Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173768 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bagus Ramasha Amangku
"HIF-2α adalah mediator yang penting dalam reaksi hipoksia di situasi keganasan dan tingginya tingkat ekspresi HIF-2α berkorelasi dengan konsep metastasis, resistensi terapi dan penurunan kualitas prognosis dalam berbagai bentuk pertumbuhan kanker. Karena kemampuan sel glioma otak yang sangat infiltratif, glioma tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dengan pembedahan dimana tingkat kekambuhan juga tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi ekspresi relatif dari gen HIF-2α dihubungkan dengan keganasan glioma. Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 22 sampel yang diperoleh dari Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ekspresi relatif HIF-2α dianalisis dengan menggunakan quantitative RT-PCR. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan ekspresi relatif HIF-2α pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah, namun tidak bermakna secara statistik. Dengan demikian kemungkinan HIF-2α dapat digunakan sebagai penanda prognostik untuk pasien yang didiagnosis glioma, meskipun eksperimen tambahan perlu dilakukan untuk memperkuat fakta ini.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harrison Handoko
"

Glioma adalah tumor yang bermula dari tulang belakang atau otak yang berasal dari sel glial, dan merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia. TGF-I²1 mempunyai peran yang penting dalam mengontrol homeostasis jaringan dan peranjakan keganasan kanker, oleh sebab itu TGF-I²1 mempunyai potensi untuk menjadi biomarker untuk membedakan antar glioma keganasan tinggi dan rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi relatif TGF-I²1 glioma tingkat tinggi dan rendah, untuk melihat potensi menjadi biomarker. Dalam eksperimen terdapat 28 sampel yang digunakan dalam studi ini,16 jaringan dengan keganasan rendah, 10 dengan keganasan tinggi dan 2 jaringan otak normal yang didapat dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Jaringan telah digolongkan berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh World Health Organization, derajat 1 dan 2 sebagai keganasan rendah dan derajat 3 dan 4 sebagai derajat tinggi. Ekspresi relatif dari TGF-I²1 dianalisa menggunakan Real-Time RT PCR dengan 18sRNA sebagai houskeeping gene. Dari hasil terlihat bahwa adanya penurunan ekspresi relatif TGF-I²1 di glioma keganasan tinggi saat dibandingkan dengan ekspresi di glioma keganasan rendah. Tetapi setelah dianalisis secara statistik, hasil penemuan ini tidak signifikan. Kegunaan dari TGF-I²1 sebagai biomarker belum terbukti, maka dari itu studi lebih lanjut harus dilakukan untuk menjelaskan fungsi dari TGF-I²1 sebagai biomarker untuk glioma.



Glioma is a term used to describe tumors which originate from the spinal cord or brain, specifically the glial cells. This type of tumor is one of the most commonly found brain malignancies in Indonesia. TGFI²1 has a key role in the maintenance of tissue homeostasis and progression of cancer, due to this fact TGF-I²1 has the potential as a tissue biomarker to differentiate low grade and high grade gliomas. The goal of this study is to analyze the relative expression of TGF-²1 in both high grade and low grade glioma to explore its potential as a biomarker. In the experiment there was a total of 28 samples, 16 low grade glioma, 10 high grade glioma and 2 normal brain tissue obtained from Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. The sample was categorized to low grade and high grade glioma based on the guideline given by the World Health Organization. Grades 1 and 2 are considered to be low grade gliomas and grades 3 and 4 are considered to be high grade gliomas. The relative expression of TGF-I²1was measured through Real-Time RT-PCR with 18sRNA as a housekeeping gene. It was seen that there was a decrease in the expression of TGF-I²1 in high grade glioma as to low grade glioma. However, when the result was analyzed it is proven to be statistically insignificant.The role of TGF-I²1 as a definitive biomarker for glioma grading is yet to be proven, therefore further research must be conducted to elaborate the role of the gene as a glioma biomarker.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidinny Izzaturrahmi Hamid
"Glioma is one of the most common central nervous system tumors that show variant responses towards radiotherapies. Most of the cases especially the high grade Glioblastoma Multiforme have very poor prognosis. Pluripotency of cMyc genes might be another factor for the high glial cell differentiation in glioma thus it may become an alternative therapeutic target. mRNA obtained from 20 glioma samples with different degree of malignancy are converted to cDNA and then amplified. Relative quantification of cMyc mRNA expression is measured by calculating the cycle threshold values of Real Time RT PCR and normalized towards 18s rRNA to predict the relationship between the expression of cMyc and the degree of malignancy. The cMyc expression is increased in accordance with the tumor grade. The cMyc expressions in high grade glioma are 17424.23 folds higher when calibrated to the normal cell, whereas the genes in lower grade tumors are expressed with the rate of 6167.35. Despite the statistically insignificant values the genes express, this research has strengthened molecular diagnosis, specifically pluripotency, to be the factor that gives a greater prognostic relevance than the histopathologic diagnosis. As a conclusion, there is a clinical tendency where the c Myc expression is higher than in high degree glioma compared to low degree malignancy, however it is not statistically significant.

Glioma adalah salah satu tumor sistem saraf pusat yang sering terjadi dan memiliki respon yang variatif terhadap radioterapi. Glioblastoma Multiforme cenderung memiliki prognosis buruk terhadap pengobatan. Pluripotensi mRNA cMyc dapat menjadi salah satu faktor tingginya diferensiasi sel glial pada gliom sehingga dapat menjadi target terapi alternatif. mRNA yang diperoleh dari 20 sampel glioma dengan derajat keganasan berbeda ditransformasi menjadi cDNA dan diamplifikasi menggunakan Accupower Two-Step RT-PCR with SYBR Green. Kuantifikasi relatif mRNA cMyc ditentukan dengan menghitung nilai cycle threshold pada RT PCR ang dinormalisasi dengan rRNA 18S untuk melihat hubungan antara ekspresi cMyc dan derajat keganasan glioma. Ekspresi cMyc ternyata lebih tinggi seiring dengan meningkatnya tingkat keganasan. Ekspresi cMyc pada glioma klasifikasi WHO derajat tinggi senilai 17424.23 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekspresi pada sel otak normal, sedangkan glioma derajat rendah menurut klasifikasi WHO mengalami ekspresi gen cMyc senilai 6167.35. Meskipun nilai yang diperoleh tidak signifikan secara statistik, penelitian ini telah menunjukkan bahwa diagnosis molekuler, terutama pluripotensi, dapat menjadi faktor penentu prognosis glioma selain ditentukan dengan derajat keganasan melalui pemeriksaan histopatologis. Terdapat kecenderungan secara klinis dimana ekspresi relatif mRNA cMyc lebih tinggi pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah, namun nilainya tidak signifikan secara statistik."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Suciati
"Keadaan hipoksia dapat membuat sel melakukan adaptasi melalui ekspresi berbagai macam gen. Banyak gen tersebut adalah gen yang diinduksi oleh suatu faktor transkripsi yang disebut HIF-I HlF-la adalah subunit yang diregulasi oleh kadar oksigen untuk aktifitas faktor transkripsi tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola mRNA HIF 1u dan ekspresi protein HIF-ln pada organ ginjal dari tikus yang mengalami kondisi hipoksia secara sistemik yang terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan lamanya perlakuan (kelompok kontrol, hipoksia 13, 7 dan 14 hari masing-masing 6 ekor tikus) menggunakan Hypoxic Chamber dengan kadar 02 8% dan Nitrogen 92%. Pola mRNA HIF-la dilihat berdasarkan basil RT-PCR dengan membandingksn rasio kelompok nonnoksia dan kelompok hipoksia. Ekspresi protein HIF-1a dilakukan dengan metode Western Blot dengan menggunakan anti HIF-la sebagai antibodi primer.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan ekspresi mRNA HIF-la dibandingkan kontrol pada kelompok hipoksia 1 hari dan diikuti peningkatan pada kelompok hipoksia 3 hari dan mulai mengalami penurunan kembali pada kelompok 7 hari. Sementara protein HIF-la. memperlihatkan terdapatnya peningkatan ekspresi protein HIF-la yang mulai mengalami penurunan pada kelompok hipoksia 14 hari. Dapat disimpulkan bahwa regulasi H1F-1a terjadi pada tahap transkripsi dan tahap pasca translasi.

Hypoxia could make cell to adapt trough gene expression. Many of these gene induced by the transcription factor called HIP-1. HIF-I tz is the subunit which regulated by oxygen level to activated the transcription factor.
The aim of this study is to know the pattern of Hypoxia Inducible Factor-Ia (HIP-la) mRNA and HIF-Ia protein Expression of Renal Rat in Systemic Chronic Hypoxia which divided to 5 groups based on the duration of hypoxia (control, I, 3, 7, and I4 days of hypoxia with 6 rats each group ) using hypoxia chamber with 8% oxigen and 92% Nitrogen. The pattern was measure with RT-PCR which combine the ratio of control group and the hypoxic group. The protein expression measure with Western Blot method using anti HIF-l a as 1? antibody.
The result shows that HIP-lo. mRNA expression decrease in 1" day of hypoxia, elevated and reach a peak at 3 days of hypoxia and start to decrease since then. While the HIP-lo. protein shows an increase expression until I4 days of hypoxia which start to decrease. It can be concluded that HIF-la regulation occurs in transcription level and post translation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32319
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Imelda Setiana
"Latar belakang: Karsinoma urotelial merupakan keganasan kandung kemih tersering pada laki-laki. Faktor risikonya adalah merokok, pajanan bahan kimia, radiasi, infeksi Schistosoma hematobium. Mutasi p53 merupakan mutasi tersering pada karsinoma urotelial kandung kemih yang menyebabkan akumulasi protein p53 di inti dan terlihat dengan imunohistokimia. Tujuan penelitian adalah untuk melihat perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi serta hubungan ekspresi p53 dengan: "stadium tumor. Bahan dan cara: Penelitian menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 47 kasus yang terbagi menjadi 22 kasus karsinoma urotelial derajat rendah dan 25 kasus karsinoma urotelial derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) tahun 2009-2017. Dilakukan pulasan imunohistokimia p53 dengan menggunakan cut off positif ≥ 20% berdasarkan penelitian Thakur et al, Ong et al, dan Saint et al. Hasil: Ekspresi p53 positif pada 33 sampel (70,21%), terbanyak pada karsinoma urotelial derajat tinggi 20 kasus (80%), sedangkan pada karsinoma urotelial derajat rendah terdapat 13 kasus (59,1%). Sebanyak 22 kasus (68,8%) Nonmuscle invasive bladder cancer dan 11 kasus (73,3%) Muscle invasive bladder cancer menunjukkan ekspresi positif. Ekspresi p53 cenderung lebih banyak ditemukan pada karsinoma urotelial derajat tinggi dan stadium tinggi. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi. Tidak ada hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium tumor.
Kata kunci: Karsinoma urotelial, kandung kemih, p53, imunohistokimia.

Background : Urothelial carcinoma is the most common malignancy in the bladder and mainly occurs in older men. Risk factors for bladder cancer include smoking, exposure to chemicals, radiation and schistosoma hematobium infection. P53 is a tumor suppressor gene that is involved in the cell cycle and plays a role in the occurrence of apoptosis in response to DNA damage. P53 gene mutation is one of the most common genetic changes in urothelial bladder carcinoma. The p53 gene mutation will cause accumulation of p53 protein in the nuclei which can be detected through immunohistochemical examination. The aim of this study is to see differences of p53 expression in low grade and high grade urothelial carcinoma and to see the association of p53 expression with tumor stage. Material and method : This study uses a cross sectional study design. The sample consisted of 47 cases of urothelial bladder carcinoma divided into 22 cases of low grade urotelial carcinoma and 25 cases of high grade urotelial carcinoma originating from the archives of the Anatomical Pathology Department Faculty Medicine of Universitas Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital (FKUI/ RSCM) in 2009-2017. The study was carried out by p53 immunohistochemical examination and assessment of p53 expression using a percentage with a positive cut off value of ≥ 20%. Result : This study obtained positive p53 expression in 33 samples from 47 samples studied (70,21%). Most are found in high grade urothelial carcinoma as many as 20 cases (80%). Whereas in low grade urothelial carcinoma there are 13 cases (59,1%) with positive p53 expression. As many as 22 cases (68,8%) of Non muscle invasive bladder cancer (NMIBC) and 11 cases (73,3%) of Muscle invasive bladder cancer (MIBC) showed positive p53 expression. There was no difference between p53 expression in low grade and high grade bladder urothelial carcinoma (p=0,118). This study also showed no association between p53 expression with tumor stage (p=1,000). Conclusion : P53 expression was not significantly different with tumor grade. P53 expression was not significantly associated with the tumor stage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nissha Audina Fitri
"Latar Belakang: Jumlah kematian ibu karena komplikasi selama kehamilan tetap tinggi di seluruh dunia. Hipoksia plasenta diduga mengakibatkan komplikasi seperti penyakit iskemik plasenta (IPD), yang terdiri atas preeklampsia, plasenta abruptio dan pembatasan pertumbuhan intrauterin (IUGR). Selain itu, hipoksia plasenta juga diduga mengakibatkan prematuritas. Beberapa penelitian telah berkembang terhadap penggunaan biomarker untuk mendeteksi hipoksia. Sebuah master pengatur homeostasis oksigen adalah Hypoxia Inducible Factor-1 (HIF-1), yang terdiri atas ?oxygen sensor? α-subunit (HIF-1α). HIF-1 mengaktifkan Carbonic Anhydrase-9 (CA9), sehingga mempertahankan cell survival di kondisi hipoksia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi plasenta yang hipoksia dengan mengukur ekspresi relatif mRNA HIF-1α dan mRNA CA9.
Metode: Sampel merupakan bahan biologis tersimpan dari jaringan plasenta neonatus hipoksia dan non-hipoksia (n=6) yang disimpan pada suhu -80º C. Untuk melihat ekspresi relatif mRNA HIF-1α dan CA9 digunakan Real time RT-PCR.
Hasil dan diskusi: Terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi relatif mRNA HIF-1α (p=0.010) dan CA9 (p=0.001) pada jaringan plasenta neonatus hipoksia dibandingan nonhipoksia. Ekspresi relatif mRNA HIF-1α (0.34) dan CA9 (0.19) lebih rendah di jaringan plasenta neonatus hipoksia dibandingkan dengan non-hipoksia. Hasil ini bertentangan dengan teori bahwa ekspresi seharusnya meningkat pada hipoksia. Namun, terdapat bukti hubungan korelasi antara ekspresi HIF-1α dan CA9 yang kuat dan signifikan (p=0.987).
Kesimpulan: Ekspresi HIF-1α dan CA9 di jaringan plasenta neonatus hipoksia lebih rendah dibandingkan non-hipoksia. Terdapat korelasi yang kuat antara ekspresi HIF-1α dan CA9.

Background: Maternal death numbers due to complications during pregnancy are still high worldwide. Hypoxia of the placenta is suspected to lead to complications such as ischemic placental disease (IPD), comprising of preeclampsia, placental abruption and intrauterine growth restriction (IUGR). Moreover, hypoxia of the placenta is also suspected to lead to prematurity. Research has deviated towards use of biomarkers to detect hypoxia. A master regulator of oxygen homeostasis is Hypoxia Inducible Factor-1 (HIF-1), comprising of an ?oxygen sensor? α-subunit (HIF-1α). HIF-1 activates Carbonic Anhydrase-9 (CA9), allowing cell survival under hypoxia. This study aims to detect hypoxic placenta by measuring mRNA relative expression of HIF-1α and CA9.
Method: Samples were maternal placental tissue of hypoxic and non-hypoxic neonates (n=6) stored in -80º C. To measure mRNA relative expression of HIF-1α and CA9 real time RTPCR was used.
Results and discussion: There was a significant difference between mRNA relative expression of HIF-1α (p=0.010) and CA9 (p=0.001) in maternal placental tissue of hypoxic neonates compared to non-hypoxic. mRNA relative expression HIF-1α (0.34) and CA9 (0.19) was lower in maternal placental tissue of hypoxic neonates compared to non-hypoxic. These results oppose the theory that HIF-1α and CA9 mRNA relative expression should increase in hypoxia. However HIF-1α and CA9 mRNA relative expression were strongly correlated in each condition (p=0.987).
Conclusions: The mRNA relative expression of HIF-1α and CA9 in maternal placental tissue of hypoxic neonates was lower compared to non-hypoxic. There was a strong correlation between mRNA relative expression of HIF-1α and CA9.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welly Hartono Ruslim
"ABSTRAK
β-catenin merupakan protein yang memiliki peran penting dalam
adhesi antar sel dan transduksi sinyal. Pada keadaan tanpa stimulasi β-catenin hanya
tampak pada membran sel, namun bila terdapat stimulasi maka β-catenin akan
tampak pada sitoplasma dan inti. Perubahan ekspresi β-catenin diketahui
berhubungan dengan progresivitas dan metastasis pada berbagai penyakit keganasan
manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi ekspresi β-catenin di daerah
peritumor pada karsinoma sel skuamosa oral (KSSO) derajat rendah dan tinggi
berdasarkan sistem grading Bryne.
Bahan dan Metode: Penelitian dilakukan pada 20 kasus KSSO derajat rendah dan
20 kasus derajat tinggi. Pewarnaan imunohistokimia β-catenin digunakan untuk
menilai perbedaan yang tampak pada membran, sitoplasma, dan inti sel tumor pada
area peritumor.
Hasil: Ekspresi β-catenin pada membran, sitoplasma, maupun inti sel tumor
memiliki perbedaan yang bermakna antara KSSO derajat rendah dan derajat tinggi
(p=0,000; p=0,005; dan p=0,035). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
ekspresi β-catenin dengan variabel umur, jenis kelamin, maupun lokasi tumor.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi β-catenin di daerah peritumor antara
KSSO derajat rendah dan derajat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi β-
catenin yang salah menyebabkan perubahan morfologi sel-sel KSSO ke arah yang
lebih ganas dan prognosis yang lebih buruk.

ABSTRACT
β-catenin is an important protein in cellular adhesion and signal
transduction. In unstimulated condition, β-catenin only appears on the cellular
membrane. Altered expression of β-catenin has been associated with progressiveness
and metastatic process of malignancy in human. The aim of this study was to
evaluate the expression of β-catenin on oral squamous cell carcinoma (OSCC) and
also to assess its different expression in low grade and high grade lesions based on
Bryne grading system.
Materials and methods: This study was conducted on 2 groups of OSCC which
included 20 cases of low grade and 20 cases of high grade. Immunohistochemistry
staining of β-catenin was used to identify the difference of its expression in cell
membrane, cytoplasm, and nuclei on invasive tumor front.
Results: The expression of β-catenin on cell membrane, cytoplasm, and nuclei
showed significant difference between low and high grade OSCC (p=0.000;
p=0.005; and p=0.035, respectively). There has not been any significant association
between β-catenin expression with age, sex, and tumor location.
Conclusion: Oral squamous cell carcinoma, both low and high grade, showed
significant differences in β-catenin expression in cell membrane, cytoplasm, and
nuclei. Thus, it showed that the altered expression of β-catenin could change the
OSCC to become more aggresive and have a poorer prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sharon Hanmy Angel
"Latar Belakang: Penelitian sel induk sekarang ini telah banyak dieksplorasi untuk nilai kuratif yang menjanjikan dalam dunia medis. Minat di bidang ini dilatarbelakangi oleh kemampuan pembaharuan diri dan diferensiasi yang memberi sel induk potensi yang dapat diterapkan secara terapeutik. Sel induk embrionik sampai hari ini masih kontroversial karena masalah etika dan penghalang kekebalannya, yang mengarahkan kepada eksplorasi sumber sel induk dari sumber lainnya termasuk jaringan adiposit dan jaringan tali pusar. Sel induk berada di microenvironment yang kompleks dan berbagai penelitian telah membuktikan bahwa tingkat oksigen terbatas diperlukan untuk pemeliharaan kapasitas proliferasi dan pluripotency. Hipoksia adalah salah satu kekuatan pendorong paling berpengaruh untuk angiogenesis yang memungkinkan kelangsungan hidup sel induk melalui adaptasi metabolik dan ekspresi gen pro-survival hidup seperti Hypoxia-inducible Factors (HIFs). HIF2α mengatur ekspresi SOX2 dan NANOG dalam kondisi hipoksia, mempertahankan kapasitas proliferasi dan pluripotency sel punca. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi relatif HIF2α pada sel induk dari jaringan tali pusar dan jaringan adiposit untuk menentukan tingkat kapasitas proliferasi.
Metode: Sel punca diekstraksi dari jaringan adiposit dan jaringan tali pusar. RNA diisolasi dan VarioskanTM Flash multimode Reader digunakan untuk mengkonfirmasi kemurnian sampel. One-Step qRT-PCR digunakan untuk mengukur ekspresi relatif gen HIF2α. Produk PCR lalu diproses dengan elektroforesis gel untuk mengkonfirmasi keakuratan amplifikasi gen.
Hasil: Gen HIF2α dinyatakan lebih tinggi di UCSC dibandingkan dengan ADSC.
Kesimpulan: Hasilnya menunjukkan bahwa dalam kondisi normal, UCSC memiliki pluripotency yang lebih tinggi daripada ADSC. Perluasan penelitian harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ekspresi relatif HIF2α dalam kondisi hipoksia.

Background: Current stem cell research has been explored for promising curative value in the medical world. Interest in this field is motivated by the ability of self-renewal and differentiation that gives potential stem cells that can be applied therapeutically. Embryonic stem cells to this day are controversial because of ethical issues and their immune barriers, which lead to exploration of stem cell sources from other sources including adipocyte tissue and umbilical cord tissue. Stem cells are in a complex microenvironment and various studies have proven that limited oxygen levels are needed for maintenance of proliferation and pluripotency capacity. Hypoxia is one of the most influential driving forces for angiogenesis that allows continuity stem cell life through metabolic adaptation and expression of pro-survival living genes such as Hypoxia-inducible Factors (HIFs). HIF2α regulates the expression of SOX2 and NANOG in hypoxic conditions, maintaining the proliferation capacity and pluripotency of stem cells. This study aims to analyze the relative expression of HIF2α in stem cells from umbilical cord tissue and adipocyte tissue to determine the level of proliferation capacity.
Method: Stem cells are extracted from adipocyte tissue and umbilical cord tissue. RNA isolated and Vari PostingTM Flash multimode Reader is used to confirm sample purity. One-step qRT-PCR is used to measure the relative expression of the HIF2α gene. The PCR product is then processed with gel electrophoresis to confirm the accuracy of gene amplification.
Results: The HIF2α gene was expressed higher at UCSC compared to ADSC.
Conclusion: The results show that under normal conditions, UCSC has higher pluripotency than ADSC. Extensive research must be carried out to confirm the relative expression of HIF2α in hypoxic conditions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST, merupakan sarkoma jaringan lunak yang prognosis nya buruk karena tidak responsif terhadap kemoterapi. Epidermal growth factor receptor EGFR terlibat dalam transduksi sinyal mitogenik dan jalur proliferasi sel. Ekspresi EGFR yang tinggi pada tumor sudah dipakai untuk menentukan apakah tumor dapat diberikan terapi anti-EGFR. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah serta ekspresi EGFR sebagai faktor prognostik.
Metode: Penenelitian ini merupakan penelitian potong lintang, restrospektif, deskriptif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi yang telah didiagnosis selama periode 2007-2015. Dilakukan pulasan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal EGFR. Selanjutnya dilakukan scoring berdasarkan persentase sel dengan membrane dan atau sitoplasma yang berwarna coklat pada 500 sel/5 LPB : 0 tidak terpulas, 1 terpulas 30. Perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah dianalisis menggunakan uji Chi-square. Selain itu di analisis hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi dan ukuran tumor.
Hasil: Ditemukan ekspresi EGFR yang lebih tinggi pada MPNST derajat tinggi dibandingkan dengan MPNST derajat rendah yang secara statisitk bermakna p=0,000. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi maupun ukuran tumor.
Kesimpulan: Ekspresi EGFR yang tinggi dapat digunakan untuk dasar memberikan terapi anti-EGFR pada MPNST derajat tinggi.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015.MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000. There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST adalah sarkoma jaringan lunak yang sulit dibedakan dengan beberapa sarkoma sel spindel karena morfologinya yang serupa. MPNST bersifat agresif dengan angka rekurensi yang tinggi dan cenderung bermetastasis terutama ke paru.Tipe histologik dan lokasi termasuk faktor yang menentukan prognosis MPNST. Terapi kombinasi pada MPNST dengan reseksi komplit, kemoterapi, dan radiasi belum meningkatkan kesintasan pasien MPNST. Anti terhadap Epidermal growth factor receptor EGFR telah dipakai dalam terapi untuk tumor epitelial ganas, sedangkan penggunaannya pada sarkoma masih dalam penelitian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan histologik dan variabel prognostik klinis lainnya.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pemilihan sampel secara konsekutif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM tahun 2007-2015. Diagnosis MPNST ditegakkan secara histopatologik dan imunohistokimia. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR pada MPNST derajat tinggi dan MPNST derajat rendah dengan penilaian semikuantitatif, serta menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan dan variabel klinis seperti usia, jenis kelamin, ukuran, lokasi tumor dan batas sayatan.
Hasil: Ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan MPNST derajat rendah 80 vs 20 , p=0,000 .Terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan MPNST. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan usia, jenis kelamin, lokasi tumor, ukuran tumor dan batas sayatan.
Kesimpulan: Peningkatan ekspresi EGFR sejalan dengan peningkatan derajat histologik, sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan progressifitas MPNST.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015. MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size , location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000 . There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>