Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Feni Nugraha
"Luka bakar berat dapat menyebabkan respons hipermetabolisme dan hiperkatabolisme persisten dan berkepanjangan. Pasien luka bakar yang dirawat di rumah sakit (RS) sering memiliki komorbid, seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2 (DMT2), dan hipertensi. Inflamasi kronik akibat obesitas dan komorbid pada luka bakar berat berperan di dalam terjadinya fenomena second hit yang dapat memperberat respons hipermetabolisme. Terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan obesitas dan penyulit metabolik bertujuan untuk mencegah penurunan berat badan, mempertahankan massa otot, mengurangi respons hipermetabolisme, menjaga kontrol glikemik dan tekanan darah, meningkatkan sistem imun, membantu penyembuhan luka, memerbaiki kapasitas fungsional, sehingga meningkatkan luaran klinis serta menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 29-38% luas permukaan tubuh (LPT), disebabkan oleh api dan listrik, memiliki status obes I serta komorbid DMT2 dan hipertensi. Terapi medik gizi pada pasien diawali dengan nutrisi enteral dini dalam waktu 24 jam pertama pasca luka bakar, sesuai dengan rekomendasi The European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) serta Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Terapi medik gizi berdasarkan rekomendasi tersebut disesuaikan kondisi klinis, toleransi asupan, dan hasil laboratorium pasien. Target pemberian nutrisi menggunakan formula Xie, dengan komposisi seimbang, terdiri atas protein 1,5-2 g/kg BB ideal/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 45-65%. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks 3x1, asam folat 1x1 mg, vitamin C 2x250 mg, dan seng 1x20 mg. Keempat pasien serial kasus mengalami perbaikan kondisi klinis, penyembuhan luka baik, tidak ada infeksi dan komplikasi selama perawatan, tekanan darah dan kontrol glikemik baik, penurunan BB<10%, perbaikan kapasitas fungsional, dan lama rawat pasien lebih singkat. Keempat pasien dipulangkan untuk rawat jalan.Terapi medik gizi yang optimal dapat memerbaiki luaran klinis serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien luka bakar berat dengan obesitas dan penyulit metabolik.

Severe burn injury can cause a persistent and prolonged hypermetabolism and hypercabolism response. Severe burn injury patients treated in hospitals generally have comorbidities, such as obesity, DMT2, and hypertension. Chronic inflammation due to obesity and comorbidities in severe burn injury contributes to a second hit phenomenon in terms of augmenting the hypermetabolic response. Medical nutrition therapy in severe burn injury patient with obesity and metabolic disease is required in order to prevent weight loss, maintain muscle mass, reduce hypermetabolism response, maintain glycemic control and blood pressure, improve the immune system, help wound healing, improve functional capacity, therefore increasing clinical outcome and reduce the risk of morbidity and mortality. The case series consists of four patients with severe burn injury, degree II−III, 29−38% total body surface area, caused by fire and electricity, nutritional status obese I with DMT2 and hypertension. Medical nutrition therapy was initiated with early enteral nutrition within the first 24 hours after burn injury, according to ESPEN, SCCM and ASPEN recommendations and also adjusted based on clinical conditions, nutritional tolerance, and laboratory results. The nutrition target was calculated using Xie formula, with a balanced composition, consists of protein 1.5−2 g/kg ideal body weight/day, fat 25−30%, and carbohydrate 45−65%. Micronutrients supplementation given to these patients includes vitamin B complex 3x1 tablets, folic acid 1x1 mg, vitamin C 2x250 mg, and zinc 1x20 mg. Four patients had improvement in clinical condition and wound healing, no infections and complications during treatment, controlled blood pressure and glycemic, decreased body weight <10%, improvement in functional capacity, and shortened length of hospital stay. All four patients were discharged for outpatient care. Optimal medical nutrition therapy can improve clinical outcomes and reduce the morbidity and mortality rates in severe burn injury patients with obesity and metabolic disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mulianah Daya
"Latar belakang:
Luka bakar derajat berat merupakan trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Salah satu komplikasi pada luka bakar derajat berat yang sering ditemui adalah gangguan ginjal akut (GGA) dan ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini menyebabkan hiperkatabolisme yang berkepanjangan dan berujung pada malnutrisi. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah bertambahnya progresivitas penyakit dan malnutrisi yang memengaruhi kualitas hidup pasien.
Kasus:
Pada serial kasus ini terdapat 4 pasien laki-laki, berusia 37-70 tahun dengan diagnosis luka bakar derajat II-III, 24-79% LPT yang disebabkan karena api dan listrik. Status nutrisi pasien bervariasi dari berat badan normal hingga obes 2. Target pemberian nutrisi berdasarkan rekomendasi ESPEN SCCM dan ASPEN untuk pasien kritikal dan luka bakar. Namun, kebutuhan nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, data laboratorium, dan toleransi asupan harian.
Hasil:
Selama perawatan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <35 kkal/kgBB dan protein <1,5 g/kgBB Tiga pasien menjalani hemodialisis suportif. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis pasien dengan target protein 0,8-1 g/kgBB/hari pada GGA tanpa dialiasis dan 1-1,5 g/kgBB/hari dengan dialisis. Terapi nutrisi juga menyesuaikan ketidakseimbangan elektrolit pada pasien. Penurunan berat badan pada keempat kasus <10% selama perawatan. Mikronutrien diberikan untuk penyembuhan luka namun dosis menyesuaikan dengan fungsi ginjal.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mencegah progresivitas penyakit dan malnutrisi pada pasien luka bakar derajat berat dengan GGA dan ketidakseimbangan elektrolit.

Background:
Severe burn injury is a trauma with a serious morbidity and mortality. One of the most complication in severe burn injury is acute renal injury (AKI) and electrolyte imbalance. They could cause a prolonged hypercatabolism that susceptible to develop malnutrition. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of malnutrition which affects the quality of life of patients.
Methods:
The case series consists of four men, aged 37-70 years with a diagnosis of severe burn injury, degree II-III, 24-79% of TBSA caused by fire and electricity. The nutritional status of patients varies from normal body weight to obese 2. Target of nutrition based on ESPEN SCCM and ASPEN recommendation for critical and burn patients. However, nutritional requirements are adjusted according to clinical conditions and daily intake tolerance.
Results:
All patients had a history of total energy intake <35 kcal/kgs with protein <1.5 g/ kgs. Three of them underwent supportive hemodialysis. Nutritional medical therapy was given according to the clinical condition of each patient with a protein target of 0.8 -1 g/kgs/day in AKI without dialysis and 1-1.5 g/kgs/day on dialysis. Nutritional therapy also adjusts for electrolyte imbalances. Weight loss in all four cases <10% during treatment. Micronutrients are given for wound healing but the dosage adjusts to kidney function.
Conclusions:
Adequate nutritional medical therapy in severe burn injury with AKI and electrolyte imbalance preventing development of rapid progression of malnutrition in critical ill patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Silvia Pagitta
"Malnutrisi merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien luka bakar berat. Malnutrisi meningkatkan risiko infeksi, lama rawat, terhambatnya penyembuhan luka sehingga mortalitas meningkat. Glutamin merupakan nutrien spesifik yang berperan dalam penyembuhan luka. Tujuan penulisan serial kasus adalah dilaporkannya peran terapi medik gizi pada pasien luka bakar berat dengan malnutrisi yang mendapat glutamin. Empat pasien serial kasus dengan luka bakar berat, derajat II-III, 18,5-41% luas permukaan tubuh (LPT) disebabkan api dan bahan kimia dengan rentang usia 18−64 tahun. Berdasarkan rekomendasi ESPEN pada pasien dengan luka bakar >20% LPT, dosis glutamin enteral yang diberikan adalah 0,3-0,5 g/kg BB/hari. Asupan energi pasien selama perawatan 11-54 kkal/kg BB/hari, protein 0,2-2,4 g/kg BB/hari, lemak 6-28%, karbohidrat 52-70%, glutamin 0,02-0,2 g/kg BB/hari. Selama perawatan, hitung total limfosit (TLC) meningkat pada 2 dari 4 pasien dan terdapat perbaikan kapasitas fungsional pada 3 pasien. Peran glutamin pada pasien luka bakar yang mengalami malnutrisi belum dapat dinilai karena dosis yang diberikan kurang dari rekomendasi, namun tampak peningkatan TLC dan perbaikan kapasitas fungsional setelah pemberian nutrisi.

Malnutrition is the most common problem in severe burns patients. Malnutrition increases the risk of infection, length of stay, inhibits the healing process so increasing mortality. Glutamine is a specific nutrient that plays a role in wound healing. This case series was aimed to report the role of nutritional medical therapy in patients with severe burns with malnutrition who received glutamine. These case series analyzed four of 18-64 years old patients with severe fire and chemical burns, II-III degree, 18,5-41% of body surface area (BSA). According to ESPEN, the dose of enteral glutamine in burns patients >20% BSA is 0,3-0,5 g /kg BW/day. Energy intake of patients during treatment was 11-54 kcal /kg BW/day, protein 0,2-2,4 g /kg BW/day, fat 6-28%, carbohydrates 52-70%, glutamine 0,02-0,2 g /kg BW/day. During treatment, the total lymphocyte count (TLC) increased in 2 of 4 patients and there was an improvement in functional capacity in 3 patients. The role of glutamine in burn patients who have suffered malnutrition cannot yet be assessed because the dose given is less than the recommendation, but glutamine supplementation may be associated with an increase of TLC and improvement functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
"Latar belakang
Jumlah pasien obesitas yang dirawat di unit perawatan intensif semakin meningkat. Pasien obesitas dalam kondisi sakit kritis berisiko mengalami acute kidney injury (AKI). Belum ada panduan pemberian energi dan protein yang optimal bagi pasien obesitas sakit kritis dengan AKI. Asupan energi dan protein yang tidak adekuat akan memperberat risiko malnutrisi dan sarkopenia sehingga meningkatkan komplikasi, lama rawat, dan mortalitas. Terapi medik gizi yang komprehensif diperlukan untuk mencegah progresivitas penyakit dan penurunan status gizi yang memengaruhi luaran klinis pasien.
Kasus:
Pasien pada serial kasus ini adalah tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan, berusia 58-64 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan menderita AKI saat perawatan. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak sakit kritis fase akut. Preskripsi energi berdasarkan rule of thumb sedangkan protein berdasarkan nilai imbang nitrogen. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, hemodinamik, dan toleransi asupan pasien.
Hasil:
Selama perawatan, asupan energi pasien dapat mencapai 30 kkal/kgBB dengan protein 1-1,3 g/kgBB. Dua pasien mengalami imbang nitrogen negatif hingga akhir perawatan karena asupan protein tidak adekuat dan kondisi hiperkatabolisme berat. Dua pasien dengan asupan protein yang cukup (1,1–1,2 g/kgBB) memiliki imbang nitrogen yang normal. Tiga pasien mengalami komplikasi sepsis dan satu pasien menderita ulkus dekubitus. Satu pasien mengalami malnutrisi dan sarkopenia saat perawatan sakit kritis. Dua pasien dengan imbang nitrogen seimbang dapat melewati fase kritis dan pindah ke ruang rawat biasa. Dua pasien dengan imbang nitrogen negatif meninggal dunia saat perawatan di ICU.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi dan pemberian protein yang adekuat pada pasien obes sakit kritis dengan AKI dapat memperbaiki kondisi klinis, meningkatkan kesintasan, dan menurunkan mortalitas.

Background
The prevalence of obesity has increased and is reflected in the intensive care unit (ICU) population. Critically ill obese patients are at risk for acute kidney injury (AKI). There are no guidelines for optimal energy and protein delivery for critically ill obese patients with AKI. Inadequate energy and protein intake will exacerbate malnutrition and sarcopenia, thereby increasing complications, length of stay, and mortality. Comprehensive nutritional medical therapy is needed to prevent disease progression and derivation of nutritional status that affects the clinical outcome.
Case
The patients were three men and one woman, aged 58-64 years with obesity, critically ill, and AKI.
All patients received medical nutrition therapy since the acute phase of critical illness.
Energy prescription is based on the rule of thumb while protein is based on the nitrogen balance.
Nutritional administration is adjusted to the clinical condition, hemodynamic, and patient's tolerance.
Result
During treatment, the patient's energy intake reach 30 kcal/kgBW with protein of 1-1,3 g/kgBW.
Two patients experienced negative nitrogen balance at the end of treatment due to inadequate protein intake and severe hypercatabolism.
Two patients with adequate protein intake (1.1–1.2 g/kgBW) had normal nitrogen balance.
Three patients had complications of sepsis and one patient had a pressure ulcer. One patient developed malnutrition and sarcopenia during treatment.
Two patients with a normal nitrogen balance were able to pass the critical phase and step down to the ward.
Two patients with negative nitrogen balance died during intensive care treatment.
Conclusion
Medical nutrition therapy and adequate protein intake in critically ill obese patients with AKI can improve clinical conditions,increase survival, and reduce mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhevinia Yustikarani
"Latar Belakang: Geriatri merupakan populasi dengan risiko tinggi untuk terjadinya luka bakar, hal ini dikarenakan sudah menurunnya fungsi koordinasi dan kecepatan dalam merespons bahaya. Luka bakar yang terjadi pada geriatri dapat menyebabkan menurunnya kekuatan fisik, terjadi gangguan imunitas, dan terjadinya sarkopenia saat dalam perawatan. Hipermetabolisme dan hiperkatabolisme akibat meningkatnya proses inflamasi memerlukan pemberian dukungan nutrisi yang adekuat agar dapat mencegah terjadinya sarkopenia dan meningkatnya mortalitas.
Metode: Empat pasien geriatri dengan cedera luka bakar yang disebabkan oleh api. Pasien pertama dan kedua berada pada rentang usia 60-74 tahun dan pasien ketiga dan keempat berada dalam rentang usia (75-84 tahun).Kebutuhan energi dihitung berdasarkan formula Xie dan Harris Benedict dengan target pemberian energi awal adalah 25-30 kkal dan target protein sebesar 1,2-2 g per kg BB. Penatalaksanaan terapi nutrisi selanjutnya disesuaikan dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Dilakukan pemantauan hemodinamik terutama imbang cairan dan diuresis.
Hasil: Dua pasien meninggal selama masa perawatan karena syok sepsis dan dua orang lainnya dapat pulang ke rumah dengan mengalami perbaikan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi medik gizi dapat memperbaiki keluaran klinis dan kapasitas fungsional pada pasien geriatri dengan cedera luka bakar.

Latar Belakang: Geriatric is a population with a high risk for burns, due to the limitation of their mobility, coordination and to act rapidly when in danger. Burns in the geriatrics decreased physical strength, impaired immunity, and the occurrence of sarcopenia during treatment. Hypermetabolism and hypercatabolism require an adequate nutritional support to prevent sarcopenia and mortality.
Method: We reported four geriatric patients with burn injuries caused by fire. The age ranging from 60-84 years old. Energy requirements were calculated based on the Xie and Harris-Benedict formulation with the energy begins at 25-30 kcal per kg body weight and administered protein 1.2-2 g per kg body weight. We administered early nutritional therapy after hemodynamic was stable. Nutritional therapy management then was adjusted according to clinical condition and tolerance. Hemodynamic monitoring, especially fluid balance and diuresis, was carried out during hospital care.
Results: Two of four patients were died during the treatment due to septic shock and the rest of them were able to discharge fom hospital with functional capacity and clinical improvement.
Conclusion: Early medical nutrition therapy can improve clinical outcome and functional capacity in geriatric patients with burns injuries."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sophika Umaya
"Latar Belakang: Luka bakar berat dengan komorbid diabetes melitus (DM) secara teoritis dapat mengalami fenomena second hit, rentan terhadap peningkatan respon hipermetabolisme karena efek gabungan luka bakar akut dan patofisiologi DM. Implikasi gabungan efek tersebut meningkatkan morbiditas mortalitas, sehingga dibutuhkan tatalaksana nutrisi adekuat untuk melawan respon hipermetabolik dan hiperkatabolik, yang diharapkan memengaruhi perbaikan kontrol glukosa darah.
Metode: Serial kasus ini terdiri atas empat pasien luka bakar berat karena api dengan DM tipe 2 yang dirawat di ICU luka bakar. Tatalaksana nutrisi diberikan dengan nutrisi enteral dini dalam waktu 24 jam pertama, secara bertahap diberikan sesuai kondisi klinis dan toleransi asupan, dengan target kebutuhan energi awal 20-25 kkal/kg BB/hari, protein 1,5-2 g/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 55-60%.
Hasil: Pemberian nutrisi pada keempat pasien dapat membantu mempertahankan kadar glukosa darah tidak mengalami peningkatan fluktuasi tajam. Interupsi pemberian nutrisi yang disebabkan berbagai kondisi klinis dan tindakan, menyebabkan target energi dan protein harian sulit tercapai pada keempat pasien. Komplikasi sepsis dan syok sepsis terjadi sehingga pada akhirnya keempat pasien meninggal.
Kesimpulan: Luka bakar berat, pengendalian infeksi, obesitas, komorbid DM, variabilitas glikemik, serta tatalaksana nutrisi yang tidak adekuat, dapat meningkatkan morbiditas mortalitas pada pasien ini, karenanya masih menjadi tantangan tim terapi medik gizi.

Background: Severe burns with comorbid diabetes mellitus (DM) can theoretically experience a second hit phenomenon, susceptible to increased hypermetabolic response due to the combined effect of acute burns and DM pathophysiology. The combined implications of these effects increase mortality morbidity, so that adequate management of nutrition is needed to counteract the hypermetabolic and hypercatabolic responses, which are expected to influence improvement in blood glucose control.
Method: The cases series consist of four patients with severe burns due to fire with type 2 DM, treated in ICU burns. Nutritional management is given with early enteral nutrition in the first 24 hours, gradually given according to clinical conditions and intake tolerance, with a target of initial energy requirements of 20-25 kcal/kg body weight/day, protein 1.5-2 g/kg body weight/day, 25-30% fat, and carbohydrates 55-60%.
Results: Nutrition therapy to all four patients can help maintain blood glucose levels not experiencing sharp fluctuations. Nutritional interruption caused by various clinical conditions and actions, causes daily energy and protein targets difficult to achieve in all four patients. Complications of sepsis and sepsis shock occur and eventually all four patients die.
Conclusions: Severe burns, infection control, obesity, comorbid DM, glycemic variability, and inadequate nutritional management, can increase mortality morbidity in these patients, therefore it remains a challenge for the nutritional medical therapy team."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Kelvianto
"Gangguan psikiatri meningkatkan risiko penderitanya mengalami obesitas dan sindroma metabolik akibat interaksi faktor genetik, lingkungan, gejala penyakit psikiatri dan pengobatannya. Pengaturan asupan makan dan perubahan pola hidup tetap menjadi tatalaksana awal pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penggunaan metformin telah disarankan dalam studi sebagai adjuvan dalam tatalaksana berat badan pada pasien gangguan psikiatri terutama yang menggunakan obat psikiatri dalam jangka panjang. Empat pasien rawat inap dengan gangguan psikiatri dipantau selama perawatan dan sebulan setelah rawat jalan dengan kontak per minggu. Dilakukan pencatatan masalah subjektif, objektif, riwayat peningkatan berat badan, riwayat pengobatan pola asupan serta pengukuran antropometri dan komposisi tubuh. Pola asupan harian dan 24 jam terakhir dikumpulkan dengan metode FFQ semi kuantitatif dan 24h dietary recall. Perencanaan terapi medik gizi dilakukan dengan restriksi kalori, peningkatan asupan protein, penyesuaian asupan karbohidrat, motivasi melakukan aktivitas fisik yang cukup dan pemberian metformin dengan dosis bertahap. Tiga pasien memiliki status gizi obes 2, 1 pasien memiliki status gizi obes morbid yang disertai massa lemak yang tinggi dan massa otot yang rendah. Seluruh pasien memiliki lingkar pinggang diatas normal, kadar kolesterol total, LDL yang tinggi dan HDL yang rendah. Tiga pasien tidak mematuhi preskripsi selama perawatan. Setelah rawat jalan, dua pasien memiliki caregiver yang memberikan pemantauan dan motivasi yang baik terhadap pasien selama sebulan dan terdapat penurunan berat badan, penurunan lingkar pinggang, dan perbaikan komposisi tubuh. Terapi medik gizi pada pasien dengan gangguan psikiatri membutuhkan kerjasama dengan caregiver agar dapat bermanfaat bagi pasien.

Patients with psychiatric disorders experienced an increased risk of obesity and metabolic syndrome due to genetic, environmental, disease symptoms and medication factor. Diet and lifestyle modification remained the firstline modalities for management of obesity in patients with psychiatric disorders. Metformin as an adjuvant therapy is recommended for preventing weight gain in patients especially with long-time psychiatric medication usage. Four inpatients with various psychiatric disorders were monitored during hospital stay and one month after discharge with weekly contact for monitoring. Subjective symptoms and objective signs, including history of weight gain, psychiatric medication history, intake pattern, anthropometric and body composition measurements were recorded. Daily intake pattern and 24 hour food intake were recorded and analyzed with semi-quantitative FFQ method and 24h food recall, respectively. Energy restriction, adjustment of protein and carbohydrate intake, physical activity encouragement and oral metformin administration with increasing dose were implemented in all patients. Three patients were grade 2 obese, one patients was morbidly obese with high fat mass and low muscle mass. All patients showed an increased waist circumference, high total cholesterol and LDL level, and low HDL level. Three patients failed to comply with nutrition prescription. After discharge, two patients had a supportive caregivers that gave an adequate monitoring and encouragement. Weight loss, reduced waist circumference, and better body compositition were found in 2 patients with supportive caregivers. Medical nutrition therapy on patient with psychiatric disorder will benefit greatly from supportive caregiver to bring benefit for patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada populasi dunia berusia di bawah 45 tahun. Cedera kepala sedang (CKS) dan berat (CKB) biasanya memerlukan perawatan intensif dan pendekatan medis-bedah. Pasien dengan cedera kepala mengalami peningkatan laju metabolisme sehingga memerlukan tatalaksana medik gizi yang sesuai. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas, risiko infeksi, dan komplikasi lainnya. Pemberian nutrisi enteral dini dalam kurun 24-48 jam setelah masuk Intensive Care Unit (ICU) dapat memperbaiki luaran klinis pasca cedera.
Serial kasus ini bertujuan untuk melaporkan peran tatalaksana medik gizi pada status gizi, lama pemakaian ventilator, tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien kritis dengan CKS dan CKB. Empat pasien laki-laki dengan rentang usia 25-46 tahun diobservasi selama perawatan di ICU RS Cipto Mangunkusumo, dua pasien dengan diagnosis CKS dan sisanya dengan diagnosis CKB. Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, dua pasien memiliki berat badan (BB) normal, satu pasien BB lebih dan satu pasien obesitas II. Tingkat kesadaran berdasarkan skor Glascow Coma Scale (GCS) pasien pada saat masuk ICU adalah 6-11.
Selama perawatan keempat pasien mendapat nutrisi enteral dini dan pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap. Pada seluruh pasien, kebutuhan energi dapat dipenuhi sesuai target 25-30 kkal/kg BB. Kebutuhan makronutrien dapat dipenuhi sesuai target, yaitu protein 1,2-2 g/kg BB, lemak 20-30%, dan karbohidrat minimal 100 g/hari. Pada dua pasien dengan CKB, diberikan nutrien spesifik berupa glutamin sebesar 0,2 g/kgBB/hari dan mikronutrien berupa vitamin C, vitamin B kompleks, asam folat, dan seng.
Hingga akhir pemantauan status gizi pada dua pasien CKS dapat dipertahankan, sedangkan dua pasien dengan CKB mengalami penurunan berat badan. Dua pasien CKS hanya menggunakan ventilator selama 4-5 hari, sedangkan dua pasien dengan CKB menggunakan ventilator lebih lama yaitu 12 dan 31 hari dengan disertai komorbiditas pneumotoraks dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kesadaran seluruh pasien mengalami perbaikan. Skor GCS pasien pada akhir perawatan di ICU adalah 7-15. Kapasitas fungsional berdasarkan Indeks Barthel juga mengalami perbaikan pada tiga pasien, yaitu dari ketergantungan total menjadi ketergantungan sedang atau berat.
Dapat disimpulkan bahwa tatalaksana medik gizi dapat berperan dalam mempertahankan status gizi, menurunkan lamanya pemakaian ventilator, memperbaiki tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien sakit kritis dengan CKB dan CKS. Tingkat keparahan cedera kepala dan komorbiditas dapat memengaruhi luaran klinis dan harus dipertimbangkan dalam memberi tatalaksana medik gizi.

Traumatic brain injury (TBI) is a leading cause of death and disability in the global population under 45 years old. Moderate and severe TBI usually require intensive care and a medical-surgical approach. Patients with TBI experience an increase in metabolic rate and therefore require appropriate medical nutrition therapy. Inadequate energy intake can cause an increase in morbidity, risk of infection, and other complications. Early enteral nutrition within 24-48 hours after ICU admission has been shown to improve clinical outcome.
This case series aims to report the role of medical nutrition therapy on nutritional status and clinical outcomes of critically ill patients with moderate and severe TBI. Four male patients aged 25-46 years were observed during their stay at the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Based on body mass index, two patients were normoweight, one patient was overweight and one patient was class II obese. The Glascow Coma Scale (GCS) scores of the patients on ICU admission were ranged 6-11.
Two of the four patients were classified as moderate TBI and the other two patients were as classified as severe TBI. On monitoring four patients received early enteral nutrition and the nutrition was gradually increased to reach the target of 25-30 kcal/kg body weight (BW). Enteral formula were targeted to achieve protein intake of 1.2-2 g/kgBW, fat intake of 20-30% of energy intake, and carbohydrate intake of at least 100 g/day. Two patients with severe TBI were given specific nutrients in the form of glutamine as much as 0.2 g/kgBW/day and micronutrients in the form of vitamin C, vitamin B complex, folic acid, and zinc. Two patients with moderate TBI received mechanical ventilation for 4 and 5 days, while two patients with severe TBI received mechanical ventilation for 12 and 31 days. In two patients with severe TBI, prolonged use of mechanical ventilation may be associated with the comorbidities of pneumothorax and ventilator-associated pneumonia.
At the end of monitoring, the levels of consciousness were improved in all patients. The patients GCS score at the end of treatment in the ICU were ranged 7-15. Functional capacity based on the Barthel Index also improved in three patients, from total dependence to moderate or severe dependence. Weight loss was experienced in two patients with severe TBI, possibly due to severe and prolonged catabolism in severe TBI. Patients with severe TBI may have higher energy requirements to maintain their nutritional status.
It can be concluded that medical nutrition therapy may play a role in improving the level of consciousness and functional capacity in critically ill patients with moderate and severe traumatic brain injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kwan Francesca Gunawan
"ABSTRAK
Diabetes melitus DM merupakan suatu epidemik global. Obesitas merupakan faktor risiko tersering pada terjadinya DM tipe 2. Salah satu komplikasi yang sering dialami oleh penderita DM ialah kaki diabetik. Pada pasien DM dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi penting untuk mencapai target berat badan, menjaga kadar glikemik, serta mencegah komplikasi DM. Selain itu pemberian nutrisi yang adekuat juga penting untuk mendukung penyembuhan luka. Pasien pada serial kasus ini berusia antara 41 ndash;59 tahun dengan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Keempat pasien memiliki status gizi obes dengan IMT sebesar 26-54,4 kg/m2. Awitan DM pada keempat pasien diketahui bervariasi antara 1-13 tahun. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan klinis, hasil laboratorium, dan asupan terakhir masing-masing pasien. Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa dengan terapi nutrisi yang diberikan terjadi penurunan berat badan sebesar 3,2-4,8 kg 3,2-5,8 dan penurunan nilai HbA1c sebanyak 0,3-0,7. Selain itu juga didapatkan ukuran luka yang mengecil dan gejala neuropati berkurang. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi yang adekuat berkaitan dengan penurunan berat badan, perbaikan kontrol glikemik, dan penyembuhan luka yang baik.

ABSTRACT<>br>
Diabetes mellitus is now a global epidemic. Obesity is a common risk factor in the occurrence of type 2 diabetes. One of the complications that are often experienced by people with diabetes is diabetic foot. In diabetic patients with obesity and diabetic foot, medical nutrition therapy is important to achieve targeted body weight, maintain glycemic levels, and prevent diabetes complications. Good nutrition is also essential for wound healing. This case series consists of four patients who are between 41-59 years old and obese with BMI of 26-54.4 kg/m2. The onset of DM in all four patients is known to vary between 1-13 years. Nutritional therapy is given in accordance with the clinical, laboratory outcomes, and patients' daily intake. It was found that medical nutrition therapy can lead to weight loss of 3.2-4.8 kg (3.2-5.8%) and decreased HbA1c by 0.3-0.7%. It was also observed that the wound size and neuropathy symptoms are reduced. Adequate medical nutrition therapy in type 2 DM patients with obesity and diabetic foot is associated with weight loss, improved glycemic control, and good wound healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>