Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 122398 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizkya Fadhma
"Pencatatan perkawinan dapat dikatakan sebagai tahapan penting dari peristiwa perkawinan. Dalam rangka peningkatan pelayanan pencatatan perkawinan, Kementerian Agama meluncurkan mekanisme pencatatan dengan sistem informasi melalui aplikasi bernama Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) sebagai upaya untuk menyerderhanakan mekanisme pencatatan dan mengatasi pemalsuan-pemalsuan data yang kerap terjadi. Sebagai implikasinya, diterbitkan Kartu Nikah sebagai alat bukti perkawinan tambahan di luar Buku Nikah. Dalam pembahasan mekanisme pencatatan melalui Simkah dan urgensi penerbitan Kartu Nikah dilakukan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan dengan SPPIM dan Kad Perakuan Nikah yang berlaku di Malaysia hingga diperoleh hasil perlunya penerbitan Kartu Nikah sebagai implikasi pencatatan perkawinan melalui Simkah.
Marriage registration can be said to be an important stage of marriage events. In order to improve marriage registration services, the Ministry of Religion launched a recording mechanism with an information system through an application called the Marriage Management Information System (Simkah) as an effort to simplify the recording mechanism and overcome the frequent falsification of data. As an implication, a Marriage Card is issued as an additional proof of marriage outside the Marriage Book. In discussing the mechanism of recording through Simkah and the urgency of issuing a Marriage Card, a statutory approach and comparison with SPPIM and Marriage Certificates in Malaysia are carried out to obtain the results of the need for the issuance of a Marriage Card as an implication of registering marriages through Simkah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Priscilla
"ABSTRACT
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan akan membawa konsekuensi bagi anak tersebut, yaitu menjadi seorang anak luar kawin. Akibat dari kedudukan seorang anak sebagai anak luar kawin adalah tidak adanya hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi solusi dari permasalahan kedudukan anak luar kawin. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditentukan bahwa anak luar kawin dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan mempunyai hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai kedudukan yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan melihat penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam Penetapan Nomor 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM dan juga Penetapan Nomor 229/PDT.P/2015/PN.KDL. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan mengidentifikasi norma hukum tertulis dan hasil penelitian disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan juga dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan tidak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Selain itu, berdasarkan dua penetapan yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat dilihat adanya perbedaan fokus dalam pertimbangan hakim dalam menentukan kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 untuk menghindari ketidakpastian dan permasalahan dalam penerapannya.

ABSTRACT
Children born in marriages of parents who are not registered will have consequences for the child, namely being a child out of wedlock. The result of the position of a child as a child out of wedlock is the absence of civil relations between children outside of marriage with their biological father. The decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 is the solution to the problem of the position of the child outside of marriage. In the Decision of the Constitutional Court Number 46/PUU-VIII/2010 it is determined that out-of-wedlock children can have civil relations with their father if it can be proven to have blood relations based on science and technology and/or other evidence according to the law. In this study, we will examine the position of being born in a parent's marriage which is not listed after the issuance of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 by observing the application of the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 in the Determination of  Number 126/PDT.P/2014/PN.JKT.TIM and also Determination Number 229/PDT.P/2015/PN.KDL. The research method used in this study is normative juridical research that aims to identify written legal norms and the results of the study are presented descriptively. The results of this study concluded that after the Decision of the Constitutional Court Number 46 / PUU-VIII / 2010 children born in marriages of unregistered parents can also have civil relations with their biological fathers and not only have civil relations with their mothers and families. In addition, based on the two determinations analyzed in this study, it can be seen that there is a difference in focus in judges judgment in determining the position of children born in the marriage of parents who are not registered. Therefore, it is necessary to have an implementing regulation from the Constitutional Court Decision Number 46 / PUU-VIII / 2010 to avoid uncertainty and problems in its implementation."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Wijasa Bratawidjaja
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan , 1988
306 THO u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmiati
"Penelitian ini mengkaji kedudukan itsbat nikah dalam perkawinan sirri setelah perceraian perkawinan pertama. Perkawinan sirri yang apabila telah memenuhi rukun dan syarat menurut agama dan kepercayaanya, maka terhadap perkawinan tersebut adalah telah sah menurut hukum agama. Namun demikian perkawinan sirri belum memiliki kekuatan hukum menurut hukum Negara. Untuk memperoleh pengakuan dari Negara, harus memenuhi persyaratan lanjutan yaitu berupa pencatatan perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah. Terhadap perkawinan sirri tersebut dapat terlebih dahulu mengajukan itsbat nikah melalui Pengadilan Agama. Pertimbangan hukum bahwa saat pengajuan istbat nikah di Pengadilan Agama, para pemohon itsbat nikah tidak memperoleh izin poligami dari Pengadilan Agama, hakim dengan suara terbanyak kemudian menolak itsbat nikah para pemohon. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai akibat hukum atas penolakan itsbat nikah atas perkawinan sirri setelah perceraian perkawinan pertama; dan upaya hukum perkawinan sirri tersebut agar dapat dicatatkan. Untuk menjawab permasalahan tersebut menggunakan metode penelitian berbentuk yuridis normatif yakni melakukan pengkajian berdasarkan norma dan kaidan hukum positif di Indonesia. Analisa data dilakukan secara preskriptif yang bertujuan mendapatkan jalan keluar atas permasalahan itsbat nikah yang ditolak oleh Pengadilan Agama dan upaya hukum yang dapat dilakukan agar perkawinan sirri tersebut dapat dicatatkan. Hasil analisis akibat hukum dari penolakan itsbat nikah setelah perceraian perkawinan pertama berdampak pada status perkawinan, anak dan harta perkawinan. Status perkawinan tetap sebagai perkawinan sirri yaitu tidak adanya pengaturan secara tegas mengenai pemberian nafkah dan antara suami istri tidak dapat saling mewaris; terhadap status anak walaupun dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan ayahnya namun tetap dianggap sebagai anak luar kawin; dan tidak dapat dibentuknya harta bersama selama perkawinan sirri berlangsung. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku perkawinan sirri setelah penolakan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat berupa upaya Peninjauan Kembali agar perkawinannya dapat diitsbatkan atau kawin ulang di Kantor Urusan Agama atau di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.

This study examines the position of itsbat nikah in sirri marriages after the divorce of the first marriage. Sirri marriage, which if it has fulfilled the pillars and conditions according to religion and belief, then the marriage is legal according to religious law. However, according to state law, sirri unions do not yet have legal force. To obtain recognition from the State, it must meet further requirements, namely marriage registration by the Marriage Registrar. Against sirri marriages, they can first apply for a marriage itsbat through the Religious Courts. Legal considerations are that when submitting a marriage certificate at the Religious Courts, the applicants for itsbat marriage did not obtain a polygamy permit from the Religious Court. The judge with the most votes then rejected the applicants' marriage certificate. The problems raised in this study are the legal consequences of refusing itsbat marriage for sirri marriages after the divorce of the first marriage; and legal efforts for the sirri marriage to be registered. To answer these problems, a research method is used in a normative juridical, namely, conducting an assessment based on the norms and rules of positive law in Indonesia. Data analysis was carried out prescriptively to find a solution to the problem of itsbat marriage, which was rejected by the Religious Courts and legal remedies that could be taken so that the sirri marriage could be registered. The results of the analysis of the legal consequences of refusing itsbat marriage after the first marriage divorce impact marital status, children and marital property. The marriage status remains as a sirri marriage, i.e. there is no explicit regulation regarding the provision of a living and between husband and wife cannot inherit each other; on the status of the child even though he may have a civil relationship with his mother and father but is still considered a child out of wedlock, and joint property cannot be formed during a sirri marriage. Legal remedies that can be taken against the perpetrators of unregistered marriages after the refusal of the marriage certificate by the Religious Courts based on a decision that has permanent legal force can be in the form of a judicial review so that the marriage can be legalized or remarried at the Office of Religious Affairs or in the presence of a Marriage Registrar."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Supramono
Jakarta: Djambatan, 1998
346.016 GAT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yustisiani Riaji
"Pembatalan perkawinan yang telah dilangsungkan masih banyak terjadi dalam masyarakat, hal itu disebabkan karena perkawinan yang dilangsungkan tersebut cacat hukum. Pembatalan perkawinan tersebut didasarkan karena adanya syarat-syarat perkawinan yang tidak dipenuhi sehingga menyebabkan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku. Salah satu contohnya yaitu dalam putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna yang latar belakang pengajuan pembatalan perkawinannya disebabkan karena perkawinan dilangsungkan dengan berwalikan calon mempelai perempuan sendiri dan adanya pemalsuan identitas. Dari uraian tersebut timbulah pertanyaan apakah putusan Pengadilan Agama Banda Aceh Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna bertentangan dengan Peraturan dalam Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, kemudian bagaimana status terhadap suami isteri, harta bersama dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah dibatalkan. Untuk dapat mencari jawaban masalah ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan dan didukung dengan wawancara kepada nara sumber. Dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna perkawinan dibatalkan karena adanya wali nikah yang tidak sah dan pemalsuan identitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap dasar pertimbangan Hakim Majelis pada putusan tersebut telah tepat sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang?undangan yang berlaku khususnya mengenai perkawinan, hanya saja hakim kurang menambahkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang?Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan untuk merujuk pada Pasal 71 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yaitu segala hak dan kewajiban antara suami isteri menjadi tidak ada, dan keputusan pembatalan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak?anak yang dilahirkan dari perkawinan dan anak tetap menjadi anak yang sah serta terkait harta bersama pembagiannya diserahkan kepada masing?masing pihak sesuai dengan kesepakatan.

Most of the marriage in the community is annulled due to invalidity. The annulment of marriage is resulting from the failure to the terms of marriage thereby making the marriage invalid according to the applicable regulation. One of the examples is judgment of Banda Aceh Religious Court Number Nomor 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna that annulled a marriage because the guardian is the bride herself and because of falsification of identify. From the description, there is a question, does the judgment of Banda Aceh Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna contravene the Law Number 1 Of 1974 and the Compilation of Islamic Law?, and then what is the status of the married couple, mutual property and children born from the marriage so annulled?. To answer the question, the writer uses juridical and normative research method by using secondary data from the literature supported with the interview with the resources persons. In the Judgment of the Religious Court Number 113/Pdt.G/2012/Ms-Bna, the marriage is annulled due to invalid status of the guardian and falsification of identity. The research to the consideration basis of the Council of Judges indicates that the Judgment is not in contravention of the applicable legislation, particularly that on marriage, but the judges lacks the Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 Of 1974 on Marriage to refer to Article 71 point (e) Compilation of Islamic Law. Legal consequences of the annulment of marriage are all rights and obligations of the married couple become non-existing, and the judgment of annulment is not retroactive to the children born from the marriage and the children remain being legitimate children and the division of mutual property is submitted to the respective parties in accordance with the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filda Mayana
Depok: Universitas Indonesia, 1983
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Aprihadi
"Status perkawinan menjadi permasalahan sebelum pasangan suami istri
mengajukan isbat nikah dan mengajukan gugatan perceraian. Selanjutnya, permasalahan dalam pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT dan Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Oleh karena itu, penulis meneliti isbat nikah dan gugatan perceraian yang didahului isbat nikah di Pengadilan Agama. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji konsep hukum Islam, ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terkait isbat nikah dan perceraian. Hasil dari penelitian ini adalah status perkawinan pada isbat
nikah ditentukan dari terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT tidak dikabulkan dan putusan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Selanjutnya, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT dikabulkan dan gugatan cerai dikabulkan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, saran kepada masyarakat untuk memperhatikan rukun dan syarat perkawinan dalam permohonan isbat nikah dan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Marital status becomes a problem before husband and wife
file a marriage isbat and file a divorce suit. Furthermore, the problems in the judge's consideration in the East Jakarta Religious Court Decision Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT and Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Therefore, the author examines the isbat of marriage and divorce claims that are preceded by the isbat of marriage in the Religious Courts. The research was conducted using a juridical-normative method, namely by examining the concept of Islamic law, the provisions of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law related to the isbat of marriage and divorce. The results of this study are the marital status of the isbat Marriage is determined from the fulfillment of the pillars and conditions of marriage, the marriage isbat in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT was not granted and the decision was in accordance with the Marriage Law and KHI. Furthermore, the isbat marriage in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT was granted and the divorce suit was granted in accordance with the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. Thus, suggestions to the public to pay attention to the pillars and conditions of marriage in the application for marriage isbat and divorce claims to the Religious Courts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarahsmanda Sugiartoputri
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11056
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marsuni
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>