Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farhan Hilmi Taufikulhakim
"Latar belakang: Kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer semakin meningkat dan sudah mendekati batas yang bisa ditoleransi oleh manusia dalam jangka paparan seumur hidup. Berdasarkan fakta tersebut, tentu manusia sudah mulai merasakan dampak dari peningkatan CO2. Pada penelitian ini akan dianalisis mengenai dampak paparan CO2 kadar tinggi terhadap proliferasi peripheral blood mononuclear cells (PBMC) manusia.
Metode: Sampel triplo PBMC dibagi kedalam kelompok uji (paparan CO2 15%) dan kelompok control (paparan CO2 5%) dengan jumlah sel awal tiap well sebanyak 250.000. Kedua kelompok diberikan paparan selama 24 jam dan 48 jam kemudian hasilnya dihitung menggunakan hemositometer.
Hasil: Kelompok sel yang diberikan paparan CO2 15% memiliki tingkat proliferasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol pada 24 dan 48 jam (P<0.001).
Kesimpulan: Paparan CO2 15% diduga menghambat proliferasi PBMC pada 24 dan 48 jam yang ditandai dengan jumlah akhir sel yang lebih rendah disbanding kontrol. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme yang mendasarinya yaitu apakah paparan CO2 15% menghambat siklsus sel atau memicu apoptosis yang berperan dalam penurunan proliferasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idham Rafly Dewantara
"Latar Belakang: Pemanasan global merupakan peristiwa terjadinya kenaikan suhu pada permukaan bumi. Peristiwa tersebut terjadi akibat adanya kenaikan karbondioksida pada atmosfer sehingga mempengaruhi perubahan ikim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi sistem imun. Pada keadaan hiperkapnia terjadi penurunan pada pengeluaran sitokin dan kemokin serta hambatan pada proses fagositosis dan autofagi pada makrofag. Selain itu, dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan seperti sakit kepala dan muntah hingga terjadi penurunan kesadaran pada manusia. Terdapat berbagai respon yang ditunjukkan PBMC pada saat dipaparkan karbondioksida namun, penelitian ini difokuskan untuk melihat perubahan pH pada medium kultur sel PBMC. Tujuan: Mengetahui efek paparan karbondioksida terhadap perubahan pH pada medium kultur PBMC. Metode: Penelitian ini menggunakan sel PBMC yang telah diisolasi dan telah dipaparkan kadar karbondioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji masing-masing selama 24 jam dan 48 jam. Kemudian dilakukan pengukuran pH pada medium kultur sel PBMC pada masing-masing kelompok dengan menggunakan pH meter. Hasil yang didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan SPSS. Hasil: Terdapat penurunan pH secara signifikan pada kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0.05). Paparan CO2 15 % terbukti menurunkan pH medium kultur PBMC secara signifikan pada 24 jam dan 48 jam dibandingkan dengan control (CO2 5%).
Hal ini juga didukung dengan hasil konsentrasi H+ yang meningkat setelah paparan CO2 15% selama 24 jam dan 48 jam.
Kesimpulan: Terdapat perubahan pH dan konsentrasi ion H+ pada medium kultur PBMC sebagai respon terhadap pemaparan karbondioksida 15% selama 24 jam dan 48 jam.
Background: Global warming is an event of an increase in temperature on the earth's surface. This event occurs due to an increase in carbon dioxide in the atmosphere so that it affects climate change. Increased carbon dioxide can affect the immune system. In hypercapnia, there is a decrease in the release of cytokines and chemokines as well as inhibition of the process of phagocytosis and autophagy in macrophages. In addition, it can cause health problems such as headaches and vomiting to a decrease in consciousness in humans. There are various responses shown by PBMCs when exposed to carbon dioxide, however, this study focused on looking at changes in pH in the PBMC cell culture medium. Objective: To determine the effect of carbon dioxide exposure on changes in pH in PBMC culture medium. Methods: This study used PBMC cells that had been isolated and exposed to carbon dioxide levels of 5% as control and 15% as test for 24 hours and 48 hours, respectively. Then measured the pH of the PBMC cell culture medium in each group using a pH meter. The results obtained will be analyzed using SPSS. Results: There was a significant decrease in pH in the test group compared to the control group (P<0.05). Exposure to 15% CO2 was shown to significantly reduce the pH of the PBMC culture medium at 24 and 48 hours compared to the control (CO2 5%).
This is also supported by the results of the increased H+ concentration after exposure to 15% CO2 for 24 hours and 48 hours.
Conclusion: There are changes in pH and concentration of H+ ions in PBMC culture medium in response to exposure to 15% carbon dioxide for 24 hours and 48 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfian Aby Nurachman
"Latar Belakang: Global warming atau peristiwa meningkatnya suhu rerata bumi disebabkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) pada atmosfer bumi. Peningkatan kadar karbondioksida ini berpengaruh terhadap kesehatan melalui berbagai cara. Dalam tubuh kondisi kadar karbondioksida yang tinggi atau hiperkapnea dapat memberikan pengaruh pada tubuh salah satu nya adalah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Dengan menggunakan sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC), kadar ROS terutama superoksida yang diproduksi akibat paparan CO2 tinggi dapat dideteksi dengan menggunakan dihydroethidium (DHE) assay.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan pada kadar CO2 tinggi terhadap perubahan produksi superoksida pada sel PBMC.
Metode: Sel PBMC diinkubasi pada kadar CO2 yang berbeda yaitu kadar tinggi sebesar 15% dan kontrol 5% CO2. Produksi superoksida pada sel tersebut dapat dilihat menggunakan DHE assay dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada fluorometer. Hasil yang didapatkan adalah nilai absorbansi per sel yang menggambarkan kadar superoksida untuk tiap satu sel PBMC.
Hasil: Pemaparan sel PBMC pada kondisi tinggi CO2 (15% CO2) selama 24 jam dan 48 jam secara signifikan meningkatkan produksi superoksida bila dibandingkan dengan kontrol (5% CO2) pada sel PBMC. Namun terdapat penurunan yang signifikan antara paparan tinggi CO2 selama 48 jam bila dibandingkan dengan paparan tinggi CO2 selama 24 jam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa paparan tinggi CO2 dapat meningkatkan laju produksi superoksida pada sel PBMC. Selain itu terdapat penurunan kadar superoksida pada sel PBMC apabila lama paparan CO2 tinggi lebih dari 24 jam.
Kesimpulan: Pemaparan kadar CO2 tinggi pada sel PBMC selama 24 jam dan 48 jam akan meningkatkan laju produksi ROS terhadap kontrol. Penurunan kadar superoksida pada inkubasi CO2 tinggi selama 48 jam menunjukan ada nya pengurangan kadar superoksida apabila lama inkubasi lebih dari 24 jam.

Background: Global warming or the increase in the average temperature of the earth is caused by an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) in the earth's atmosphere. Increased levels of carbon dioxide affect health in various ways. In the body of conditions high carbon dioxide levels or hypercapnea can give effect to the body one of them is an increase in the production of Reactive Oxygen Species (ROS) which can cause oxidative stress. By using Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells, ROS levels, especially superoxide produced due to high CO2 exposure can be detected using dihydroethidium (DHE) assay.
Objective: This study was conducted to see the effect of exposure to high CO2 levels on changes in superoxide production in PBMC cells.
Methods: PBMC cells were incubated at different CO2 levels, namely a high level of 15% and a control of 5% CO2. Superoxide production in these cells can be seen using the DHE assay by looking at changes in absorbance values on the fluorometer. The results obtained are absorbance values per cell that describe the levels of superoxide for each one PBMC cell.
Results: Exposure of PBMC cells under high CO2 conditions (15% CO2) for 24 hours and 48 hours significantly increased superoxide production when compared to controls (5% CO ¬ 2) on PBMC cells. However, there was a significant decrease between 48 hours of high CO2 exposure compared to 24 hours of high CO2 exposure. From this it follows that high exposure to CO2 can increase the rate of superoxide production in PBMC cells. In addition there is a decrease in superoxide levels in PBMC cells if the duration of high CO2 exposure is more than 24 hours.
Conclusion: exposure to high CO2 levels in PBMC cells for 24 hours and 48 hours will increase the rate of superoxide production to control. Decrease in superoxide levels in incubation of high CO2 for 48 hours shows that there is a reduction in superoxide levels if the incubation time is more than 24 hours
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihya Fakhrurizal Amin
"Pendahuluan: Peningkatan karbondioksida pada atmosfer berdampak pada perubahan iklim. Peningkatan karbondioksida dapat mempengaruhi tubuh manusia terutama pada sistem imun manusia, yang diketahui dapat menurunkan produksi sel T. Pada penelitian ini menggunakan subjek berupa sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) yang menjadi representatif dari sistem imun manusia. Berbagai respon mungkin akan ditunjukkan jika PBMC dipaparkan karbon dioksida dengan konsentrasi lebih tinggi dari normal, tetapi pada penelitian ini hanya spesifik melihat pada kadar hidrogen peroksida melalui pengukuran kadar DCFH-DA.
Metode: PBMC yang sudah diisolasi dari subjek dipaparkan karbon dioksida 5% sebagai kontrol dan 15% sebagai uji. Waktu pemaparan dilakukan selama 24 jam dan 48 jam. Pada waktu akhir waktu inkubasi untuk masing-masing kelompok akan dilakukan pengukuran kadar DCFH-DA dengan fluorometri. Hasil yang didapat berupa absorbansi/sel yang akan dianalisis lebih lanjut melalui SPSS versi 24.
Hasil: Didapatkan jumlah hidrogen peroksida lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol secara signifikan (p<0.05) saat diinkubasi selama 24 jam tetapi tidak signifikan pada waktu inkubasi 48 jam. Perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida antara 24 dan 48 jam menunjukkan penurunan secara signifikan konsentrasi saat diinkubasi 48 jam jika dibanding 24 jam.
Kesimpulan: Paparan karbon dioksida selama 24 jam dapat meningkatkan produksi hidrogen peroksida dibandingkan kontrol, namun hal ini tidak terjadi pada PBMC yang dipaparkan karbondioksida selama 48 jam.

Introduction: Increased carbon dioxide in the atmosphere has an impact on climate change. Increased carbon dioxide can affect the human body, especially in the human immune system, which is known to reduce the production of T cells. So as to represent the human immune system, this study uses the subject of Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells. Various responses might be demonstrated if PBMCs were exposed to carbon dioxide concentrations higher than normal, but in this study only specifically looked at hydrogen peroxide levels by measuring DCFH-DA levels.
Method: PBMC which had been isolated from the subject were exposed to 5% carbon dioxide as a control and 15% as a test. Exposure time is 24 hours and 48 hours. At the end of the incubation time for each group, measurement of DCFH-DA with fluorometry will be carried out. The results obtained in the form of absorbance / cells will be further analyzed through SPSS version 24.
Result : There was a significant increase in the amount of hydrogen peroxide compared to the control (p <0.05) when incubated for 24 hours but not significantly at 48 hours incubation time. Comparison of hydrogen peroxide concentrations between 24 and 48 hours shows a significant decrease in concentration when incubated 48 hours when compared to 24 hours (p<0.05).
Conclusion: Exposure to carbon dioxide for 24 hours can increase hydrogen peroxide production compared to control, but there is no significant change in hydrogen peroxide production was observed in 48 hours of carbon dioxide.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrianus Jonathan Sugiharta
"Perubahan iklim telah menjadi isu global dan diyakini disebabkan oleh aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi gas rumah kaca (greenhouse gases), salah satunya adalah karbon dioksida. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida memberikan efek tidak hanya pada lingkungan sekitar, tetapi juga sistem tubuh. Kejadian ini dihubungkan dengan kemunculan berbagai penyakit akibat kondisi hiperkapnia yang menimbulkan efek merusak pada sel dan jaringan tubuh, termasuk sistem imun. PBMC merupakan salah satu komponen penting sistem imun yang berperan sebagai lini pertama tubuh dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk peningkatan karbon dioksida. Tingkat karbon dioksida tinggi dapat menimbulkan perubahan pada ekspresi berbagai gen yang berperan dalam meregulasi respon seluler terhadap perubahan yang ada. Salah satu gen yang dimaksud adalah HIF-1α. HIF-1α merupakan salah satu protein faktor transkripsi utama dalam tubuh yang berfungsi untuk mengatur berbagai macam mekanisme seluler terhadap keadaan hipoksia. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai efek peningkatan karbon dioksida terhadap ekspresi HIF-1α pada PBMC. PBMC dipisahkan teknik sentrifugasi, kemudian dikultur dan disimpan dalam empat keadaan yang berbeda (5% CO2 24 jam, 15% CO2 24 jam, 5% CO2 48 jam, dan 15% CO2 48 jam). Kemudian, RNA diisolasi dan dicek dengan teknik reverse transcriptase real-time PCR. Hasil dari kelompok sampel 24 jam menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat ekspresinya. Sedangkan pada kelompok sampel 48 jam, hasil menunjukkan perbedaan ekspresi yang tidak signifikan. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa adanya penurunan ekspresi HIF-1α ketika peningkatan karbon dioksida terjadi. Akan tetapi, ekspresi HIF-1α menunjukkan sedikit peningkatan setelah perlakuan selama 48 jam.

Climate change has become a major global issue since the past few years, and it is caused by human activities related to the emissions of greenhouse gases, one of which is carbon dioxide. Elevated level of carbon dioxide has been found to affect not only our environment, but also our body system. It is linked to many adverse clinical outcomes due to the hypercapnic condition towards many cells and tissues, including our immune system. PBMCs, a major components of immune system, are the first-line defence against various environmental changes, including increased carbon dioxide level. High carbon dioxide are thought to cause alterations of numerous genes expression, including HIF-1α, resulting in defective cellular response. HIF-1α is one of the most important transcription factor proteins for numerous cellular mechanisms related to hypoxia. Therefore, this research is aimed to study about the effects of increased carbon dioxide towards HIF-1α expression in PBMCs. PBMCs are separated from the blood by centrifugation, cultured, and treated under four different conditions (5% CO2 24 hours, 15% CO2 24 hours, 5% CO2 48 hours, and 15% CO2 48 hours. The RNA are then isolated and tested by reverse transcriptase real-time PCR. The result of 24-hour group showed a significant difference in the mRNA expression, unlike the difference in expression showed by the result of 48-hour group. In conclusion, the result showed that the expression of HIF-1α was decreased upon treated with increased carbon dioxide level. The expression, however, slightly increase after 48-hour period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cicia Firakania
"Proliferasi sel merupakan peningkatan dalam jumlah sel sebagai hasil dari pertumbuhan dan pembelahan sel. Selain terjadi pada sel normal pembelahan sel juga terjadi pada sel kanker yang ditandai dengan proliferasi tak terkendali. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Mengingat dalam sintesis purin de novo terdapat peran biotin yang merupakan koenzim dalam proses karboksilasi, maka penambahan avidin diduga kuat dapat mengikat biotin dengan afinitas yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi avidin dalam kemampuannya mengikat botin untuk menghambat mitosis. Pada penelitian ini SMDT dikultur dalam medium yang distimulasi oleh PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2 dengan dan tanpa avidin. Efek dari penambahan avidin ini dilihat pada jam-jam tertentu dan dilakukan analisis terhadap proliferasi, viabilitas, serta siklus sel. Berdasarkan hasil penelitian, avidin menghambat proliferasi SMDT serta menurunkan viabilitas SMDT baik pada kultur yang distimulasi PHA maupun pada kultur yang distimulasi PHA dan IL-2. Penambahan avidin juga menghambat masuknya progresi SMDT yang dikultur selama 72 jam dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa avidin dapat mengikat biotin yang ada dalam medium sehingga proliferasi sel menjadi terhambat.

Cell proliferation is the increment of cell number as a result of cell growth and cell division. Cell division occurs not only in normal cells but also in cancer cells which undergo uncontrolled cell division. Most of the cell proliferation inhibition was done by inhibiting the DNA synthesis by which intervening the formation of purine or pyrimidine nucleotide bases. Considering the role of biotin in purine de novo synthesis as a coenzyme in the carboxylation reaction, it was assumed that avidin can bind biotin with very high affinity. The aim of this research is to study the potential of avidin to bind biotin for inhibit mitosis. In this study PBMC was cultured in a medium that stimulated by PHA, IL-2, PHA and IL-2 with and without avidin. The effect of the addition of avidin was observed at certain hours for the analysis of proliferation, viability, and cell cycle. This study suggest that avidin inhibits proliferation and decreases viability of PBMC both of PBMC stimulated by PHA and stimulated by PHA and IL-2. The addition of avidin also inhibits the entry of progression of PBMC when cultured for 72 hours from phase G0/G1 to S phase. Based on these data, we propose that avidin might bind extracellular biotin in the medium therefore the cell proliferation was inhibited.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syazili Mustofa
"Penghambatan proliferasi sel diaplikasikan dalam berbagai bidang kedokteran. Banyak di antara penghambatan proliferasi dilakukan dengan cara menghambat sintesis DNA, yaitu mengintervensi pembentukan basa nukleotida purin atau pirimidin. Dalam sintesis purin de novo terdapat peran enzim anhidrase karbonat yang merupakan pemasok CO2 dalam proses karboksilasi. Penghambatan enzim anhidrase karbonat diduga kuat dapat menghambat proliferasi. Pada penelitian ini model proliferasi sel adalah SMDT yang distimulasi dengan PHA, IL-2, serta PHA dan IL-2. Penghambat enzim anhdirase karbonat yang digunakan adalah asetazolamid. Dilakukan analisis efek pemberian asetazolamid pada saat puncak sintesis DNA sel, puncak viabilitas sel, serta analisis terhadap siklus sel. Hasil penelitian ini, asetozolamid menghambat sintesis DNA serta menurunkan viabilitas SMDT yang distimulasi PHA dan IL-2. Terjadi hambatan masuknya progresi SMDT dari fase G0/G1 ke fase S. Penelitian ini menunjukkan bahwa penghambatan enzim anhidrase karbonat dapat menyebabkan hambatan proliferasi sel.

Inhibition of cells proliferation are widely used in various medical fields. Most of cell proliferation inhibition can be done by inhibiting the DNA synthesis, notably by intervening the formation of purine or pyrimidine. In purine de novo synthesis, it was assumed that CO2 plays a role as a source of carbon in carboxylation reaction, one of the pivotal steps in the purine de novo pathways. The aim of this study was to see the acetazolamide potency to inhibit carboxylation reaction. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) was cultured in RPMI-1640 medium and stimulated by phytohemagglutinin (PHA) and interleukin-2 (IL-2), with or without acetazolamide. The effect of acetazolamide addition was observed at the peak of cell proliferation, cells viability, and cell cycle. Statistical analysis was done by one-way ANOVA. Acetazolamide inhibited cell proliferation and viability in PBMC culture stimulated by PHA and IL-2. Cell cycle analysis showed that acetazolamide arrested the progression of PBMC in G0/G1 phase. Inhibition of CO2 production by acetazolamide inhibitory effect to carbonic anhydrase can halt cell proliferation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sulaiman Alwahdy
"ABSTRAK
Latar belakang : Stroke iskemik merupakan salah satu jenis stroke yang tersering dijumpai. Trombolisis (rt-PA) merupakan satu-satunya obat yang diakui oleh Food and Drug Administration (FDA). Untuk regenerasi sel saraf yang telah mati hingga saat ini masih dipertanyakan. Sel mononuklear darah tali pusat manusia merupakan salah satu pilihan yang cukup menjanjikan untuk terapi stroke iskemik melalui keuntungan yang dimilikinya antara lain; ketersediaannya yang mudah, efek pluripotensi dan imaturitas yang dimilikinya.
Metode Penelitian : Penelitian eksperimental dengan desain Prospective Interventional Study pada 4 kelompok perlakuan. Kelompok pertama adalah kelompok sehat dan tiga kelompok lainnya adalah kelompok perlakuan tikus yang dilakukan oklusi arteri serebral media (OASM) dengan jumlah enam tikus per kelompok. Tikus dibiarkan selama tujuh hari setelah dilakukan OASM dan sebelum dilakukan transplantasi secara intraarteri dan intravena dengan dosis 1x106 sel per kg. Penilaian fungsional dilakukan sebelum OASM, tujuh hari setelah OASM dan pada hari ke 3,4 dan 9 pasca transplantasi. Dilakukan evaluasi terhadap pengurangan luas area infark, sel yang mengekspresikan protein beta-III tubulin (TUJ1), glial fibrillary acidic protein (GFAP) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) dalam proses neurogenesis dan angiogenesis.
Hasil : Pada tes sensorimotor didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna diantara kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada aktifitas spontan tikus yang dilakukan transplantasi dibandingkan kelompok kontrol (p<0.05). Membandingkan jumlah sel neuron didaerah hipokampus, terdapat jumlah sel yang lebih banyak pada kelompok transplantasi dibandingkan kelompok kontrol walaupun tidak berbeda bermakna secara statistik. Angiogenesis pada kelompok transplantasi memiliki hasil yang berbeda bermakna dibandingkan kontrol (P<0.001). Tidak ditemukan adanya pengurangan luas area infark dan efek samping pada kelompok transplantasi.
Kesimpulan : Baik dilakukan secara intraarterial ataupun intravena, kedua rute tetap memiliki efek dalam memperbaiki aktifitas spontan tikus. Dosis 1x106 sel per kg cukup aman dengan tidak ditemukannya efek samping yang serius seperti efek rejeksi dan tetap memiliki efek yang menguntungkan. Angiogenesis yang terbentuk pada kelompok transplantasi memberikan harapan dalam mempercepat proses neurogenesis.

ABSTRACT

Introduction : Cerebral ischemia is among the most common type of stroke seen in patient. Thrombolysis (rt-PA) is the only United States Food and Drug Administration (FDA) approved drug available.For regeneration of death neurons are remain questionable. Human umbilical cord blood mononuclear cell (cbMNC) is one of the option treatments for ischemic stroke through their various advantages; availability, pluripotency and immaturity.
Method : One group for healthy rat and three groups (n=6 per group) of male wistar rats were undergone permanent middle cerebral artery occlusion (MCAO). Rats were allowed to recover for 7 days before intraarterial (IA) and intravenous (IV) injection of 1x106 cells per kg of human cbMNC. Behavioural tests were performed before MCAO, 1 week after MCAO and at 3,9 and 14 days after cbMNC injection. Brain infarct area, Beta III tubulin (TUJ1), glial fibrillary acidic protein (GFAP) and vascular endothelial growth factor (VEGF) antibody marker were evaluated.
Results : Behavioral test in sensorimotor evaluation revealed no significant differences between all groups. Spontaneous activity were much significantly improved compared to placebo group (p<0.05). Comparing the survival of neurons in hippocampus, IA and IV have better result compare to placebo. Angiogenesis in IA group showed significant differences (P<0.001) compare to IV and placebo respectively. No effect of cbMNC transplantation in decreasing Infarct area. Serious adverse effects were not found.
Conclusion : IA and IV human cbMNC transplantation provides post stroke spontaneous activity recovery. Safety of xenogenic study were confirmed by this study when dosage 1x106 cells per kg were used and showed their beneficial effects. The existence of more neovascularization in the transplanted rats of cbMNC provide hope in accelerating repairement of the neurons. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Aditya
"Latar belakang: Platelet rich plasma (PRP) merupakan faktor pertumbuhan yang mendukung proliferasi, diferensiasi sel punca in vitro. PRP diyakini dapat digunakan sebagai alternatif pengganti dari fetal bovine serum (FBS) karena bersifat xenofree. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi PRP dalam mendukung proliferasi dan diferensiasi SSCs dan menganalisis korelasi antara tingkat spermatogenesis melalui penilaian Johnson dengan ekspresi gen potensi proliferasi (PLZF, OCT4) dan diferensiasi (CKIT) SSCs.
Metode: SSCs diisolasi dari tiga sisa jaringan biopsi testis hasil ektraksi spermatozoa (TESA/TESE) dari pasien azoospermia. Hasil isolasi sel dikultur pada medium DMEM-F12 dengan faktor pertumbuhan spesifik (GDNF, bFGF, EGF) yang selanjutnya dibedakan menjadi dua kelompok medium kultur berdasarkan penambahan PRP atau FBS. Hasil sel kultur dianalisis ekspresinya terhadap gen PLZF, OCT4, dan CKIT dengan qRT-PCR. Tingkat spermatogenesis dianalisis dengan penilaian Johnson melalui pemeriksaan histologi.
Hasil: PLZF, OCT4, dan CKIT diekspresikan oleh hasil sel kultur pada kelompok PRP dan FBS, namun tidak bermakna signifikan. Tidak terdapat korelasi antara tingkat spermatogenesis dengan ekspresi gen potensi proliferasi (PLZF dan OCT4) dan diferensiasi (CKIT) SSCs pada kelompok PRP dan FBS.
Kesimpulan: PRP mampu mendukung potensi proliferasi dan diferensiasi SSCs in vitro serta dapat menjadi alternatif pengganti FBS.

Background: Platelet rich plasma (PRP), performing as an alternative candidate to fetal bovine serum (FBS), is a concentrate containing growth factors, support proliferation and differentiation of stem cells in vitro. The objective of this work was to determine the efficiency of PRP in supporting SSCs proliferation and differentiation and assessed the correlation between the level of spermatogenesis through scoring Johnson toward the proliferation and differentiation of SSCs in vitro.
Methods: SSCs were isolated from three of surplus testicular tissue by sperm extraction (TESA/TESE) from azoospermic patients, then SSCs were cultured into DMEM-F12 with growth factors (GDNF, bFGF, EGF), further categorized into PRP and FBS groups. The resulting cell was quantitative analyzed by qRT-PCR towards the expression of PLZF, OCT4 and CKIT. The level of spermatogenesis was observed by scoring Johnson from histology measurement.
Results: The qRT-PCR analysis revealed the expression of PLZF, OCT4 and CKIT in the resulting cell culture. The difference was statistically insignificant among PRP and FBS. There was no correlation between the potency of proliferation (PLZF and OCT4) and differentiation (CKIT) of SSCs toward the level of spermatogenesis in both groups.
Conclusion: PRP could support the maintenance of proliferation and differentiation SSCs in vitro and could be developed as an alternative supplementation of FBS.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfian Aby Nurachman
"Latar Belakang : Global warming atau peristiwa meningkatnya suhu rerata bumi disebabkan oleh peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) pada atmosfer bumi. Peningkatan kadar karbondioksida ini berpengaruh terhadap kesehatan melalui berbagai cara. Dalam tubuh kondisi kadar karbondioksida yang tinggi atau hiperkapnea dapat memberikan pengaruh pada tubuh salah satu nya adalah peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Dengan menggunakan sel Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC), kadar ROS terutama superoksida yang diproduksi akibat paparan CO2 tinggi dapat dideteksi dengan menggunakan dihydroethidium (DHE) assay.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek pemaparan pada kadar CO2 tinggi terhadap perubahan produksi superoksida pada sel PBMC.
Metode : Sel PBMC diinkubasi pada kadar CO2 yang berbeda yaitu kadar tinggi sebesar 15% dan kontrol 5% CO2. Produksi superoksida pada sel tersebut dapat dilihat menggunakan DHE assay dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada fluorometer. Hasil yang didapatkan adalah nilai absorbansi per sel yang menggambarkan kadar superoksida untuk tiap satu sel PBMC.
Hasil : Pemaparan sel PBMC pada kondisi tinggi CO2 (15% CO2) selama 24 jam dan 48 jam secara signifikan meningkatkan produksi superoksida bila dibandingkan dengan kontrol (5% CO2) pada sel PBMC. Namun terdapat penurunan yang signifikan antara paparan tinggi CO2 selama 48 jam bila dibandingkan dengan paparan tinggi CO2 selama 24 jam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa paparan tinggi CO2 dapat meningkatkan laju produksi superoksida pada sel PBMC. Selain itu terdapat penurunan kadar superoksida pada sel PBMC apabila lama paparan CO2 tinggi lebih dari 24 jam.
Kesimpulan : pemaparan kadar CO2 tinggi pada sel PBMC selama 24 jam dan 48 jam akan meningkatkan laju produksi ROS terhadap kontrol. Penurunan kadar superoksida pada inkubasi CO2 tinggi selama 48 jam menunjukan ada nya pengurangan kadar superoksida apabila lama inkubasi lebih dari 24 jam.

Background: Global warming or the increase in the average temperature of the earth is caused by an increase in the concentration of carbon dioxide (CO2) in the earth's atmosphere. Increased levels of carbon dioxide affect health in various ways. In the body of conditions high carbon dioxide levels or hypercapnea can give effect to the body one of them is an increase in the production of Reactive Oxygen Species (ROS) which can cause oxidative stress. By using Peripheral Blood Mononuclear Cell (PBMC) cells, ROS levels, especially superoxide produced due to high CO2 exposure can be detected using dihydroethidium (DHE) assay.
Objective: This study was conducted to see the effect of exposure to high CO2 levels on changes in superoxide production in PBMC cells.
Methods: PBMC cells were incubated at different CO2 levels, namely a high level of 15% and a control of 5% CO2. Superoxide production in these cells can be seen using the DHE assay by looking at changes in absorbance values on the fluorometer. The results obtained are absorbance values per cell that describe the levels of superoxide for each one PBMC cell.
Results: Exposure of PBMC cells under high CO2 conditions (15% CO2) for 24 hours and 48 hours significantly increased superoxide production when compared to controls (5% CO ¬ 2) on PBMC cells. However, there was a significant decrease between 48 hours of high CO2 exposure compared to 24 hours of high CO2 exposure. From this it follows that high exposure to CO2 can increase the rate of superoxide production in PBMC cells. In addition there is a decrease in superoxide levels in PBMC cells if the duration of high CO2 exposure is more than 24 hours.
Conclusion: exposure to high CO2 levels in PBMC cells for 24 hours and 48 hours will increase the rate of superoxide production to control. Decrease in superoxide levels in incubation of high CO2 for 48 hours shows that there is a reduction in superoxide levels if the incubation time is more than 24 hours.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>