Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178169 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Puspito Sari
"Biofilm adalah struktur kompleks tiga dimensi yang terdiri dari bakteri hidup dalam matriks ekstraselular atau excreted polymeric substance (EPS) yang mengandung polisakarida, asam nukleat dan protein. Infeksi yang diakibatkan biofilm sulit untuk dieradikasi, karena EPS pada biofilm dapat meningkatkan resistensi bakteri dan menghambat antibiotik mencapai bakteri tersebut. Biofilm dapat melekat pada alat-alat kesehatan seperti kanul trakeostomi.  Pembentukan kolonisasi bakteri biofilm pada kanul trakeostomi dapat menyebabkan inflamasi kronik yang memicu infeksi stoma dan saluran pernapasan bawah, serta pembentukan jaringan granulasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai biofilm dan mikroba pembentuk biofilm, serta faktor risiko yang mempengaruhi pembentukannya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari 2019 sampai dengan Agustus 2019 terhadap pasien yang terpasang kanul trakeostomi usia dewasa. Dari penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor risiko penyakit komorbid dengan peningkatan pembentukan biofilm pada pasien terpasang kanul trakeostomi.

Biofilm is a three-dimensional complex structure consisting of living bacteria in an extracellular matrix or excreted polymeric substance (EPS) containing polysaccharides, nucleic acids and proteins. Infections caused by biofilms are difficult to eradicate, because EPS in biofilms can increase bacterial resistance and prevent antibiotics from reaching the bacteria. Biofilms can be attached to medical devices such as tracheostomy cannula. The formation of bacterial colonization of biofilms in tracheostomy cannulas can cause chronic inflammation that triggers stoma and lower respiratory tract infections, and the formation of granulation tissue. This study aimed to increase knowledge about biofilms and biofilm-forming microbes, and risk factors that influence its formation. This cross-sectional designs study, conducted at the ENT polyclinic FKUI-RSCM Dr. Cipto Mangunkusumo on February 2019 to August 2019 of adult patients with tracheostomy cannula.There was a statistically significant correlation between risk factors of comorbid disease with an increase of the biofilms formation in patients with tracheostomy cannula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Fitriana Sari
"Metode paling efektif eliminasi E. faecalis adalah kombinasi NaOCl, EDTA, dan CHX.Namun penelitian menunjukkan presipitasi mengandung para-chloroaniline (PCA) akibat reaksi NaOCl dengan CHX.Oleh karena itu alexidine (ALX) diteliti sebagai alternatif irigan CHX Penelitian ini bertujuan membandingkan daya antibakteri ALX 2% dan CHX 2% terhadap biofilm E. faecalis.Biofilm E. faecalis ATCC 29212 pada membran selulosa nitrat dipapar ALX 2% dan CHX 2%.Sebelum tahap real-time PCR ditambahkan PMA (100 um). Jumlah bakteri hidup lebih rendah secara signifikan pada CHX 2% dibandingkan ALX 2% dan kontrol (P ≤ 0,05). Hasilnya dapat disimpulkan bahwa daya antibakteri ALX 2% lebih rendah dibandingkan CHX 2%.

Most effective methods to eliminate E. faecalis is combination NaOCl, EDTA, and CHX. However studies reported formation para-chloroaniline (PCA) after a reaction of NaOCl and CHX. Therefore Alexidine was studied to be a possible replacement of CHX. Objective of this studies is to evaluate antibacterial efficacy of ALX 2% and CHX 2% against E. faecalis biofilm. Membrane cellulose nitrat containing biofilm E. faecalis ATCC 29212 transferred to each antimicrobial. Before qPCR, PMA was added (100 um). Significantly fewer live bacteria in 2% CHX than 2% ALX and control group (P ≤ 0.05). It was concluded that antibacterial effect ALX 2% is lower than 2% CHX against biofilm E. faecalis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Revyliana Marta Betzy
"Latar Belakang: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan tanaman herbal Indonesia yang telah diketahui memiliki efek antibakteri dan antijamur khususnya terhadap S. mutans dan C. albicans. Dalam rongga mulut, S. mutans dan C. albicans memiliki hubungan sinergis dalam pembentukan biofilm. Ikatan sinergis dual species dalam biofilm tersebut dapat meningkatkan resistensi terhadap agen antimikroba. Dalam pengembangan ekstrak etanol temulawak, diperlukan keamanan dan kualitas tanaman yang baik, yang dapat dilihat dari kemampuannya dalam mempertahankan stabilitas fisika, kimia, dan biologisnya dalam durasi dan temperatur penyimpanan yang berbeda. Tujuan: Menganalisis efek ekstrak etanol temulawak dalam mengeradikasi perkembangan biofilm single species dan dual species (S. mutans dan C. albicans), serta pengaruh durasi dan temperatur penyimpanan terhadap stabilitas biologis ekstrak etanol temulawak. Metode: Pemaparan ekstrak etanol temulawak pada biofilm single species dan dual species (S. mutans dan C. albicans) selama 6 jam untuk mencapai biofilm fase awal, dan dilakukan TPC dan MTT Assay. KEBM diuji dengan memaparkan ekstrak etanol temulawak pada biofilm usia 6 jam. Stabilitas biologis ekstrak dapat diamati melalui uji kontaminasi mikroba pada ekstrak etanol temulawak yang disimpan pada temperatur 4°C dan 28°C dan dilakukan pengujian setiap 2 minggu selama 4 minggu. Pengujian dilakukan dengan melakukan pengenceran ekstrak etanol temulawak yang ditumbuhkan pada medium Plate Count Agar (PCA) dan dilakukan perhitungan koloni atau Total Plate Count (TPC), yang kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Ekstrak etanol temulawak memiliki nilai KEBM50 pada biofilm single species (S. mutans maupun C. albicans) pada fase awal sebesar 15%. Sedangkan pada dual species (S. mutans dan C. albicans) fase awal sebesar 25%. Kontaminasi mikroba yang terjadi masih berada di bawah batas produk farmasi non steril (<107 CFU/gr). Kesimpulan: Ekstrak etanol temulawak mampu mengeradikasi biofilm single species dan dual species (S. mutans dan C. albicans) pada fase awal. Diperlukan konsentrasi ekstrak etanol temulawak yang lebih tinggi untuk menghambat dan mengeradikasi biofilm dual species dibandingkan single species. Ekstrak etanol temulawak yang disimpan pada temperatur 4°C dan 28°C masih dapat mempertahankan stabilitas biologisnya bahkan setelah durasi 4 minggu penyimpanan.

Background: Javanese turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb) is an Indonesian native herbal plant which is known to have antibacterial and antifungal effects, especially against S. mutans and C. albicans. In the oral cavity, S. mutans and C. albicans have a synergistic relationship in the formation of biofilm. The synergistic bond of dual species in the biofilm can increase resistance to antimicrobial agents. In the development of Javanese ethanol extract, good safety and quality of the plant is needed, which can be seen from its ability to maintain its physical, chemical, and biological characteristics in different storage duration and temperatures. Objective: To analyze the effect of Javanese turmeric ethanol extract in eradicating the development of single species and dual species (S. mutans and C. albicans) biofilm, and the effect of storage duration and temperature on the biological characteristic of Javanese turmeric ethanol extract. Methods: Exposure of Javanese turmeric ethanol extract to single species and dual species (S. mutans and C. albicans) biofilm for 6 hours to achieve early phase, and measured by TPC and MTT Assay. MBEC was tested by exposing Javanese turmeric ethanol extract to a 6 hour old biofilm. Biological characteristic can be observed through microbial contamination test on Javanese ethanol extract stored at 4°C and 28°C and tested every 2 weeks for 4 weeks long. The test was carried out by diluting the Javanese turmeric ethanol extract grown on Plate Count Agar (PCA) medium and total plate count (TPC), then were statistically analyzed using the Mann-Whitney test. Results: MBEC50 of Javanese turmeric ethanol extract for single species (S. mutans as well as C. albicans) in early phase were 15%. And for dual species (S. mutans and C. albicans) in early phase were 25%. The microbial contamination that occurred was still below the limit for non-sterile pharmaceutical products (<107 CFU/gr) Conclusion: Javanese ethanol extract has the ability to eradicate single species and dual species (S. mutans and C. albicans) in the early phase. Higher concentrations of Javanese turmeric ethanol extract are required to eradicate dual species than single species biofilm. Javanese turmeric ethanol extract stored at 4°C and 28°C still maintained its biological characteristics even after 4 weeks of strorage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasi Suci Ramadhani
"Latar Belakang: Invasi mikroorganisme kedalam pulpa dan tubuli dentin merupakan penyebab infeksi saluran akar. Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang sering ditemukan dalam infeksi primer, sekunder maupun persisten, memiliki kemampuan membentuk biofilm dan dapat bertahan hidup dalam kondisi yang ekstrim tanpa nutrisi sehingga bakteri ini sangat sulit dieliminasi. Preparasi kemomekanis tidak cukup untuk menghilangkan infeksi. Diperlukan suatu bahan irigasi untuk membantu menghilangkan  bakteri sehingga menyempurnakan preparasi saluran akar. Bahan irigasi herbal diperlukan sebagai alternatif pengganti bahan irigasi kimia untuk meminimalisir efek toksik dan resisten, namun tetap memiliki efek antibakteri yang setara dengan bahan irigasi kimia.
Tujuan: Menganalisa efek antibakteri larutan ektrak kayu secang terhadap biofilm E. faecalis isolat klinis.
Metode: Biofilm E. faecalis isolat klinis dibagi menjadi enam kelompok perlakuan untuk dipaparkan dengan bahan uji ekstrak kayu secang dengan konsentrasi 312 µg/ml, 625 µg/ml, 1250 µg/ml, 2500 µg/ml, 5000 µg/ml dan CHX 2% kemudian diuji dengan metode hitung koloni dan MTT assay.
Hasil: Didapatkan hasil dari kedua uji yang dilakukan bahwa konsentrasi optimum yang memiliki efek antibakteri setara dengan CHX 2% adalah konsentrasi 625 µg/ml.
Kesimpulan: Larutan ekstrak kayu secang memiliki efek antibakteri terhadap biofilm E. faecalis isolat klinis yang setara dengan CHX 2%.

Background: Microorganism invasion to the pulp and dentinal tubules is the cause of root canal infection. Enterococcus faecalis  commonly found in primary, secondary and persitent infection because it has ability to form biofilms and can survive in extreme conditions without nutrition, so these bacteria are very difficult to obliterate. Chemomechanical preparation not enough to eliminate infection. Materials needed to eliminate bacteria. Herbal irrigation required as an alternative chemical materials  to minimize toxicity and resistant effect, but still have an antibacterial effect comparable to chemical irrigation materials.
Objective: To analyze the antibacterial effects of secang heartwood againts E. faecalis biofilm clinical isolates.
Methods: em>E. faecalis biofilms were clinically suitable isolates into six treatment groups to be presented with secang heartwood extract test materials with a concentration of 312 µg/ml, 625 µg/ml, 1250 µg/ml, 2500 µg/ml, 5000 µg/ml and CHX 2% then examined by the colony forming unit and MTT assay methods.
Results: Obtained results from both test carried out that the optimum concentration which has an antibacterial effect along with 2% CHX is concentration of 625 µg/ml.
Conclusion: Secang wood extract solution has an antibacterial effect on E. faecalis bioflim clinical isolates that are comparable to CHX 2%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Mikroba di alam hidup di dalam matriks biofilm sebagai komunitas dengan karakteristik yang berbeda dari mikroba planktonik. Biofilm adalah habitat dominan mikroba dan memerankan berbagai fungsi penting di ekosistem akuatik, seperti menjadi tempat akumulasi berbagai jenis ion dan terlibat aktif dalam proses sirkulasi nutrien. Berdasarkan peran pentingnya di ekosistem akuatik, biofilm dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan lingkungan perairan seperti untuk biomonitoring dan biosorpsi berbagai bahan pencemar seperti logam berat. Buku ini menjelaskan konsep dasar dan memberikan contoh dari aplikasi biofilm sebagai agen biomonitoring dan biosorpsi logam berat. Pembahasan dalarn buku ini menjadi fundamen dalam pengembangan teknologi eko-akuatik berbasis biofilm untuk pengelolaan ekosistem akuatik."
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2022
579 BIO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnul Layli Putri Marsal
"ABSTRAK
Sistem Microbial Electrolysis Cell (MEC) merupakan teknologi yang menjanjikan untuk produksi energi alternatif hidrogen dari air limbah dengan konsumsi energi yang rendah. Laju produksi hidrogen dengan sistem MEC lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi hidrogen menggunakan metode lain. Sejauh ini, upaya optimasi yang dilakukan masih terfokus pada desain konstruksi sistem dan faktor eksternal sehingga peninjauan optimasi laju produksi hidrogen berdasarkan transfer elektron dari mikroorganisme dalam sistem masih diperlukan. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau pengaruh pembentukan biofilm pada anoda terhadap laju produksi hidrogen. Sistem MEC yang digunakan adalah MEC satu kompartmen, dengan kondisi operasi optimum berdasarkan pengujian penambahan variasi bakteri P. stutzeri dan P. aeruginosa sebagai inhibitor metanogen. Pada penelitian ini, pengaruh pembentukan biofilm ditinjau dengan pengaturan variasi waktu pembentukan biofilm sebelum dilakukan operasi MEC. Variasi waktu yang digunakan adalah 1, 2, 3, 4 dan 5 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh pembentukan biofilm akibat waktu inkubasi terlama terhadap produksi hidrogen yang optimum. Produksi hidrogen dengan 5 hari inkubasi sebelum operasi mampu memperkaya bakteri pada biofilm yang terbentuk dan meningkatkan produksi hidrogen 70,69 lebih besar jika dibandingkan dengan reaktor kontrol.

ABSTRACT
Microbial Electrolysis Cell (MEC) is a promising technology enabling the sustainable production of hydrogen as energy alternative from wastewater with low energy input. The hydrogen production rate of MEC is relatively lower than that of other methods. So far, MEC optimization still focused on the reactor construction design and external factors while the optimization of MEC from internal factor, which is electron transfer from microorganisms in the system, is still needed. This research analyzes the effect of anodic biofilm formation to biohydrogen production in MEC system. The research will be done based on Single-Chamber MEC configuration with optimum operating conditions based on the effect of P. stutzeri and P.aeruginosa addition as methanogen inhibitor. The effect of anodic biofilm formation is adjusted by giving variation of biofilm formation time prior to MEC operation. The time variations used are 1, 2, 3, 4 and 5 days. Hydrogen concentrations produced at the cathode will be tested through Gas Chromatography and anodic biofilm morphology at the anode will be tested through Scanning Electron Microscope (SEM) in order to analyze the effect of anodic biofilm formation to hydrogen production. The optimal hydrogen yield are affected by anodic biofilm enrichment as the higher biofilm formation time occurred. Experimental results showed H2 yield with five days incubation prior to MEC operation producing up to 70.69 compared to the control."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Adelia
"Latar belakang: Penelitian terdahulu telah menunjukkan peran penting bakteri Rothia
spp. dalam keseimbangan mikrobioma oral. Mikrobioma oral yang seimbang berperan
terhadap pencegahan berbagai penyakit rongga mulut. Namun, pengaruh pemberian nitrat
terhadap pertumbuhan bakteri tersebut masih belum sepenuhnya dipahami, terutama pada
kelompok individu yang memiliki kebiasaan merokok. Merokok dapat mengubah
komposisi mikrobiota oral dan memengaruhi metabolisme bakteri, sehingga penting
untuk menyelidiki bagaimana pajanan nitrat dapat memodulasi pertumbuhan bakteri ini
dalam konteks tersebut. Dasar dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
potensi pajanan nitrat yang berasal dari sayur-sayuran dalam meningkatkan jumlah
bakteri pereduksi nitrat pada biofilm saliva subjek perokok usia dewasa muda.Tujuan:
Melihat potensi nitrat larutan daun arugula dalam meningkatkan pertumbuhan bakteri
Rothia spp. pda perokok usia dewasa muda. Metode: Sampel saliva hasil pooling
dikelompokkan berdasarkan pH supernatant saliva dan kebiasaan merokok. Kemudian,
sampel diberikan pajanan larutan daun arugula dengan konsentrasi nitrat berbeda (6,25
μM dan 3,25 μM) dan durasi pajanan berbeda (5 dan 9 jam) untuk melihat perubahan
terhadap pH supernatant saliva, kadar nitrit saliva dan jumlah bakteri Rothia spp.
Pengukuran pH supernatant saliva dilakukan menggunakan kertas strip pH. Pengujian
kadar nitrit saliva dilakukan dengan uji griess pada sampel yang merepresentasikan kadar
nitratnya. Metode Total Plate Count digunakan untuk menghitung jumlah bakteri Rothia
spp. yang tumbuh pada medium spesifik. Untuk memastikan benar bakteri Rothia spp. yang tumbuh, dilakukan pewarnaan gram dan PCR konvensional dengan primer Rothia. Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pajanan larutan daun arugula terhadap kadar nitrit saliva dan jumlah bakteri Rothia spp. Terdapat pola peningkatan kadar nitrit saliva berdasarkan durasi pajanan dengan hasil yang berbanding lurus dengan jumlah bakteri Rothia spp. Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan pajanan larutan daun arugula mampu mempertahankan dan mengurangi asidifikasi pH supernatant saliva. Secara umum, potensi nitrat asal daun arugula konsentrasi 3,25 μM memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan nitrat asal daun arugula konsentrasi 6,25 μM dalam meningkatkan pertumbuhan bakteri Rothia spp.

Background:Previous research has shown the important role of Rothia spp. in maintaining the balance of oral microbiome. A balanced oral microbiome plays a crucial role in preventing various oral diseases. However, the effects of nitrate administration on the growth of these bacteria are not fully understood, especially in individuals who smoke. Smoking can alter the composition of oral microbiota and affect bacterial metabolism, making it important to investigate how nitrate exposure can modulate the growth of these bacteria. The basis of this research is to explore the potential of nitrate exposure derived from vegetables in increasing the number of nitrate-reducing bacteria in the salivary biofilm of young adult smokers. Objectives: The objective of this study is to investigate the potential of nitrate originating from arugula leaves in increasing the number of Rothia spp. bacteria in young adult smokers. Methods: Saliva samples were pooled based on supernatant pH and smoking habit. The samples were then exposed to arugula leaf solution with different nitrate concentration (6,25 μM dan 3,25 μM) and different exposure durations (5 and 9 hours) to observe changes in supernatant pH, nitrite levels, and the viability of Rothia spp. bacteria. Supenatant pH was measured using pH strips. The nitrite levels in saliva were tested using the Griess assay. The total plate count method was used to calculate the viability of Rothia spp.bacteria growing on specific media. To confirm that the bacteria growing were indeed Rothia spp., gram staining and conventional PCR with Rothia primers were performed. Results: There is no significant difference between the exposure of arugula leaf solution regarding the level of nitrite in saliva and the viability of Rothia spp. This study shows a pattern of increased nitrite levels in saliva according to the duration of exposure, which are linear with the viablity of Rothia spp. Conclusion: The results of the study indicate that exposure to arugula leaf solution can maintain and reduce the acidification of supenatant pH. In general, the nitrate potential of arugula leaves at a concentration of 3,25 μM has a higher potential compared to the nitrate potential of arugula leaves at a concentration of 6,25 μM in enhancing the growth of Rothia spp. bacteria."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnesia Tiara Pungki
"Latar Belakang: Interaksi antagonisme maupun sinergisme antara bakteri komensal dan patogen tercipta dalam keseimbangan mikrobiota oral. Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis) sebagai periodontoaptogen dapat mengganggu homeostasis host-mikroba. Streptococcus sanguinis (S. sanguinis) sebagai bakteri komensal, juga mampu mempertahankan homeostasis rongga mulut yang sehat dengan menghambat pertumbuhan P. gingivalis. Di sisi lain, periodontopatogen Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans) terbukti mampu bertahan ketika berinteraksi dengan Streptococcus spp. melalui protein yang disekresikannya. Namun belum ada penelitian yang membuktikan apakah konsentrasi protein A. actinomycetemcomitans juga dapat membantu P. gingivalis untuk bertahan ketika berinteraksi dengan S. sanguinis. Dapat digunakan cell free-spent medium yang merupakan medium sisa hasil kultur bakteri yang telah dilakukan filtrasi sehingga hanya tersisa produk ekskresi A. actinomycetemcomitans sebagai intervensi untuk melihat pengaruh konsentrasi protein A. actinomycetemcomitans terhadap dual-spesies S. sanguinis - P. gingivalis. Tujuan: Mengetahui dampak pemberian cell-free spent medium Aggregatibacter actinomycetemcomitans terhadap pertumbuhan biofilm kombinasi Streptococcus sanguinis dan Porphyromonas gingivalis. Metode: Digunakan uji Bradford untuk menetapkan total konsentrasi protein, uji Crystal Violet untuk menetapkan pembentukan massa biofilm, dan uji Total Plate Count untuk menetapkan viabilitas spesies. Masing-masing perlakuan dibedakan berdasarkan konsentrasi protein spent medium 1%, 10%, dan 100%, serta waktu inkubasi 3 jam, 24 jam, dan 48 jam. Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakana massa biofilm berdasarkan konsentrasi protein. Terdapat perbedaan bermakana massa biofilm berdasarkan waktu inkubasi yaitu pada konsentrasi protein 1% dan 10%. Tidak terdapat perbedaan bermakna viabilitas S. sanguinis dan P. gingivalis berdasarkan konsentrasi protein dan waktu inkubasi. Kesimpulan: Keberadaan protein yang diekskresikan oleh A. actinomycetemcomitans tidak mempengaruhi antagonisme S. sanguinis dan P. gingivalis ketika tumbuh sebagai biofilm in vitro. Waktu inkubasi hanya berpengaruh pada massa biofilm dual spesies S. sanguinis- P. gingivalis.

Background: Balance of the oral microbiota creates both synergistic and antagonistic relations between commensal and pathogenic bacteria. Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis) can disrupt microbial-host homeostasis. Streptococcus sanguinis (S. sanguinis) is also able to maintain a healthy oral homeostasis by inhibiting the growth of P. gingivalis. Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans) has been shown to survive interactions with Streptococcus spp. through the proteins they secrete. There is no research that proves whether the protein concentration of A. actinomycetemcomitans can also help P. gingivalis in interactions with S. sanguinis. Cell free-spent medium can be used, residual medium from bacterial culture that has been filtered so that only the excretion product of A. actinomycetemcomitans remains. Purpose: To determine the effect cell-free spent medium Aggregatibacter actinomycetemcomitans on the growth of Streptococcus sanguinis and Porphyromonas gingivalis dual-species biofilm. Methods: Bradford Assay determines the total protein concentration, Crystal Violet Assay determines the formation of biofilm mass, and Total Plate Count to determines the viability of each species. Each treatment was differentiated based on protein concentration inside the spent medium, of 1%, 10%, and 100%, and an incubation period of 3 hours, 24 hours, and 48 hours. Results: There was no significant difference in biofilm mass based on protein concentration. However, there was a significant difference in the mass of the biofilm based on the incubation period between 1% and 10% protein concentrations. There was no significant difference in the viability of S. sanguinis and P. gingivalis. Conclusion: The presence of protein excreted by A. actinomycetemcomitans did not affect the antagonism between S. sanguinis and P. gingivalis when grown as in vitro biofilms. Incubation time only affects the biofilm mass of the dual species S. sanguinis-P. gingivalis."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soeherwin Mangundjaja
Jakarta: UI-Press, 2008
PGB 0272
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
"The multi species oral bacterial biofilm contributs to plaque formation, tooth caries, infection of oral mucosa and also periodontal disease. Caries prevention is possible by controlling the bacterial population, eg by application. Betacactam antibiotics are drugs of choise because most oral infections are caused by mixture of anaerobic bacteria. The peptidoglican reaction in bacterial cell walls by betalactam resuls in bacterial lysis. Recently, bacterial resistance to betalactam antibiotics has been found to occur frequently by several cellular mechanisms, such as bacterial production of B-lactamase, mutation of penicillin-binding protein (PBP) with low affinity to antibiotics, or decrease of cell wall permeability to betalactam. Bacteria can acquire resistance genes by mutation or exchange of genes."
Journal of Dentistry Indonesia, 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>