronchoscopy.Results. Subjects most are men 16 subjects. Age ranges from 19 56 years. Burns range between 5 95 . 14 subjects presences larygeal edema. Of the 14 subjects who had laryngeal edema, 13 subjects had inhalation injury. The association between laryngeal edema in the presence of inhaled injury observed through bronchoscopy has a sensitivity value of 76.4 , a specificity of 0 .Conclusions. In this study The presence of laryngeal edema associated with inhalation injury in the lower airway although not statistically significant and has not been able to show the accuracy of the degree of inhalation injury. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiani Christina Natalia Metrana
"Latar Belakang: Kegunaan laringoskop video untuk intubasi endotrakeal telah terbukti bermanfaat pada tatalaksana jalan napas normal ataupun sulit. Namun harga laringoskop video seperti McGrath MAC® yang mahal menjadi hambatan. Sebagai alternatif, dapat digunakan kamera portabel yang dipasangkan pada bilah Macintosh, dihubungkan via wifi ke telepon genggam, untuk membantu visualisasi laring seperti halnya laringoskop video. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa.
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 62 subjek penelitian untuk membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok jantung derajat 2 atau 3, sindrom Guillain Barre, myasthenia gravis.
Hasil: Median waktu intubasi A (waktu yang diukur saat laringoskop masuk melewati gigi sampai mendapatkan visualisasi glotis) menggunakan modifikasi Macintosh 18(6-65) detik dibandingkan McGrath MAC® 21(10-70) detik (p 0.652). Median waktu intubasi B (waktu yang diukur saat mendapatkan visualisasi glotis sampai ETT masuk ke dalam trakea) 39(20-101) detik dibandingkan 50(27-102) detik (p 0,003). Median waktu intubasi total 63 (27-114) detik dibandingkan 74 (40-133) detik (p 0,032). Selain itu juga dicatat angka keberhasilan intubasi pada upaya pertama menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh 90,3%, angka visualisasi glotis skor POGO 100 67,7% dan skor POGO 75 29%, komplikasi takikardia dan laserasi mukosa jalan napas berupa abrasi ringan pada daerah orofaring. Secara keseluruhan, para pengguna modifikasi laringoskop Macintosh menganggap alat ini baik untuk digunakan, baik dari segi kemudahan insersi alat, kemudahan penggunaan alat, dan visualisasi glotis.
Simpulan: Intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan laringoskop video McGrath MAC® pada pasien dewasa.

Background: The use of video laryngoscope has been proven to be beneficial for endotracheal intubation for normal and difficult airway management. But the problem with using a video laryngoscope is often the price of the tools. A widely used video laryngoscope, such as McGrath MAC® is expensive. As an alternative to help visualize the larynx like a video laryngoscope, we can use a portable camera placed in a Macintosh blade, then connected via wifi to a mobile phone. However, there is no available research that compares intubation time using modified Macintosh laryngoscope vs McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population.
Methods: This study is a single-blinded randomized clinical trial of 62 subjects to measure the intubation time using modified Macintosh laryngoscope compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population. Exclusion criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, second or third-degree heart block, Guillain Barre syndrome, myasthenia gravis.
Results: Median intubation time A (time taken since laryngoscope passes the teeth until glottic visualization) using modified Macintosh and McGrath MAC® were 18(6-65)s and 21(10-70)s (p 0.652), consecutively. Median intubation time B (time taken since glottic visualization until tube insertion into the trachea) was 39(20-101)s and 50(27-102)s (p 0,003). Median total intubation time was 63 (27-114)s using modified Macintosh, compared with 74 (40-133)s (p 0,032) using McGrath MAC®. Besides that, we also noted the first attempt success rate in modified Macintosh was 90,3%, glottic visualization with POGO score 100 was 67,7% and POGO score 75 was 29%. The complications found in this study were tachycardia and airway mucosal laceration such as mild oropharyngeal abrasion. In conclusion, modified Macintosh users decide that this equipment is convenient, in terms of insertion easiness, usefulness, and glottis visualization.
Conclusion: Endotracheal intubation using modified Macintosh laryngoscope takes a shorter time compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avy Retno Handayani
"Latar belakang: Patensi jalan napas merupakan hal paling penting dalam manajemen pasien di dalam kamar operasi maupun di luar kamar operasi. Kegagalan ataupun keterlambatan dalam manajemen jalan napas akan membawa dampak yang buruk terhadap morbiditas maupun mortalitas pasien. Prediksi kesulitan jalan napas dapat dilakukan dengan penilaian klinis maupun pemeriksaan penunjang. Cormack-Lehane grading telah lama digunakan sebagai prediksi kesulitan laringoskopi melalui visualisasi laring. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh W Yao dan Bin Wang, dikatakan ukuran lebar lidah diatas 6.0 cm dapat menjadi prediksi terjadinya kesulitan intubasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kesulitan intubasi adalah kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading ≥ 3. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan ukuran lebar lidah dengan kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading.
Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat, CCC, dan Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli sampai September 2022. Populasi subjek adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan pembiusan total dan menggunakan ETT. Ketebalan lidah diukur dengan menggunakan ultrasonografi. Penilaian Cormack Lehane Grading dilakukan melalui visualisasi laring pada saat laringoskopi dan sebelum dilakukan intubasi endotrakeal.
Hasil: Kelompok subjek dengan karakteristik sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane Grading (≥3) terbukti memiliki rerata ketebalan lidah yang lebih tebal dibandingkan kelompok mudah intubasi. Kelompok sulit intubasi juga terbukti memiliki Modified Mallampati Score yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Ketebalan lidah dan Modified Mallampati Score berhubungan dengan sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane grading, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan jalan napas.

Background: Airway patency is a critical variable to maintain, either in perioperative or emergency setting. Failure or delay in airway management is associated with life-threatening complications. Prediction of difficult airway management can be done through bedside clinical examination and/or further investigations. Cormack Lehane grading has long been known as a parameter to assess difficult airway by visualization of the larynx. According to W Yao and Bin Wang, tongue thickness > 6.0 cm may be a predictor of difficult airway. One of the factors associated with difficult-to-intubate patients is difficult laryngoscopy as indicated by Cormack Lehane grading ≥ 3. This study aimed to investigate the correlation between tongue thickness and difficult laryngoscopy assessed through Cormack Lehane Grading.
Methods: This prospective observational study was conducted in Central Surgery Unit, CCC, and Kirana Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period of July to September 2022. This study involved patients undergoing surgical interventions with general anesthesia and endotracheal intubation. Tongue thickness of each subject was assessed by ultrasonography. The assessment of Cormack Lehane grading in each subject was conducted through visualization of the larynx during laryngoscopy and prior to tracheal intubation.
Results: Difficult-to-intubate group characterized by Cormack Lehane grading ≥3 was associated with thicker tongue and higher Modified Mallampati score.
Conclusion: Tongue thickness and modified Mallampati score were associated with difficult laryngoscopy and endotracheal intubation based on Cormack Lehane grading. Therefore, tongue thickness may serve as a potential predictor of difficult airway.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Kurniawan
"Pendahuluan: Laparoskopi memiliki risiko intraoperatif dan pascaoperasi, termasuk instabilitas hemodinamik dan nyeri pascaoperasi. Anestesi umum sering digunakan untuk operasi ini, namun teknik ini tidak menekan peningkatan resistensi vaskular sistemik selama laparoskopi sehingga fluktuasi hemodinamik tetap terjadi. Sayatan dinding abdomen dan regangan peritoneum selama operasi juga menyebabkan nyeri somatis dan viseral yang dirasakan pascaoperasi. Penambahan blok TAP pada operasi laparoskopi belum memuaskan disamping memerlukan instrumen tambahan serta bergantung pada kemampuan operator. Anestesi spinal dapat menguntungkan karena dapat menetralkan peningkatan SVR dan menghambat nyeri selama operasi, namun penggunaannya dikaitkan dengan mobilisasi yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menjaga perubahan hemodinamik intraoperatif, nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan anestesi umum dan blok TAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok S (spinal) dilakukan anestesi spinal menggunakan bupivacaine 10 mg + morfin 50 mcg intratekal disusul anestesi umum. Kelompok T (blok TAP) dilakukan anestesi anestesi umum disusul blok TAP dengan bupivacaine 0.25% 20 ml pada kedua sisi abdomen. Perubahan tekanan darah dan nadi, NRS pascaoperasi 3 jam dan 6 jam, waktu untuk mencapai Bromage 0, serta kejadian nyeri bahu dan mual muntah pascaoperasi dicatat. Hasil: Pada kelompok S terdapat perubahan tekanan darah sistolik yang signifikan dibandingkan dengan kelompok T setelah 15 menit insuflasi (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). Tidak ada perbedaan nyeri pascaoperasi dan waktu pulih pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menurunkan tekanan darah sistolik, namun tidak berbeda dalam nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan kombinasi anestesi umum dan blok TAP.

Introduction: Laparoscopy is associated with intraoperative and postoperative risks, including hemodynamic instability and postoperative pain. Although general anesthesia is often used for this procedure, hemodynamic fluctuations still occur because this technique does not suppress the increase in systemic vascular resistance during laparoscopy. Incisions in the abdominal wall and stretching of the peritoneum during surgery can also cause somatic and visceral pain after surgery. Adding TAP block to laparoscopic surgery is not satisfactory, apart from requiring additional instruments and depending on the operator’s abilities. Spinal anesthesia may be beneficial as it can counteract the increase in SVR and suppress pain during surgery, but its use is associated with delayed mobilization. The purpose of this study is to determine whether the combination of general and spinal anesthesia is superior in maintaining intraoperative hemodynamic changes, postoperative pain, and recovery time compared to general anesthesia and TAP blockade.
Methods: This study is a single-blind, randomized clinical trial with 41 patients divided into two groups. Group S (spinal) received spinal anesthesia with 10 mg bupivacaine + 50 μg morphine administered intrathecally, followed by general anesthesia. Group T (TAP block) received general anesthesia followed by TAP block with 20 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the abdomen. Intraoperative blood pressure and heart rate changes, NRS at 3 and 6 hours postoperatively, time to reach bromage 0, and occurrence of postoperative shoulder pain and nausea and vomiting were recorded.
Results: In group S there was a significant change in systolic blood pressure compared to group T after 15 minutes of insufflation (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). There was no difference in postoperative pain and recovery time in the two groups.
Conclusion: The combination of general anesthesia and spinal anesthesia is better in reducing systolic blood pressure, but does not differ in postoperative pain and recovery time compared to the combination of general anesthesia and TAP block.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Garditya,author
"Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal sering digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi. Namun, penggunaan alat ini dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan pasca bedah seperti nyeri tenggorok. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keefektifan profilaksis deksametason intravena dengan triamsinolon asetonid topikal dalam mengurangi nyeri tenggorok pasca bedah.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda. Sebanyak 121 pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan 10 mg deksametason intravena dan pasta plasebo dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Pasien dalam grup B diberikan 2 mL NaCl 0,9% dan pasta triamsinolon asetonid dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Skor nyeri tenggorok pasca bedah dievaluasi 3 kali; sesaat setelah pembedahan berakhir, 2 jam pasca bedah dan 24 jam pasca bedah. Insidens dan derajat nyeri tenggorok pasca bedah dicatat.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan bermakna di kedua kelompok pada insidens nyeri tenggorok pasca bedah sesaat setelah pembedahan berakhir (27,9% pada kelompok A dan 18,3% pada kelompok B, p = 0,214). Derajat nyeri tenggorok pasca bedah tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan: Triamsinolon asetonid topikal memiliki keefektifan yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi insidens nyeri tenggorok pasca bedah.

Tracheal intubation for general anesthesia is often used to give positive-pressure ventilation and prevent aspiration during anesthesia. However, the use of this airway device can cause complications and complains about postoperative sore throat (POST). This study was undertaken to compare the effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone to triamcinolone acetonide paste in reducing POST.
Methods : This was a prospective, randomized, double-blind clinical trial. A total of 121 patients scheduled for surgery under general anesthesia using endotracheal tube were randomly allocated into two groups; 61 (group A) and 60 (group B). Before induction, group A receives 10 mg of intravenous dexamethasone and placebo paste applied over the endotracheal tube cuff. Group B receives 2mL of intravenous normal saline and triamcinolone acetonide paste applied over the endotracheal tube cuff. POST scores were evaluated 3 times; immediately after the operation, 2-hours, and 24-hours after the operation. The incidence and severity of POST were recorded.
Results: There were no significant differences in the incidence of POST immediately after the operation between the two groups (27,9 % in group A vs 18,3% in group B, p = 0,214).The severity scores of POST were not significantly different between the two groups.
Conclusion: Topical triamcinolone acetonide was equally effective compared to prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astria Yuliastri Permana
"Latar belakang. Kombinasi anestesi spinal bupivakain dan fentanil dengan penambahan klonidin dosis tinggi diketahui dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik, namun prevalensi timbulnya efek samping cukup tinggi. Dalam studi ini, kami menggunakan klonidin dosis rendah secara intratekal (30 mcg) sebagai adjuvan  bupivakain dan fentanil. 
Tujuan. Penelitian dilakukan untuk membandingkan efektifitas serta efek samping pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dengan dan tanpa klonidin 30 mcg.
Metode. Penelitian studi potong lintang yang dilakukan pada 70 pasien seksio sesarea terbagi kedalam dua kelompok masing-masing 35 pasien yang mendapatkan kombinasi anestesi spinal dengan penambahan klonidin 30 mcg dan tanpa klonidin 30 mcg. Penelitian ini mengevaluasi kualitas blok sensorik dan motorik. Efek samping yang terjadi diamati selama 24 jam paska tindakan seksio sesarea meliputi pruritus, mual muntah, nyeri tungkai, nyeri punggung dan mata merah. 
Hasil Penelitian. Median durasi blok sensorik kelompok kombinasi anestesi bupivakain fentanil dengan klonidin 30 mcg dibandingkan tanpa klonidin 30 mcg (330 menit vs 220 menit), Median durasi blok motorik (193 menit vs 188 menit). Efek samping tertinggi adalah mual muntah terdapat pada kelompok kombinasi tanpa klonidin 30 mcg (42.85%). Perbedaan bermakna (p-value < 0.05) terdapat pada durasi blok sensorik, blok motorik dan efek samping mual muntah.
Kesimpulan. Penambahan klonidin 30 mcg pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik serta meminimalisir efek samping dibandingkan dengan tanpa klonidin 30 mcg.

Background. The combination of the spinal anesthesia bupivacaine and fentanyl with the addition of high doses of clonidine are known to prolong the duration of sensory and motor blocks, but the prevalence of side effects is high. In this study, we used an intrathecally low dose of clonidine (30 mcg) as an adjuvant to bupivacaine and fentanyl.
Aim. This study was conducted to compare the effectiveness and side effects of the combination spinal anesthesia bupivacaine fentanyl with and without clonidine 30 mcg.
Method. Cross-sectional study conducted on 70 patients with cesarean section divided into two groups of 35 patients each who received a combination of spinal anesthesia with the addition of clonidine 30 mcg and without clonidine 30 mcg. This study evaluates the quality of the sensory and motor blocks. Side effects observed for 24 hours after cesarean section included pruritus, nausea, vomiting, leg pain, back pain and red eyes.
Result. Median sensory block duration in the combination group of the anesthetic bupivacaine fentanyl with clonidine 30 mcg compared without clonidine 30 mcg (330 min vs 220 min), Median motor block duration (193 min vs 188 min). The highest side effect was nausea and vomiting in the combination group without clonidine 30 mcg (42.85%). Significant differences (p-value <0.05) were found in the duration of sensory blocks, motor blocks and side effects of nausea and vomiting.
Conclusion. The addition of clonidine 30 mcg to the combination of spinal anesthesia bupivacaine fentanyl can prolong the duration of sensory and motor blocks and minimize side effects compared to 30 mcg without clonidine.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
"ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu
digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil
intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced
cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat
induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan
dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap
angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia
umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien
ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek
diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok
(kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random
diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan
5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing
kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan
(1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji
Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif.
Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah
pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan
4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan
20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p=0.131).
Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik
dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.

ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists
in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous
fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough
(FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated
with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence
of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare
injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and
severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in
Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that
underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo
hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the
study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds
group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body
weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and
severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs
observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe
(>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test.
Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in
the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group
(mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group
(mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not
different significantly (p=0.131).
Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group
compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>