Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137584 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kristian, 1990-
"Criminal provisions concerning banks and banking in Indonesia"
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018
345.598 KRI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional
pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara
konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945,
secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles o f J u s t i c e for Yictims o f Crime and Abuse o f Power dan I n t e r n a t i o n a l Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara
sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi
terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Kusuma Hapsari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hafrida
"Proses Peradilan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak, merupakan suatu Proses Peradilan Pidana dengan sifat-sifat khusus, sesuai dengan sifat-sifat khusus yang dimiliki seorang anak, terutama masalah kejiwaannya. Sifat-sifat khusus inilah yang membedakannya dengan proses Peradilan Pidana yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana dewasa. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat pelaksanaan Proses Peradilan Pidana Anak dengan penerapan sifat-sifat khusus tersebut dan apa hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapannya. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyongsong berlakunya Undang-undang Peradilan Anak.
Penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan secara "Yuridis-sosiologis". Penentuan sampel dilakukan dengan dua cara, yaitu untuk sampel dari aparat penegak hukum dilakukan secara ?Purposive Sampling" dan untuk para tersangka, terdakwa dan terpidana ditentukan secara "Random Sampling". Sampel wilayah/lokasi penelitian adalah "Propinsi Lampung khususnya Kota Madya Bandar Lampung". Sebagai alat pengumpul data dipergunakan kuessioner. Analisis data dilakukan secara "Deskriptif-kualitatif", sedangkan analisis kuantitatif digunakan hanya sebagai pendukung analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Proses Peradilan Pidana terhadap pelaku tindak pidana anak belum dapat dilaksanakan dengan memperhatikan sifat-sifat kekhususan tersebut secara semestinya, dikarenakan masih kurangnya peraturan-peraturan di bidang peradilan pidana anak, juga masih kurangnya infrastruktur yang akan menunjang pelaksanaan peraturan tersebut. Selain itu dengan memperhatikan latar belakang sosial ekonomi seorang anak, maka kita harus melihat persoalan ini secara lebih luas. Tidak cukup melihatnya dari sudut "Kebijakan Hukum Pidana" tetapi jugs kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas yaitu dari sudut "Kebijakan Sosial" yang hendaknya secara lebih luas lagi kebijakan tersebut terintegral dengan "Kebijakan Pembangunan Nasional".

The Process of Criminal Trials for Juvenile Offenders is a process with special characteristics, corresponding to the special characteristics owned by juveniles particularly their psychological problems. These are special characteristics differentiating it from the process of criminal trials for adult criminals. This research is intended to understand the performance in the process of Juvenile Criminal Trials with the application of these special characteristics and what obstacles are encountered in its application. This research is carried out in anticipation of the implementation of the Juvenile Trial Act.
This research is carried out with a "Legal-sociological". The sampling procedure is carried out by two methods, namely for the sample of judicial personnel by "Purposive Sampling" and for the defendants, accused and criminals by "Random Sampling". The sample of the region/location for research is the Lampung Province in especially in Bandar Lampung Municipality. Data collection is conducted by questionnaires. Data analysis is carried out though the "Descriptive-qualitatively Method", where as qualitative analysis is used only to support qualitative analysis.
The result of analysis indicates that the performance of the process of criminal trials for Juvenile offenders can not yet be performed to take properly into account the special the characteristics of the offenders, this is caused by the lact of rules in the field of juvenile criminal trials. Likewise there is still a lack of infrastructure to support the implementation of the existing rules. In addition, to take also into account the socio-economy background of the juveniles, we must look at the criminal law policy aspect. However, we must also try to look at it in a wider contexts, namely from a social policy, integrated to a wider "National Development Policy".
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Annissa Kusuma Hasari
"Tesis ini membahas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Indonesia memiliki PPATK sebagai Financial Intelligence Unit yang hanya bersifat memberikan informasi kepada Polri dan Kejaksaan RI. Hasil laporan analisa yang disampaikan oleh PPATK belum cukup memadai untuk dilakukan penyelidikan maupun penyidikan tindak pidana pencucian uang. Maka dapat dikatakan bahwa rezim pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Selain itu apabila penyidik (selain Polri) menemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, namun penyidik tindak pidana asal remyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk itu perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada penyidik tindak pidana asal (multi investigators system).

The focus of this studi is about authority in money laundering investigation in Indonesia. Indonesia has PPATK as a Financial Intelligence Unit that only feeds informations to Police and General Attomey. The infonnations that given by PPATK is not enough to start an money laundering investigation. That is why we can say Indonesian anti money laundering rezim is not running effectively. The problem occurs, when an investigator (except Police) finds some money laundering offences from predicate crime that they are investigating, but that investigator does not have investigation authority. That is why some investigators of predicate crime need giving investigation authority of money laundering (multi investigators system)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26107
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.K. Moc. Anwar
Bandung: Alumni, 1980
345.023 2 MOC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>