Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noor Azlin Tauchid
"Penggusuran merupakan fenomena di perkotaan terkait pembangunan dalam upaya peningkatan kualitas kotadanmanusia. Didalam praktik penggusuran yang terjadi, seringkali penggusuran yang dilakukan berujung pada konflik dan luka sosial sehingga menimbulkan reaksi dari korban yang tergusur. CAP 16 Kampung merupakan salah satu bentuk reaksi dari korban penggusuran yang dilakukan dengan membangun koalisi diantara masyarakat dan menuntut agar diikut sertakannya masyarakat didalam penataan kota. Proses CAP 16 Kampung yang mengedepankan dialog dan partisipatif sejalan dengan penyelesaian dalam perspektif kritis, salah satunya Peacemaking Criminology. Dalam pendekatan perspektif Peacemaking Criminology, proses CAP 16 Kampung yang dilakukan pada kampung yang telah tergusur berjalan dengan lebih baik karena sudah terbangun empati di masyarakat karena adanya empati yang lahir dari proses menderita secara bersama-sama dan adanya afirmasi dari korban penggusuran atas nasib mereka. Pada kampung Muara Baru yang sekedar diwacanakan untuk digusur, proses CAP 16 Kampung belum berjalan dengan baik karena tidak adanya ancaman penggusuran yang nyata dan belum adanya afirmasi dari kampung tersebut karena belum terbentuk empati.

Eviction is phenomenon that happens in city livelihood related to city and human life development. In practice, eviction could lead to conflicts and social injury in which it causes reactions from the victims. CAP 16 Kampung is one of the reactions, in which the victims started a coalition to demand their participation in city development. CAP 16 Kampung process that involves dialogs and participatory actions are in line with Peacemaking Criminology perspective. From Peacemaking Criminology approach, CAP 16 Kampung in the evicted Kampung Akuarium fares much better due the already existing empathy and their affirmation actions about their shared fate as evicted victims. The other kampung, Kampung Muara Baru that yet tobe evicted doesnt have thesame degree of success because they didnt share the same threat as Akuarium did and there is no solid affirmation from them due the lacks of empathy being built."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T54601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardus Ariotirto Wibisono
"ABSTRAK
Tulisan ini berusaha untuk membahas konflik tanah adat yang terjadi di Papua dengan menggunakan studi kasus perusakan lahan sagu di Kampung Harapan, Sentani. Konflik yang terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan norma-norma budaya tentang tanah di dalam masyarakat. Perbedaan norma-norma budaya inilah yang membentuk persepsi masyarakat dalam memandang dan menilai tanah. Persepsi-persepsi tersebut seharusnya tidak dapat disamaratakan karena masing-masing budaya memiliki nilai dan norma yang berbeda-beda. Culture as crime menjelaskan bahwa norma budaya tidak dapat digeneralisir oleh sebuah budaya. Ketika generalisir dilakukan, maka masyarakat akan cenderung subjektif dalam melihat budaya lain. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap suatu budaya. Proses kriminalisasi ini lah yang menjadi pemicu konflik karena adanya persinggungan dua atau lebih kebudayaan.

ABSTRACT
This paper discusses indigenous land conflicts that occur in Papua by using case studies of the destruction of sago land in Kampung Harapan, Sentani. The conflicts that occur are caused by differences in cultural norms about land in society. Differences in cultural norms that shape people's perceptions of land. Perceptions must not be generalized because each culture has different values and norms. Culture as a crime explains cultural norms that cannot be generalized by a culture. When generalizing is done, it will be very subjective in seeing a culture that can lead to the criminalization of a culture. This process of criminalization is what triggers conflict because of the intersection of two or more cultures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Utomo Adji
"

Studi ini membahas konflik yang terjadi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam kebijakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta Tahun 2017. Studi ini akan menjelaskan bagaimana proses konflik yang terjadi di antara pihak-pihak yang mewakili lembaga tersebut. Kemudian juga akan menjelaskan penyebab tercapainya konsensus dari dua pihak tersebut. Dalam menjelaskannya, studi ini menggunakan teori konflik dan konsensus serta business confidence. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, kajian jurnalistik dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menemukan konflik yang terjadi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diwakili oleh Gubernur Anies R Baswedan dan Pemerintah Pusat oleh Menteri Koordinator Luhut B. Panjaitan merupakan sebuah konflik lisan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dari masing-masing pihak terkait kebijakan pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Konflik tersebut kemudian melibatkan pihak luar dalam mempengaruhi pandangan pihak yang berkonflik. Hingga konflik tersebut berakhir dengan konsensus yang menggunakan konsensus model pendapat gabungan.


This study discusses conflicts that occur between the Provincial Government of DKI Jakarta and the Central Government in the 2017 Jakarta North Coast Reclamation policy. This study will explain how the conflict process occurs between the parties representing these institutions. Then it will also explain the reasons for reaching the consensus of the two parties. In explaining it, this study uses conflict and consensus theory and business confidence. The research used a qualitative method with data collection techniques through interviews, journalistic studies, and literature studies. The results of this study find that the conflict between the Provincial Government of DKI Jakarta represented by Governor Anies R Baswedan and the Central Government by Coordinating Minister Luhut B. Panjaitan was an oral conflict caused by differences in the interests of each party related to the implementation of the North Coast Jakarta reclamation policy. The conflict then involves an outside party in influencing the views of the conflicting parties. Until the conflict ends with a consensus that uses a consensus model of joint opinion.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bloomington: Indiana University Press, 1991
364 CRI (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Novi
"Partisipasi konflik sudah pernah dirasakan Indonesia pada 1980an sampai 1990an ketika berlangsungnya konflik di Afghanistan. Peningkatan partisipasi para militan ini terjadi pada masa Islamic State di tahun 2013. Di negara konflik tersebut, para militan belajar, berinteraksi, serta berbaur dengan ideologi kekerasan. Setelah merasa cukup dengan pengalaman yang mereka dapatkan di Suriah/Iraq, para militan  kembali ke negara asal mereka. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat, agar mereka tidak menjadi virus, sumber ketakutan ditengah masyarakat. Untuk mendapatkan penanganan yang tepat, identifikasi motivasi mereka ketika pergi dan pulang adalah hal yang penting dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait. Analisis konsep damai oleh peacemaking criminology merupakan kerangka untuk membentuk model penanganan alternatif returnis. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan fenomenologis interpretatif. Tujuannya untuk menafsirkan dan menguatkan kisah ‘pengalaman yang dialami’ dari narasumber, agar pengalaman mereka bisa logis dalam menginterpretasikan. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki konsep dan metode yang baku dalam penanganan returnis. Dari data Satuan Tugas FTF tahun 2014 sampai 2019, ada 126 orang yang pulang ke Indonesia dari Suriah, Iraq, dan Filipina. Banyak motivasi para militan yang pulang, mempengaruhi keamanan nasional. Ketika individu atau kelompok pulang ke Indonesia, beberapa dari mereka masih tetap radikal dan juga melakukan reradikalisasi. Pendekatan kekerasan menjadi salah satu cara untuk menangani kejahatan luar biasa ini, tapi para militan semakin kebal, Hal ini akan lebih maksimal jika disandingkan dengan pendekatan lunak yang dipadukan dengan perspektif damai untuk menangani sampai ke akar. Peacemaking criminology direkomendasikan sebagai metode dalam menangani returnis karena pendekatan ini mengedepankan enam konsep utama yakni non-kekerasan, keadilan sosial, inklusi, cara yang benar, kriteria damai yang tepat, dan pengkategorian yang penting. Hasil dari konsepsi ini akan menghasilkan model penanganan alternatif returnis dengan dengan mengedepankan humanisme, hak asasi manusia, mediasi, pengoptimalisasian proses pemahaman, dialog, dan partisipasi yang diharapkan mampu membuat returnis tidak kembali radikal serta melakukan radikalisasi.

Participation in the conflict was felt by Indonesian in the 1980s to 1990s when the conflict took place in Afghanistan. Increasing of militant participation occurred since Islamic State in 2013. In the conflict state, militants learn, interact, and blend with violent ideology. After they gained experience in Syria/Iraq, the militants returned to their countries. Therefore, proper handling is needed, so they do not become viruses and sources of fear in society. To get the proper handling, identify their motivation when they going and go back to their country by government and non-government is a must. And analysis the concept of peace by peacemaking criminology is a framework for forming an alternative model of handling returnees. Qualitative methods are using in this research through an interpretative phenomenological approach. The aim is to interpret and strengthen the experience from the interviewee, so the stories will be logical in interpretative.  Until now, Indonesia does not have a standard concept and method in handling returnees yet. Based on FTF Task Force's data from 2014 to 2019, there are 126 people were returned to Indonesia from Syria/Iraq/Philippines. Militant motivation to back to Indonesia has affected national security. When individuals or groups return to Indonesia, some of them still radical or will be radicalizing. A hard approach is a way to deal with this extraordinary crime, but the militants are increasingly immune. This will be maximum if juxtaposed with a soft approach that collaborates with a peaceful perspective to deal with the roots. Peacemaking criminology is proposed as a method for handling returnees due to this approach put forward six main concepts, non-violence, social justice, inclusion, correct means, ascertainable criteria, and the categorical imperative. The results of this conception will result in an alternative model of handling returnees by promoting humanism, human rights, mediation, optimizing the processes of understanding, dialogue, and participation which expected to make returnees become a radical and spread the radicalization. "
Depok: Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifki Priohutomo Susetioputro
"Pembahasan mengenai konflik dalam suatu negara menjadi sering menjadi perhatian banyak pihak, karena dalam konflik yang terjadi selalu berkaitan dengan dua atau beberapa kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang melatarbelakangi konflik saat ini bisa berbentuk suku bangsa, agama atau kelas sosial dalam masyarakat. Bahkan isu konflik antar agama saat ini merebak di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia yang diketahui memiliki pluralisme tinggi. Tulisan ini berusaha mencari dan menggambarkan kronologi terjadinya konflik antar agama di Indonesia. Contoh kasus yang menjadi pengamatan adalah konflik di Karubaga Tolikara, Papua. Yang menjadi fokus perhatian pada tulisaini tidak hanya kronologi terjadinya konflik, melainkan penanganan dan penyelesaian konflik yang berakhir damai. Penulisan ini merupakan tulisan dengan pendekatan kualitatif dengan menganalisis data sekunder yang berasal dari data pihak berwenang dan kutipan pemberitaan pada media massa. Tulisan ini menggunakan Teori Peacemaking criminology sebagai panduan analisis data.
Hasil dari analisis yang dilakukan terhadap data menunjukan bahwa konflik Tolikara diawali dengan diskriminasi kebijakan pemerintah daerah atas kebebasan beragama, hal ini diperparah dengan adanya provokasi pihak tertentu yang semakin memanaskan suasana, sehingga terjadi gesekan antara agama pada saat datangnya hari besar agama secara bersamaan. Penanganan yang dilakukan secara peacemaking menunjukan bahwa penciptaan perdamaian merupakan tanggung jawab semua elemen yang terkait dengan konflik yang terjadi, hal ini meliputi menumbuhkan toleransi pada masing-masing pribadi, pembuatan aturan yang jelas dari pemerintah yang menjaga kebebasan beragama dan bagaimana aparat keamanan bertindak cepat dan tepat saat adanya indikasi gesekan yang berpotensi konflik.

The discussion about conflict inside a country often become attention, it always linked with two or more "society". The ?society‟ could be in the form of etnics, religion, or social class. Even conflict issue between religions is spreading in many countries, including Indonesia, which known to have a very high pluralism. This writings try to look and describe the chronology of inter-religion conflict in Indonesia. The observed case was Karubaga Tolikara`s conflict (Papua). Main focus is not only the chronology but also the handling and the peaceful ending solution. It used qualitative approach with analyzing secondary data from authorities and news citation. It also used Peacemaking Kriminalogy Theory as a guide data analysis.
The results showed the Karubaga Tolikara`s conflict begun with discrimination from local government on liberty to have religion, exacerbated with provocation from certain people, complication came up on Holy Day which simultaneously with other religion. The peacemaking handling showed that creating tranquil situation is the responsible from every person that connected to the conflict, this includes making tolerance, making clear rule from local government to keep the freedom of religion and fast and effective response when the conflict or issue emerge.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosepine Christina
"Klithih merujuk pada aksi kekerasan di jalanan Yogyakarta pada malam hari. Fenomena ini tidak terbatas pada perilaku iseng remaja, namun telah berubah menjadi subkultur yang kompleks di Yogyakarta. Tugas karya akhir ini membahas bagaimana  klithih dilihat masyarakat sebagai perilaku yang bersifat kriminogenik sedangkan klithih dikontestasikan sebagai kegiatan kultural oleh pelaku klithih itu sendiri. Adanya perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari eksistensi konflik budaya. Pengumpulan data diperoleh melalui studi literatur. Pembahasan tulisan ini dibantu dengan perspektif kriminologi budaya dan teori subkultur delinkuen milik Albert Cohen, serta konsep kebudayaan, konfllik budaya dan subkultur. Hasilnya,  konflik budaya antara pelaku klithih dengan masyarakat Yogyakarta terjadi karena adanya perbedaan interpretasi terhadap nilai dan norma yang ada. Konflik budaya menjadi akar dari pembentukan wacana yang cenderung negatif terhadap klithih sebagai

Klithih refers to violent acts on the streets of Yogyakarta at night. This phenomenon is not limited to juvenile fad behavior, but has turned into a complex subculture in Yogyakarta. This final project discusses how klithih is seen by the community as criminogenic behavior while klithih is contested as a cultural activity by the klithih actors themselves. The existence of these different views cannot be separated from the existence of cultural conflicts. Data collection was obtained through literature study. The discussion of this paper is assisted by the perspective of cultural criminology and delinquent subculture theory by Albert Cohen, also the concept of culture, cultural conflict and subculture. As a result, cultural conflicts between klithih actors and the people of Yogyakarta occur because of different interpretations of existing values and norms. Cultural conflict is the root of the formation of discourse that tends to be negative towards klithih as a reactive subculture in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosepine Christina
"Klithih merujuk pada aksi kekerasan di jalanan Yogyakarta pada malam hari. Fenomena ini tidak terbatas pada perilaku iseng remaja, namun telah berubah menjadi subkultur yang kompleks di Yogyakarta. Tugas karya akhir ini membahas bagaimana klithih dilihat masyarakat sebagai perilaku yang bersifat kriminogenik sedangkan klithih dikontestasikan sebagai kegiatan kultural oleh pelaku klithih itu sendiri. Adanya perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari eksistensi konflik budaya. Pengumpulan data diperoleh melalui studi literatur. Pembahasan tulisan ini dibantu dengan perspektif kriminologi budaya dan teori subkultur delinkuen milik Albert Cohen, serta konsep kebudayaan, konfllik budaya dan subkultur. Hasilnya, konflik budaya antara pelaku klithih dengan masyarakat Yogyakarta terjadi karena adanya perbedaan interpretasi terhadap nilai dan norma yang ada. Konflik budaya menjadi akar dari pembentukan wacana yang cenderung negatif terhadap klithih sebagai reactive subculture di masyarakat.

Klithih refers to violent acts on the streets of Yogyakarta at night. This phenomenon is not limited to juvenile fad behavior, but has turned into a complex subculture in Yogyakarta. This final project discusses how klithih is seen by the community as criminogenic behavior while klithih is contested as a cultural activity by the klithih actors themselves. The existence of these different views cannot be separated from the existence of cultural conflicts. Data collection was obtained through literature study. The discussion of this paper is assisted by the perspective of cultural criminology and delinquent subculture theory by Albert Cohen, also the concept of culture, cultural conflict and subculture. As a result, cultural conflicts between klithih actors and the people of Yogyakarta occur because of different interpretations of existing values and norms. Cultural conflict is the root of the formation of discourse that tends to be negative towards klithih as a reactive subculture in society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Salsabila
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang pola penyelesaian konflik perselisihan hubungan industrial yang dikaitkan dengan pemikiran Austin Turk tentang kriminologi kritis dan konsep viktimisasi struktural. Data diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum Dewan Perwakilan Daerah Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (LBH DPD FSP LEM SPSI) DKI Jakarta dalam kurun waktu 2015-2017. Data menunjukkan bahwa kasus perselisihan hubungan industrial paling banyak adalah perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Indikator konflik dalam perselisihan PHK tercermin pada pekerja kontrak yang menuntut menjadi pekerja tetap, sebagai penyebab perselisihan dengan frekuensi terbanyak. Pekerja/serikat pekerja yang berada di posisi subordinat melihat pengusaha terkesan eksplotatif dan mendominasi keputusan, sedangkan pengusaha yang berada di posisi superordinat melihat pekerja/serikat pekerja selalu protes atas kebijakan perusahaan sebagai bentuk kekuasaan. Indikator viktimisasi struktural terlihat dari kerentanan status kepegawaian pekerja kontrak dan penyelesaian perselisihan melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai jalur penyelesaian perselisihan dengan frekuensi terbanyak. Sedangkan PHK disertai pemberian pesangon menjadi dampak tertinggi dari hasil penyelesaian perselisihan. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial memiliki beberapa kelemahan bagi pekerja/serikat pekerja yang menimbulkan viktimisasi struktural, akibat dari kerentanan mereka dalam hubungan tidak setara yang berkaitan dengan kekuatan dan kesempatan yang tersedia dalam struktur sosial, ditambah tindakan pembiaran oleh pemerintah. Sehingga disimpulkan bahwa, pola konflik yang terjadi antara perusahaan dan pekerja/serikat pekerja terjadi dalam pola ketidaksetaraan antara posisi superordinat dan subordinat, lalu pola viktimisasi struktural tergambar pada proses pengadilan hubungan industrial dan indikator status kepegawaian, bila dilihat dari kerentanannya.

ABSTRACT
This study discusses about the pattern of conflict settlement of industrial relations dispute, associated with critical criminology by Austin Turk and structural victimization. The data were obtained from Lembaga Bantuan Hukum Dewan Perwakilan Daerah Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (LBH DPD FSP LEM SPSI) DKI Jakarta within the period of 2015-2017. The data show that most industrial relations dispute cases are work termination (Pemutusan Hubungan Kerja). Indicators of conflict in disputes are reflected in contract workers demanding to become permanent workers, as the cause of the most frequent disputes. Workers/unions in subordinate positions see that entrepreneurs seem to be explosive and dominating decisions, while entrepreneurs who are in a superordinate position see workers/unions always protesting over company policies as a form of power. The indicators of structural victimization are seen from the vulnerability of employment status of contract workers and dispute settlement through Industrial Relation Court, as the most frequent dispute settlement. While, layoffs along with severance pay are the highest impact of disputes resolution. UU No. 2 Tahun 2004 on Industrial Relations Settlement has several weaknesses for workers/unions, which led to the structural victimization due to their vulnerability in unequal relationships relating to forces and available opportunities in the social structure, and the omission by the government. It is concluded that the pattern of conflict between firms and workers/unions occurs in the pattern of inequalities between superordinate and subordinate positions, then the pattern of structural victimization is reflected in the industrial relations court process and the employment status indicator, when viewed from its vulnerability."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mazhar Setiabudi
"Kemajuan di bidang teknologi informasi dewasa ini secara tidak langsung membawa dampak yang positif terhadap penyelenggaraan pemerintah dengan lahirnya konsep E-Government. E-Government merupakan sebuah layanan dan jaringan komunikasi berbasis internet yang digunakan pemerintah untuk melayani warganya. Prinsip e-Government ini adalah menciptakan sebuah pemerintahan yang efisien, efektif dan transparan dengan bantuan teknologi informasi canggih.
Permasalahannya adalah apakah pemanfaatan e-Government ini sudah sejalan dengan kebutuhan masyarakat atau dunia usaha. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimanakah persepsi dunia usaha terhadap fasilitas e-Government yang diimplementasikan Pemda DKI Jakarta saat ini? Dan sejauhmana tingkat pelayanan e-Government yang dibutuhkan oleh dunia usaha?
Penelitian ini menggunakan teori yang dikembangkan oleh para ahli yaitu teori/konsep e-Government dimana e-Government ini diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu publikasi, interaksi dan transaksi. Penelitian ini juga didukung oleh teori pelayanan publik dan good governance.
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survey yang dilakukan terhadap dunia usaha, dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan yang beroperasi di DKI Jakarta yaitu sebanyak 68 responden/perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan e-Government Pemda DKI Jakarta saat ini masih berjenis publikasi (publish), karena jika dilihat dari karakteristiknya, website Pemda DKI Jakarta tersebut hanya memberikan informasi yang sifatnya masih satu arah.
Memang harus diakui bahwa sejak dikembangkan dari tahun 1995 sampai sekarang telah terjadi perkembangan yang memadai tetapi terbatas pada penyediaan informasi saja, tetapi belum terjadi peningkatan pada jenis pelayanannya, yaitu interaksi maupun transaksi. Walaupun demikian dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari dimensi publikasi, situs Pemda DKI pada umumnya sudah sesuai dengan kebutuhan mayoritas para responden, karena jenis informasi-informasi yang mereka perlukan sudah tersedia dan isinya cukup lengkap.
Sama halnya dengan fitur-fitur publikasi, mayoritas responden juga menilai fitur-fitur interaktif perlu direalisasikan di dalam website Pemda DKI, terutama fasilitas e-mail yang akan membantu para pengakses (kalangan dunia usaha) dapat berkomunikasi secara interaktif dengan pemerintah daerah. Responden yang sudah memiliki akses internet lebih besax proporsinya yang menilai fitur tersebut mendesak untuk segera diimplementasikan di dalam situs tersebut.
Hasil survei juga menunjukkan temuan yang menarik. Mayoritas responden menilai aplikasi transaksi online perlu ditampilkan dalam situs e-Gov DKI, yaitu pengurusan izin dunia usaha, pembayaran pajak dan transaksi tender. Meskipun demikian, ternyata mayoritas responden menilai dua dari tiga aplikasi tersebut belum menjadi kebutuhan yang mendesak bagi aktifitas mereka di dunia usaha, yaitu pembayaran pajak dan transaksi tender secara online. Sebaliknya, mayoritas responden menilai pengurusan perizinan dunia usaha secara online perlu segera diaplikasikan.
Jika melihat tingkat kebutuhan dari kalangan dunia usaha yang masih terjadi "gap" antara kebutuhan dan ketersediaan pelayanan yang ada sekarang ini, dengan kondisi dan kendala yang ada, bisa dipastikan "gap" tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk segera dipenuhi, jika Pemda DKI Jakarta tidak segera membenahi diri yaitu dengan melengkapi instrumen-instrumen yang mendukung bagi pengembangan e-Government di Pemda DKI Jakarta.
Karena itu Pemda DKI Jakarta masih perlu terus berusaha mengembangkan e-Governmentnya agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, yaitu dengan membuat perencanaan (blue print) yang jelas sehingga tergambar dengan jelas visi dan misi kedepannya. Dengan demikian dikatakan pelayanan yang akan diberikan nantinya dapat menjadi lebih transparan, efektif, efisien dan lebih cepat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>