Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34011 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Background: some studies show fragmanted QRS (fQRS) as a marker of myocardial scar, ventricular arrhythmia, ventricular remodelling and worse coronary collaterals flow, which can increase the incidence of major adverse cardiac event (MACE) after infarction. This study aimed to identify the role of fQRS as one of the risk factors for MACE (cardiac death and reinfarction) in acute coronary syndrome patients within 30 days observation.
Methods: a cohort retrospective study was conducted using secondary data of acute coronary syndrome patients at Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2015 to October 2017. Multivariate analysis were done by using logistic regression with GRACE score (moderate and high risk), low eGFR (< 60 ml/min), low LVEF (< 40%), diabetes mellitus, age more than 45 years and hypertension as confounding factors.
Results: three hundred and fifty three (353) subjects were included. Fragmented QRS was found in 60,9 % subjects. It was more frequent in inferior leads (48.8% ) with mean onset of 34 hours. Major adverse cardiac events were higher in fQRS vs. non-fQRS group (15.8% vs. 5.8 %). Bivariate analysis showed higher probability of 30 days MACE in fQRS group (RR 2.72; 95%CI 1.3 -5.71p=0.08). Multivariate analysis revealed adjusted RR of 2.79 (95% CI: 1.29 - 4.43, p<0.05). Low eGFR was a potential confounder in this study.
Conclusion: persistent fQRS developed in ACS during hospitalization is an independent predictor of 30 days MACE cardiac death and re-infarction.

Latar belakang: beberapa penelitian menunjukkan komplek QRS terfragmentasi (fQRS) sebagai penanda bekas luka miokard, substrat aritmia ventrikel, remodeling ventrikel, dan aliran kolateral koroner yang lebih buruk, yang dapat meningkatkan insidensi kejadian kardiak yang merugikan (MACE) setelah infark. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran fQRS sebagai salah satu faktor risiko untuk MACE (kematian jantung dan reinfarction) pada pasien sindrom koroner akut dalam 30 hari pengamatan.
Metode: penelitian retrospektif kohort dilakukan dengan menggunakan data sekunder pasien sindrom koroner akut di Unit Perawatan Jantung Intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Juli 2015 hingga Oktober 2017. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dengan mengambil skor GRACE (risiko sedang dan tinggi), eGFR rendah (<60 ml/ mnt), LVEF rendah (<40%), diabetes mellitus, usia lebih dari 45 tahun dan hipertensi sebagai faktor perancu,.
Hasil: 353 subjek berhasil dikumpulkan pada penelitian ini. QRS terfragmentasi ditemukan pada 60,9% subjek; lebih sering terjadi pada sadapan inferior (48,8%) dengan awitan rata-rata 34 jam. Kejadian kardiovaskular mayor (KKM) lebih tinggi pada kelompok fQRS vs non-fQRS (15,8% vs 5,8%). Analisis bivariat menunjukkan probabilitas 30 hari KKM yang lebih tinggi dalam kelompok fQRS (RR 2,72; 95% CI 1,3 -5,71p = 0,08). Analisis multivariat menunjukkan RR 2,79 (CI 95%: 1,29 - 4,43, p <0,05). EGFR yang rendah adalah perancu potensial dalam penelitian ini.
Kesimpulan: fQRS persisten yang terjadi pada ACS selama rawat inap adalah prediktor independen untuk kematian 30 hari pasca kejadian kardiovaskular mayor.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Kematian kardiak dan reinfark merupakan MACE yang sering terjadi pada pasien SKA. Gelombang fragmented QRS fQRS merupakan penanda iskemia atau jejas miokardium dini pada pasien sindrom koroner akut SKA. Peran fQRS terhadap MACE 30 hari perlu diteliti lebih lanjut pada pasien SKA.
Tujuan: Mengetahui peran fQRS sebagai prediktor MACE berupa reinfark dan kematian kardiak pada pasien SKA di ICCU selama 30 hari.
Metode: Studi dengan desain kohort retrospektif untuk meneliti peran gelombang fragmented QRS sebagai prediktor MACE selama 30 hari pasien SKA, dengan menggunakan data rekam medis pasien SKA yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada bulan Juli 2015 - Oktober 2017. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR terjadinya MACE dalam 30 hari antara kelompok fQRS terhadap kelompok non-fQRS dengan menggunakan SPSS.
Hasil: Dalam 2 tahun, didapatkan jumlah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 353 orang. Fragmented QRS didapatkan pada 60,9 subyek, dengan lokasi terbanyak di inferior 48,8 dan rerata onset 34 jam. Proporsi kejadian MACE 30 hari lebih tinggi pada grup fQRS vs non fQRS 15,8 vs 5,8. Pada analisis bivariat didapatkan fQRS meningkatkan probabilitas terjadinya MACE selama 30 hari pada pasien SKA, dengan risiko relatif RR sebesar 2,72 IK 95 1,3 -5,71. Sedangkan pada analisis multivariat, didapatkan adjusted RR 2,79 IK 95 1,29 - 4,43, setelah memperhitungkan 6 faktor perancu, yakni skor GRACE risiko sedang-berat, eGFR kurang dari 60 ml/menit, LVEF kurang dari 40, riwayat diabetes melitus, usia lebih dari 45 tahun dan hipertensi. Laju eGFR merupakan faktor perancu yang memberikan perubahan paling besar, yakni 12,4.
Kesimpulan: Proporsi fQRS pada SKA selama perawatan di ICCU RSCM sebesar 60,9. Fragmented QRS yang muncul pada fase akut pada pasien SKA yang dirawat di ICCU merupakan prediktor independen terjadinya MACE dalam 30 hari dan meningkatkan probabiltas terjadinya MACE 30 hari berupa kematian kardiak dan reinfark pada pasien SKA.

Background: Cardiac death and reinfarction are most common major adverse cardiac events in acute coronay syndrome. Fragmented QRS fQRS in 12 leads ECG is associated with myocardial injury and ischaemia in coronary artery disease. The role of fQRS as predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction needs to be evaluated in acute coronary syndrome patients in Indonesia.
Objectives: To identify proportion and role of fQRS as a predictor 30 days MACE in acute coronary syndrome patients.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data acute coronary syndrome patients in Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2015 ndash October 2017. Analysis was done by using SPSS statistic for univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of probability 30 days MACE patient with fQRS.
Result: Three hundred and fifty three subjects during 2 years were included in this study. Fragmented QRS was found in 60,9 subjects, more frequent in inferior leads 48,8, with mean onset 34 hours. Major adverse cardiac events were higher in fQRS vs non fQRS group 15,8 vs 5,8. Bivariate analysis showed higher probability of 30 days MACE in ACS patient RR 2,72, 95 CI 1,3 5,71. Multivariate analysis were done by using logistic regression with GRACE score moderate and high risk, low eGFR 60 ml min, low LVEF 40, diabetes melitus, age more than 45 years and hypertension as confounding factors, revealed adjusted RR was 2,79 95 CI 1,29 ndash 4,43. Low eGFR was a potential confounder in this study.
Conclusion: The fQRS proportion in ACS patients during ICCU admission was 60,9. Acute and persistent fQRS developed in ACS during hospitalization was an independent predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction.Keywords fQRS, acute coronary syndrome, Major adverse cardiac event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yuda Herdanto
"Prevalensi aritmia ventrikel maligna pasca koreksi Tetralogi Fallot (TOF) masih tinggi. Deteksi dini aritmia pasca operasi dilakukan dengan perekaman holter EKG. Modalitas ini tidak tersedia luas di seluruh pelayanan kesehatan. Perlu adanya studi yang menilai hubungan antara fragmentasi QRS berat yang dinilai dengan menggunakan EKG 12 sadapan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca koreksi TOF. Studi observasional (potong lintang) pada 59 pasien pasca koreksi TOF >1 tahun dari waktu operasi. Dilakukan pemeriksaan EKG  12 sadapan untuk menilai derajat fragmentasi QRS dan dinilai hubungannya dengan temuan aritmia ventrikel berpotensi maligna dari holter EKG 24 jam. Fragmentasi QRS pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai berat (fragmentasi >5 sadapan) dan tanpa fragmentasi berat (0–5 sadapan).  Sebesar  37,3% pasien menjalani operasi koreksi TOF  pada usia >3 tahun. Terdapat 89,8% subyek dengan fragmentasi QRS, dan 57,6% diantaranya dengan fragmentasi QRS berat. Kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna ditemukan pada 40,7% subyek, dan 45,8% diantaranya tidak mempunyai keluhan. Berdasarkan analisis multivariat, fragmentasi QRS derajat berat (OR 8,6[95% IK1,9 – 39,5]) dan interval operasi >7 tahun (OR 8,9[95% IK2,2 – 35,9]) merupakan faktor independen aritmia ventrikel (p<0,05). Terdapat hubungan antara derajat fragmentasi QRS berat dengan kejadian aritmia ventrikel berpotensi maligna, dengan besar risiko delapan kali dibanding pasien tanpa fragmentasi QRS berat.

The prevalence of malignant ventricular arrhythmias after Tetralogy of Fallot (TOF) repair is high. Through ECG holter monitoring, early detection for post-operative arrhythmia can be achieved. Unfortunately, this modality is not widely available. Further study is necessary to evaluate the association between severe QRS fragmentation from 12-leads ECG and incidence of ventricular arrhythmias after TOF repair. This cross-sectional study was done in 59 repaired TOF patients >1 year from time of surgery. QRS fragmentation was defined as notches in QRS complex and classified as severe QRS fragmentation (>5 leads) and none-to-moderate QRS fragmentation (0 – 5 leads). Mean age of 193 + 151 months, 37.3% of patients underwent surgery > 3 years of age. QRS fragmentation was found in 89.8% of subjects, and 57.6% presented with severe QRS fragmentation. The incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias was 40.7%, but 45.8% were asymptomatic. On multivariate analysis, severe QRS fragmentation (OR 8,6[95% CI1,9 – 39,5]) and over than 7 years of operating intervals (OR 8,9[95% CI2,2 – 35,9]) were found as independent factors for ventricular arrhythmia occurrence (p <0.05). There is an association between severe QRS fragmentation and incidence of potentially malignant ventricular arrhythmias, with eight times greater risk in patients with none-to-moderate QRS fragmentation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Reno Indrisia
"Latar Belakang : Hubungan antara KVP dengan fungsi ventrikel kanan belum banyak diketahui. Disfungsi ventrikel kiri akibat KVP dikenal sebagai kardiomiopati akibat KVP( KM-KVP) dan dengan menghilangkan substrat KVP akan memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Efek ablasi pada perubahan fungsi ventrikel kanan pada pasien dengan disfungsi veentrikel kanan yang subklinis belum diketahui.
Tujuan : Mengetahui perubahan parameter fungsi ventrikel kanan pasca ablasi pada kelompok yang mengalami disfungsi ventrikel kanan pre ablasi ataupun kelompok dengan fungsi ventrikel kanan yang normal pre ablasi.
Metode : Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dasar dan speckle tracking pada 42 pasien dengan KVP idiopatik aksis inferior sebelum dan setelah 1 bulan pasca keberhasilan ablasi.
Hasil : Beban dan durasi kompleks QRS pada KVP secara signifikan lebih tinggi pada kelompok disfungsi ventrikel dibandingkan dengan kelompok dengan fungsi ventrikel kanan yang normal (p = 0,012 dan p = 0,09) . Terdapat perubahan parameter fungsi ventrikel kanan pada kelompok tidak disfungsi yakni FWLS 3,8 ± 2,1% (p< 0,001) dan GLS 2,3 ± 1,7% ( p< 0,001). Terdapat peubahan yang signifikan pada pasien dengan disfungsi yakni FWLS 9,7 ± 4,0 (p <0,001) dan GLS 7,5 ± 4,2 ( p <0,001). Analisis multivariat menunjukkan nilai FWLS dan GLS yang lebih rendah pre ablasi berkorelasi dengan perubahan fungsi ventrikel kanan yang lebih baik.
Kesimpulan : Pasien KVP simptomatik yang mengalami disfunfgsi ventrikel kanan mendapatkan keuntungan dari efek ablasi.

Background The relationship between premature ventricular contractions (PVC) and right ventricular (RV) function is not widely known. Left ventricular dysfunction due to PVC is known as PVC-Induced cardiomyopathy (PIC) and suppressing the PVC substrate would improve left ventricular function. The effect of PVC ablation on changes in right ventricular (RV) function in patients with subtle subclinical RV dysfunction remains unknown.
Objective Understanding the alterations in RV function parameters after PVC ablation.
Method :Basic and speckle-tracking echocardiography has been performed on 42 individuals with symptomatic idiopathic inferior axis PVC before and one month after a successful ablation.
Result The burden and QRS duration of premature ventricular contractions (PVC) were notably higher in the group with right ventricular (RV) dysfunction compared to those with normal RV function (p=0.012 and p=0.009, respectively). In both groups, measurements of RV function before and after ablation, specifically global longitudinal strain (GLS) and free wall longitudinal strain (FWLS), demonstrated significant changes. These improvements were more pronounced in the group with RV dysfunction (FWLS 9.7 ± 4.0, p< 0.001; GLS 7.5 ± 4.2, p< 0.001). Lower initial FWLS and GLS before ablation emerged as significant parameters in the multivariate analysis for the improvement of RV function post-ablation.
Conclusion :Patients with RV dysfunction had higher PVC burden and wider QRS duration. Patients with idiopathic PVC and impaired RV function may experience improvements in RV function after successful PVC ablation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agita Maryalda Zahidin
"Latar Belakang: Kompleks prematur ventrikel (KVP) dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi ventrikel dan gagal jantung, dan meningkatkan mortalitas jangka panjang. Variasi sirkadian yang rendah merupakan salah satu prediktor terjadinya kardiomiopati yang diinduksi oleh KVP. KVP idiopatik tipe independen merupakan salah satu bentuk dari KVP dengan gambaran distribusi variasi sirkadian yang rendah. Namun tidak semua KVP independen memiliki variasi sirkadian yang rendah. Belum ada studi yang menilai perbedaan fungsi sistolik intrinsik VKi menggunakan global longitudinal strain (GLS) pada KVP idiopatik independen dengan KVP idiopatik non-independen.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen dengan GLS ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking pada pasien tanpa penyakit jantung struktural.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data pasien aritmia ventrikel idiopatik yang dikumpulkan di RSPJD Harapan Kita Jakarta pada bulan Februari 2021- Mei 2021. Evaluasi KVP idiopatik dilakukan dengan EKG 12 sandapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Data dasar ekokardiografi diambil dan penilaian fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri (Vki) dilakukan menggunakan ekokardiografi speckle tracking dengan global longitudinal study (GLS).
Hasil: Dari 67 pasien KVP idiopatik yang disertakan dalam penelitian, didapatkan sebesar 27 pasien (40,2%) dengan KVP tipe independen dan 40 pasien (59,8%) dengan KVP non-independen. Sebanyak 31 (46,3%) pasien memiliki disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pemeriksaan GLS (kurang dari -18). KVP tipe independen (OR 5,3; IK 95% 1,10-33,29; p = 0,038), beban KVP 9% (OR 16; IK 95% 1,58-163,61; p = 0,019), jenis kelamin laki-laki (OR 6,58; IK 95% 0,80-0,99; p = 0,029), dan episode TV non-sustained (OR 13,88; IK 95% 1,77-108,53; p = 0,012) berhubungan secara signifikan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik Vki.
Kesimpulan: Kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen berhubungan dengan penurunan sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking. Evaluasi tipe KVP idiopatik perlu dilakukan karena berhubungan dengan prognosis pasien dalam praktik klinis.

Background: Premature ventricular complexes (PVC) was associated with a risk of decreased ventricular function and heart failure, and increased long-term mortality. Low circadian variation is one of the predictors of PVC-induced cardiomyopathy. Independent-type-PVC (I-PVC) is a form of PVC with a low distribution of circadian variation. However, not all I-PVC show low circadian variation. No studies have been performed to examine differences in intrinsic systolic function of left ventricle (LV) using global longitudinal strain (GLS) in independent versus non-independent idiopathic PVC.
Objective: To determine the relationship between I-PVC and intrinsic systolic function of LV using speckle tracking echocardiography in patients without structural heart disease.
Methods: A cross-sectional study was conducted using data from patients with idiopathic ventricular arrhythmias collected at RSPJD Harapan Kita Jakarta in February 2021-May 2021. Evaluation of idiopathic PVC was carried out using a 12-lead ECG, 24-hour Holter monitoring. Basic echocardiography was performed then LV intrinsic systolic function was assessed using speckle tracking echocardiography with global longitudinal study (GLS).
Results: Of the 67 patients with idiopathic PVC included in the study, 27 (40.2%) patients included in independent PVC group and 40 (59.8%) patients in non-independent PVC group. A total of 31 (46.3%) patients had LV systolic dysfunction on GLS examination (less than -18). Independent-type-PVC (OR 5.3; 95% CI 1.10-33.29; p = 0.038), PVC burden of 9% (OR 16; 95% CI 1.58-163.61; p = 0.019), male gender (OR 6.58; 95% CI 0.80-0.99; p = 0.029), and non-sustained VT episodes (OR 13.88; 95% CI 1.77-108.53; p = 0.012) was significantly associated with a decrease in LV intrinsic systolic function.
Conclusion: Independent-type-PVC was associated with decreased in LV intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography. Evaluation of the type of idiopathic PVC needs to be considered since it is related with patient's prognosis in clinical practice.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agoes Kooshartoro
"Latar Belakang : Indonesia memiliki angka kematian karena penyakit kardiovaskular yang semakin meningkat, dengan angka kematian diperkirakan sebanyak 17,3 juta kematian. Mengingat tingkat mortalitas yang sangat tinggi pada pasien dengan sindrom koroner akut SKA, maka diperlukan sebuah prediktor Major Adverse Cardiac Event MACE yang objektif dan terukur untuk manajemen pasien SKA dalam jangka panjang. Pada SKA dapat ditemukan heterogenitas repolarisasi ventrikel yang dapat dilihat pada elektrokardiografi EKG sebagai QTmax-QTmin, atau dapat disebut sebagai QTD.QTD disinyalir dapat dijadikan penanda untuk risiko MACE pada pasien SKA.
Tujuan : Mengetahui peran dispersi QT dan QTcD sebagai prediktor MACE pada pasien sindrom koroner akut SKA.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada 230 rekam medis pasien SKA yang dirawat di ICCU RSCM dalam rentang waktu Januari 2016 hingga November 2017. EKG standar 12 sadapan saat serangan dianalisis dan dilakukan pengukuran interval QTmax dan QTmin yang kemudian dihitung QTd. Selanjutnya dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett QTcD.
Hasil : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet dapat menjadi prediktor MACE pada pasien dengan SKA OR 1,25 IK95 0,17 ndash; 2,71 . Setelah dikoreksi dengan frekuensi nadi menggunakan rumus Bazett, pemanjangan QTcD juga dapat menjadi prediktor MACE pada pasien SKA 1,89 IK95 0,05 ndash; 67,37.
Kesimpulan : Pemanjangan QTD lebih dari 100mdet atau QTcD lebih dari 12,72mdet dapat menjadi prediktor MACE.

Background: In Indonesia, the number of death due to cardiovascular disease is rapidly rising and it was approximated to have resulted in 17,3 million deaths. Due to this steadily increasing cases, it is necessary to find a predictor for Major Adverse Cardiac Event MACE that is objective and standardized for long term care of patients with acute coronary syndrome ACS. In ACS, one of the underlying mechanisms is the presence of heterogeneity in ventricle repolarization that is seen on ECG machine as QTmax ndash QTmin, or what is identified as QTD. QTD is hypothesized to have role as marker in patients with MACE in ACS.
Aim: Identify the role of QTD and QTcD as MACE predictor in patients with acute coronary syndrome.
Methods: This study is a retrospective cohort with the subject of 230 ACS patients that was hospitalised on RSCM ICCU among January 2016 to November 2017. Data was taken from medical record and 12 lead ECG during attack were taken and analysed manually to calculate QTmax and QTmin and substraction of both into QTD. Followed by correction using the heart rate with Bazett formula QTcD.
Result: QTD prolongation of more than 100ms in patients with ACS may lead to MACE OR 1,25 IK95 0,17 ndash 2,71 . Following correction with Bazett formula, QTcD prolongation is also predictor 1,89 IK95 0,05 ndash 67,37.
Conclusion: QTD prolongation of more than 100ms or QTcD of more than 12.72ms might lead to MACE
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T59198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Syahrir Azizi
"Latar belakang: Penyakit kardiovaskular sangat umum ditemukan dan berakibat fatal pada pasien dengan usia lanjut. Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimptomatik atau subklinis sering kali mendahului penyakit ini. Deteksi dini terhadap disfungsi sistolik ventrikel kiri dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Salah satu metode deteksi dini adalah dengan penilaian global longitudinal strain (GLS).
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai rerata GLS pada pasien usia lanjut dengan frailty maupun non frailty dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien usia lanjut diatas 60 tahun di poliklinik geriatri dan kardiologi Ilmu Penyakit Dalam RSCM. Data diperoleh dari wawancara, rekam medik dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal. Variabel penelitian berupa usia, frailty, hipertensi, penyakit jantung koroner, dislipidemia, dan diabetes melitus dianalisis sebagai determinan penurunan GLS. Analisis univariat terhadap masing-masing variabel. Analisis bivariat menggunakan uji chi kuadrat dengan tingkat signifikan p<0,25 dan interval kepercayaan (IK) sebesar 95%. Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 194 subjek yang memenuhi kriteria pemilihan diikutkan dalam penelitian, rerata usia 66 tahun dengan 118 (60,8%) di antaranya perempuan. Penelitian ini mendapatkan beberapa determinan yang memiliki nilai p<0,25 yaitu frailty, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus dengan hasil analisis multivariat, frailty memiliki OR sebesar 2,002 (95% IK 1,042-3,925), dan diabetes melitus memiliki OR sebesar 2,278 (95% IK 1,033-5,025).
Simpulan : Nilai median GLS pada usia lanjut secara umum adalah sebesar -21,6% (minimal -5,3% sampai dengan maksimal -29,9%). Faktor yang mempengaruhi penurunan GLS adalah frailty dan diabetes melitus.

Background: Cardiovascular disease is very common and can be fatal in elderly patients. It is often preceded by asymptomatic or subclinical left ventricular systolic dysfunction (LVSD). Early detection of LVSD can reduce morbidity and mortality due to cardiovascular disease. One method used in the early detection of LVSD is an assessment of global longitudinal strain (GLS).
Objective: To determine the mean value of GLS and GLS-related factors.
Methods: This cross-sectional study was conducted among elderly patients aged > 60 years in the geriatric and cardiology polyclinic, Internal Medicine, CMH Hospital. Data were obtained from interviews, medical records, and transthoracic echocardiography examination. The variables of age, frailty, hypertension, coronary artery disease, dyslipidemia, and diabetes mellitus were analyzed as the determinants of a decrease in GLS. Univariate analysis was conducted for each variable. Bivariate analysis was conducted using the chi-square test with a significance level of p<0.25 and confidence interval (CI) of 95%, and multivariate analysis used a logistic regression test.
Results: A total of 194 patients were admitted according to the study criteria, with a mean age of 66 years. The proportion of women was 60.8%. The study revealed that the determinants with p<0.25 are frailty, hypertension, dyslipidemia, and diabetes mellitus, with multivariate analysis frailty having an OR of 2.002 (95% CI 1.042-3.925) and diabetes mellitus having an OR of 2.278 (95% CI 1.033-5.025).
Conclusions : The median value of GLS in elderly is -21,6% (minimum value -5,3% and maximum value 29,9%). The factors that influence the decrease of GLS are frailty and diabetes mellitus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
"Rasio Netrofil-Limfosit (RNL) adalah pemeriksaan laboratorium murah dan mudah didapatkan dimanapun, dan saat ini berkembang menjadi penanda luaran pada berbagai kondisi, termasuk pada Sindrom Koroner Akut (SKA). RNL menggabungkan dua jalur inflamasi berbeda (netrofil dan limfosit) untuk memprediksi luarannya, dan beberapa studi telah menunjukkan manfaatnya dalam memprediksi Major Adverse Cardiac Events (MACE). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan manfaat RNL dalam stratifikasi risiko SKA pada populasi Indonesia, dan menentukan nilai titik potong RNL untuk peningkatan risiko MACE.
Metode: 380 rekam medis pasien SKA dari Januari 2012-Agustus 2015 diikutkan dalam studi ini. Karakteristik, faktor risiko kardiovaskuler, dan hasil pemeriksaan laboratorium subjek dikumpulkan dan diikuti secara retrospektif untuk menilai kemunculan MACE (aritmia, infark ulang, in-stent restenosis, gagal jantung akut, syok kardiogenik, kematian) selama perawatan. Nilai RNL didapatkan dari pembagian hitung netrofil dan limfosit absolut. Analisis statistik untuk menentukan nilai titik potong RNL dan penyesuaian untuk faktor perancu dilakukan untuk memvalidasi hasil.
Hasil: Subjek mayoritas merupakan laki-laki, dengan rerata usia 57,92 tahun. Hipertensi dan merokok merupakan faktor risiko yang paling sering ditemukan. Rerata RNL subjek adalah 4,72, dan MACE ditemukan pada 73 kasus (19,2%). Setelah analisis ROC, didapatkan nilai titik potong sebesar 3.55 (sensitivitas 72,6%, spesitifitas 60,6%, AUC 0.702). Ditemukan bahwa terdapat peningkatan insidens MACE pada kelompok RNL>3.55 (30.47% vs 9.71% pada ≤3.55, p<0.001). Setelah penyesuaian untuk faktor perancu, RNL>3.55 tetap signifikan dalam memprediksi MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (IK95% 1,401-4,922)).
Kesimpulan: RNL>3.55 adalah prediktor independen untuk kejadian MACE.

Background: Neutrophil-Lymphocyte Ratio (NLR) is a low-cost, readily available laboratory examination in various places, and is currently emerging as a prognostic marker for various conditions, including Acute Coronary Syndrome (ACS). NLR, which combines two different inflammatory pathways (neutrophil and lymphocyte), have been shown by several studies to be useful in predicting Major Adverse Cardiac Events (MACE). This study aims to prove NLR’s use in ACS risk stratification in Indonesians and determine a cutoff level for MACE risk increase.
Methods: 380 ACS patients’ medical records from January 2012 to August 2015 were included in this study. Subjects’ characteristics, cardiovascular risk factors and laboratory findings were collected, and retrospectively followed to evaluate for MACE (arrhythmia, reinfarction, in-stent restenosis, acute heart failure, cardiogenic shock, death) during hospitalization. NLR value was calculated from neutrophil and lymphocyte counts division. Statistical analysis to determine NLR cutoff point for MACE risks, and adjustment for confounding factors were done for results validation.
Results: Subjects were predominantly male, with average age of 57.92 years old. Hypertension and smoking were the most frequent risk factors found. Average NLR was 4.72, and MACE was found in 73 cases (19.2%). After ROC analysis, a cutoff of 3.55 was determined to be satisfactory (sensitivity 72.6%, spesitivity 60.6%, AUC 0.702). It was found that there is a significant increase in MACE incidence in NLR>3.55 (30.47% vs 9.71% in ≤3.55, p<0.001). After adjusting for confounding factors, NLR>3.55 was still significant in predicting MACE (p=0.02, adujsted OR 2,626 (CI95% 1,401-4,922)).
Conclusion: NLR>3.55 is an independent predictor of in-hospital MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Saleh
"Dijumpainya late potential (LP) pada penderita-penderita pasca Infark Miokard Aleut (IMA) sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko takikardia ventrikel (Ventricular tachycardia=VT) dan kematian jantung mendadak. Trombolisis telah terbukti menurunkan kematian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh terapi trombolisis terhadap kejadian LP. Dilakukan penelitian prospektif observasional terhadap 60 penderita IMA pertama, secara konsekutif di RS Jantung Harapan Kita dan RS Pusat Pertamina pada periode 20 Oktober 1995 sampai dengan 20 April 1996. Sebanyak tiga puluh penderita (semua laki-laki, rata-rata umur 49,1 ± 5,6 tahun) mendapat streptokinase intra vena (kelompok trombolisis) dan sebanyak 30 penderita lainnya (semua laki-laki, rata-rata umur 50,7 ± 5,7 tahun) mendapat pengobatan konservatif saja (kelompok non trombolisis). Pemeriksaan kateterisasi koroner dilakukan terhadap 26 (70 %) penderita dari kelompok trombolisis dan 15 (50 %) penderita kelompok non trombolisis. LP diperiksa menurut metode Simson (time domain analysis), menggunakan mesin Marquette Electronic type 15.

The presence of late potential (LP) in patients after Myocardial Aleut Infarction (IMA) is strongly associated with an increased risk of ventricular tachycardia (Ventricular tachycardia = VT) and sudden cardiac death. Thrombolysis has been shown to lower mortality. The purpose of this study is to assess the effect of thrombolysis therapy on the incidence of LP. An observational prospective study was conducted on the first 60 IMA patients, consequentially at Harapan Kita Heart Hospital and Pertamina Central Hospital in period from October 20, 1995 to April 20, 1996. A total of thirty patients (all males, average age 49.1 ± 5.6 years) received intravenous streptokinase (thrombolysis group) and as many as 30 other patients (all men, average age 50.7 ± 5.7 years) received conservative treatment only (non-thrombolysis group). Coronary catheterization examination was carried out on 26 (70%) patients from the thrombolysis group and 15 (50%) patients from the non-thrombolysis group. LP was examined according to the Samson method (time domain analysis), using a Marquette Electronic type 15 machine."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Lousiana
"Latar belakang: Latihan fisik anaerobik adalah latihan fisik yang dilakukan dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi dan dapat merangsang apoptosis pada kardiomiosit ventrikel kiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi apoptosis kardiomiosit pasca latihan serta pasca henti latih latihan fisik anaerobik.
Metode : Identifikasi Caspase-3 dilakukan dengan cara pulasan imunohistokimia dan analisis kuantitatif persentase Caspase-3 yang dilakukan pada kelompok kontrol 4,8,12 dan 16 minggu, kelompok perlakuan latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu serta henti latih 4 minggu pasca latihan (minggu ke 8 dan 16).
Hasil: Analisis data menunjukkan peningkatan persentase caspase-3 pada kelompok latihan fisik anaerobik 4 dan 12 minggu dengan p=0,027. Penurunan persentase capase-3 pasca henti latih yang bermakna juga ditemukan antara kelompok latihan fisik anaerobik 4 minggu dengan kelompok henti latih 4 minggu (p=0,0001) dan antara kelompok latihan anaerobik 12 minggu dengan kelompok henti latih 16 minggu (p=0,0001).

Introduction : Anaerobic physical exercise is a high intensity physical exercise performed in a short time. This exercise can stimulate apoptosis in left ventricular cardiomyocytes. The aims of this study is to analyze the expression of cardiomyocyte apoptosis after anaerobic exercise and detraining.
Methods : Caspase-3 expression is identified by immunohistochemistry labeling and quantitative analysis of the percentage of Caspase-3 in the control group 4,8,12 and 16 weeks, groups with 4 and 12 weeks of anaerobic physical exercise, and groups after 4 weeks of detraining ( week 8 and 16).
Conclucion: Data analyses showed a significant increase in the percentage of caspase-3 in the 4 and 12 weeks anaerobic physical exercise groups with p = 0.027. The percentage of Capase-3 after detraining showed a significant decline between the groups of 4 weeks of anaerobic physical exercise and detraining with p = 0.0001 and between groups of 12 weeks of anaerobic exercise and detraining with p = 0, 0001.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>