Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saptuti Chunaeni
"

 

ABSTRAK

 

Nama                        : Saptuti Chunaeni

Program Studi             : Program Doktor Ilmu Biomedik

Judul Disertasi             : Upaya Meningkatan Stabilitas Faktor VIII melalui

  Liofilisasi Produk Minipool Cryoprecipitate

  untuk Tatalaksana Penderita Hemofilia A di Indonesia.

Latar Belakang: Penderita Hemofilia di Indonesia sekitar 2.000 orang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Jabodetabek, 403 anak penderita hemofilia, 86% hemofilia A dan 54% diantaranya hemofilia A berat. Konsentrat F VIII digunakan untuk terapi sulih Hemofilia A, mahal, harus impor dan tidak selalu tersedia. Kriopresipitat sebagai terapi sulih alternatif, kandungan F VIII sedikit dan pemberiannya untuk segolongan darah. MC cair dari Mesir, dapat meningkatkan kandungan dan keamanan F VIII. Bentuknya cair dan suhu penyimpanan minus 30°C, sehingga perlu ditingkatkan stabilitasnya dengan liofilisasi menjadi MC kering.

Tujuan:Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas dan keamanan MC kering lebih besar atau sama dengan MC cair.

Metode:Liofilisasi MC cair menjadi MC kering dilakukan agar lebih stabil dan dapat disimpan di suhu dingin (2-6°C) dan suhu ruang ( > 25°C). MC kering, ada yang ditambah eksipien (KE+) dan tanpa eksipien (KE-). Dilakukan uji banding stabilitas MC cair dan MC kering pada hari ke 0, 7, 30 dan 240, meliputi pemeriksaan kandungan F VIII, pH, osmolalitas dan kelarutan. Pemeriksaan keamanan MC cair menggunakan flowcytometri dan MC kering dengan hemaglutinasi dan kontaminasi bakteri.  

Hasil:MC Kering tanpa Eksipien (KE-) pada waktu penyimpanan 30 hari (T30) lebih tinggi F VIII-nya dibandingkan MC Kering dengan Eksipien (KE+) dan MC Cair. Namun pada waktu penyimpanan 240 hari (T240) penurunan F VIII pada KE- lebih banyak daripada KE+. Keamanan dengan memeriksa kontaminasi bakteri dan hemaglutinin pada MC kering sama dengan MC cair. 

Kesimpulan:MC kering tanpa eksipen yang disimpan pada suhu dingin dan suhu kamar, stabilitas kandungan F VIII sangat baik pada hari ke 30. Penambahan eksipien yang terlalu banyak, dapat menghancurkan protein yang terkandung di dalamnya. Keamanan MC kering sama dengan MC cair.

Kata kunci: F VIII, Hemofilia A, MC kering, Stabilitas.


ABSTRACT

 

Name                           : Saptuti Chunaeni

Programme of study   :Doctoral Program in Biomedical Science

Title                             :To Improve Stability of Factor VIII with Minipool

 Cryoprecipitate Lyophilized for Hemofilia a Treatment in

 Indonesia

 

 

Background:  There are about 2.000 hemophilia patients in Indonesia. Nowadays in

Jabodetabek alone, there are 403 children hemophilia mostly of 86% hemophilia A and 54% among them are of severe type.

Use of F VIII concetrate as a standard replacement therapy of hemophilia A, is expensive, needs to be imported from overseas and it is not always available. Cryoprecipitate as an alternative replacement therapy contains only a small yield F VIII and is only available for same blood group patients. Liquid minipool cryoprecipitate (MC) from Egypt can increase the F VIII content and safety. The MC, however is liquid and must be stored at – 30oC. Considering this, there is a need to improve the stability of F VIII by lyophilization procedure.

The aim of present study was to determine whether the stability and safety of dry MC was greater or equal to liquid MC.

Materials and Methods:Liquid of MC was lyophilized and was added excipients (KE+) or without excipient (KE-). Liyophilization is carried out to be more stable and can be stored at cold temperatures and room temperature. Tests on the stability on certain days (0, 7, 30 and 240.) including examination of F VIII content, pH, osmolality and solubility. Safety checks using flowcytometry and hemagglutination and bacterial contamination.

Results: Dry MC at T30 was higher in F VIII. At storage T240 the decrease in F VIII at KE- was more than KE +. The safety of a dry MC is the same as a liquid MC.

Conclusion: F VIII at KE- is better on T30. Adding excipients can destroy protein. The safety is the same.

Keywords:  F VIII, Hemophilia A, Lyophilized MC, Stability.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Grace Natalia Adriana
"ABSTRAK
Latar belakang. Proses timbulnya inhibitor bersifat multifaktorial baik genetik maupun lingkungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui faktor risiko terbentuknya inhibitor namun masih terdapat kontroversial pendapat. Tidak seperti di negara maju, di Indonesia skrining inhibitor tidak rutin dilakukan karena keterbatasan biaya dan alat sehingga diperlukan suatu penelitian yang dapat dijadikan acuan pemeriksaan inhibitor selektif.
Tujuan. Mengetahui prevalens, karakteristik klinis dan faktor risiko timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A di departemen IKA- RSCM.
Metode. Uji potong lintang dilakukan pada anak usia ≤18 tahun dengan perdarahan akut di pusat hemofilia terpadu IKA-RSCM. Pada subjek dilakukan pengambilan darah vena dan dilakukan pemeriksaan inhibitor menggunakan metode Bethesda assay. Orangtua diminta mengisi kuesioner mengenai usia saat pertama kali didiagnosis hemofilia, mendapat terapi faktor VIII, jenis terapi pengganti, derajat hemofilia, jenis perdarahan, dan suku bangsa ibu penderita. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Fisher. Analisis multivariat tidak dilakukan karena tidak memenuhi syarat.
Hasil penelitian. Dari 40 subjek penelitian, didapatkan prevalens inhibitor sebanyak 37,5% (15/40) dengan inhibitor high responder sebanyak 3/15 dan low responder 12/15. Median (rentang) usia subjek penelitian adalah 10 (1,5-18) tahun. Median usia saat diagnosis hemofilia pertama kali ditegakkan dan saat pertama kali mendapat terapi faktor VIII pada inhibitor positif adalah 8 dan 9 bulan. Hampir seluruh subjek (39/40) mendapat terapi konsentrat plasma, 11/15 subjek dengan inhibitor positif mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun, 14/15 subjek merupakan hemofilia berat dan sebagian besar (12/15) mendapat manifestasi perdarahan sendi. Suku bangsa ibu Jawa lebih sering ditemukan pada inhibitor positif (8/15). Tidak ditemukan hasil yang bermakna secara statistik antara faktor risiko dengan timbulnya inhibitor.
Simpulan. Prevalens inhibitor pada penelitian ini sebesar 37,5%. Inhibitor positif lebih sering ditemukan pada penderita hemofilia berat yang mendapat terapi pertama kali sebelum berusia 1 tahun. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan faktor risiko bermakna untuk timbulnya inhibitor pada anak dengan hemofilia A.

ABSTRACT
Background. Several factors may influence inhibitor incidence including genetics and environment. Several studies have been conducted to determine the risk factors for inhibitor formation but there is still a controversial opinion. Unlike in developed countries, in Indonesia inhibitor screening is not routinely performed due to limited funds thus required a research that can be used as reference checks selective inhibitors.
Objective. To find out the prevalence, clinical characteristics and risk factors of factor VIII inhibitor in children with hemophilia A in Child Health Department- Cipto Mangunkusumo Hospital
Methods. A cross sectional descriptive study conducted in children aged ≤ 18 years old with acute bleeding at the National Hemophilia Care Center, Cipto Mangukusumo Hospital. All the subjects performed venous blood sampling and the examination of inhibitor using the Bethesda assay. Parents were asked to fill out questionnaires on age at first diagnosis of hemophilia, treated with factor VIII replacement therapy type, degree of hemophilia, types of bleeding, and the patient's mother tribes. Bivariate analysis performed by Fisher's test. Multivariate analysis was not performed because it does not qualify.
Results. Out of 40 children study, showed prevalence inhibitor 37.5% (15/40) with a high responder inhibitor 3/15 and low responders 12/15. Median (range) age of subjects was 10 (1.5 to 18) years. The median age at diagnosis of hemophilia was first established and the first time the subjects get a factor VIII inhibitor therapy positive was 8 and 9 months. Almost all subjects (39/40) treated with plasma concentrates, 11/15 subjects with a positive inhibitor therapy gets first time before age 1 year, 14/15 subjects is severe hemophilia and most (12/15) of them had joint bleeding manifestations. Java native tribes more often found in the positive inhibitor (8/15). No results found a statistically significant association between the risk factors with the onset of inhibitor.
Conclusion. The prevalence of inhibitors in this study was 37.5%. Positive inhibitors was more frequent in patients with severe hemophilia who received therapy for the first time before the age of 1 year old. This study failed to prove significant risk factor for the onset of inhibitors in children with hemophilia A."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jupriah
"ABSTRAK
Latar belakang. Cryoprecipitate digunakan sebagai terapi pengganti pada pasien Hemofilia A. Untuk meningkatkan kandungan F VIII dan proses inaktivasi patogen dilakukan mini pooled cryoprecipitate S/D-F. Telah diketahui bahwa kadar vWF dan aktivitas F VIII dalam golongan darah O lebih rendah dari Non O. Tujuan utama penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah kadar vWF dan aktivitas F VIII dalam mini pooled cryoprecipitate S/D-F dari golongan darah O lebih rendah dari Non O.
Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 14 kantong mini pooled cryoprecipitate S/D-F, 7 kantong golongan darah O dan 7 kantong Non O. Sampel berasal dari UDD PMI DKI Jakarta. Pembuatan mini pooled cryoprecipitate S/D-F di UTD Pusat dan pemeriksaan kadar vWF dan aktivitas FVIII di laboratorium Patologi Klinik RSCM. Pemeriksaan vWF dengan alat Mini Vidas (Vidas vWF bioMerieux) dan pemeriksaan FVIII dengan alat Sysmex CA ? 560.
Hasil. Hasil penelitian pada mini pooled cryoprecipitate S/D-F didapatkan kadar vWF dalam mini pooled cryoprecipitate S/D-F pada golongan O rerata 238,6 IU/kantong dengan SD 145,92 IU/kantong, pada Non O rerata 408,68 IU/kantong dengan SD 261,08 IU/kantong. Aktivitas FVIII pada golongan darah O rerata 179,86 IU/kantong dengan SD 68,65 IU/kantong, pada Non O rerata 258,1 IU/kantong dengan SD 106,70 IU/kantong. Secara statistik terbukti bahwa kadar vWF dan aktivitas F VIII dalam mini pooled cryoprecipitate S/D-F pada golongan darah O lebih rendah dari darah Non O.
Simpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar vWF dan aktivitas F VIII dalam mini pooled cryoprecipitate S/D-F pada golongan darah O lebih rendah dari Non O.

ABSTRACT
Background. Cryoprecipitate is used as replacement therapy in patients with hemophilia A. In order to improve the content of factor VIII and pathogen inactivation process has been developed mini pooled cryoprecipitate S/D-F. It is known that vWF levels in blood type O is lower than blood type Non O. Therefore the main objective of this study was to find out whether vWF and F VIII in mini pooled cryoprecipitate S/D-F derived from blood type O is lower than non-O blood type.
Methodology. This study used a cross-sectional design of the 14 mini pooled cryoprecipitate S/D-F bag consists of seven bags of blood type O and 7 bags of blood type Non O. Blood samples derived from UDD PMI Jakarta. Manufacture mini pooled cryoprecipitate held at UTD Center and examination of vWF and factor VIII has done at the laboratory of Clinical Pathology RSCM. Examination by means of the Mini Vidas vWF (vWF Vidas bioMerieux) and F VIII examination by means of Sysmex CA - 560.
Results.The results of this research on mini pooled cryoprecipitate S/D-F obtained at the level of vWF in cryoprecipitate mini pooled S/D-F in type O average of 238.6 IU / bag with SD 145.92 IU / bag, in type Non O averages 408.68 IU / bag with SD 261.08 IU / bag. Activity of factor VIII in the blood type O average of 179.86 IU / bag with SD 68.65 IU / bag, in the type of Non O averages 258.1 IU / bag with SD 106.70 IU / bag. On statistically proven that the levels of vWF and factor VIII activity in the S/D-F cryoprecipitate mini pooled blood type O is lower than Non O blood type.
Conclusions. This study shows that vWF levels and the activity of factor VIII in the mini pooled cryoprecipitate S/D-F on blood type O is lower than non-O blood type.
"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Harapan Kita, [1995]
915.98 IND
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Haemophilia is a congenital haemorrhagic disorders passed down by the x linked rescessive, divided into two: Haemophilia A caused by deficiency of factor VIII and Haemophilia B caused by deficiency of factor IX. Since spontaneous bleeding or bleeding after dental treatment can cause severe or even fatal complication, people with haemophilia or congenital bleeding tendencies are priority group for dental and oral preventive health care. Maintenance of a healthy mouth and prevention of dental problem is thus of great importance not only for quality of life and nutrition but also to avoid complications of surgery."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Meilany Azzahra
"Latar Belakang: Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program Tahun 2019, penyakit hemofilia menghabiskan biaya Rp. 405,670,839,460 dengan 70,999 kasus. Pada tahun 2022, terjadi peningkatan kasus menjadi 116,767 kasus dengan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan sebanyak Rp. 650 milyar untuk membayar pelayanan kesehatan Peserta JKN pada penyakit hemofilia. Tujuan: Mengetahui biaya dan faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit hemofilia di FKRTL dalam satu tahun (12 bulan). Metode: Desain studi cross-sectional dengan analisis univariat dan bivariat, Hasil: BPJS Kesehatan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 452,466,055,817 (452 Milyar) untuk membayar klaim 143 peserta aktif dalam satu tahun (12 bulan) Tahun 2019- 2020. Faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya layanan JKN untuk penyakit hemofilia Tahun 2019-2020 yaitu Jenis Kelamin, Usia, Hubungan Keluarga, Kelas Hak Rawat, Segmentasi Peserta, Wilayah Kepesertaan, Kunjungan RJTL, Kunjungan RITL, Status Kepemilikan Fasilitas Kesehatan. Kesimpulan: RJTL menyerap dari total biaya penyakit hemofilia yaitu Rp814.260.386.772 (90%).

Background: Based on the 2019 Program Management Report. Hemophilia costs Rp. 405,670,839,460 with 70,999 cases. In 2022, there are an increase in cases to 116,767 cases with claim costs of Rp. 650 billion spent by BPJS Health to pay for health services for JKN participants for hemophilia.Objective: To find out the costs and factors associated with hemophilia at FKRTL in one year (12 months). Method: Cross- sectional study design with univariate and biavariate analysis. Results: BPJS Health spends a budget of Rp. 452,466,055,817 (452 billion) to pay the claims of 143 active participants in one year (12 months) 2019-2020. Factors related to the cost of JKN services for hemophilia in 2019-2020 are Gender, Age, Family Relations, Treatment Rights Class, Participant Segmentation, Participants Area, RJTL Visits, RITL Visits, Health Facility Ownership Status. Conclusion: RJTL absorbs the total cost of hemophilia, namely Rp814.260.386.772 (90%).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementrian Penerangan, [date of publication not identified]
R 992 IND r VIII (2)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002
915.98 IND
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Djajadiman Gatot
"ABSTRAK
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, pemakaian alat-alat kedokteran yang tercemar, pemakaian komponen darah yang telah terpapar HIV ataupun secara transplasental dari ibu yang terinfeksi HIV.
Pada anak, umumnya infeksi ini terjadi melalui transfusi komponen darah, terutama mereka yang secara terus menerus memerlukannya karena menderita penyakit tertentu seperti hemofilia atau thalassemia.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui proporsi infeksi HIV pada anak yang telah menerima transfusi komponen darah berulang, khususnya penderita hemofilia dan thalassemia.
Selama periode satu tahun (Sept 92- Sept 93) telah diteliti serum dari 40 penderita hemofilia dan 40 penderita thalassemia mayor, terhadap infeksi HIV dengan metoda ELISA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun dari para penderita tersebut yang telah terpapar HIV.

ABSTRACT
Human immunodeficiency virus infection can occur via direct bloodstream inoculation from blood or blood products or infected needles, through sexual contact and transplacentally from an infected mother.
In children, the major mode of transmission of HIV is from transfusion of blood or blood products, especially those who require repeated and regular transfusion because of their specific illness.
The purpose of this study is to investigate the proportion of HIV infection in children with hemophilia and thalassemia who had received repeated blood or blood product transfusions.
During a period of 12 months (Sept. 92 - Sept. 93) sera from 40 children with hemophilia and 40 children with thalassemia were tested against HIV infection using ELISA method.
Result of this study showing no HIV infection could be detected in all children."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"ABSTRAK
Darah adalah jaringan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan. Hampir seluruh tubuh manusia dialiri oleh darah melalui pembuluh darah. Kehilangan darah dalam jumlah yang cukup banyak dapat membahayakan jiwa seseorang. Kehilangan darah dapat dipicu bila terjadi luka pada tubuh seseorang. Untuk mencegah kehilangan darah dalam jumlah banyak, tubuh memiliki faktor pembeku darah yang membantu dalam proses pembekuan darah. Kekurangan faktor pembeku darah dalam tubuh dapat mengakibatkan penderitanya mengalami perdarahan terus menerus. Kelainan darah seperti ini dikenal dengan hemofilia. Hemofilia adalah salah satu penyakit genetik yang sering di temui di Indonesia, selain thalassemia dan sindroma down (Femina, No.35/XXX, 2002). Satu-satunya pengobatan yang dapat dijalani penderita hemofilia adalah dengan melakukan transfusi plasma (darah) seumur hidup.
Penderita hemofilia sebagian besar adalah laki-laki. Berbagai aktivitas fisik yang berat dan memicu terjadinya perdarahan sebaiknya dihindari oleh penderita hemofilia. Penyakit hemofilia ini membuat penderitanya merasa dibatasi aktivitas fisiknya. Keterbatasan fisik ini dapat menimbulkan stres pada penderitanya. Selain itu menurut Kelley (1999) di masyarakat terdapat anggapan bahwa penderita adalah seseorang yang rapuh. Sedangkan menurut Parsons (dalam Sarwono, 1997) pada umumnya kepribadian yang diharapkan dari laki-laki berdasarkan norma baku yang berlaku dimana pun adalah dominan, mandiri, kompetitif, dan asertif. Didukung oleh penelitian Lerner, Orlos, dan Knapp (dalam Atwater, 1983) yang menyebutkan bahwa pria lebih cenderung menekankan kompetensi fisik atau apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka agar dapat memberikan dampak yang bermakna bagi lingkungan. Anggapan masyarakat dan keterbatasan fisik yang dimiliki ini tentunya dapat mengganggu perasaan penderita hemofilia.
Selain masalah keterbatasan fisik, masalah lain yang mungkin mengganggu penderita hemofilia adalah pengobatan yang harus dijalaninya seumur hidup. Selain itu berbagai masalah juga akan muncul seperti memenuhi tuntutan tugas perkembangan dewasa muda, seperti mandiri, mencari keija, dan menikah serta membentuk keluarga. Berbagai masalah yang dihadapi penderita hemofllia, terutama penderita hemofilia usia dewasa dapat menimbulkan tekanan bagi mereka. Bila tekanan tersebut melebihi kemampuan yang dimiliki individu, maka menurut Lazarus (1976) individu tersebut dapat mengalami stres. Salah satu usaha coping stres yang dapat dilakukan adalah mencari dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat berbentuk dukungan emosional, harga diri, instrumental, informasi, dan dukungan jaringan. Dukungan sosial dapat diterima seseorang dari keluarga, teman dekat, tenaga profesional, maupun dari organisasi dimana individu itu tergabung. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran stres, coping, dan dukungan sosial pada penderita hemofilia dalam menghadapi penyakit hemofilia yang diderita seumur hidup ini.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah reaksi awal ketika ketiga penderita didiagnosis memiliki penyakit hemofilia adalah menerima. Masalahmasalah yang dihadapi ketiga penderita adalah masalah biaya, pekerjaan, dan berkeluarga. Ketika responden mengatasi masalah-masalah tersebut secara berbeda-beda, tergantung pada sumber daya yang dimilikinya. Ada responden yang mengatasinya dengan strategi problem-focused coping atau dengan emotion focused coping. Ketiga responden mengatasi masalah biaya dengan strategi problem focused coping. Masalah pekeijaan oleh responden NO dan AF diatasi dengan strategi problem focused coping. Sedangkan responden AG mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Untuk masalah berkeluarga ketiga responden mengatasinya dengan strategi emotion focused coping. Bentuk dukungan yang diharapkan oleh penderita hemofilia adalah dukungan instrumental, harga diri, dukungan informasi dan emosional. Dukungan tersebut diharapkan diterima dari keluarga, teman, tenaga medis dan pemerintah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3204
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>