Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14877 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Wahyuni
"acute coronary syndrome (ACS) with complex coronary lesion and the increasing needs of coronary artery bypass grafting (CABG) procedures, there is an increasing need for a tool to perform early stratification in high-risk patients, which can be used in daily clinical practice, even at first-line health care facilities setting in Indonesia. It is expected that early stratification of high-risk patients can reduce morbidity and mortality rate in patients with ACS. This study aimed to identify diagnostic accuracy of platelet/lymphocyte ratio (PLR) and the optimum cut-off point of PLR as a screening tool for identifying a complex coronary lesion in patients ?45 and >45 years old. Methods: this was a retrospective cross-sectional study, conducted at the ICCU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Data was obtained from medical records of adult patients with ACS who underwent coronary angiography between January 2012 - July 2015. The inclusion criteria were adult ACS patients (aged ?18 years old), diagnosed with ACS and underwent coronary angiography during hospitalization. Diagnostic accuracy was determined by calculating sensitivity, specificity, positive likelihood ratio (LR+), and negative likelihood ratio (LR-). The cut-off point was determined using ROC curve. Results: the proportion of ACS patients with complex coronary lesion in our study was 47.2%. The optimum cut-off point in patients aged ?45 years was 111.06 with sensitivity, specificity, LR+ and LR of 91.3%, 91.9%, 11.27 and 0.09, respectively. The optimum cut-off points in patients aged >45 years was 104.78 with sensitivity, specificity, LR+ and LR of 91.7%, 58.6%, 2.21 and 0.14, respectively. Conclusion: the optimum cut-off point for PLR in patients aged ? 45 years is 111.06 and for patients with age >45 years is 104.78 with diagnostic accuracy, represented by AUC of 93.9% (p<0.001) and 77.3% (p<0.001), respectively for both age groups.

Latar belakang: dengan meningkatnya angka kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan lesi koroner kompleks dan meningkatnya kebutuhan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), maka diperlukan metode stratifikasi dini pasien risiko tinggi yang dapat digunakan pada praktis klinis sehari-hari, termasuk fasilitas kesehatan lini pertama sekalipun di Indonesia. Dengan melakukan stratifikasi pasien risiko tinggi, diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan kematian pada kasus SKA. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui akurasi diagnostik dan nilai titik potong platelet/lymphocyte ratio (PLR) sebagai penapis lesi koroner kompleks pada pasien kelompok usia ≤45 dan >45 tahun. Metode: sebuah studi potong lintang retrospektif dilakukan di Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data diambil dari rekam medis pasien SKA dewasa dan menjalani angiografi koroner dari Januari 2012 – Juli 2015. Kriteria inklusi adalah pasien dewasa (usia ≥18 tahun) dengan diagnosis SKA dan menjalani angiografi koroner pada saat perawatan. Akurasi diagnositik dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif. Nilai titik potong ditentukan menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC). Hasil: proporsi pasien SKA dengan lesi koroner kompleks adalah 47,2%. Nilai titik potong optimal pada pasien usia ≤45 tahun adalah 111,06 dengan sensivitas 91,3%, spesifisitas 91,9%, nilai duga positif 11,27 dan nilai duga negatif 0,09. Pada kelompok usia >45 tahun, nilai titik potong optimal berada pada angka 104,78 dengan nilai sensivitas 91,7%, spesifisitas 58,6%, nilai duga positif 2,21 dan nilai duga negatif 0,14. Kesimpulan: nilai titik potong PLR optimal pada kelompok usia ≤45 adalah 111,06 dan pada kelompok usia >45 tahun adalah 104,78 dengan akurasi diagnositik masing–masing Area Under the Curve (AUC) 93,9% (p <0,001) dan AUC 77,3% (p <0,001)"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Wahyuni
"ABSTRAK
Latar Belakang: Lesi koroner kompleks berkaitan dengan prognosis buruk SKA. Pentingnya revaskularisasi awal untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. PLR berkaitan dengan kompleksitas lesi buruk dan diharapkan menjadi acuan dalam identifikasi dini lesi koroner kompleks.
Tujuan: Mengetahui akurasi diagnostik dan nilai titik potong PLR sebagai penapis lesi koroner kompleks baik pada kelompok usia ≤45 tahun dan >45 tahun.
Metode: Sebuah studi potong lintang secara retrospektif di ICCU RSUPN-CM. Data diambil dari rekam medis pasien SKA dewasa dan menjalani angiografi koroner dari Januari 2012 ? Juli 2015. Akurasi diagnositik dinilai dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas. Nilai titik potong ditentukan menggunakan kurva ROC.
Hasil: Proporsi pasien SKA dengan lesi koroner kompleks 47,2%. Nilai titik potong optimal pada pasien usia ≤45 tahun adalah 111,06 dengan sensivitas 91,3% dan spesifisitas 91,9. Pada kelompok usia >45 tahun nilai titik potong optimal pada angka 104,78 dengan nilai sensivitas 91,7% dan spesifisitas 58,6.
Simpulan: Nilai titik potong PLR optimal pada kelompok usia ≤45 adalah 111,06 dan kelompok usia >45 tahun adalah 104,78 dengan akurasi diagnositik masing-masing AUC 93,9% (p <0,001) dan AUC 77,3% (p <0,001).

ABSTRACT
Background: A Complex coronary lesion is related to poor prognosis in ACS patient. The importance of early revascularization is to decrease mortality and complications. Inflammatory marker such as PLR related to complex coronary lesions and expected to be a tool that can assist physicians and cardiologists to stratify patients who have high probability for having a complex coronary lesion.
Aim: Evaluate the diagnostic accuracy of PLR in identifying a complex coronary lesion in ACS patient. The other aim was to identify the proportion of complex coronary lesion and cut-off point of PLR between ≤45 years old group and >45 years old group subjects.
Method: This is a cross sectional retrospectively study in ACS patients hospitalized in ICCU of RSUPN-CM from January 2012 until July 2015. The inclusion are adult ACS patients and who underwent coronary. The diagnostic accuracy was determined by calculating the sensitivity, specificity, PPV, NPV, Positive LR, and Negative LR. The cut-off point was determined using ROC curve.
Results: The proportion of complex coronary lesion was 47,2%. The optimal cut-off point in ≤45 years old group was 111,06 with sensitivity and specificity respectively 91,3% and 91,9%. The optimal cut-off points in >45 years old groups was 104,78 with sensitivity and specificity respectively 91,7% and 58,6%.
Conclusion: The optimal cut-off point of ≤45 years old groups is 111,06 and for >45 years old group is 104,78. The diagnostic accuracy of PLR in ≤45 years old groups was very good (AUC 93,9%, p value <0,001), while in >45 years old group was moderate (AUC 77,3%, p value <0,001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Isnanta
"ABSTRAK
Latar belakang: Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan kematian mendadak. SKA kebanyakan terjadi pada usia di atas 45 tahun, Namun beberapa tahun terakhir ini angka kejadian infark miokard usia muda meningkat.
Tujuan: Mengetahui perbedaan karakteristik angiografi koroner pada pasien SKA usia ≤45 tahun dengan pasien SKA usia > 45 tahun.
Metode: Beratnya stenosis pembuluh darah diukur dengan Vessel Score (jumlah pembuluh darah koroner yang sakit dengan stenosis ≥ 70%) dan Stenosis Score.
Hasil: Diteliti sebanyak 322 pasien SKA yang telah menjalani angiografi koroner di ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai Januari 2008 sampai Desember 2012. Pasien dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok satu adalah pasien usia ≤45 tahun dan kelompok kedua pasien usia>45 tahun. Ditemukan 322 pasien SKA (72 kasus ≤45 tahun dan 250 kasus >45tahun). Distribusi jumlah pembuluh darah yang sakit (vessel score) 1 VD (single vessel diseases) terbanyak pada usia ≤ 45 tahun (43.1 % vs 26.0 % ), sedangkan 3 VD (triple vessel diseases) terbanyak pada usia > 45 tahun (31.6 % vs 18,1 %). Hasil skor stenosis menunjukkan lebih rendah pada usia ≤ 45 tahun dibandingkan usia  45 tahun (median skor stenosis 4 vs 8) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,001). Pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis yang terbanyak adalah Left Anterior Descending baik kelompok usia ≤ 45 tahun dan usia  45 tahun (65.3% and 74.0%). Pembuluh darah Left Circumflex dan Right Coronary Artery lebih sedikit pada usia ≤ 45 tahun dan bermakna secara statistik (26,4% dan 31,9% vs 46,4% dan 57,2%, p=0,002 dan 0,001).
Simpulan: Jumlah pembuluh darah koroner yang sakit (vessel score) dan skor stenosis lebih kecil pada usia ≤ 45 tahun dibanding usia > 45 tahun

ABSTRACT
Background: Acute Coronary Syndrome (ACS) is the manifestation of coronary heart disease which can cause sudden death. ACS mostly occurs at the age > 45 years, but recently the incidence of myocardial infarction increases in yong ages.
Objective: To determine compared between coronary angiography of acute coronary syndrome patients age ≤ 45 years with acute coronary syndrome patients age > 45 years.
Methods: The severety of coronary stenosis was determined by Vessel score and Coronary score. Significant vessel score was defined as stenosis of angiography of more or equal to 70% lumen stenosis by eyeball examination
Results :A total of 322 ACS patients who undergone coronary angiography in ICCU Cipto Mangunkusumo from January 2008 to December 2012. Patients were divided into two groups. One patient group is less or equal to the age of 45 years (72 cases) and the second group of patients over the age of 45 years (250 cases).
Distribution of number of blood vessels disease 1 VD (single vessel diseases) highest in the age group ≤ 45 years (43.1 % vs 26.0 % ), while 3 VD (triple vessel diseases) highest in the age group > 45 years (31.6 % vs 18,1 %). stenosis score was lower at age ≤ 45 years to compare age > 45 years (median stenosis score 4 vs 8) with statistical significant difference (p < 0.001 ). The Left Anterior Descending Artery significant lesion was found high at the both age groups (65.3% and 74.0%). But the significant stenosis lesion was less found in Left Circumflex and Right Coronary Artery at the age ≤ 45 years (26,4% and 31,9% vs 46,4% and 57,2%, p=0,002 and 0,001).
Conclusion :The number of coronary arteries diseases (Vessel score) and Stenosis score is lower at the age ≤ 45 years compared to patients age > 45 years."
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Smuclovisky, Claudio
"This new case-based book fills a gap in the literature by guiding the reader through the challenging clinical problems encountered in daily practice. Each case presents the clinician with a complete patient work-up that includes clinical history, radiological and clinical findings, treatment summary and suggested readings."
New York, NY : Springer , 2009
616.130 757 2 SMU c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Suci Yunita
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) disebabkan penyempitan arteri koronaria jantung, terdapat hipotesis mengenai infeksi periodontal yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya PJK. Alkaline phosphatase (ALP) sebagai penanda inflamasi akan meningkat pada aterosklerosis dan penyakit periodontal.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar ALP dalam saliva pada penderita PJK dan non PJK dengan status periodontal.
Metode: Saliva dari 104 subjek diambil sebanyak 1 ml, kadar ALP dianalisis menggunakan Abbott architect ci4100.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar ALP dalam saliva antara penderita PJK dan non PJK.
Kesimpulan: ALP dalam saliva pada penderita PJK lebih tinggi daripada non PJK dan tidak ada hubungan ALP dengan status periodontal.

Background: Coronary heart disease (CHD) is a disease that causes narrowing of the coronary arteries. Currently, there is a hypothesis regarding periodontal infection that increase risk for heart disease. Alkaline phosphatase (ALP) as a marker of inflammation will increase in atherosclerosis and periodontal disease.
Objective: To analyze the relationship between the levels of alkaline phosphatase in saliva with periodontal status in patients with CHD and non CHD.
Methods: saliva of 104 subjects were taken, each 1 ml, and levels of Alkaline Phosphatase was analyzed using Abbott ci4100 architect.
Results: No significant difference of Alkaline Phosphatase levels in saliva between CHD patients and non CHD.
Conclusion: The level of ALP in saliva was higher in patients with CHD and no association between ALP level and periodontal status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwisetyo Gusti Arilaksono
"

Obesitas selama ini dikenal sebagai faktor risiko tradisional untuk penyakit kardiovaskular. Pada banyak studi tingginya indeks massa tubuh (IMT) justru memiliki efek protektif terhadap luaran klinis pasien dengan penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner, khususnya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP). Namun, beberapa studi belum bisa membuktikan adanya fenomena obesitas paradoks ini pada semua populasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan luaran klinis jangka panjang pada pasien IMA-EST yang menjalani IKP. Studi observasional kohort retrospektif pada 400 pasien IMA-EST yang dilakukan intervensi koroner perkutan (IKP) yang diambil dari registri RSPJPDHK. Dilakukan pencatatan tinggi badan dan berat badan dari telaah rekam medis dan registri. Evaluasi luaran klinis setelah 2 tahun paska IKP dilakukan dengan menghubungi pasien dan keluarga serta penelusuran rekam medis. Analisa statistik dilakukan untuk membandingkan luaran klinis pada kelompok BB kurang-normal dengan BB lebih-obesitas. Dari 400 subyek penelitian, didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari perempuan di kedua grup. Terdapat perbedaan bermakna rerata klirens kreatinin (65.99 vs 82.28; p <0.0001) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (43.82 vs 46.59; p 0.02) pada kelompok BB kurang-normal dan BB lebih-obesitas. Diameter stent dan usia pasien tidak ditemukan perbedaan bermakna di kedua kelompok. BB lebih-obesitas juga secara bermakna memiliki efek protektif pada MACE (OR 0.477 [95% IK 0.311-0.733]; p 0.001), kejadian infark berulang (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001) serta kematian kardiovaskular (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049). Analisis multivariat menunjukkan BB lebih-obesitas sebagai prediktor independen terhadap luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara IMT dengan luaran klinis jangka panjang pasien IMA-EST yang dilakukan IKPP. BB lebih-obesitas memiliki kecenderungan luaran klinis MACE dan kejadian infark berulang setelah 2 tahun yang lebih baik dibandingkan BB kurang-normal

 


Obesity has been known as a traditional risk factor for cardiovascular disease. In many studies the high body mass index (BMI) actually has a protective effect on the clinical outcomes of patients with cardiovascular disease, including coronary heart disease, especially acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) underwent percutaneous coronary intervention (PCI). However, several studies have not been able to prove the existence of this paradoxical obesity phenomenon in all populations. This study aims to determine the association between BMI and long-term clinical outcomes in STEMI patients underwent PCI. A retrospective cohort observational study of 400 STEMI patients undergoing percutaneous coronary intervention (PCI) was taken from the RSPJPDHK registry. Height and weight were recorded from a review of medical records and the registry. Evaluation of clinical outcomes 2 years after PCI is done by contacting patients and families and tracking medical records. Statistical analysis was performed to compare clinical outcomes in the underweight-normal group with the overweight-obese. In 400 research subjects, there were more men than women in both groups. There were significant differences in creatinine clearance (65.99 vs 82.28; p <0.0001) and left ventricular ejection fraction (43.82 vs 46.59; p 0.02) in the underweight-normal group with the overweight-obese. No significant differences was found in stent diameter and age of the patients between the two groups. Overweight and obesity also has a significant protective effect on MACE (OR 0.477 [95% CI 0.311-0.733]; p 0.001), recurrent infarction events (OR 0.27 (0.142-0.516 [95% IK 0.142-0.516]; p <0.0001 ) as well as cardiovascular death (OR 0.549 [95% IK 0.3-1.003]; p 0.049) Multivariate analysis shows overweight-obesity as an independent predictor of clinical outcome of MACE and the incidence of recurrent infarction. In conclusion, there is an association between BMI and long-term clinical outcomes of STEMI patients undergoing PPCI. Overweight and obese group showed better outcome in MACE and reinfarction within 2 years compared to Underweight-Normal group.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Palinggi, Bogie Putra
"Latar Belakang. Pada lesi stenosis bifurcatio arteri koroner, oklusi akut cabang arterikoroner utama dapat terjadi sebagai komplikasi intervensi koroner perkutan. Peranansudut karina sebagai salah satu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner dalammenyebabkan oklusi akut cabang arteri koroner utama pada tindakan intervensikoroner perkutan elektif masih diperdebatkan.
Tujuan. Menilai hubungan antara sudut karina bifurcatio arteri koroner sebagai salahsatu bagian karakteristik bifurcatio arteri koroner, terhadap kejadian oklusi akut cabangarteri koroner utama pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosisbifurcatio arteri koroner.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai hubunganantara sudut karina bifurcatio arteri koroner terhadap kejadian oklusi akut cabang arterikoroner utama, pada intervensi koroner perkutan elektif dengan lesi stenosis bifurcatioarteri koroner. Pengukuran sudut karina bifurcatio arteri koroner menggunakanperangkat lunak CAAS 5.1. Penilaian oklusi akut cabang arteri koroner utamadilakukan setelah intervensi koroner perkutan elektif.
Hasil. Sebanyak 113 lesi pada 108 sampel yang memenuhi kriteria inklusi periodeFebruari 2016 hingga Oktober 2016. Jumlah lesi oklusi akut cabang arteri koronerutama 15 13,3 , dengan median sudut karina bifurcatio arteri koroner 19,17.

Background. Side branch occlusion has been implicated as a complication afterpercutaneous coronary bifurcation intervention. The role of carina bifurcation angle asone of the characteristics of the coronary bifurcation lesion in causing side branchocclusion after percutaneous coronary bifurcation lesion intervention is still debated.
Objective. To assess the relationship betweeen carina bifurcation angles one of thecharacteristics of the coronary bifurcation lesion and side branch occlusion in electivepercutaneous coronary bifurcation lesion intervention.
Methods. This is a cross sectional study to assess the relationship between carinabifurcation angle and side branch occlusion in elective percutaneous coronarybifurcation lesions intervention. CAAS 5.1 software was used to measure carinabifurcation angle. Evaluation of acute occlusion of a side branch conducted afterelective percutaneous coronary intervention.
Results. A total of 113 lesions in 108 patients that met the inclusion criteria fromFebruary 2016 to October 2016. Side branch occlusion occurred in 15 lesions 13,3 ,with median carina bifurcation angle 19,170 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Membandingkan kadar IL-10 pada pasien sindrom koroner akut (SKA) dan pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK). Metode Subyek penelitian adalah pasien SKA yang dirawat di ruang rawat jantung intensif RSCM/FKUI, RS Persahabatan, RS MMC, dan RS Medistra Jakarta antara bulan Mei 2005 sampai Mei 2006. Pasien PJK rawat jalan diambil sebagai pembanding. Kadar seru interleukin 10 (IL-10) diukur pada kedua kelompok dengan metode radioimunoassay. Perbandingan kedua kelompok dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan. Untuk mengetahui apakah kadar IL-10 dapat digunakan sebagai prediksi SKA, maka dilakukan juga perhitungan sensitivitas dan spesifisitas IL-10. Hasil Telah dianalisa data dari 146 penderita (84 SKA dan 62 PJK). Kadar IL-10 pada penderita SKA (7.37 pg/mL + 7.81, CI 95% 5.68-9.07) lebih tinggi dibanding dengan penderita PJK (1.59 pg/mL + 1.55, CI 95% 1.2-1.98). Cut-off point optimum untuk kadar IL-10 adalah >1.95 pg/mL, dengan sensitivitas 79.76 % dan spesifisitas 77.42 %. Kesimpulan Kadar IL-10 pada kelompok SKA lebih tinggi secara bermakna dibanding kelompok PJK. Kadar IL-10 cukup baik digunakan sebagai prediksi SKA, walaupun tidak sebaik CRP.

Abstract
Aim To compare plasma IL-10 concentrations in patients with Acute Coronary Syndrome (ACS) with those in Coronary Artery Disease (CAD). Methods ACS patients hospitalized in intensive coronary care unit (ICCU) of Cipto Mangunkusumo Hospital/Faculty of Medicine University of Indonesia (CMH/FMUI), Persahabatan Hospital, MMC Hospital, and Medistra Hospital, Jakarta, between May 2005 and May 2006, were included in this study. The ambulatory CAD patients were taken as comparator. The serum IL-10 level was measured by immunoassay method, and compared by using Independent Student?s t-test. To investigate whether IL-10 serum level could predict ACS, the sensitivity and specificity of this parameter towards SKA in various IL-10 serum levels were calculated as well. Results In this observational study, as many as 146 subjects were analyzed, consisting of 84 ACS patients, and 62 coronary artery disease (CAD). The IL-10 level was higher in the group of ACS patients (7.37 pg/mL + 7.81, CI 95% 5.68-9.07) than that in CAD patients (1.59 pg/mL + 1.55, CI 95% 1.2-1.98). The optimal cut-off point for serum IL-10 level is >1.95 pg/mL, with 79.76 % sensitivity and 77.42 % specificity. Conclusion The IL-10 level was higher in the ACS patients compared to that in CAD patients. Serum IL-10 measurement is a quite superior method to distinguish acute and stable condition, eventhough it is not as good as hsCRP for the same purpose."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rosfiati
"Menghadapi tindakan diagnostik coronary angiography dan kemungkinan diintervensi lanjut dengan PCI, pasien APS sering cemas, merasa tidak nyaman karena stres. Cemas dan tidak nyaman sebagai respon fisiologis dan psikologis tubuh, terlihat juga pada perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pijat punggung terhadap tingkat kecemasan dan kenyamanan serta dampaknya pada tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu sebelum tindakan coronary angiography. Penelitian ini menggunakan desain equivalent pretest-posttest with control group quasi experiment, dengan pemilihan sampel probability simple random sampling sejumlah 30 responden. Data kecemasan dan kenyamanan dikumpulkan menggunakan kuesioner berskala 0–10, pengukuran tekanan darah dan jumlah denyut nadi menggunakan tensimeter digital dan suhu menggunakan termometer digital dengan baterai. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan sesudah pijat punggung pada tingkat kecemasan, tingkat kenyamanan, tekanan darah diastolik, nadi, respirasi, dan suhu (p= 0,002; 0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Pijat punggung dapat digunakan untuk mengurangi stres psikologis (kecemasan) dan meningkatkan kenyamanan pasien sebelum tindakan coronary angiography. Rekomendasi ditujukan kepada manajemen ruangan untuk mengaplikasikan pijat punggung sebagai bagian dari SPO angiography.

Dealing with coronary angiography diagnostic procedures and the possibility of being intervene with PCI, SAP patients are often anxious, feel uncomfortable due to stress. Anxiety and discomfort are physiological and psychological response, which can be noticed on the change in blood pressure status, pulse, respiration and body temperature. This research was conducted with the main objective to identify the effect of back rub on the level of patient anxiety and comfort before coronary angiography procedure. Design used in this research was an equivalent pretest-posttest with control group quasi experiment. Research was conducted using probability simple random sampling; with 30 respondents participated. A questionnaire was used for data collecting of anxiety level with 0–10 scale, digital sphygmomanometer was used for measuring blood pressure and pulse rate, and digital battery powered thermometer was used for measuring body temperature. The results showed differences after back-rub were found in anxiety, comfort, diastolic BP, pulse, respiration, and temperature (p= 0,002; 0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Based on the findings, it can be concluded that back-rub can be applied to reduce patient psychological stress (anxiety) and increase comfort before coronary angiography procedure. A recommendation is directed to the management of the ward to apply back-rub as a part of SOP of Angiography Procedure."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
610 UI-JKI 18:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>