Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178328 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Nurul Kirana
"ABSTRAK
Latar belakang: Kerusakan oksidatif berperan dalam proses penuaan dan juga beberapa penyakit degeneratif. Menjaga status antioksidan tubuh merupakan hal penting dalam mencegah terjadinya kerusakan oksidatif. Selenium adalah mineral yang penting mengingat perannya dalam pembentukan enzim antioksidan (selenoprotein), salah satunya glutation peroksidase untuk perlindungan terhadap radikal bebas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara asupan selenium dan aktivitas glutation peroksidase dengan karbonil plasma pada usia lanjut. Metode Penelitian: Penelitian potong lintang ini dilakukan di 5 Posbindu di Jakarta Selatan. Dilakukan wawancara untuk mengetahui identitas dan riwayat penyakit kronis. Data aktivitas fisik didapat melalui wawancara dengan kuesioner Physical Activity Scale for the Elderly (PASE). Indeks massa tubuh diperoleh dari hasil pemeriksaan antropometri berupa berat badan dan tinggi badan dari konversi tinggi lutut. Data asupan makan subjek diperoleh dari wawancara food recall 24 jam pada satu hari kerja dan satu hari libur serta Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium biokimia FKUI untuk mengetahui aktivitas glutation peroksidase, dan karbonil plasma. Hasil: Sebanyak 94 usia lanjut dengan rerata usia 70,34 ± 6,079 tahun mengikuti penelitian ini. Sebanyak 40% subjek mempunyai status gizi normal dengan 69,1% subjek memiliki riwayat penyakit kronis. Sebanyak 75,5% subjek pada penelitian ini belum mencukupi kebutuhan asupan selenium yang direkomendasikan Rerata kadar karbonil plasma 5,83 ± 1,95 nmol/ml dan 69,1% subjek mempunyai aktivitas glutation peroksidase yang rendah.. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan selenium dengan aktivitas glutation peroksidase. Pada analisis multivariat asupan selenium dan tiga variabel perancu yaitu usia, indeks massa tubuh, dan asupan beta karoten hanya mempengaruhi kadar karbonil plasma sebanyak 3,7%. Diskusi: Hasil asupan selenium pada penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Makanan sumber selenium banyak berasal dari makanan berprotein yang dikonsumsi sehari-hari sehingga data asupan selenium didapat dari gabungan antara food recall 2 x 24 jam dan SQ-FFQ. Pemeriksaan status kognitif subjek juga perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya gangguan kognitif. Pemeriksaan status antioksidan endogen lain seperti glutation (GSH) juga perlu dilakukan pada penelitian berikutnya untuk mengetahui faktor lain yang mempengaruhi aktivitas glutation peroksidase dalam menekan kerusakan oksidatif pada usia lanjut.

ABSTRACT
Introduction: Oxidative stress contributed in aging process and several degenerative diseases. Maintaining the body's antioxidants status were important to prevent oxidative stress. Selenium was an important trace element due to as a component of antioxidants enzymes (selenoproteins), including glutathione peroxidase for protection against free radical. We aimed to study the association between selenium intake and glutathione peroxidase activity with plasma carbonyl in elderly. Methods: Cross sectional study was held in 5 elderly communities in south Jakarta. Identity and chronic disease history were obtained from interview and Physical activity scale for the elderly (PASE) questionnaire used for assess physical activity. Weight and knee height measurement used to determine body mass index. Dietary intake data obtained from repeated 24 hours recall and Semi Quantitative-Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). laboratory examination held in laboratory of biochemistry FKUI for assess glutathione peroxidase activity and plasma carbonyl level. Results: There were 94 elderly with mean of age 70.34 ± 6.079 years old contributed to this study. 40 % subjects had normal nutritional status and 69.1 % subject had history of chronic disease. There were 75.5 % subject had low intake of selenium. Mean of plasma carbonyl was 5.83 ±1.95 nmol/ml and 69.1% subject had low glutathione peroxidase activity. Statistical analysis results showed there were no significant correlation between selenium intake and glutathione peroxidase. In multivariate analysis selenium intake, age, body mass index, and beta-carotene intake explained 3,7% of the plasma carbonyl. Discussion: The result of selenium intake in current study much lower than previous study. Dietary selenium data obtained from repeated 24 hours recall combine with FFQ-SQ because the selenium food source similar with protein foods that consume daily. Assessment of cognitive function among subject needed for ensure cognitive status related to ability to remember dietary intake. Status of endogen antioxidant including glutathione (GSH) need to be considered for understanding about another factor that influence glutathione peroxidase in preventing oxidative stress."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhesa David Budiarta Nurung
"Hipoksia hipobarik adalah kondisi dimana tubuh mengalami kekurangan oksigen akibat tekanan parsial oksigen yang rendah. Kondisi ini dapat memicu stres oksidatif dan kerusakan jaringan. Untuk menanggulangi senyawa oksigen reaktif reactive oxygen species/ROS yang terbentuk pada keadaan stress oksidatif, tubuh menghasilkan enzim antioksidan. Namun bagaimana tubuh menanggulangi ROS pada keadaan hipoksia hipobarik intermiten, belum banyak dipelajari. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membandingkan aktivitas glutation peroksidase GSH- Px paru pada pajanan hipoksia hipobarik intermiten yang berbeda. Sampel yang digunakan adalah paru tikus Sprague Dawley jantan berumur dua bulan dengan berat kurang lebih 200-250 gram. Tikus dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu kelompok kontrol, dan kelompok tikus yang telah dipaparkan terhadap hipoksia hipobarik sebanyak 1x; hipoksia hipobarik intermiten 1x; 2x; dan 3x. Aktivitas GSH- Px diukur menggunakan RANSEL kit. Normalitas data diolah secara statistik dengan uji Shapiro-Wilk, dan homogenitas diuji dengan uji Levene. Hasil menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen. Selanjutnya, dengan uji parametrik ANOVA satu arah ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada aktivitas spesifik GSH-Px diantara grup sampel p = 0.152 . Penelitian ini menyipulkan bahwa aktivitas GSH-Px pada paru tikus tidak dipengaruhi oleh pajanan hipoksia hipobarik intermiten.

Hypobaric hypoxia is a condition in which the body has low level of oxygen due to low partial pressure of oxygen. This condition may trigger oxidative stress and tissue damage. It is known that the body rsquo s defense mechanism to eliminate reactive oxygen species ROS that were formed during the oxidative stress state is by producing antioxidant enzymes. However, the body rsquo s mechanism to prevent ROS under the exposure of intermittent hypobaric hypoxia has not been well studied. The objective of this research is to observe and compare glutathione peroxidase GHS Px activity in the lungs after exposure to intermittent hypobaric hypoxia of different frequencies. The samples being used were lungs from male Sprague Dawley rats aged two months, weighed 200 250 grams. GSH Px activities were observed and compared in rat lungs that were divided into five groups consisting of control group, and groups of rat lungs that were exposed to hypobaric hypoxia 1x intermittent hypobaric hypoxia 1x 2x and 3x. The activity of GSH Px was measured using RANSEL kit. Normality and homogeneity of the data were processed statistically with Shapiro Wilk test and Levene test, respectively. The results showed that the data were normally distributed and homogeny. Parametric one way ANOVA test found no significant difference in the activity of GSH Px among the sample groups p 0.152 . In conclusion, the activity of GSH Px in the rat lungs is not affected by intermittent hypobaric hypoxia condition. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma. Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 µmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 µmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 µmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 µmol/mL, kelompok puasa intermittent2,35 ± 0,158 µmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 µmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci New Zealand white

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method. In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Gilang Edi
"Durian Durio zibethinus merupakan tumbuhan tropis yang terkenal dengan rasa buahnya yang khas dan bentuk yang berduri Terdapat dugaan di masyarakat bahwa mengkonsumsi durian dalam jumlah besar dapat mencetus munculnya penyakit kardiovaskular seperti stroke namun hingga saat ini belum terbukti kebenarannya Studi menunjukkan bahwa durian mengandung senyawa antioksidan dalam jumlah tinggi yang dapat mengurangi stres oksidatif dan berpotensi mencegah berbagai penyakit inflamasi dan degeneratif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsumsi durian terhadap kadar glutation GSH plasma darah sebagai biomarker stres oksidatif Tiga puluh dua Tikus Sprague Dawley dengan berat 100 150 mg dibagi menjadi 4 grup Grup kontrol hanya diberi makan dan minum ad libitum Grup minggu 1 minggu 2 dan minggu 3 berturut turut diberi 10 ml larutan durian 10 gram 10 ml pada pagi dan siang hari setiap hari per oral selama 1 minggu 2 minggu dan 3 minggu selain makan dan minum normal ad libitum Level GSH plasma diukur dengan metode Ellman menggunakan spektrofotometri Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol kadar GSH plasma pada minggu 1 dan 2 meningkat sedangkan pada minggu 3 lebih rendah dengan selisih minimal Perbedaan kadar GSH antar grup tidak dapat dianalisis karena populasi sampel pada akhir studi tidak mencukupi.

Durian Durio zibethinus is a tropical fruit famous for its exotic taste and thorny shape There are a notion in the community that excessive consumption of durian can aggravate one rsquo s health and cause cardiovascular diseases which has no evidence yet Durian contains abundant amount of antioxidant beneficial in ameliorating oxidative stress promoting the potential to prevent cardiovascular and degenerative diseases This research aims to understand the effect of durian consumption to plasma glutathione GSH level as a biomarker of oxidative stress The study used 32 Sprague Dawley rats weighted 100 150 mg divided into 4 groups control 1 week 2 weeks 3 weeks treatment Control group was given water and normal diet ad libitum while 1 week 2 weeks 3 weeks group were given 10 ml diluted durian juice 10 gram 10 ml twice in the morning and the afternoon daily per oral with water and normal diet ad libitum for 1 week 2 weeks 3 weeks respectively Level of plasma GSH was measured using spectrophotometry following Ellman 39 s method Result showed increase of plasma GSH level in 1st and 2nd week compared to control while 3rd week level was minimally lower than control value The difference between each group was not statistically comparable due to low n number."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqha Aulina
"Latar belakang: Preeklampsia mengakibatkan 225 kematian dari 100.000 kelahiran di Indonesia. Salah satu teori terjadinya preeklampsia adalah peningkatan antioksidan yang tidak adekuat, contohnya glutation peroksidase GPx , untuk mengimbangi peningkatan stres oksidatif yang terjadi selama kehamilan. GPx adalah antioksidan enzimatik yang mengubah peroksida menjadi tidak berbahaya, sehingga mengurangi stres oksidatif. Beberapa penelitian yang menyelidiki GPx menghasilkan hasil yang bertentangan, dan belum ada yang dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan aktivitas spesifik GPx pada kehamilan normal, preeklampsia onset awal, dan preeklampsia onset akhir.
Metode: Studi ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan desain potong lintang komparatif. Jaringan plasenta diperoleh dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Kemuliaan dan RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2015. Aktivitas umum U/mL GPx diukur dengan menggunakan GPx Randox Ransel Kit berdasarkan metode Paglia dan Valentine, yang kemudian dibagi dengan determinan protein mg/mL untuk mendapatkan aktivitas spesifik U/mg . Data kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 20 dengan uji Kruskal-Wallis.
Hasil: Kehamilan normal memiliki aktivitas spesifik tertinggi 8.562 3.93320.00 , diikuti oleh preeklamsia onset akhir 6.655 2.646-32.93 dan preeklampsia onset dini 6.328 5.873-13.17. Namun, perbedaan ini tidak signifikan menurut uji Kruskal-Wallis p = 0,399.
Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara aktivitas spesifik GPx antara kehamilan normal, preeklampsia onset awal, dan preeklampsia onset akhir.

Background: Preeclampsia is responsible for the mortality rate of 225 out of 100,000 deliveries in Indonesia. It is theorized that preeclampsia is caused by inadequate increase of antioxidant, one of which is glutathione peroxidase GPx, to compensate with increasing oxidative stress during pregnancy. GPx is an enzymatic antioxidant which converts peroxides to its harmless counterparts, thus limiting oxidative stress. Several studies investigating GPx produced conflicting results, and none of them were done in Indonesia. This study aimed to compare GPx specific activity in normal pregnancy, early onset, and late onset preeclampsia.
Methods: This was an observational study using comparative cross sectional design. The placental tissues were obtained from Budi Kemuliaan Hospital and Cipto Mangunkusumo Hospital in 2015. General activity U mL was measured using GPx Randox Ransel Kit based on Paglia and Valentine method, which was then divided by protein determinant mg ml to find out the specific activity U mg. The data was then analyzed using SPSS 20 with Kruskal Wallis test.
Results: Normal pregnancy had the highest specific activity 8.562 3.93320.00, followed by late onset preeclampsia 6.655 2.646 32.93 and earlyonset preeclampsia 6.328 5.873 13.17 . However, these differences were ruled insignificant using Kruskal Wallis test p 0.399 .
Conclusion There was no significant difference of GPx specific activity between normal pregnancy, early onset preeclampsia, and late onset preeclampsia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma.
Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 μmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 μmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 μmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 μmol/mL, kelompok puasa intermittent 2,35 ± 0,158 μmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 μmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci new Zealand white.

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method.
In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa
"Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada pasien akne terjadi stres oksidasi yang ditandai dengan penurunan aktivitas glutation peroksidase (GPx) dalam eritrosit. Aktivitas GPx dalam plasma belum pernah diteliti pada pasien akne dan diharapkan dengan pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai sumber antioksidan dapat meningkatkan aktivitas GPx dalam plasma.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dengan desain paralel, merupakan uji klinis yang memakai rancangan pretest-posttest dengan kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan aktivitas GPx dan rasio glutation tereduksi/teroksidasi (GSH/GSSG) sebelum dan sesudah mengkonsumsi ekstrak kulit buah manggis dengan dosis 3x1 kapsul selama 21 hari.
Metode pemeriksaan menggunakan metode enzimatik Ransel kit RS.505 untuk mengukur aktivitas GPx dan microplate assay for GSH/GSSG GT.40 untuk mengukur rasio GSH/GSSG terhadap 20 subyek penelitian dan 18 subyek kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kelompok Manggis, setelah terapi dengan ekstrak kulit buah manggis, aktivitas plasma GPx secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sebelum terapi (p<0,05), namun bila dibandingkan dengan kelompok Plasebo peningkatan ini tidak bermakna (p>0,05). Penelitian ini juga menemukan bahwa pemberian ekstrak kulit buah manggis pada pasien akne dapat menurunkan rasio GSH / GSSG secara signifikan (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok Plasebo.

Previous studies have shown impaired antioxidant defense system in patients with acne, including alterations in glutathione peroxidase (GPx) activity in erythrocytes. GPx activity in plasma has not been studied in patients with acne and is expected that administration of mangosteen pericarp extract as a source of antioxidants can increase the activity of GPx in plasma.
This study is a comparative analytical study with parallel design, a clinical trial using a pretest-posttest control group. The study was conducted by comparing the activity of GPx and the ratio of GSH/GSSG before and after consumes mangosteen pericarp extract with doses 3x1 capsules for 21 days.
An enzymatic methods using Ransel kit RS.505 to measure GPx and microplate assay kit for GSH / GSSG GT.40 to measure the ratio of GSH/GSSG against 20 study subjects and 18 control subjects.
The results showed that after therapy with mangosteen pericarp extract, the activity of plasma GPx was significantly higher than before therapy (p<0.05), but when compared to the Placebo group the increase was not significant (p>0.05). This research also found that administration of mangosteen pericarp extract to patients with acne may decrease the ratio of GSH / GSSG significantly (p<0.05) compared to the Placebo group.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
T32793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabiila Maryam
"ABSTRAK
Pendahuluan: Penuaan merupakan fenomena biologis dan universal yang tidak dapat dihindari. Stres oksidatif merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penuaan. Salah satu penanda stres oksidatif dalam tubuh adalah peningkatan kadar malondialdehid (MDA). Acalypha indica dan Centella asiatica mengandung antioksidan yang berpotensi mengurangi stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian Acalypha indica dan Centella asiatica dalam menurunkan kadar MDA pada otak tikus tua. Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan sampel homogenat jaringan otak Sprague Dawley yang disimpan di Laboratorium Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran. Homogenat otak berasal dari 5 kelompok tikus yaitu tikus kontrol tua, tikus tua diberi ekstrak Acalypha indica 250mg/kgBB, tikus tua diberi ekstrak pegagan 300mg/kgBB, tikus tua diberi Vitamin E 15U dan tikus kontrol muda. Kadar MDA dalam homogenat jaringan otak tikus diukur menggunakan metode Will. Hasil: Median kadar MDA otak kelompok tikus tua yang diberi Acalypha indica adalah 4,76 nmol/ml, tidak lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol tikus tua dan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok tikus tua yang diberi vitamin E dan kelompok kontrol tikus muda. . Median kadar MDA otak tikus kelompok tua yang diberi pegagan adalah 2,67 nmol/ml, jauh lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol tikus tua dan tidak jauh lebih rendah dibandingkan kelompok tikus tua yang diberi vitamin E dan kelompok kontrol muda. tikus. Kesimpulan: Pemberian ekstrak pegagan mampu menurunkan kadar MDA pada otak mencit tua, sebaliknya pemberian ekstrak Acalypha indica tidak mampu menurunkan kadar MDA pada otak mencit tua.
ABSTRACT
Introduction: Aging is a biological and universal phenomenon that cannot be avoided. Oxidative stress is one of the factors that play a role in aging. One of the markers of oxidative stress in the body is increased levels of malondialdehyde (MDA). Acalypha indica and Centella asiatica contain antioxidants that have the potential to reduce oxidative stress. This study aimed to examine the effect of giving Acalypha indica and Centella asiatica in reducing MDA levels in the brains of old rats. Methods: This experimental study used a homogenate sample of Sprague Dawley brain tissue stored in the Laboratory of the Department of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine. Brain homogenates were derived from 5 groups of rats, namely old control rats, old rats given Acalypha indica extract 250mg/kgBW, old rats given gotu kola extract 300mg/kgBW, old rats given Vitamin E 15U and young control rats. MDA levels in the rat brain tissue homogenate were measured using the Will method. Results: Median brain MDA levels in the old group of rats given Acalypha indica was 4.76 nmol/ml, not significantly higher than the control group of old rats and significantly higher than the group of old rats given vitamin E and the control group of young rats. . Median brain MDA levels of the old group of rats given gotu kola was 2.67 nmol/ml, much lower than the control group of old rats and not much lower than that of the old group of rats given vitamin E and the young control group. rat. Conclusion: Giving gotu kola extract was able to reduce MDA levels in the brains of old mice, on the contrary giving Acalypha indica extract was not able to reduce MDA levels in the brains of old mice."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramita Gayatri Dwipoerwantoro
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
D1745
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Cendrick
"Meningkatnya jumlah penyakit neurodegeneratif yang sudah terjadi dan diprediksikan. Riset ini bertujuan untuk mengetahui kegunaan dari olahraga dan efeknya kepada proteksi terhadap stres oxidatif di otak setelah selesainya suatu perlakuan. Kelompok dari mencit jantan putih, mus musculus, telah dibagi menjadi kelompok berbasiskan umur ; 5 minggu, 8 minggu, 12 minggu dan 15 minggu, yang dimana menjadi kontrol yang dimana mereka hanya akan diletakkan di alat running wheel. Perlakuan yang dilakukan dikelompokan menjadi: Olahraga simpel :AS 5-12 dan Olahraga Kompleks: HR 5-12 , HR 5-15 dan HR 8-15. Olahraga kompleks adalah running wheel dengan halang rintang, dimana simple running wheel adalah olahraga simpel. Mencit diberikan olahraga selama 30 menit, 20 menit olahraga dan 10 menit pemanasan dan pendinginan, dengan kecepatan yang berbeda, 8m/min dan 10m/min. Dekapitasi otak mencit yang dijadikan sample, digunakan untuk penghitungan aktifitas glutation peroksidase dengan metode spektrofotometri, gelombang 340nm.Tidak terdapat perbedaan signifikan pada glutation peroksidase di semua kelompok perlakuan, namun ada tendensi lebih baik pada kelompok simpel aerobik sampai 12 minggu dan kelompok olahraga kompleks yang dimulai pada umur 8 minggu.Hasil studi ini menunjukan bahwa terdapat tendensi kenaikan aktifitas antioksidan glutation peroksidase, yang ditentukan oleh jenis olahraga dan usia waktu mulai olahraga.

Increasing trend of neurodegenerative diseases have been seen and forecasted to come in the future. The research was done to know the effect of exercise to Glutathione Peroxidase GPx , antioxidant that play roles in the brain and helps in the protection from oxidative stress, in the prefrontal cortex area after the treatments are done.Groups of white male mice, mus musculus, was divided upon their age groups 5 weeks, 8 weeks, 12 weeks and 15 weeks, they act as the control group, so they was be placed in the running wheel for sometime at the same duration of treatment. The treatments group was grouped into Simple Exercise AS5 12, and Complex Exercise HR 5 15, HR 5 12 and HR 8 15 .The complex exercise is a hurdle running wheels, in which it differs from the simple running wheels, simple exercise. The mice was given training for about 30 minutes each day, consisting of 20 minutes running and 10 minutes warming up and cooling down, with various speed, 8m min and 10m min. Dissected prefrontal cortex was used to be measured upon the Glutathione Peroxidase Activity with Spectrophotometry method, at 340nm wavelength. There were no significant differences in the glutathione peroxidase in all treatment groups, but there were tendencies of better increase in simple exercise up to 12 weeks and complex exercise, which starts at the 8th week. This study suggests that there are tendencies in the increase of antioxidant activity glutathione peroxidase, based on the type and the starting age of exercise."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70417
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>