Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74862 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indonesia Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Society, 2012
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Silvina Natalia Setyoso
"Latar belakang: Refluks laringofaring LPR merupakan penyakit komorbid laringomalasia terbanyak, sehingga tata laksana laringomalasia mencakup penanganan LPR. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, hubungan keteraturan berobat, dosis penghambat pompa proton PPI , dan faktor lain yang memengaruhi perbaikan klinis laringomalasia. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis. Subjek penelitian dipilih secara total sampling. Hasil: Total subjek adalah 95 rekam medis. Usia median pasien 3 bulan. Mayoritas pasien adalah lelaki, lahir cukup bulan, berat lahir cukup. Pada awal diagnosis, sebagian besar berstatus gizi baik, tidak gagal tumbuh, mengalami laringomalasia tipe 1, berderajat klinis sedang, skor gejala laringomalasia positif LSS , mengalami gejala refluks, tanpa pipa nasogastrik, tidak teratur berobat, dan mendapat PPI ge;1,0mg/kg/hari. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah kelainan neurologi dan yang terjarang adalah penyakit refluks. Pasien yang berobat teratur mengalami perbaikan status gizi p=0,020 , derajat laringomalasia p=0,043 , nilai LSS p=0,002 , gejala refluks.

Background Laryngopharyngeal refluks LPR is laryngomalacia rsquo s most common comorbidity. Laryngomalacia management includes LPR treatment. Aim To describe the characteristics of patients, relationships of compliance, proton pump inhibitor PPI dosage, and other factors that contribute to clinical improvements. Methods Cohort retrospective study based on medical records. Subjects is recruited by total sampling. Results Total subject consists of 95 medical records. Median age is 3 months, majority are boys, born aterm, normal birth weight. Most patients are well nourished, thrive well, experienced type 1 laryngomalacia, moderate degree, positive laryngomalacia symptom score LSS , experienced reflux symptoms, did not require feeding tube, poor compliance to medication, and prescribed PPI ge 1,0mg kg day. The most common recorded comorbidity is neurologic abnormality, while the most infrequent is reflux. Good compliance is related to improvements of nutritional status p 0,020 , degree p 0,043 , LSS p 0,002 , reflux symptom p"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
"ABSTRAK
Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring

ABSTRACT
Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Hajarani
"ABSTRAK
Latar belakang:Bayi laringomalasia primer memiliki komorbiditas yang tinggi akibat silent aspiration. Hingga saat ini, belum diketahui prevalensi disfagia dan data mengenai gambaran fungsi menelan bayi laringomalasia primer. Tujuan penelitian: Mengetahuiprevalensi disfagia dan gambaran fungsi menelanpada bayi laringomalasia primersertamengetahui kesesuaian antara SEES dan FEES.Metode: Penelitiancross-sectional yang bersifat deskriptifdan analitik komparatif terhadap 34subjek bayi laringomalasia primersecara konsekutif di RS Dr. Cipto Mangunkusumoperiode Januari-Maret 2020. Hasil:Prevalensi disfagiapada bayi laringomalasiaprimersebanyak 9 dari 34 subjek (26,5%). Gejala disfagia pada bayi< 6 bulan tersering adalah regurgitasi dan apneasaat menyusu (5/6), sedangkan pada bayi>6 bulan adalah terdengar banyak lendir di tenggorok (3/3). Komorbid terbanyak adalah kelainan genetikdan PRGE(3/9). Komplikasi terseringadalah pneumonia aspirasi (6/9). Pada pemeriksaan awal FEES, kontrol postural terganggu(7/9) merupakantanda yang paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan FEES, preswallowing leakagedidapatkan pada konsistensi puree, tim saring, dan tim kasar. Pada pemeriksaan SEES dan FEES, residu, penetrasi,dan aspirasipalingbanyak didapatkan pada konsistensi susu. Silent aspirationdidapatkan pada4 dari 9subjek dengan disfagia. Pemeriksaan SEES memiliki kesesuaian dengan FEES berdasarkanuji McNemarpadaparameter ada tidaknya penetrasi, residu, dan aspirasi.Kesimpulan:Prevalensi disfagia pada bayi laringomalasia primersebanyak 9 dari 34 subjek(26,5%), penetrasi dan aspirasi didapatkan pada konsistensi air dan susuterutama pada bayi< 6 bulan, dan SEES memiliki kesesuaian dengan FEESdalam menilai fungsi menelanberdasarkan parameter ada tidaknya residu, penetrasi, dan aspirasi.

Background:Silent aspiration is oftenunrecognized comorbidity in infants with congenital laryngomalacia with serious medical consequence. However, prevalence of dysphagia and characteristic of dysphagia ininfants with congenital laryngomalacia is still unknown. Aim: To find the prevalence and the overview of swallow function in infants with congenital laryngomalacia and also to know the conformity between SEES and FEES in assessing swallow function. Methods:This is a descriptive cross-sectional and comparative analytic study involving 34 infants with congenital laryngomalacia who came consecutivelytoDr. Cipto Mangunkusumo Hospitalon January-March 2019. Results: The prevalence of dysphagia was 9 out of 34 subjects (26,5%).Dysphagia symptom in infants<6 months was regurgitation and apneawhile bottle/breast feeding (5/6). Meanwhile, in infants>6 monthswaswet sounding voice (3/3). The comorbidities found mostly were geneticanomaly and GERD(3/9). The complication mostly was aspiration pneumonia (6/9). In pre-FESS examination, poor postural controlwas dominant(7/9). In FEES examination, preswallowingleakagewas found in puree, soft steam porridge, and rough steam porridge. In FEES and SEES examination, residue, penetration, and aspirationwas mostly found inthick liquid. Silent aspiration was found in 4 out of 9subjects with dysphagia. SEES has a conformity to FEES based on McNemar test in the presence of residue, penetration, and aspiration. Conclusion: The prevalence of dysphagia in infants with congenital laryngomalaciawas9 out of 34 subjects(26,5%). In FEES examination, penetration,and aspiration were found mostly in thin liquid, <6months of age predominantly.SEES has a conformity to FEES based on presence of residue, penetration, and aspiration in assessing swallow function."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arsi Shabrina
"Latar belakang: : Refluks laringofaring merupakan keluhan yang sering ditemui pada poli rawat jalan THT RSCM.. Kuesioner yang selama ini sering digunakan di Poli THT RSCM adalah kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR). Kuesioner memiliki kekurangan berupa banyak gejala-gejala terkait refluks laringofaring yang tidak termasuk dalam kuesioner ini. Saat ini terdapat suatu kuesioner yang dianggap lebih signifikan dalam menilai refluks laringofaring dibandingkan SGR yaitu Reflux Symptom Score (RSS) yang belum diadaptasi ke bahasa Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian terapi proton pump inhibitor untuk pasien OMSK aman aktif dengan refluks laringofaring Metode: Pasien-pasien curiga refluks laringofaring dan pasien yang sudah didiagnosis refluks laringofaring yang datang ke Poli THT RSCM dilakukan anamnesis, dan diminta untuk mengisi kuesioner SGR dan RSS yang sudah diadaptasi lintas budaya ke Bahasa Indonesia sesuai dengan metode WHO. Pasien juga dilakukan pemeriksaan rinofaringolaringoskopi serat optik lentur untuk melihat kriteria objektif refluks laringofaring yaitu skor temuan refluks (STR). Hasil: Penelitian melibatkan 44 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Kuesioner RSS ini memiliki nilai p dan korelasi yang signifikan untuk setiap item pada penilaian frekuensi dan keparahan kecuali satu item yaitu diare. Kuesioner ini juga memiliki Cronbach Alpha di atas 0,6 untuk masing-masing bagian pada penilaian frekuensi dan keparahan. Kesimpulan: Instrumen RSS versi Bahasa Indonesia telah diadaptasi lintas budaya (transcultural), valid dan reliabel sebagai instrumen untuk menilai gejala pada RLF.

Introduction: Laryngopharyngeal reflux is frequently found in the ENT outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta. Laryngopharyngeal reflux is also a risk factor for Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM). The questionnaire that has been frequently used in the ENT outpatient clinic is the Reflux Symptom Index (RSI) questionnaire. However, this questionnaire doesn’t include many symptoms related to laryngopharyngeal reflux. Currently, there is a questionnaire that is considered more significant in assessing laryngopharyngeal reflux than RSI, the Reflux Symptom Score (RSS). This questionnaire has not been adapted to Indonesian yet. This study is a preliminary study of a proton pump inhibitor therapy study for CSOM patients with laryngopharyngeal reflux Methods: Method: Suspected laryngopharyngeal reflux patient or patient that already been diagnosed as reflux laryngopharyngeal reflux that came to Cipto Mangunkusumo general hospital ENT outpatient clinic were interviewed and asked to fill RSI and transcultural adapted RSS. Patients were also examined using flexible rinopharyngolaryngoscopy flexible to assess reflux finding score. Results: This study involved 44 subjects who met the inclusion criteria. This RSS questionnaire has a p-value and significant correlation for each item on the assessment of frequency and severity except for one item diarrhea. This questionnaire also has Alpha Cronbach above 0.6 for each section on the assessment of frequency and severity. Conclusion: RSS Indonesian version has been transculturally adapted also valid dan reliable as an instrument to asses symptoms in laryngopharyngeal reflux."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Anam
"Latar Belakang: Perubahan aktivitas saraf vagal yang disebabkan oleh gangguan regulasi otonom diduga bertanggung jawab atas disfungsi sfingter esofagus bagian bawah pada Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE). Namun, peran disfungsi saraf otonom (DSO) dalam patogenesis refluks laringofaring (RLF) masih belum jelas. Hubungan antara RLF dengan DSO juga diduga terkait dengan kondisi klinis lainnya, seperti gangguan cemas dan depresi, serta gangguan bernapas saat tidur (Sleep Disordered Breathing / SDB). Tujuan: Menentukan proporsi dan karakteristik DSO berdasarkan temuan Heart Rate Variability (HRV) pada pasien RLF dan kelompok kontrol. Faktor risiko lain yang dapat berkontribusi terhadap kejadian RLF dan DSO, seperti risiko terjadinya SDB dan status kecemasan-depresi, juga dinilai. Metode: Empat puluh subjek dilibatkan pada kelompok RLF dan 33 subjek pada kelompok kontrol. Laringoskopi serat optik lentur, analisis HRV, penilaian risiko SDB (Kuesioner ESS dan PSQI) serta gangguan cemas dan depresi (kuesioner HADS) dilakukan pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pada proporsi disfungsi saraf otonom antara kelompok RLF dan kelompok kontrol (p=0.001), dengan proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF mencapai 71.4%. Perbedaan risiko SDB dan gangguan tidur berdasarkan ESS dan PSQI juga signifikan pada kelompok RLF dibandingkan kelompok kontrol (p£0,05). Status kecemasan berdasarkan HADS pada kelompok RLF juga berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Kesimpulan: Proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dengan temuan HRV didominasi oleh penurunan SDNN dan rasio LF/HF, dan berjenis parasimpatis dominan. Risiko terjadinya SDB dan kejadian ansietas-depresi juga berhubungan dengan RLF dan DSO.

Background: Altered vagal nerve activity caused by impaired autonomic regulation was thought to be responsible for esophageal sphincter dysfunction in Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Yet the role of autonomic nerve dysfunction (AND) in the pathogenesis of Laryngopharyngeal Reflux (LPR) remains unclear. LPR and AND is also thought to be associated with other entities, such as anxiety-depression and sleep-disordered breathing (SDB). Aim: To determine the proportion and characteristics of AND based on Heart Rate Variability (HRV) analysis in patients with LPR and control group. Other risk factors that might contribute to the incidence of LPR and AND, such as the risk of SDB and anxiety-depression, were also assessed. Methods: Forty subjects were enrolled in the LPR group and 33 subjects as control. Fiberoptic laryngoscopy, HRV analysis, SDB risk assessment (ESS and PSQI questionnaire), and anxiety-depression status (HADS questionnaire) were performed on both groups. Result: The difference in proportion of AND between LPR and the control group was significant (p=0.001). The proportion of AND in the LPR group was 71.4%. The difference in the risk of SDB based on ESS and PSQI was significant in the LPR group compared to control group (p≤0,05). The status of anxiety based on HADS in the LPR group was also significantly different compared to control (p=0,001). Conclusion: The proportion of AND in the LPR group was greater than control. HRV findings were characterized by reduction of SDNN and LF/HF ratio, with the domination of parasympathetic properties. The risk of SDB and the inclination towards anxiety-depression were related to LPR and AND."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Sahyuni
"ABSTRAK
Latar belakang: Laringomalasia merupakan kondisi kelemahan struktur
supraglotis saat inspirasi sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas atas dan
menimbulkan gejala stridor inspirasi. Stridor semakin memburuk pada posisi
terlentang. Penyakit penyerta laringomalasia umumnya adalah refluks
laringofaring (RLF) yaitu 25-68%. RLF adalah pergerakan isi lambung secara
retrograd menuju laring-faring, menimbulkan gejala dan tanda klinis yang
bervariasi. Pemberian omeperazol dapat memperbaiki gejala regurgitasi dan
stridor serta memperpendek durasi perjalanan alamiah laringomalasia
Tujuan: Mengetahui efektifitas omeperazol pada bayi dan anak dengan
laringomalasia, mengetahui prevalensi RLF pada laringomalasia, ada tidaknya
RLF berdasar nilai reflux finding score (RFS) menurut Belafsky dan mengetahui
berat ringan gejala laringomalasia berdasar nilai laryngomalacia symptom score
(LSS).
Metode: Uji controlled trials pada 65 subyek laringomalasia, dibagi kedalam
kelompok 42 subyek yang mendapat omeperazol 2 x 2 mg/kg/bb dan 23 subyek
yang mendapat plasebo selama 3 bulan
Hasil : Kelompok omeperazol dengan gejala berat 58,8% mengalami perbaikan
dibanding kelompok plasebo 66,7% dengan nilai p = 0,716. Kelompok
omeperazol dengan RLF positif 58,3% mengalami perbaikan dibanding
kelompok plasebo 75% dengan nilai p = 1.0
Simpulan : Prevalensi RLF positif sebesar 24,6% dan gejala berat sebesar 44,6%.
Efektifitas pemberian omeperazol selama 3 bulan belum terbukti efektif dibanding
plasebo berdasarkan perbaikan nilai LSS, RFS dan status gizi. Namun hasil
tersebut hanya berlaku sebagai kesimpulan penelitian pendahuluan karena tidak
optimalnya besar sampel dan randomisasi subyek. Perlu penelitian lanjutan untuk
membuktikan efektifitas omeperazol pada perbaikan skor LSS, skor RFS dan
status gizi bayi dan anak dengan laringomalasia

ABSTRACT
Background: laryngomalacia is condition of floopy supraglottis stucture in
respiratory that trigger obstruction the upper airway and it causes symptom stridor
inspiratory. Stridor can get worse in face up position. In general, the comorbidity
of laryngomalacia is laryngopharyngeal reflux (LPR) about 25-68%. LPR is the
movement of gaster retrogradely toward laryngopharyngeal and it triggers various
symptom and clinical sign. The giving of omeperazole can improve the symptom
of regurgitation and stridor and shorten the duration of natural disease of
laryngomalacia
Objective: Knowing the effectivity of giving omeperazole to the babies and
children with laryngomalacia, knowing the prevalance of LPR to the
laryngomalacia, knowing the positibility of LPR based on the value of reflux
finding score (RFS) according to Belafsky and knowing severity of symptom
laryngomalacia based on the value of laryngomalacia symptom score (LSS).
Method: Test on controlled trials on 65 samples with laryngomalacia and is
divided into 42 groups that have been given omeperazole 2x2 mg/kg/bw and 23
samples that have been given placebo for 3 month
Result: Omeperazol groups with severe symptom showed the improvement of
58,8% compared to placebo groups 66,7% with p = 0.716. Omeperazole groups
with RLF positive showed the improvement of 58,3% compared to placebo
groups 75 % with p = 1.0
Conclusion: The Prevalence of positive LPR based on RFS is 24,6% and with
severe symptom is 44,6%. The effectivity of giving omeperazole for 3 month has
not proved effective compared to placebo based on the improvement of value
LSS, RFS and nutrition status. However such result is only valid for the
conclusion of initial research because the size of samples were not either optimal
or randomized. It is necessary to conduct research continution to prove the
effectivity of giving omeperazole on the improvement of LSS score, RFS score
and nutrition status of babies and children with laryngomalacia"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvie Zulka Kautzia Rachmawati
"ABSTRAK
Refluks laringofaring (RLF) pada anak merupakan kelainan yang sering ditemukan
dan dihubungkan dengan peningkatan insidens berbagai penyakit saluran napas dan
gangguan tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan instrumen diagnosis yang tepat
untuk penatalaksanaanya. Sampai saat ini, instrumen terstandarisasi belum ada,
sehingga diperlukan satu cara untuk mendiagnosis secara mudah, murah, nyaman, tidak
invasif namun mempunyai nilai diagnosis tinggi. Pada orang dewasa, RLF sering kali
dikaitkan dengan Hipertrofi Tonsil Lingual (HTL) dan keberadaan DNA Human
Papillomavirus (HPV), namun hal ini belum dapat dibuktikan pada anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan instrumen diagnostik RLF serta melihat hubungan antara
RLF dan HTL dan keberadaan DNA HPV pada RLF dengan HTL.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 3 desain penelitian, yaitu uji
diagnostik kuesioner Skor Gejala Refluks (SGR) dan Skor Temuan Refluks (STR)
dibandingkan dengan pHmetri 24 jam, dilanjutkan dengan studi kasus kontrol untuk
menilai hubungan RLF dan HTL, serta uji melihat keberadaan HPV DNA pada HTL
dengan RLF dengan cara Linear Array genotyping. Kriteria inklusi adalah anak berusia
5‒18 tahun, memiliki beberapa keluhan seperti banyak riak di tenggorok, sering nyeri
menelan, rasa tersangkut dan mengganjal di tenggorok, mendehem, tersedak, bersuara
serak dan batuk kronik. Kemudian dilakukan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi
untuk menilai keadaan faring dan laring dan pemasangan pHmetri. Apabila pasien RLF
terdapat HTL derajat 2 dan 3, dilakukan biopsi tonsil lingual untuk menilai keberadaan
DNA HPV.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh satu instrumen baru yang terdiri dari keluhan
berdehem, batuk mengganggu dan choking, disertai kelainan pita suara dan edema
subglotik. Instrumen dengan titik potong 4, mempunyai nilai diagnostik yang baik
dengan nilai sensitivitas 75%, spesifisitas 76%, Nilai Prediksi Positif 80% dan Nilai
Prediksi Negatif 71%. Instrumen baru ini dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF
pada anak. Tidak terdapat hubungan bermakna antara HTL dengan RLF dan keberadaan
HPV DNA tidak terdeteksi pada HTL pasien RLF.

ABSTRACT
Laryngopharyngeal reflux (LPR) is common condition in children which is connected
to the increased incidence of airway problems and a developmental delay, therefore a
reliable diagnostic tool is required to manage the condition. There is no standardized
instrument to diagnose LPR yet, consequently, obtaining an instrument which is cost
effective, simple, convenient, non-invasive but yield a good diagnostic values
(sensitivity, specificity, Positive Predictive Value (PPV) and Negative Predictive Value
(NPV)) is essential. In adult, LPR is frequently linked to Lingual Tonsil Hypertrophy
(LTH) and the presence of HPV DNA in its tissue, however those findings have not
been confirmed in pediatric population. The aim of this study is to obtain a good
diagnostic instrument for LPR, to observe the relationship between LPR and LTH and
to identify the existence of HPV DNA in LTH of patient with LPR.
A diagnostic study was done comparing adult questionaires for LPR i.e. Reflux
Symptom Index (RSI) and Reflux Finding Score (RFS) with 24 hour pHmetry, followed
by a case control study to determine the relationship between LPR and LTH and a
crossectional study to evaluate the existence of HPV DNA with Linear Array
genotyping in LTH. The inclusion criteria are age between 5‒18 years old, with the
complain of phleghmy throat, frequent odinophagia, the sensation of lump in the throat,
frequent throat clearing, choking episode, hoarseness and chronic cough. Then the patient
underwent nasopharyngolaryngoscopy for laryngeal evaluation followed by pHmetry
insertion. If LPR is confirmed, the biopsy will be taken from LTH, to see the existence
of HPV DNA.
A new diagnostic instrument, consists of frequent throat clearing, annoying cough,
choking, vocal cords abnormalities, and subglottic edema has been developed and it
demonstrates a good diagnostic outcome. The cut-off is score 4, which produced 75%
sensitivity, 76% specificity, 80% NPP, 71% NPN. Therefore, this instrument can be
applied to diagnose LPR in children. Neither a significant relationship between LPR and
HTL nor the existence of HPV DNA are demonstrated"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
"Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring.
Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak.
Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring.
Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01).
Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.

Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux.
Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME.
Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not.
Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01).
Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yonian Gentilis Kusumasmara
"Latar belakang: Refluks cairan lambung ke struktur laring dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Stroboskopi adalah pemeriksaan penunjang untuk melihat struktur dan fungsi vibrasi pita suara yang dapat mendeteksi secara dini kelainan pada pita suara dan dapat menunjang diagnosis refluks laringofaring (RLF).
Tujuan penelitian: Mengetahui struktur dan fungsi vibrasi pita suara pada pasien RLF dibandingkan dengan pasien normal, serta mengetahui skor temuan refluks (STR) dengan menggunakan stroboskopi laring pada pasien RLF dibandingkan dengan menggunakan rinofaringolaringoskopi serat lentur.
Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Agustus 2018 hingga Februari 2019 dengan subyek penelitian terdiri dari 27 orang pada masing-masing kelompok pasien RLF dengan pasien normal.
Hasil: Delapan dari 10 parameter stroboskopi laring pada kelompok RLF berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kelompok normal, antara lain parameter amplitudo, gelombang mukosa, sifat vibrasi, aktifitas supraglotis, tepi pita suara, simetri, periodisitas, dan perbandingan fase tertutup dan terbuka. Selain itu terdapat perbedaan bermakna Skor Temuan Refluks (STR) yang dinilai dengan rinofaringo-laringoskopi (RFL) serat optik lentur cahaya konstan dibandingkan dengan stroboskopi laring, khususnya pada parameter edema subglotis, edema plika vokalis, dan hipertrofi komisura posterior.

Background: Reflux of gastric juice may damage the vocal cords. Stroboscopy is one of supporting examination to explore the structure and vibratory function of vocal cords that has main role in early diagnosis of vocal cords abnormality and sharpened laryngopharyngeal reflux (LPR) diagnosis.
Purpose: To determine differences of structure and vabratory function in LPR patients compared with normal patients, and to determine the differences of reflux finding score (RFS) using stroboscopy with flexible rhinopharyngolaryngoscopy.
Methods: Comparatif cross sectional study was conducted in ENT Outpatient Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital since August 2018 untill February 2019 with 27 subjects in each group of patient with LPR and normal group.
Result: Eight from 10 stroboscopy parameters is significantly different between LPR group and normal group, ie. vibratory amplitude, mucosal wave, vibratory behaviour, supraglottic activity, vocal folds edge, symetry, periodicity, and open closed phase comparation. Besides, there was a significant difference between Reflux Finding Score (RFS) evaluated using flexible rhinopharyngolaryngoscopy and using laryngeal stroboscopy, particularly in subglottic edema, vocal cords edema, and hypertrophy of posterior commisure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>