Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15432 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supattra Silapabanleng
"ABSTRACT
Warm-up is an essential part of preparation for rowing, especially in competitions. Respiratory muscle warm-up has been proposed to be the beneficial warm-up protocol for enhancing rowing performance. Therefore, the aim of this study is to determine the effect of inspiratory and expiratory muscle warm-up on rowing performance. The design of the study is a crossover study with controlled experiments. Fourteen youth rowers from the Rower and Canoeing Association of Thailand (six males, eight females) had to perform two warm-up protocols: specific rowing warm-up (SWU) and a combination of inspiratory and expiratory muscle warm-up with specific rowing warm-up (RWU+SWU). Afterwards, they had to perform a six minute all-out test. Mean power, distance, pre- and post-maximum inspiratory and expiratory muscle strength (MIP, MEP) of these results were compared. The results showed no significant differences in mean power (p=0.233) and distance (p=0.177) between SWU and RWU+SWU. Furthermore, pre-post MIP and MEP were not different in both warm-up protocols. However, mean power and distance in male rowers tend to increase under the RWU+SWU protocol, but both of parameters result in females conversely. In conclusion, the effect of RWU+SWU on rowing performance is not different from SWU, but if gender is considered, male and female rowers will react to the RWU+SWU protocol differently. Hence, this should be further investigated with a larger number of participants."
Pathum Thani: Thammasat University, 2018
670 STA 23:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Islamadina
"Latar Belakang: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernapasan akut yang ditandai dengan penurunan fungsi paru disertai gejala sesak, batuk dan produksi sputum. Otot inspirasi seringkali terlibat dan mengalami kelemahan serta kelelahan akibat adanya hiperinflasi. Kelemahan otot inspirasi sangat berperan pada kejadian sesak sehingga mengurangi kapasitas latihan pada pasien PPOK. Selain itu, Latihan penguatan otot inspirasi menggunakan Inspiratory Muscle Trainer (IMT) diketahui dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi, namun belum terdapat penelitian yang menilai efektifitasnya dalam meningkatkan kecepatan berjalan dengan uji jalan 4 meter pada pasien PPOK.
Tujuan: Untuk mengetahui efek latihan penguatan otot inspirasi dengan menggunakan IMT terhadap kecepatan berjalan menggunakan uji jalan 4 meter pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensional prospektif untuk menilai kecepatan berjalan pasien PPOK setelah pemberian program latihan dengan IMT selama 8 minggu. Subjek penelitian adalah pasien PPOK kelompok GOLD A hingga D yang berobat jalan ke Poliklinik Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan Departemen Rehabilitasi Medik. Latihan IMT dilakukan di rumah selama 8 minggu, dengan dosis awal 30% PImax yang ditingkatkan 10% setiap 2 minggu hingga mencapai 60% PImax. Nilai PImax, kecepatan berjalan dan sesak dengan skala BORG dinilai setiap 2 minggu.
Hasil: Dari total 13 subjek, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan proporsi 92,3%. Nilai rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 64,92 (SB 8,713) tahun. Terdapat peningkatan kecepatan berjalan dari 1,59 (SB 0,32) meter/detik hingga 1,74 (SB 0,49) meter/detik dan nilai PImax dari 58,50 (SB 19,70) cmH2O hingga 67,02 (SB 19,88) cmH2O setelah menjalani 8 minggu latihan IMT. Simpulan: Terdapat peningkatan yang secara klinis bermakna pada kekuatan otot inspirasi dan kecepatan berjalan pasien PPOK dengan uji jalan 4 meter setelah menjalani latihan penguatan otot inspirasi dengan Inspiratory Muscle Trainer selama 8 minggu. Latihan IMT dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada program rehabilitasi paru pasien PPOK.

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a respiratory illness characterized by reduced pulmonary function that is accompanied by dyspneu, chronic cough and sputum production. The inspiratory muscles are frequently involved in the disease process due to hyperinflation., resulting in weakness and increased fatigability. Inspiratory muscle weakness has an important role in the manifestation of dyspneu, therefore reducing exercise tolerance in COPD patient. Strength training to inspiratory muscle has been shown to improve inspiratory muscle strength, however there has not been any literature measuring its effectiveness on gait speed using four meter lane in COPD patient.
Aim: To find the effect of inspiratory muscle strengthening using Inspiratory Muscle Trainer (IMT) on four meter gait speed in COPD patient.
Methods: This is a prospective interventional study to evaluate gait speed in COPD patient after undergoing IMT training for 8 weeks. The subjects in this study are patient with COPD GOLD A to D visiting the pulmonary clinics in the department of internal medicine and medical rehabilitation. IMT training was performed as a home program exercise for 8 weeks, with initial dose of 30% PImax and improved by 10% every 2 weeks, reaching to maximal dose of 60% PImax at the end of 8 weeks training. PImax, gait speed and dyspneu using BORG scale was measured every 2 weeks during follow up.
Result: From a total of 13 subjects, almost all subjects are male (92,3%) and mean age was 64,92 (SD±8,713) years. There was an increase of gait speed from 1,59 (SD±0,32) to 1,74 (SD±0,49) meter/second and PImax from 58,50 (SD±19,70) to 67,02 (SD±19,88) cmH2O after 8 weeks IMT training. However, there was no improvement in dyspneu symptoms from BORG scale assessment.
Conclusion: IMT training for 8 weeks resulted in clinical improvement of inspiratory muscle strength and 4 meter gait speed in moderate to very severe COPD patient. IMT training can be considered as an addition to pulmonary rehabilitation program in COPD patient."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Miranda
"Tesis ini disusun untuk mengetahui data profile MEP dan APB serta efek latihan penguatan otot ekspirasi dengan perangkat PEP terhadap MEP dan APB pada lansia sedentary. Penelitian menggunakan desain uji acak terkontrol (randomized control trial) dengan latihan PLB sebagai kontrol. Subjek penelitian adalah lansia berusia lebih dari 60 hingga 75 tahun, sedentary, MocaINA ≥ 26, tidak merokok dalam 5 tahun terakhir, memiliki care giver, dapat berbahasa Indonesia, nilai spirometri normal atau abnormal, dapat memahami dan mempraktekkan dengan benar penggunaan alat PEP dan latihan PLB, bersedia mengisi log book dengan benar dan teratur dan bersedia mengikuti penelitian secara sukarela serta menandatangani lembar persetujuan. Semua subjek penelitian (n=72) yaitu 35 orang dari kelompok PEP dan 37 orang dari kelompok PLB dilakukan penilaian MEP dan APB pada awal minggu pertama serta penentuan intensitas latihan yaitu 50% 1 RM pada kelompok PEP. Latihan dilanjutkan sebagai home program selama 4 minggu dengan kelompok PEP melakukan kunjungan setiap minggu untuk menentukan intensitas latihan yaitu 50% dari 1 RM yang baru sedangkan kelompok latihan PLB melakukan kunjungan pada minggu ketiga untuk evaluasi. Selama penelitian terdapat 6 subjek penelitian yang drop out, 2 dari kelompok PEP dan 4 dari kelompok PLB. Pada awal minggu kelima dilakukan kembali penilaian MEP dan APB pada kedua kelompok didapatkan kenaikan MEP dan APB yang secara klinis dan statistik signifikan ( p < 0,001) dengan kenaikan yang lebih besar pada kelompok PEP dan secara statistik kenaikan pada kelompok PEP jika dibandingkan dengan kenaikan yang terjadi pada kelompok PLB adalah signifikan (p < 0,001). Kesimpulan penelitian ini adalah data profile MEP lansia sedentary adalah rata-rata 48,73 ± 19,14 cmH2O pada kelompok PEP dan 40,61 ± 14,49 cmH2O pada kelompok PLB sedangkan data profile APB pada kelompok PEP rata-rata 268,64 ± 97,28 l/m dan 274,15 ± 79,25 l/m pada kelompok PLB. Latihan pernafasan dengan menggunakan perangkat PEP dapat meningkatkan nilai MEP dan APB pada lansia sedentary dimana didapatkan nilai median Δ MEP adalah 23 (10 – 38) cmH2O dan nilai median Δ APB adalah 40 (15 – 135) l/m dan secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001.

This Thesis was aimed to determine the profile data of MEP and PCF as well as the effect of expiratory muscle strength training with PEP to MEP and PCF in sedentary elderly. The design was randomized control trial with PLB exercise as control. The subjects were eldery, ages more than 60 to 75 years old who were sedentary with MocaINA ≥ 26, no active history of cigarette smoking in the last 5 years, had assistance of care giver, actively speaking in Bahasa Indonesia, had normal or abnormal spirometry value, understood and were able to practice PEP or PLB exercise correctly, filling out log book regularly and correctly and voluntarily willing to join the research and signed signed inform consent form. All subjects (n=72) consisted of 35 subjects in PEP group and 37 subjects in control group (assigned to do PLB exercise). In the beginning of the first week the subject’MEP and PCF values were obtained and the intensity of exercise using PEP was determined at 50% of 1 RM. Exercise was continued as a home program for 4 weeks with the PEP group asked to come weekly to cardiorespiratory outpatient clinic in rehabilitation department to determine a new exercise intensity of 50% of the new 1 RM. While subjects in the PLB group came to cardiorespiratory outpatient clinic at the beginning of the third week to be evaluated. During this research 6 subjects dropped out, 2 subjects from PEP group and 4 subjects from PLB group. At the beginning of fifth week, MEP and PCF values were reassessed and the result demonstrated an increase in both MEP and PCF values (clinically and statistically) in both groups with a greater increase in PEP group. The increase in MEP and PCF values in PEP group was significant in comparison to the PLB group (p < 0,001. The study concluded that average profile data of MEP in sedentary elderly were 48,73 ± 19,14 cmH2O in PEP group and 40,61 ± 14,49 cmH2O in PLB group whereas average profile data of PCF in sedentary elderly were 268,64 ± 97,28 l/m and 274,15 ± 79,25 l/m in PLB group. Expiratory muscle strength training with PEP could increase MEP and PCF values in sedentary elderly with median Δ MEP was 23 (10 – 38) cmH2O and median Δ PCF was 40 (15 – 135) l/m and the increase was statistically significant with p < 0,001."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyani Herman
"Cedera medula spinalis (CMS) adalah kondisi cedera pada medula spinalis yang ditandai dengan gangguan pada komponen motorik, sensorik, serta otonom. Severitas gangguan yang terjadi sesuai dengan klasifikasi ASIA Impairment Scale (AIS) dan level neurologis. Salah satu gangguan yang biasa ditemui adalah kelemahan otot pernapasan. Kekuatan otot inspirasi digambarkan dengan nilai Maximal Inspiratory Pressure (MIP), diukur dengan manometer otot pernapasan (MicroRPM®), dan  ditingkatkan dengan latihan kekuatan otot inspirasi. Tesis ini disusun untuk mengetahui rerata MIP sebelum dan setelah latihan otot inspirasi menggunakan Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) pada pasien CMS fase kronis. Desain menggunakan studi intervensi one group pre and post-test. Sebelas orang penderita CMS AIS A-D dan level neurologis C5-T6 diberikan latihan otot inspirasi dengan beban sebesar 30% MIP yang disesuaikan berdasarkan pengukuran MIP setiap minggu. Latihan dengan durasi 30 menit/hari dan frekuensi 5 hari/minggu selama 6 minggu. Uji Wilcoxon digunakan untuk membandingkan data MIP sebelum dan setelah latihan selama 6 minggu. Nilai tengah MIP sebelum dan setelah latihan didapatkan sebesar 38 (30-85) cmH2O dan 85 (56-126) cmH2O dengan nilai p<0,05. Simpulan: terjadi peningkatan kekuatan otot inspirasi setelah latihan menggunakan threshold IMT pada pasien CMS fase kronis.

 


Spinal cord injury (SCI) is injury of the spinal cord characterized by disorders of the motor, sensory, and autonomic components. The severity depends on the ASIA Impairment Scale (AIS) classification and neurological level. The common problems is respiratory muscle weakness so sufferers tend to experience respiratory complications. Inspiratory muscle strength is illustrated by Maximal Inspiratory Pressure (MIP) value, measured using respiratory muscle manometer (MicroRPM®), and enhanced by inspiratory muscle strength training. This thesis is structured to determine the average MIP before and after inspiratory muscle training using Threshold Inspiratory Muscle Trainer (threshold IMT®) in chronic phase SCI patients. The study design used one group pre and post-test intervention study. Eleven people with SCI AIS A-D and neurological level C5-T6 were given inspiratory muscle training with load 30% MIP adjusted according to weekly MIP measurements. The duration is 30 minutes / day and  frequency is 5 days / week for 6 weeks. The Wilcoxon test was used to compare MIP data before and after exercise for 6 weeks. The median MIP before and after exercise was 38 (30-85) cmH2O and 85 (56-126) cmH2O with p <0.05. Conclusion: increase in inspiratory muscle strength after exercise using threshold IMT in chronic phase SCI.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Virna Agustriani
"Kekuatan otot pernapasan bertanggung jawab terhadap perbedaan tekanan dalam proses ventilasi yang diukur dengan Maximum Inspiratory Pressure (MIP) yang menggambarkan kekuatan otot diafragma dan otot inspirasi lain, dan Maximum Expiratory Pressure (MEP) untuk otot abdomen dan otot ekspirasi lain. Pemeriksaan ini sensitif menggambarkan kelemahan otot pernapasan, mudah dilakukan dan tidak invasif, namun belum menjadi prosedur rutin. Beberapa negara telah melakukan penelitian sebelumnya dan mendapatkan nilai standar yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mengukur kekuatan otot pernapasan pada anak sehat,sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai standar Maximum Inspiratory Pressure dan Maximum Expiratory Pressure pada anak usia delapan sampai dua belas tahun di Jakarta. Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 267 subjek. Subjek adalah anak sekolah dasar usia 8-12 tahun di Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa spirometri untuk memastikan sehat respirasi, diberikan kuesioner aktivitas fisik, dan setelahnya dilakukan pemeriksaan MIP dan MEP dengan alat digital manometer. Data MIP dan MEP yang didapat dinilai korelasinya dengan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan aktivitas fisik. Nilai MIP dan MEP pada anak usia 8- 12tahun mendapatkan nilai tengah 58 dan 59mmHg. Subjek laki-laki mendapatkan nilai tengah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan nilai MIP 60 mmHg dan 55mmHg, nilai MEP 63 mmHg dan 56mmHg. Dengan uji korelasi spearman terdapat korelasi signifikan antara MIP dengan berat badan dan tinggi badan, dengan nilai korelasi lemah, namun tidak dengan nilai MEP. Tidak terdapat hubungan antara nilai MIP dan MEP dengan aktivitas fisik.

Respiratory muscle strength is responsible for the pressure difference in the ventilation process measured by Maximum Inspiratory Pressure (MIP) which represents the strength of the diaphragm muscles and other inspiratory muscles, and Maximum Expiratory Pressure (MEP) for abdominal muscles and other expiratory muscles. This measurement is sensitive in representing respiratory muscle weakness, easy to use and non-invasive. However, it is not a routine procedure. Several countries have conducted previous studies and obtained different standard results. In Indonesia, no study measures respiratory muscle strength in healthy children. Therefore, this study aims to obtain standard values for Maximum Inspiratory Pressure and Maximum Expiratory Pressure in eight to twelve years old children in Jakarta. This is a cross-sectional study that involved 267 subjects. The subjects were 8-12 years old elementary school students in Jakarta who fulfilled the inclusion and exclusion criteria. They were examined for respiratory health using spirometry, given a physical activity questionnaire, and examined for MIP and MEP using a digital manometer. Correlations were obtained between MIP and MEP data and gender, weight, height, and physical activity. The MIP and MEP values in 8-12 years old children showed a median of 58 and 59 mmHg, respectively. Male students showed higher median value compared to female students with MIP value of 60 mmHg and 55 mmHg, and MEP value of 63 mmHg and 56 mmHg. Spearmans correlation test showed a significant correlation between MIP and weight and height with weak correlation strength. However, the MEP value showed otherwise. There was no correlation between MIP and MEP values and physical activity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria
"Latihan panjang akan menguras glikogen otot dan merusak jaringan otot. Peningkatan kadar ureum dan kreatin kinase darah dapat menyebabkan penurunan performa pada latihan atau pertandingan berikutnya. Tesis ini membahas pengaruh pemberian minuman elektrolit berkarbohidrat terhadap kadar ureum darah, kreatin kinase darah, dan performa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni, bersifat single blind dengan rancangan silang pada 10 atlet dayung rowing nasional laki-laki di Pelatnas Dayung Pengalengan tahun 2015. Minuman yang diberikan adalah minuman elektrolit dengan jumlah karbohidrat sebanyak 1 gr/kgBB pada kelompok perlakuan dan 0,35 gr/kgBB pada kelompok kontrol. Minuman tersebut diberikan segera setelah latihan dan dua jam berikutnya. Pengambilan sampel darah vena dilakukan untuk mengukur penurunan kadar ureum dan kreatin kinase darah sebelum dan setelah pemberian minuman masing-masing dengan alat COBAS C111 dan Advia 1650/1800. Hasil analisis membuktikan bahwa penurunan kadar ureum dan kreatin kinase darah lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa minuman elektrolit berkarbohidrat sebanyak 1 gr/kgBB efektif untuk memulihkan kembali simpanan glikogen otot dan menurunkan kerusakan jaringan otot.

Long lasting exercise will deplete muscle glycogen and muscle tissue damage. Increased levels of blood urea and creatine kinase can cause a decrease in performance at the next exercise or competition. This thesis discusses the effect of carbohydrate electrolyte drinks on blood urea levels, blood creatine kinase levels, and performance. This is true experimental study, single blind cross over design in 10 rowing men athletes in the National Training Centre Pengalengan 2015. Beverages provided are electrolyte drinks with the amount of carbohydrates as much as 1 g/kg body weight in the treatment group and 0,35 g/kg body weight in the control group. Beverages given immediately after the workout and the next two hours. Venous blood sample was collected to measure the reduction of blood urea and creatine kinase level before and after drinking beverages using COBAS C111 and Advia 1650/1800 respectively. The result show that the reduction of blood urea and creatine kinase levels is greater in the treatment group. It suggests that beverages contain 1 gr/kg body weight carbohydrate is effective to restore muscle glycogen stores and decrease muscle tissue damage."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryana Ugahary
"Latar Belakang Penelitian. Warm up merupakan suatu latihan pendahuluan yang dirancang mempersiapkan tubuh untuk mengikuti aktivitas olah raga. Terdapat beberapa macam warm up yaitu:
1. Warm up pasif : pemanasan tubuh dengan sumber dari, luar seperti mandi air hangat, pancuran air hangat, diatermi.
2. Warm up aktif : pemanasan tubuh dengan cara melakukan gerakan tubuh seperti berlari-lari, bersenam, bersepeda dan lain-lain. Warm up aktif dapat terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a) Jalan atau lari perlahan (jogging), untuk meningkatkan aliran darah sehingga menghasilkan suhu tubuh yang lebih tinggi di seluruh tubuh.
b) Latihan kalistenik yaitu gerakan tubuh yang ritmis sistematik yang biasanya dilakukan tanpa alat atau beban, terdiri dari gerakan melengkung (bending), berputar (twisting), mengayun (swinging), menendang (kicking) dan melompat (jumping) dan latihan lain seperti push up, sit up, chin up (7). Latihan kalistenik biasanya dilakukan dari atas ke bawah mulai leper, lengan dan bahu, abdomen, punggung dan tungkai.
c) Latihan peregangan ,(stretching) untuk otot otot yang diperlukan dalam olah raga yang bersangkutan. Untuk pelari diperlukan peregangan otot bahu dan tricep, punggung, panggul, quadricep, hamstring, gastrocnimeus dan achilles_ Latihan peregangan yang dipakai sebaiknya yang secara statik yaitu setelah otot diregang penuh secara aktif, maka otot dipertahankan pada posisi ini selama beberapa waktu. Waktu yang diperlukan untuk mempertahankan peregangan ini sekurangnya 6 detik agar serabut kolagen dalam otot, tendon, ligamen, mendapatkan perobahan plastisitasnya.
d) Tahap terakhir yaitu tahap koordinasi, dipusatkan pada teknik olah raga yang bersangkutan dengan mempraktekkan gerakan-gerakan spesifik, misalnya untuk olah raga lari jarak pendek dapat berupa latihan start dan beberapa sprint pendek 20 ? 40 meter.
Seluruh warm up dapat berlangsung sekurangnya 15 - 20 menit sebagai akibat dari warm up suhu tubuh ditingkatkan. Hal ini merupakan satu dari beberapa faktor yang meningkatkan kemampuan (performance), karena meningkatnya suhu tubuh menyebabkan :
1. Meningkatnya kecepatan kontraksi dan relaksasi otot sehingga otot akan bekerja lebih efisien.
2. Hemoglobin membawa lebih banyak oksigen serta dissosiasinya juga lebih cepat.
3. Efek yang sama dengan hemoglobin juga terjadi pada myoglobin.
4. Proses metabolisme meningkat.
5. Hambatan pada pembuluh darah menurun.
Pada latihan peregangan yang merupakan bagian dari warm up, memberi kelenturan otot yang periting untuk meningkatkan kemampuan pada olah raga atau perlombaan terutama pada pelari jarak pendek yang memerlukan kecepatan.
Hogberg dan Ljunggren memeriksa efek warm up (dalam bentuk lari kecepatan sedang dikombinasi dengan kalistenik) terhadap kecepatan lari 100 meter, 400 meter, 800 meter, pada atlet yang terlatih baik. Didapatkan untuk lari 100 meter perbaikan 0,5 - 0,6 detik, untuk lari 400 meter perbaikan 1,5 - 3 detik, untuk lari 800 meter perbaikan 4 - 6 detik dibandingkan tanpa warm up.
Sebagian besar penyelidik membuat kesimpulan bahwa suatu warm up cenderung meningkatkan kemampuan, meskipun belum ada kesamaan dalam menentukan Jenis, intensitas dan lama warm up.
Mengenai lamanya warm up, Hogberg dan Ljunggren juga mengamati hasil lebih baik sesudah warm up 15 menit dibanding sesudah 5 menit pada lomba lari 100 m, tetapi selanjutnya perbaikan tidak bermakna bila warm up diperpanjang dari 15 menit - 30 menit.
Lari sprint 400 meter yang merupakan endurance sprinter memerlukan energi aerobik + 30%, energi anaerobik ± 70% sedangkan sprint 100 meter hampir seluruhnya memerlukan energi anaerobik.
Sebagai cara yang mudah untuk menentukan apakah intensitas dan lama warm up sudah cukup, yang merupakan tanda adanya kenaikan suhu tubuh yaitu dengan melihat apakah atlet yang menjalankan warm up sudah mulai berkeringat. Bila diinginkan cara yang lebih ilmiah yaitu dengan mengukur kenaikan suhu tubuh.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin melakukan penelitian sampai seberapa jauh pengaruh intensitas dan lama warm up terhadap kecepatan lari pada pelari jarak pendek."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58508
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Haidir
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan, motivasi, pelatihan, dan lingkungan kerja terhadap Icinerja Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pemuda dan Olahraga. Latar belakang penelitian ini adalah kenyataan bahwa kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Kementerian Pemuda dan Olahraga yang belum sesuai dengan harapan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penyebaran kuesioner kepada 74 responden.
Sebelum dilakukan analisis data, dilakukan uji validitas dan reabilitas terhadap kuesioner untuk mengqii keterandalan dan kekonsistenan kuesioner yang digunakan. Uji t digunakan untuk menguji pengaruh variabel Kepemimpinan (Xl), Motivasi (XZ), Pelatihan (X3), dan Lingkungan Kelja (X4) secara sendiri~ sendiri terhadap Kinerja (Y). Uji F digunakz-111 untuk menguji keempat variabel bebas tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepmimpinan, motivasi, pelatihan, dan lingkungan kerja terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil Kementerian Pemuda dan Olahraga baik pada saat dilakukan pengujian secara parsial antara satu variabel bebas terhadap kinerja maupun pada saat pengujian spcara bersama-sama antara keempat variabel bebas dengan kinerja.

The aim of this research is to determine the effect of leadership, motivation, training, and work environment to employee performance of the Ministry of Youth and Sports. The background of this research is the fact that the performance of employees at the Ministry of Youth and Sports are not in line with expectations. This research method uses a quantitative approach to the deployment method questionnaires to 74 respondents.
Before doing the analysis, tested the validity and reliability of the questionnaire to test the reliability and consistency of the questionnaire used. T test used to test the effect of leadership variables (Xl), Motivation (X2), Training (X3), and the Working Environment (X4) independently of Performance ( Y). F test used to test the four independent variables together on performance.
The results of this research indicate that there is a positive and significant influence among the leadership, motivation, training, and work environment on employee performance of both the Ministry of Youth and Sports at the time of testing partially between one independent variable on the performance or during the test is jointly between the fourth independent variable with performance.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T32854
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Maylani
"Tesis ini disusun untuk menilai pengaruh latihan penguatan otot-otot ekspirasi dalam mengurangi gejala sleep apnea pada pasien Obstructive Sleep Apnea dengan obesitas menggunakan metode penelitian Evidence-Based Case Report (EBCR). Pencarian literatur dilakukan pada Pubmed, ProQuest, EBSCOHost, Scopus dan Cochrane sesuai dengan pertanyaan klinis. Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial pada satu jurnal yang didapat untuk menilai kualitasnya berdasarkan validitas, kepentingan dan aplikabilitasnya. Dari hasil Randomized Controlled Trial didapatkan bahwa subjek penelitian adalah pasien Obstructive Sleep Apnea dengan obesitas. Kesimpulan penelitian ini adalah latihan penguatan otot-otot ekspirasi dapat mengurangi gejala sleep apnea dengan menurunkan nilai Apnea-Hypopnea Index pada pasien Obstructive Sleep Apnea

This thesis was designed to assess the effect of expiratory muscle strengthening exercises in reducing sleep apnea symptoms in Obstructive Sleep Apnea patients with obesity using an evidence-based case report (EBCR) research method. A literature search was performed on Pubmed, ProQuest, EBSCOHost, Scopus and Cochrane according to clinical questions. This study uses a Randomized Controlled Trial in one journal obtained to assess its quality based on its validity, importance and applicability. From the results of the Randomized Controlled Trial, it was found that the research subjects were Obstructive Sleep Apnea patients with obesity. The conclusion of this study is that expiratory muscle strengthening exercises can reduce sleep apnea symptoms by reducing the Apnea-Hypopnea Index value in Obstructive Sleep Apnea patients"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>