Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184951 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farah Primadani Kaurow
"Sinus maksilaris merupakan struktur kraniofasial yang dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin berdasarkan pengukuran morfometriknya dari gambaran CT-scan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya didapakan ukuran morfometrik berbeda-beda pada setiap populasi, karena dipengaruhi oleh faktor ras. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai diagnostik dari ukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi dan volume sinus maksilaris terhadap perkiraan jenis kelamin berdasarkan gambaran CT-Scan Maksilofasial pada suatu populasi dewasa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 420 sinus maksilaris yang didapatkan dari hasil randomisasi data CT-Scan Maksilofasial pada populasi usia 20-50 tahun di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Analisis bivariat menggunakan uji t tidak berpasangan dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian ini didapatkan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 3,90 ± 0,3 cm dan 3.74 ± 0,3 cm pada panjang; 3.42 ± 0,6 cm dan 3.32 ± 0.5 cm pada lebar; 4.29 ± 0,6 cm dan 3.78 ± 0,4 pada tinggi; dan 7.02 ± 1.8 cc dan 6.52 ± 1.3 cc pada volume. Berdasarkan ukuran panjang, lebar, dan tinggi, didapatkan rumus y = -10,760 + 1,319*(P) – 1,647*(L) + 2,796*(T); dengan nilai cut-off sebesar 0,0606 poin, yang memberikan nilai akurasi 79,2%. Berdasarkan ukuran volume didapatkan rumus y = -1,444 + 0,213*(Volume); dengan nilai cut-off sebesar 0,2845 poin, yang memberikan nilai akurasi 58,3%. Dari penelitian ini didapatkan pengukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan volume sinus maksilaris dari gambaran CT-Scan maksilofasial dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin.

Maxillary sinus is one of maxillofacial structure which can be used in sex estimation based on its morphometric measurement from CT image. Based on the previous studies, the morphometric of maxillary sinus were different in each population, because it was influenced by race. The aim of this study is to find diagnostic value from the morphometric of length, width, height and volume of maxillary sinus from maxillofacial CT image in Indonesian adult population to estimate sex. This study uses a cross-sectional design of 420 maxillary sinus obtained from randomized CT images data in population aged 20-50 years at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Bivariate analysis using independent T-test and multivariate analysis using logistic regression test. In this study, mean score for men and women is (3.90 ± 0.3) cm and (3.74 ± 0.3) cm on length; (3.42 ± 0.6) cm and (3.32 ± 0.5) cm on width; (4.29 ± 0.6) cm and (3.78 ± 0.4) on height; and (7.02 ± 1.8) cc and (6.52 ± 1.3) cc on volume, respectively. Based on length, width and height, estimation formula is y = -10.760 + 1.319*(L) – 1.647*(W) + 2.796*(H); with cut-off 0,0606 point, given accuracy score of 79,2%. Based on volume, estimation formula is y = -1.444 + 0.213*(volume); with cut-off point 0,2845 point, given accuracy score of 58,3%. The study showed that the morphometric measurement of maxillary sinus from CT image can be used to estimate sex."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Airin Que
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia.

Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin pada jenazah yang tercerai berai akan sulit apabila kondisi jenazah tidak utuh, tercerai berai, serta ketiadaan tulang tengkorak atau tulang panggul dalam penentuan jenis kelamin. Telah dilakukan beberapa penelitian di negara lain mengenai fungsi scapula dalam penentuan jenis kelamin, namun penelitian untuk populasi di negara Indonesia belum pernah dilakukan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara parameter pengukuran tulang skapula untuk proses identifikasi jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 43 orang laki-laki dan 43 orang perempuan (86 gambaran CT-Scan Toraks / 172 tulang scapula) yang menjalani pemeriksaan CT-Scan Toraks pada bulan September 2022 hingga Desember 2022. Data klinis mencakup usia dan jenis kelamin, sedangkan data radiologis mencakup 8 parameter morfometrik pada tulang scapula. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan dan regresi linear serta kurva AUROC. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Seluruh parameter morfometrik laki-laki lebih besar daripada perempuan dan seluruh parameter berhubungan bermakna terhadap penentuan jenis kelamin (p<0,05). Parameter ML (morphological length) merupakan parameter terbaik untuk menentukan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia. Kesimpulan: Scapula dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik dalam penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denys Putra Alim
"Latar Belakang: Pembuktian identitas jenazah harus secara ilmiah guna memenuhi tanggung jawab profesi dan keadilan hak asasi manusia karena diatur oleh UU Indonesia. Ada potensi tinggi dari tulang sternum untuk menjadi acuan baru identifikasi forensik.
Tujuan: Mengetahui peranan tulang dada dari gambaran CT-scan populasi dewasa untuk proses identifikasi forensik di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan terhadap 95 laki-laki dan 110 perempuan populasi Indonesia yang berusia antara 20-70 tahun dan menjalani pemeriksaan CT scan dada di Departemen Radiologi RSCM secara konsekutif. Data klinis mencakup usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan suku sedangkan data radiologis mencakup skor osifikasi sternum dan iga, morfometrik sternum, dan variasi anatomis xiphoid. Analisis data menggunakan IBM SPSS versi 20.0 dengan uji t tidak berpasangan, korelasi Pearson, dan regresi linear maupun logistik serta kurva AUROC untuk memprediksi luaran penelitian. Semua nilai p < 0,05 dianggap bermakna.
Hasil: Skor total osifikasi tulang dada berkorelasi kuat dengan usia (rs = 0,541) dengan persamaan prediksi usia secara umum = 20,417 + 4,927*LOS (osifikasi iga ujung sternal kiri) + 2,667*LOF (osifikasi iga pertama kiri) + 2,098*FX (fusi xiphisternal) (aR2 = 41,9%, SEE 9,95 tahun). Seluruh parameter morfometrik sternum berhubungan dengan jenis kelamin (p<0,05). Gabungan parameter panjang korpus, lebar sternebra 1, dan indeks sternum memiliki nilai prediksi jenis kelamin sebesar 87,3%. Terdapat korelasi panjang tulang dada dengan tinggi badan (r = 0,712) dengan persamaan tinggi badan = 97,422 + 0,466*CL (panjang sternum) (aR2 = 50,5%, SEE 5,84 cm). Tidak terdapat hubungan antara morfometrik sternum dengan daerah asal suku. Variasi anatomis sternum yang paling langka adalah ujung xiphoid trifid, terdapat suprasternal bones dan iga bifid.
Kesimpulan: Sternum dapat dijadikan acuan untuk identifikasi forensik untuk penentuan usia, jenis kelamin, dan tinggi badan.

Background: The process of personal identification must be conducted scientifically in order to fulfill the professional responsibility and human rights justice as regulated by the Indonesian Law. There is a high potential for the sternal bone to become a new reference in forensic identification.
Aim: To know the role of sternal bone from CT-scan images of adult population for the forensic identification process in Indonesia.
Method: This cross-sectional study was carried out on 95 males and 110 females of Indonesian population aged between 20-70 years who undergo a chest CT-scan in the Radiology Department of Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta consecutively. Clinical data include age, sex, stature, and tribes while radiological data include sternal and rib ossification scores, sternal mrophometrics, and xiphoid anatomical variations. Data were analysed using IBM SPSS version 20.0 with unpaired t-test, Pearson or Spearman correlation test, linear or logistic regression and AUROC to estimate age and height and also determine sex. All p values < 0.05 were considerd statistically significant.
Result: Total ossification score was positively correlated with age (rs = 0.541) with the regression formula for age estimation is 20.417 + 4.927*LOS (ribs ossification at left sternal end) + 2.667*LOF (left first rib ossification) + 2.098*FX (fusion of xiphisternal) which yielded aR2 of 41.9% and SEE 9.95 years. All sternal morphometrics parameters were related to sex determination (p < 0.05). The combination of parameters sternal body length, sternebrae 1 width, and sternal index has a correct gender prediction rate of 87.3%. There is a positive correlation between sternal length and height (r = 0.712) with the regression formula for stature estimation is 97.422 + 0.466*CL (combined sternal length) which yielded aR2 of 50.5% and SEE 5.84 cm. There is no relationship between sternal morphometrics and the origin of tribes. The rarest sternal anatomical variations are trifid xiphoid ends, suprasternal bones, dan bifid ribs.
Conclusion: The sternal bone can be used as a reference for forensic identification in estimating the age and height and also determining sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Pelangi Wulan
"Latar belakang: Identifikasi forensik dengan parameter sinus sfenoidalis dapat berguna pada bencana massal di mana tubuh korban tidak lengkap, namun di Indonesia belum terdapat data parameter sinus sfenoidalis dan hubungannya dengan dismorfisme seksual pada populasi dewasa.
Tujuan: Menilai peran parameter sinus sfenoidalis dengan pemeriksaan MSCT untuk penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa, dengan membandingkan diameter anteroposterior, laterolateral, kraniokaudal, dan volume sinus sfenoidalis antara laki- laki dan perempuan dewasa lalu menentukan titik potong dan akurasinya dalam menentukan jenis kelamin.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang perbandingan. Terdapat 140 subjek penelitian (70 laki-laki dan 70 perempuan) berusia 20–45 tahun yang menjalani MSCT kepala, sinus, nasofaring, dan wajah pada periode April–Juni 2023. Analisis bivariat dilakukan pada setiap parameter sinus sfenoidalis untuk menentukan hubungannya dengan jenis kelamin.
Hasil: Perbedaan rerata dari seluruh parameter bermakna secara signifikan (p=0,000) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan rerata laki-laki lebih besar dari perempuan. Titik potong untuk menentukan jenis kelamin laki-laki pada diameter anteroposterior adalah ≥2,94 cm (akurasi 67,9%), diameter laterolateral ≥3,595 cm (akurasi 62,9%), diameter kraniokaudal ≥2,235 cm (akurasi 73,6%), volume ≥12,265 cm3 (akurasi 69,3%). Kombinasi diameter anteroposterior dan kraniokaudal dapat memprediksi jenis kelamin laki-laki dengan probabilitas hingga 80,38%.
Kesimpulan: parameter sinus sfenoidalis dapat digunakan untuk menentukan luaran jenis kelamin.

Background: Forensic identification using sphenoidal sinus parameters can be helpful in mass disasters where the victim's body is incomplete. However, there is a lack of data regarding sphenoidal sinus parameters and their relationship with sexual dimorphism in the adult population in Indonesia.
Objective: To assess the role of sphenoidal sinus parameters in determining gender within the adult population using MSCT examination. This includes comparing the anteroposterior, laterolateral, craniocaudal diameters, and sphenoidal sinus volume between adult males and females. Additionally, it aims to establish cutoff points and accuracy in determining gender.
Method: A cross-sectional comparative design was employed in the study. The research involved 140 subjects (70 males and 70 females) aged 20–45 years who underwent head, sinus, nasopharynx, and facial MSCT scans between April and June 2023. Bivariate analysis was conducted for each sphenoidal sinus parameter to determine its association with gender.
Results: The mean differences in all parameters were significantly higher in males than in females (p=0.000). The cutoff points to determine male gender were as follows: anteroposterior diameter ≥2.94 cm (accuracy 67.9%), laterolateral diameter ≥3.595 cm (accuracy 62.9%), craniocaudal diameter ≥2.235 cm (accuracy 73.6%), and volume ≥12.265 cm3 (accuracy 69.3%). The combination of anteroposterior and craniocaudal diameters could predict male gender with a probability of up to 80.38%.
Conclusion: Sphenoidal sinus parameters can be utilized to determine gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Tatun
"Tujuan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran CT scan toraks kanker paru pasien yang merokok berdasarkan jenis sitologi / histologinya.
Metode. Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang atau cross sectional, menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan CT scan toraks. Sampel adalah pasien kanker paru yang merokok dan telah tegak diagnosis kanker paru secara sitologi/histopatologi serta memiliki hasil pemeriksaan CT scan toraks sebelum mendapatkan terapi.
Hasil dan diskusi. Kanker paru paling banyak ditemukan berbentuk massa, baik pada adenokarsinoma maupun KSS, sedemikian besar mengisi rongga toraks dengan lokasi terbanyak di daerah sentral paru paru sebelah kanan. Keterlibatan kelenjar getah bening N2, N3 dan efusi pleura paling banyak ditemukan namun tidak dapat dijelaskan keterkaitannya dengan jenis sitologi/histologi sel kanker.
Kesimpulan. Jumlah sampel tidak berimbang diantara adenokarsinoma dan KSS sehingga sulit mengetahui gambaran CT scan toraks kanker paru berdasarkan jenis sitologi/histologinya. Kanker paru yang paling banyak ditemukan pada pasien perokok berdasarkan index Brinkman dan sitologi / histologisnya adalah adenokarsinoma dengan gambaran radiologi berupa massa, lokasi di sentral paru paru sebelah kanan, keterlibatan kelenjar getah bening N2, N3 dan efusi pleura.

Aim. The study was conducted to describe CT scan of thorax lung cancer?s patients who smoke based on cytology / histology type.
Methode. Descriptive analytic research with cross sectional design, using secondary data from thorax CT scan. Sample are lung cancer patients who smoke, diagnosed as lung cancer based on cytology / histopathology and has a thoracic CT scan results before getting treatment.
Results and discussion. Lung cancer type most commonly found is mass, both in adenocarcinoma and SCC, filled the thoracic cavity with most commonly location in central area of the right lung. Involvement of lymph nodes N2, N3 and pleural effusion are most finding yet unexplained association with cytology / histology type. .
Conclusion. The number of samples are not balanced between adenocarcinoma and KSS so difficult to get an overview of thoracic CT scan for lung cancer based on cytology / histology type. Lung cancer most commonly found is adenocarcinoma which forming mass, central location in the right lung, involved N2, N3 lymph nodes and pleural effusion."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elia Soediatmoko
"Pemeriksaan CT scan kepala sudah menjadi pemeriksaan rutin untuk kasus sakit kepala. Namun informasi dosis radiasi pemeriksaan CT scan kepala belum banyak diketahui. Informasi akan dosis ini sangatlah penting karena adanya organ yang sensitif terhadap radiasi seperti kelenjar thyroid, kelenjar air ludah, lensa mata dan otak kepala. Untuk mengetahui estimasi nilai dosis di organ kepala tersebut digunakan software ImPACT CT patient Dosimetry Calculator yang mengunakan nilai nCTDIw yang diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan detektor bilik ionisasi pensil berukuran 100 mm dengan obyek phantom CTDI berukuran 160 mm sebagai salah satu faktor penghitungan. Dari 15 pasien diestimasi dosis ekivalen untuk dosis ekivalen thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, Kelenjar air ludah berkisar 0.66 mSv - 0.8 mSv, otak kepala 0.66 mSv -0.8 mSv, Sedang untuk lensa mata dinyatakan dalam dosis organ karena alasan deterministik kemungkinan terjadinya katarak pada lensa mata karena radiasi, yakni sebesar 75 mGy - 91 mGy, serta total dosis efektif 3 mSv - 3.7 mSv, pada parameter uji 120 kV 300 mAs. Besar nilai dosis dipengaruhi oleh mAs, panjang scan dan pitch, sehingga proteksi radiasi terhadap organ thyroid harus dilakukan.

Head CT scan has become a rutin procedure to rule out headache symptoms, but dose radiation influences is yet to be known . Information dose of head CT scan is very important because there are organ at risk such thyroid, saliva glands,brain and eye lens. Using nCTDIw values obtained from the measurement of 100 mm pencil ionization chamber on 16 cm CTDI phantom, combined with 15 patient data obtained from DICOM data patient, and estimated dose using imPACT CT patient dose calculator, estimated equivalent dose are, for thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, saliva glands 0.66 mSv - 0.8 mSv, brain 0.66 mSv-0.8 mSv and the eye lens are mention in organ dose because of deterministic reason of cataract formation rather than for effective dose calculation are 75 mGy - 91 mGy and estimated total dose effective are 3 mSv - 3.71 mSv at 120 kV 300mAs. The dose value is influenced by mAs, lenght of scan and pitch, for futher attention of radiation protection for thyroid gland area must be done."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S947
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Triatmanto
"Obesitas merupakan pandemi yang prevalensinya semakin meningkat termasuk di Indonesia, yang komplikasinya dapat diccegah dengan penatalaksanaan dini. Obesitas sentral ditemukan pada penelitian sebelumnya dengan nilai luas penampang VAT ≥ 100 cm2. Saat ini di Indonesia belum ada yang meneliti mengenai luas penampang lemak viseral pada populasi perempuan usia 18-50 tahun untuk mengetahui komposisi lemak tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara parameter antropometri dengan luas penampang lemak viseral (VAT) pada perempuan berusia 18-50 tahun. Dilakukan  studi cross sectional pada subjek yang CT-scan regio abdomen di departemen radiologi RSCM dan kemudian dilakukan pengukuran parameter antropometri yang mencakup lingkar pinggang (WC), rasio lingkar pinggang-tinggi badan (WtHR), dan indeks massa tubuh (IMT). Analisis korelasi, analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada paremeter antropometri tersebut untuk mendapatkan formula yang dapat memprediksi komposisi lemak viseral tubuh. Ditemukan 51,9% subjek memiliki status gizi overweight dan obesitas, dan ditemukan 28,8% subjek memiliki luas penampang VAT ≥ 100 cm2. WC, WtHR, dan IMT memiliki korelasi positif kuat terhadap nilai luas penampang VAT dengan nilai p <0,0001 dan nilai R masing-masing 0,770, 0,770, dan 0,797. Ditemukan titik potong untuk nilai luas penampang VAT = 100cm2 untuk WC=83,1 cm (sensitivitas,spesifisitas: 93,3%,83,3%), WtHR= 0,5376 (86,7%, 81,1%), dan IMT = 24,1203 (86,7, 81,1%). Sebagai simpulan, terdapat korelasi positif kuat antara WC, WtHR, dan IMT terhadap luas penampang VAT. Ditemukan titik potong untuk nilai VAT = 100cm2 untuk masing-masing parameter antropometri yang dapat memprediksi terjadinya obesitas sentral.

Obesity has become pandemic and it’s prevalence has been increasing each years, including in Indonesia, and the complication can be prevented with early intervention. Central obesity has been measured based on previous studies with VAT surface area ≥ 100 cm2. At the moment in Indonesia there are no studies regarding VAT surface area in 18-50 years old women. This study aims to identify the correlation of antropometric profile to Visceral Adipose Tissue surface area in 18-50 years old women. A cross-sectional study was conducted on subjects who had a CT scan of the abdominal region at the RSCM radiology department and then anthropometric parameters were measured including waist circumference (WC), waist circumference-height ratio (WtHR), and body mass index (BMI). Correlation analysis, bivariate and multivariate analysis were carried out on these anthropometric parameters to obtain a formula that can predict the body's visceral fat composition. It was found that 51.9% of subjects had overweight and obesity nutritional status, and it was found that 28.8% of subjects had a VAT cross-sectional area ≥ 100 cm2. WC, WtHR, and IMT have a strong positive correlation with the VAT cross-sectional area value with a p value <0.0001 and an R value of 0.770, 0.770, and 0.797, respectively. The cut point was found for the cross-sectional area value VAT = 100cm2 for WC = 83.1 cm (sensitivity, specificity: 93.3%, 83.3%), WtHR = 0.5376 (86.7%, 81.1%), and BMI = 24.1203 (86.7, 81.1%). In conclusion, there is a strong positive correlation between WC, WtHR, and BMI on VAT cross-sectional area. A cut point was found for the VAT value = 100cm2 for each anthropometric parameter which can predict the occurrence of central obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian
"CT scan dapat memberikan penderajatan (staging) dari suatu keganasan di sinus secara lebih baik. CT akan memperlihatkan dengan jelas batas-batas invasi tumor ke orbita dan retroorbita, lamina kribrosa, atap etmoid, planum sfenoid dan dapat
dipakai sebagai modalitas untuk menilai basis kranii dan perluasan ke intrakranial 7. Demikian jugs terhadap tumor-tumor ganas yang dilakukan pengobatan dengan radioterapi 8,9,10. Oleh sebab itu CT scan merupakan sumber informasi penting
bagi ahli bedah, dan menjadi suatu pemeriksaan yang dominan untuk penilaian pra dan pasca bedah.
Di Bagian THT FKUI/ RSCM Jakarta, CT scan telah cukup lama dipakai sebagai alat penunjang diagnostik tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Berdasarkan-hal tersebut di atas, dan ditunjang dengan cukup banyaknya materi yang dapat diteliti, membuat penulis tertarik untuk mengemukakan peranan CT scan dalam menunjang
diagnosis dan penatalaksanaan terhadap tumor ganas hidung dan sinus paranasal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT.
Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan.

Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification.
Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification.
Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT.
Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different.
Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofwatul Nafi’ah
"Latar Belakang: Hubungan kedekatan antara sinus maksilaris dan gigi posterior rahang atas sering menjadi tantangan dalam kedokteran gigi karena dapat menyebabkan komplikasi. Evaluasi posisi akar gigi posterior rahang atas sinus maksilaris dapat dinilai melalui radiograf panoramik.
Tujuan: Mengetahui posisi akar gigi posterior terhadap sinus maksilaris menurut jenis kelamin dan kelompok usia pada radiograf panoramik.
Metode: Penelitian ini menggunakan 192 radiograf panoramik digital laki-laki dan perempuan berusia 20-70 tahun di RSKGM FKG UI. Posisi akar gigi posterior rahang atas terhadap sinus maksilaris dievaluasi berdasarkan klasifikasi oleh Ok et al, yang mengkategorikan menjadi 3 tipe. Tipe 1 adalah ketika akar menonjol atau overlap dengan rongga sinus. Tipe 2 adalah ketika akar berkontak dengan dasar sinus. Tipe 3 adalah ketika akar tidak berkontak atau memanjang di bawah dasar sinus.
Hasil: Berdasarkan jenis kelamin, tipe 1 didominasi oleh laki-laki, sedangkan tipe 2 dan tipe 3 didominasi oleh perempuan. Berdasarkan kelompok usia, tipe 1 didominasi oleh kelompok usia >39 tahun, sedangkan tipe 2 dan tipe 3 didominasi oleh kelompok usia 20-39 tahun.
Kesimpulan: Posisi akar gigi posterior rahang atas terhadap sinus maksilaris pada kelompok laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan bermakna secara statistik, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok usia 20-39 tahun dan >39 tahun.

Background: The close relationship between the maxillary sinus and posterior maxillary teeth is often a challenge in dentistry because it can cause complications. Evaluation of the root position of the maxillary posterior maxillary sinus can be assessed using a panoramic radiograph.
Objective: To determine the position of the roots of the posterior teeth to the maxillary sinus according to gender and age group on a panoramic radiograph.
Methods: This study used 192 digital panoramic radiographs of men and women aged 20-70 at RSKGM FKG UI. Subjects were divided into two categories: 20-39 years old and >39 years old. The position of the posterior maxillary teeth to the maxillary sinus was evaluated based on the classification by Ok et al., which categorizes it into 3 types. Type 1 is when the root protrudes or overlaps with the sinus cavity. Type 2 is when the root is in contact with the sinus floor. Type 3 is when the root is not in contact or extends below the sinus floor.
Results: Based on gender, type 1 was dominated by men, while type 2 and type 3 were dominated by women. Based on age group, type 1 is dominated by the age group >39 years, while type 2 and type 3 are dominated by the age group 20-39 years.
Conclusion: The position of the roots of the posterior maxillary teeth to the maxillary sinus in the male and female groups was statistically significant, but there was no significant difference in the 20-39 years and >39 years age groups.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>