Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205215 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadhlan Zamzami Sitio
"Hak atas Kesehatan right to health merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar dari setiap individu dan tidak dapat dihilangkan. Setelah diamandemen, Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa; “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Kemudian, pasal 98 Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas sediaan farmasi dan alat kesehatan yang aman, bermanfaat, bermutu dan terjangkau. Meski begitu, hingga saat ini pemerintah masih mengenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan impor, padahal 91,7 persen kebutuhan alat kesehatan dalam negeri dipasok oleh barang impor. Tentu saja, pengenaan bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut akan berimbas pada bertambahnya biaya pengadaan alat kesehatan. Penelitian ini ingin menganalisis korelasi antara pengenaan tarif bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut dengan prinsip pemenuhan hak dasar kesehatan yang diamanatkan peraturan perundang–undangan, sehingga penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian dilakukan dengan batasan penggunaan data sekunder dan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Berdasarkan studi yang dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa pengenaan bea masuk dan pajak impor terhadap alat kesehatan tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, bahwa sediaan alat kesehatan harus bermutu dan terjangkau. Oleh karena itu, penelitian ini menyarakan agar pemerintah berkenan meninjau ulang pengaturan tarif bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan demi pemenuhan akses kesehatan untuk setiap orang.
The right to health is one of the human rights listed in the Universal Declaration of Human Rights as a basic right of every individual and is non-derogable. Post-amendment, Article 34 paragraph (3) of the 1945 Constitution mandates; "The state is responsible for the provision of adequate health care facilities and public services." Additionally, article 98 of the Health Act confirms that the Government is responsible for the supply of pharmaceutical and medical devices that are safe, beneficial, qualified, and affordable. However, to this day the government still imposes import duties and taxes (PDRI) for imported medical devices, even though 91.7 percent of domestic medical device demands are supplied by imported goods. Naturally, the imposition of import duties and PDRI for medical devices will impact in increasing the costs of procurement of medical devices. This study aims to analyze the correlation between the imposition of import duty tariffs as well as the PDRI of medical devices and the principle of fulfilling the basic health rights mandated by laws and regulations. Therefore, this research was conducted in a juridical-normative approach. This study was conducted within the limitation of secondary data. Tools of data collection were in the form of document studies and interviews. Based on the conducted study, the researcher concluded that the imposition of import duties and taxes on medical devices is not in line with the principles mandated by law, specifically in the aspect of qualified and affordable medical device supply. Therefore, this study suggests that the government should consider reassessing the regulation of import duty and tax rates of imports (PDRI) for medical devices in order to fulfill access to health for everyone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ryanindityo
"Penelitian ini memfokuskan kepada kebijakan Australia yang dikenal dengan istilah Operation Sovereign Borders, terutama mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Australia memberlakukan Operation Sovereign Borders dan hak-hak yang dilanggar di dalam melaksanakan Operation Sovereign Borders tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi dan menjadi negara pihak dalam Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokolnya Tahun 1967, serta ICCPR, maka seharusnya pelaksanaan Operation Sovereign Borders yang dijalankan oleh Pemerintah Australia tetap tunduk pada kewajiban-kewajiban internasional terkait pencari suaka dan pengungsi yang datang ke negaranya dan tidak melanggar hak-hak mereka.

This research focuses on Australia's policy known as The Operation Sovereign Borders. In particular, it emphasizes on the sources of changes (factors) that causes Australia to establish The Operation Sovereign Borders and the human rights that are breached from the implementation of The Operation Sovereign Borders. This is a qualitative-descriptive research design. The results of this thesis suggest that as a country that has ratified and become a state party of The United Nations Convention and Protocol Relating to The Status of Refugees in The Year 1951 and 1967, and The ICCPR, The Operation Sovereign Borders that is carried out by the Australian Government should be align with its international obligation regarding asylum seekers and refugees entering its territory and does not breach its human rights obligation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Susila Anggawijaya
"Penelitian ini tentang pengaruh pembebasan dan/atau pengembalian bea masuk, serta pajak dalam rangka impor tidak dipungut terhadap nilai ekspor dalam skema fasilitas KITE. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui serta menganalisa pengaruh pemberian fasilitas KITE yaitu bea masuk yang dipungut, bagi peningkatan nilai ekspor yang dihasilkan perusahaan pengguna fasilitas KITE pada kantor wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta (Kanwil DJBC Jakarta). Selain itu, untuk mengetahui pengaruh nilai tikar riil Yen terhadap rupiah serta produk domestik bruto (Gross Domestic Product) Jepang, sebagai negara tujuan utama ekspor Indonesia, terhadap nilai ekspor yang dihasilkan perusahaan pengguna fasilitas KITE pada Kanwil DJBC Jakarta.

This research outlines the influence of the exemption and/or restitution of import duties and the exempted import related tax toward the export value within the KITE facility scheme. The objective of this research is to understand and to analyze the impact of awarding KITE facility which is the exemption and/or restitution of import duties and the exempted import related tax to increase of the export value."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T27688
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meirina Fajarwati
"ABSTRAK
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini membuat pemerintah mengambil langkah untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No 17 tahun 2016 yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur hukuman pidana kebiri kimia yang diberikan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Berdasarkan uraian diatas penulis akan menganalisis mengenai politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan bagaimanakah pengaturan mengenai sanksi kebiri kimia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 ditinjau dari perspektif HAM. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa; Pertama, dalam kasus ini dikeluarkannya UU No 17 Tahun 2016 dikarenakan pemerintah beranggapan kasus kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Diharapkan dengan sanksi kebiri kimia ini dapat menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua, sanksi kebiri kimia telah mengabaikan dan bertentangan dengan substansi HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu jika dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan maka dapat dikatakan jika UU No 17 Tahun 2016 telah melanggar asas kemanusiaan dan asas dapat dilaksanakan dalam UU No 12 Tahun 2011. Sanksi kebiri kimia juga akan sulit untuk diimplementasikan karena adanya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjadi eksekutor dalam pelaksanaan kebiri kimia ini. Hal ini dapat menyebabkan sanksi ini menjadi tidak dapat dilaksanakan dan tidak efektif.

ABSTRACT
The number of sexual violence cases that occurs against children over the last few years has prompted the government to take steps an issue Government Regulation in law number 17 year 2016 on the enactment of Government Regulation in lieu of Law on the Republic of Indonesia Number 1 year 2016 on the Second Amendment to Law Number 23 year 2002 on Child Protection. That regulation has imposed the chemical penalty punishment for perpetrators of child sexual abuse. However, this regulation is inconsistent with the provision of Article 28G Paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 which guarantees everyone to be free from torture or degrading treatment of human dignity. Based on the above description, the authors will analyze the legal politics of the establishment of the Law Number 17 year 2016 and how the regulation of chemical in Law Number 17 Year 2016 from the perspective of human rights. From the research result, it can be concluded that; First, in this case the issuance in Law Number 17 year 2016 because the government considers that cases of sexual violence against children is an extraordinary crime and will be threatened and endanger the soul of the child. It is hoped that the sanction of chemical castraction can reduce the number of cases of sexual violence against children. Second, this sanction has ignored and contradicted to the human rights protection which guaranteed in the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 and the other of several laws and regulations. In addition, if be observed from the formulation of legislation it can be said that Law No. 17 of 2016 has violated the principle of humanity which regulated in Law No. 12 year 2011. The sanction of chemical castraction will also be difficult to implement because of the refusal of organization of Indonesian doctor to become executor of this sanction. This causes the sanction of chemical castraction can be unworkable and ineffective."
2017
T47748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1994
341.48 HAK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurachman Ramadhan
"ABSTRAK
Saat ini dengan majunya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang medis memungkinkan pasien berada dalam keadaan terminal dan mengalami sakit yang sangat parah atau dalam keadaan tidak sadar yang berkepanjangan, sehingga mati dengan bantuan dokter adalah salah satu jalan yang terbaik euthanasia untuk mengakhirinya. Jika euthanasia ditinjau dari Hak Hidup sebagai Hak Asasi Manusia seharusnya terdapat konsekwensi logis dari adanya sebuah hak yaitu kebolehan untuk tidak memakai hak itu sendiri yang berarti tidak memakai hak untuk hidup adalah memilih untuk mati saja, dan dalam sebuah tindakan euthanasia terdapat pihak yang turut terlibat seperti dokter dan rumah sakit. Perdebatan mengenai pro dan kontra tindakan euthanasia apakah tindakan tersebut bisa dibenarkan berdasarkan hak hidup sebagai hak asasi manusia menjadi sesuatu yang masih menggantung saat ini. Meskipun tindakan euthanasia illegal dibanyak negara tetapi terdapat negara seperti Belanda, Negara Bagian Amerika Serikat Oregon, dan Australia Negara Bagian Nothern Territory yang melegalkan tindakan euthanasia.

ABSTRACT
Nowadays with advanced science especially in the medical field may leave the patient to be in terminal state and experience very severe illness or in a long time unconscious state, because of that die with the help of a doctor is one of the best ways to end it euthanasia . If euthanasia is viewed from the right to life as a human right perspective, there should be a logical consequence of the existence of a right, that is, the permissibility of not using the right itself which means not to use the right to life it self and choose to die , and in an act of euthanasia there are parties involved such as doctors and hospitals. The debate over the pros and cons of euthanasia actions whether the acts can be justified based on the right to life as a human right becomes something that still obscure today. Despite the act of illegal euthanasia in many countries but there are countries such as the Netherlands, Oregon United States and Nothern Territory Australia that legalize the act of euthanasia. "
2017
S70040
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Nurseptiana Barzah
"Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan. Penggeledahan merupakan suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu melanggar ketenteraman rumah kediaman ataupun melanggar kebebasan privasi pada tubuh seseorang. Tindakan penggeledahan ini bisa saja diambil atas dasar dugaan. Oleh karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung pada penahanan. Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa dilakukan terhadap siapapun. Karena langsung menyangkut hak asasi seseorang, maka penggeledahan harus dilakukan sesuai Undang-Undang. Pengaturan mengenai penggeledahan diatur dalam Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Permasalahan yang dibahas adalah mengenai Kewenangan dalam Penggeledahan dilihat dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis- normatif yaitu dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang terhadap bagaimana Kewenangan dalam Penggeledahan apabila dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia.

A search is part of an investigation. A search is an act of the authorities to restrict people's freedoms, including violating the peace of a residence or violating the privacy of a person's body. These searches can be taken on the basis of suspicion. Therefore, a person can be searched at any time for the purpose of investigation and law enforcement. It may even lead to detention. Although searches are usually carried out on people who have been named as suspects or defendants, if a person is searched at any time, it does not mean that the person has become a suspect, defendant or convict. These searches can be carried out on anyone. Because it directly concerns a person's human rights, the search must be conducted in accordance with the law. The regulation on searches is stipulated in Article 32 of the Criminal Code (KUHAP). The problem discussed is about the Authority in Searches seen from a Human Rights Perspective. This research is a juridical-normative legal research that uses the Law approach to how the Authority in Searches when viewed from a Human Rights perspective."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhief F. Ramadhani
"ABSTRAK
Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan beragama tidak hanya mencakup kebebasan setiap manusia untuk memilih keyakinan yang menurutnya benar, namun juga termasuk hak bagi tiap-tiap manusia untuk mengekspresikan keyakinannya dan juga hak untuk menjalankan segala ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara, pendirian rumah ibadat, dan pendidikan agama di sekolah.

ABSTRACT
The right to freedom of religion is a human right that should not be restricted in any circumstances. Right to freedom of religion not only includes the freedom of every human being to choose beliefs which he said is true, but it also includes a right for every human being to express his convictions and also right to perform any religious doctrine or belief that he believes. Indonesia through Law No. 1/PNPS of 1965 only recognizes six religions: Islam, Christianity, Protestantism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. State recognition of a particular religion is permissible and does not violate human rights. Unfortunately the state recognition of the six religious impact some human rights violations, especially the adherents of religions, beliefs and religions other than official religions recognized by the state. Impacts arising from the state recognition of certain religions is the dissolution of streams that are considered heretical, the inclusion of religion on identity cards which later became the entrance to the restrictions of the rights of followers of religions, beliefs and religions that are not recognized by the state, the establishment of the synagogue, and religious education in schools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S439
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Davidson, Scott
Jakarta: Pustaka Utama, 1994
341.481 DAV h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>