Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86345 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anadyas Ratna Nurina
"Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan Pengadilan berupa pengeluaran keputusan yang di dalamnya menyatakan bahwa suatu perkawinan batal atau tidak sah. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan pengaturan secara limitatif mengenai para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan, tepatnya pada Pasal 23. Skripsi ini membahas mengenai suatu kasus pembatalan perkawinan yang diajukan oleh anak dari perkawinan pertama atas perkawinan kedua dari ayah yang pada analisisnya berfokus kepada apakah anak tersebut merupakan pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis dapat menyimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam Putusan No. 5/Pdt.G/2016/PT.PBR telah memutus perkara ini telah tepat dalam menafsirkan Pasal 23 UU Perkawinan yang mengatur mengenai para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

Annulment of marriage is an act of the Court in the form of issuance of a verdict in which it states that a marriage is null or void. Law No. 1 of 1974 on Marriage as amended by Law No. 16 of 2019 on Amendments to Law No. 1 of 1974 on Marriage has given a limitative arrangement regarding the parties that can propose a request for marriage annulment to the Court, precisely in Article 23. This thesis discusses a case of annulment of marriage proposed by a child from the first marriage to the second marriage of the father. In the analysis section, this thesis focuses on whether the child is included in the party entitled to propose marriage annulment request. The writing of this thesis uses literature-based research method and interview with legal practitioner. Based on research that has been done, the author can conclude that the Panel of Judges in Verdict Number: 5/PDT.G/2016/PT.PBR has decided on this case right by interpreting Article 23 of the Marriage Law which regulates the parties who can submit request for marriage annulment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anadyas Ratna Nurina
"Pembatalan perkawinan merupakan suatu tindakan Pengadilan berupa pengeluaran keputusan yang di dalamnya menyatakan bahwa suatu perkawinan batal atau tidak sah. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan pengaturan secara limitatif mengenai para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan ke Pengadilan, tepatnya pada Pasal 23. Skripsi ini membahas mengenai suatu kasus pembatalan perkawinan yang diajukan oleh anak dari perkawinan pertama atas perkawinan kedua dari ayah yang pada analisisnya berfokus kepada apakah anak tersebut merupakan pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, Penulis dapat menyimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam Putusan No. 5/Pdt.G/2016/PT.PBR telah memutus perkara ini telah tepat dalam menafsirkan Pasal 23 UU Perkawinan yang mengatur mengenai para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

Annulment of marriage is an act of the Court in the form of issuance of a verdict in which it states that a marriage is null or void. Law No. 1 of 1974 on Marriage as amended by Law No. 16 of 2019 on Amendments to Law No. 1 of 1974 on Marriage has given a limitative arrangement regarding the parties that can propose a request for marriage annulment to the Court, precisely in Article 23. This thesis discusses a case of annulment of marriage proposed by a child from the first marriage to the second marriage of the father. In the analysis section, this thesis focuses on whether the child is included in the party entitled to propose marriage annulment request. The writing of this thesis uses literature-based research method and interview with legal practitioner. Based on research that has been done, the author can conclude that the Panel of Judges in Verdict Number: 5/PDT.G/2016/PT.PBR has decided on this case right by interpreting Article 23 of the Marriage Law which regulates the parties who can submit request for marriage annulment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amwalyna Maisya
"Skripsi ini membahas tentang pembatalan perkawinan akibat perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali nikah. Pokok permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimana kedudukan wali nikah menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan, bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan akibat perkawinan tanpa wali nikah menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, dan apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Syar’iyah Nomor 113/Pdt.G/2012/MS-Bna sudah tepat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptifanalitis. Salah satu rukun perkawinan yaitu adanya wali nikah dari calon mempelai perempuan. Tidak adanya wali nikah dalam sebuah perkawinan menimbulkan akibat hukum tertentu. Menurut hukum Islam, tidak adanya wali nikah dalam sebuah perkawinan mengakibatkan perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tidak adanya wali nikah dalam perkawinan mengakibatkan perkawinan tersebut menjadi dapat dibatalkan. Dalam kasus pembatalan perkawinan ini, kedua mempelai melaksanakan perkawinan tanpa adanya wali nikah, yang berakibat perkawinan tersebut dibatalkan oleh hakim.

This thesis talk about annulment of marriage as a consequent of a marriage without a presence of the marriage guardian. Subject matter of this thesis is how the position of guardian marriage according to Islamic law and regulations, legal annulment of marriage due to how the consequences of marriage without a guardian of marriage according to Islamic law and regulations, and whether the consideration of judges in a court is Number 113/Pdt.G/2012/MS-Bna is just right. Research methods used in the research library and field research methods. While the type of research used in this thesis is a descripstive research-analytical. One of the pillars of a marriage is existence of marriage guardian from prospective bride. Absences of a marriage guardian raises some legal consequences. According to Islamic law, the absences of a marriage guardian in a marriage, resulting marriage become void by law. Meanwhile, according to The Law Number 1 Year 1974 Regarding Marriage Law, absences of guardian in a marriage, resulting in marriage can be annulled. In this annulment of marriage case, the bride and groom married without the existence of guardian, which the consequences was annulled by judge."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gideon Mario
"Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan. Pada kenyataannya banyak sekali alasan yang dapat diajukan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Bentuk penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis apakah pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah karena kelainan seksual. Kelainan seksual dalam kasus ini baru diketahui setelah pernikahan berjalan 3 bulan. Sehingga dalam penulisan ini penulis mencoba untuk menganalisis apakah kelainan seksual termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka seperti yang terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Ternyata dapat ditemukan bahwa kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan karena termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka. Penulis menyarankan kepada setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk lebih terbuka kepada pasangannya.

A marriage which doesn?t fulfill the conditions, can be filed for annulment to the court. In fact many reasons can be proposed to cancel the marriage. The form of this paper is the normative juridical research studies that are legally refers to legal norms contained in laws and regulations relating to the marriage annulment. At this paper the authors try to do an analysis from the verdict of south Jakarta Religious Court No. 0294/Pdt.G/2009/PA.JS. Marriage annulment reason in this case is due to sexual variations. Sexual abnormality in this case be known after the marriage runs 3 months. The author tried to analyze what sexual variations include the clause fraud and one thought as found in Article 27 paragraph (2) of Act 1/74 and Article 72 paragraph (2) Compilation of Islamic Law. Finally author also found that sexual abnormality can be grounds for marriage annukment, including the clause fraud and wrong. Authors recommend to every couple who will be more receptive to mating for the spouse."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naqiya Nazzaha
"Perkawinan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang menuju pembentukan keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dalam bahasa umum lazim dinamakan membentuk keluarga yang sakina, mawaddah dan warahmah, penuh dengan kedamaian dan limpahan kasih sayang. Sejalan dengan Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam pada asasnya menganut asas monogami. Namun Agama Islam tidak melarang poligami dengan persyaratan khusus serta adanya pembatasan jumlah istri. Dalam praktek ternyata masih terdapat pelanggaran atas pelaksanaan poligami.
Dalam penulisan ini, kasus yang akan dibahas adalah adanya gugatan pembatalan perkawinan dari seorang istri pertama atas perkawinan kedua suaminya, namun gugatan baru diajukan ketika suami telah meninggal dunia. Dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas apakah pertimbangan hakim telah tepat dalam memutuskan gugatan pembatalan perkawinan tersebut serta akibat hukum dari putusan tersebut.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan data utama yang digunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Hasil dari analisi adalah bahwa Majelis Hakim dalam memutuskan kasus kurang tepat dan cermat karena hanya melihat dari segi formil saja dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain terutama aspek materiil dari perkawinan itu sendiri. Akibat hukum dari putusan tersebut adalah terhadap anak, harta benda selama perkawinan dan pihak ketiga.
Saran dalam penulisan ini adalah bahwa dalam memutuskan perkara Majelis Hakim hendaknya mencari dan menemukan hukum yang sensitif terhadap kebutuhan perlindungan hukum bagi perempuan dan anakanak, khususnya dalam kaitannya dengan poligami yang dilakukan oleh suami.

Marriage referred to the Law No. 1 of 1974 regarding Marriage Law is a marriage that led to the formation of a family or household that is happy and eternal based on God that is in common language commonly called a family who sakinah, mawaddah and warahmah, full of peace and abundance of affection. In line with the Marriage Law, Islamic Law in principle follows the principle of monogamy. But Islam does not prohibit polygamy with special requirements as well as the restrictions on the number of wives. In practice it turns out there is still a violation of the implementation of polygamy.
In this study, a case that will be discussed is the marriage of a lawsuit over the first wife of her husband's second marriage, but a new lawsuit filed when the husband had died. In this paper the issues to be discussed whether the judge has the right considerations in deciding the lawsuit marriage and the legal consequences of the decision.
The method used is a method of research literature normative juridical, with the main data used secondary data obtained from the literature materials in the form of primary legal materials, secondary and tertiary.
The results of the analysis is that the judges in deciding cases less precise and careful because just look at the formal terms only and does not take into consideration other aspects, especially the material aspects of the marriage itself. The legal consequences of the verdict are against the child, property during the marriage and the third party.
The suggestions in this paper is that the judge the judges should look for and find the law that is sensitive to the needs of legal protection for women and children, particularly in relation to marriage by the husband.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Rizal Paripurnawan
Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.

Marriage Regulation Number 1 Year 1994 as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glorius Anggundoro
"Manusia diberikan karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat melanjutkan keturunan yaitu melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal pasangan suami isteri harus saling cinta mencintai, kasih mengasihi dan setia. Namun tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan bahagia dan kekal. Jika pasangan suami isteri dalam kehidupan perkawinannya sering terjadi pertengkaran dan tidak saling kasih mengasihi, maka pemutusan perkawinan dengan perceraian biasanya diambil sebagai jalan keluar untuk dapat mengakhiri perkawinan mereka. Perceraian diatur dalam KUH Perdata dan UU No. 1 tahun 1974. Tetapi bagaimana dengan pasangan suami isteri yang di larang untuk melakukan perceraian menurut hukum agamanya seperti contohnya dalam agama Katholik yang melarang perceraian secara mutlak dan dalam agama Kristen Protestan yang melarang perceraian kecuali berdasarkan alasan perzinahan, apakah ada alternatif lain untuk menggantikan perceraian tanpa harus melanggar hukum agamanya Metodelogi penelitian yang dipakai adalah metode studi dokumen dan wawancara. Alternatif itu ada, yaitu dengan lembaga perpisahan meja dan ranjang seperti yang diatur dalam KUH Perdata karena lembaga ini mempunyai akibat yang hampir sama dengan suatu perceraian, tetapi tanpa memutuskan hubungan pasangan suami isteri tersebut. Lembaga perpisahan meja dan ranjang yang tidak diatur lagi dalam UU No. 1 tahun 1974 apakah masih dapat digunakan oleh pasangan suami dilarang bercerai menurut hukum agamanya saat ini sehingga dapat mencegah/menunda terjadinya perceraian Jika masih apakah berpengaruh terhadap gugatan perceraian Jika tidak apakah ada kemungkinan diatur kembali dalam UU No. 1 tahun 1974 Lembaga perpisahan meja dan ranjang seperti dalam KUHPerdata tidak dapat dituntut lagi di pengadilan negeri karena tidak diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, tetapi perpisahan meja dan ranjang di bawah tangan masih dapat dilakukan, dan bahkan perpisahan meja dan ranjang di bawah tangan dipergunakan oleh hakim dalam pertimbangannya untuk memperkuat gugatan perceraian (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 315/Pdt.G/1999 tentang perceraian Raden Haryadi dengan Nyonya Endang Larasati), sehingga perlu diatur kembali dalam UU No. 1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Wulan Suci Siswanto
"Tulisan ini berfokus pada analisis mengenai pembatalan perkawinan karena salah sangka terhadap diri pasangan dalam Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn dengan mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 (UU Perkawinan). Adapun metode penulisan yang digunakan adalah doktrinal dengan studi kepustakaan. Salah sangka terhadap diri pasangan didefinisikan ahli hukum dan para hakim terdahulu sebagai suatu penipuan identitas yang disengaja mengenai dirinya karena tidak terdapat pengaturan mendetail yang mendefinisikan salah sangka di dalam UU Perkawinan. Selaras dengan hal tersebut, Putusan No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn mengandung pokok perkara mengenai salah sangka mengenai diri istri yang diajukan oleh Pemohon. Pemohon menilai bahwa terdapat kebohongan mengenai latar belakang profesi, pendidikan, domisili, serta sikap Termohon yang tidak sesuai dengan sangkaannya sebelum perkawinan. Hakim dalam perkara mengabulkan permohonan Pemohon selaku suami secara seluruhnya dengan mempertimbangkan adanya kebohongan mengenai identitas diri istri selaku Termohon. Penulis menilai bahwa No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn telah sesuai dengan UU Perkawinan, tetapi tidak menyetujui pertimbangan hakim yang menafsirkan sikap pemarah Termohon dan percekcokan setelahnya sebagai suatu salah sangka, karena tidak relevan dengan penipuan identitas yang dilakukan Termohon dan merupakan sebab akibat dengan hak nafkah Termohon yang tertahan. Dalam menghadapi kekosongan hukum terkait salah sangka, hakim juga tidak mengakomodasi hukum agama Kristen yang dianut Pemohon dan Termohon serta memberi pertimbangan yang kurang cermat yang tidak didasarkan pada pengaturan selain UU Perkawinan. Penulis menilai bahwa hakim kurang mencerminkan penguasaan hukum. Dibutuhkan pula pengaturan yang spesifik mengenai definisi dan kategorisasi salah sangka untuk menciptakan kepastian hukum.

This paper analyzes marriage annulment due to false presumption towards the spouse in District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn with reference to Law No. 1 of 1974 which was amended by Law No. 16 of 2019 (Marriage Law). The writing method used is doctrinal method with literature study. False presumptions as the basis of marriage annulment has been defined by legal experts and previous judges as deliberate identity fraud regarding oneself due to unavailable provisions in defining false presumptions in the Marriage Law. In accordance with this, District Court Decision No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn contains the subject of the case regarding false presumptions submitted by the husband as Petitioner. The Petitioner considered that there were lies regarding the Respondent's professional background, education, domicile, and attitude which did not match Petitioner presumptions before the marriage. The judge granted the Petitioner's petition in its entirety taking into account the lies regarding the wife's identity as the Respondent. The author considers that No. 700/Pdt.G/2020/PN.Mdn was in accordance with the Marriage Law, but disagree with the judge's consideration which interpreted the Respondent's temperament and subsequent quarrel as a false presumptions, owing to the fact that it was irrelevant to the identity fraud committed by the Respondent and was a causality of the Respondent's livelihood being withheld. In facing the legal vacuum related to false presumptions, the judge also did not accommodate the Christian religious law adhered to by the Petitioner along with Respondent and gave inaccurate considerations that were not based on regulations other than the Marriage Law. In addition, the author considers that judges do not reflect their mastery of the law. Specific regulations are also needed regarding the definition and categorizations of false presumptions to contribute and construct legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>