Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171163 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Arief Fadhilah
"Latar Belakang : Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan komplikasi paling serius dari demam rematik (DR). Penelitian terbaru telah menyoroti adanya inflamasi kronis yang ditandai tingginya kadar CRP, keterlibatan limfosit T serta sitokin inflamasi seperti TNF-α, IFN-γ dan IL-4. Obat yang memiliki efek anti inflamasi adalah penyekat HMG KoA reduktase, yang mampu menurunkan kadar TNF-α dan IFN-γ serta meningkatkan kadar IL-4.
Tujuan : Untuk membuktikan efek atorvastatin dalam menurunkan ekspresi gen TNF-α dan IFN-γ, serta meningkatkan ekspresi gen IL-4. Menilai hubungan antara penurunan ekspresi gen TNF-α dan IFN-γ dengan peningkatan ekspresi gen IL-4.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Pasien dengan penyakit katup jantung dengan etiologi rematik yang akan menjalani tindakan perbaikan/penggantian katup diberikan perlakuan atorvastatin/plasebo 6 minggu sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan ekspresi gen TNF-α, IFN-γ dan IL-4 pada jaringan katup dan Appendiks Atrium Kiri (AAK) yang dieksisi saat operasi, menggunakan alat Real Time PCR.
Hasil : Dari 53 responden, dengan rerata usia 35 tahun, 70% di antaranya adalah perempuan. 25 responden mendapatkan atorvastatin. Kelompok Atorvastatin memiliki ekspresi gen TNF-α di AAK yang lebih rendah dengan p 0,005 (95% CI 0,05-0,58), setelah disesuaikan dengan jenis kelamin dan fraksi ejeksi. Namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dari ekspresi gen IL-4 dan IFN-γ di AAK antara kedua kelompok responden, begitu pula dengan seluruh sitokin pada jaringan katup.
Kesimpulan : Pemberian atorvastatin dapat mengurangi inflamasi pada jaringan appendiks atrium kiri penderita penyakit jantung rematik yang ditandai dengan rendahnya ekspresi gen TNF-α namun tidak terbukti mengurangi inflamasi pada jaringan katup. Terdapat hubungan antara penurunan ekspresi gen TNF-α dan IFN-γ dengan peningkatan ekspresi gen IL-4.

Background : Rheumatic Heart Disease is the most troublesome complication of rheumatic fever. Recent trials emphasized ongoing chronic inflammation represented by CRP, TNF-α, IFN-γ and IL-4,. HMG CoA reductase inhibitor was agent with antiinflamatory effect, suppressing TNF-α and IFN-γ and increasing IL-4.
Objectives : This study was to prove the effect of atorvastatin in suppressing gene expression of TNF-α and IFN-γ, and also effect of atorvastatin in increasing gene expression of IL-4. Knowing correlation between suppressed TNF-α and IFN-γ gene expression and increased IL-4 gene expression.
Method : This study was designed as an experimental study. Patients with valvular dysfunction due to rheumatic process planned to underwent cardiac valves repair/replacement operation were given atorvastatin/placebo 6 weeks before. Gene expression method was used to check mRNA TNF-α, mRNA IFN-γ and mRNA IL-4 level from excised valves and Left Atrial Appendage (LAA).
Result : 53 patients were enrolled. Proportion of women was 70% and age average was 35 years old. Atorvastatin group had lower gene expression TNF-α level in LAA with p 0,005 (95% CI 0,05-0,58), after adjusted with gender and ejection fraction. But there were no differences of IL-4 and IFN-γ gene expression in LAA, either all inflammation cytokines in valves.
Conclusions : Atorvastatin reduced inflammation in LAA patients with Rheumatic Heart Disease by suppressing TNF-α gene expression but didn’t proved reducing inflammation in cardiac valves. There was correlation between supressed gene expression of TNF-α and IFN-γ with increased gene expression of IL-4 level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanggo Meriza
"Latar Belakang : Adiponektin saat ini dianggap berperan penting dalam etiopatogenesis gangguan metabolik dan inflamasi termasuk artritis reumatoid (AR). Data terbaru menekankan peran adiponektin dalam peradangan dan degradasi matriks yang dapat menyebabkan kerusakan sendi erosif. Hubungan tingkat adiponektin serum dengan kerusakan sendi radiografi pada pasien dengan AR perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, telah dilaporkan bahwa adiponektin memberikan efek anti-aterosklerosis pada pasien non AR. Menariknya, beberapa studi telah melaporkan peningkatan kadar adiponektin pada pasien AR, hal ini berlawanan mengingat tingginya prevalensi aterosklerosis pada AR. Dengan demikian, efek adiponektin pada aterosklerosis belum sepenuhnya jelas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian diambil dari 50 orang pasien yang memenuhi kriteria EULAR/ACR 2010 untuk AR yang datang ke poliklinik reumatologi RSCM Jakarta. Pengambilan sampel adalah secara consecutive sampling. Dilakukan pemeriksaan kadar adiponektin serum dan foto rontgen tangan/kaki dengan menggunakan Skor Sharp-van der Heijde (SSH). Adanya aterosklerosis ditentukan dengan mengukur ketebalan Tunika Intima Media arteri karotis melalui pemeriksaan USG karotis bilateral.
Hasil: Dari 50 pasien yang diteliti, 28 (56%) mengalami peningkatan kadar adiponektin. Aterosklerosis ditemukan pada 13 (26%) subjek. Uji Spearman memperlihatkan tidak ada hubungan antara adiponektin serum dengan aterosklerosis pada pasien AR (p =0.706 dan r=0,055). Adiponektin juga tidak berhubungan dengan skor SSH, tetapi setelah di analisa dengan beberapa karakteristik AR, adiponektin berhubungan dengan SSH pada kelompok pasien dengan anti CCP negatif (p=0,036 dan r=0,38).
Kesimpulan: Dari penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa kadar adiponektin serum meningkat pada pasien AR, tetapi peningkatan adiponektin serum tidak berhubungan dengan aterosklerosis. Adiponektin berhubungan dengan kerusakan sendi pada kelompok pasien dengan anti CCP negatif.

Background : Adiponectin is now considered important players in the etiopathogenesis of metabolic and inflammatory disorder including rheumatoid arthritis ( RA ). Recent data stress the role of adiponectin in inflammation and matrix degradation that may contribute to erosive joint damage. The association of serum adiponectin level with radiographic joint damage in patients with RA need to be explored. Furthermore, it has been reported that adiponectin exerts an antiatherosclerotic effect in non RA patients. Interestingly, several studies have reported increased level of adiponectin in RA patients, findings which appear paradoxical in light of the higher prevalence of atherosclerosis in RA. Thus, the effect of adiponectin on atherosclerosis has not been clarified sufficiently.
Methods: This was a cross sectional study. Subjects were fifty patients who fulfill Eular Criteria/ACR 2010 for RA from the Rheumatology clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia Jakarta. Patients with RA underwent serum adiponectin assessment and hand/feet x-rays, scored using the Sharp-van der Heijde Score (SHS). Carotid intima media thickness represent of atherosclerosis was measured by using Ultrasound (USG Bmode).
Results: Of the 50 patients studied, 28 (56%) showed an increased in adiponectin levels. Atherosclerosis was diagnosed in 13 (26%) of this subject. Spearman test showed there was no correlation between adiponectin serum level with adiponectin in RA patients (p =0.706 and r=0,055). Adiponectin level did not correlate with SHS, but after adjusting for disease characteristics, adiponectin level correlate with SHS in negative anti CCP group (p=0,036 and r=0,38).
Conclusion : From this study, we conclude that adiponectin serum level was increase in rheumatoid arthritis patients, but the increasing of the adiponectin serum level was not correlated with atherosclerosis event. Adiponectin level correlate with radiographic joint destruction in negative anti CCP group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Yulianti
"Latar belakang : Stenosis mitral (SM) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Pada SM terjadi peningkatan kadar P selectin karena disfungsi endotel dan aktivasi platelet. Komisurotomi mitral transvena perkutan (KMTP) merupakan tatalaksana baku untuk penderita SM yang dapat memperbaiki kemampuan aktivitas fisik yang pada akhirnya akan mempengaruhi kadar P selectin. Belum ada penelitian yang menghubungkan antara tingkat aktifitas fisik dengan kadar P Selectin 3 bulan pasca KMTP pada SM rematik.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Dari 56 subyek penelitian yang menjalani KMTP sejak bulan Mei 2013 sampai Februari 2014 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, didapatkan 35 sampel yang memenuhi kriteria penerimaan . Data klinis dan data ekokardiografi sebelum dan 3 bulan pasca KMTP diambil dari catatan medis. Dilakukan wawancara 3 bulan pasca KMTP. Tingkat aktivitas fisik dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok 1 1-4 METs, kelompok 2 > 4 METs. Kadar P selectin diambil 3 bulan pasca KMTP. Selanjutnya dilakukan analisa statistik untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kadar P Selectin 3 bulan pasca KMTP pada SM rematik.
Hasil : Pasien yang akan menjalani KMTP memiliki rerata usia 40,00±11,58 tahun dengan proporsi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (74,3%) dan dengan proporsi irama sinus yang lebih tinggi daripada irama atrial (57,1%). Dari uji T didapatkan ada perbedaan bermakna rata-rata kadar P selectin 3 bulan pasca KMTP pada tingkat aktivitas fisik 1-4 METs dan > 4 METs, dimana rerata kadar P selectin 3 bulan pasca KMTP pada tingkat aktivitas fisik > 4 METs lebih rendah secara bermakna dibandingkan 1-4 METs (p=0,003). Setelah dilakukan analisa multivariat terlihat tingkat aktivitas fisik pasca KMTP tetap berpengaruh terhadap kadar P Selectin 3 bulan pasca KMTP (p=0,001). Area Katup Mitral (AKM) pasca KMTP berpengaruh terhadap kadar P selectin 3 bulan pasca KMTP (p=0,018), namun tingkat aktivitas fisik pasca KMTP lebih besar pengaruhnya dibandingkan AKM.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kadar P selectin 3 bulan pasca KMTP dimana pada tingkat aktivitas yang lebih tinggi ( > 4 METs) kadar P selectin lebih rendah 10,489 ug/ml dibandingkan tingkatan aktivitas fisik 1-4 METs.

Background : Mitral stenosis (MS) is an important health problem in Indonesia. P selectin level in MS increases due to endothelial dysfunction and platelet activation. Percutaneous transvenous mitral commissurotomy (PTMC) is one of the management for MS patients. Thus, the physical activity can improve and in turn affect the level of P selectin. There has been no study link the level of physical activity with the level of P Selectin 3 months after of PTMC.
Method : This is a cross sectional study with 56 subjects who underwent PTMC from May 2013 to February 2014 at the Hospital of National Heart Centre Harapan Kita. Then, 35 samples met the inclusion criteria. Clinical and echocardiography data before and 3 months after PTMC were taken from medical records. Interviews were conducted 3 months after PTMC. Physical activity levels were divided into 2 groups: group 1 (1-4 METs) and group 2 (> 4 METs). Sample for P selectin was taken 3 months after PTMC. Further statistical analysis was done to determine the relationship between physical activity level with level of P Selectin 3 months after PTMC in rheumatic MS.
Result : Patients who will undergo PTMC have the mean age of 40.00 ± 11.58 years with a higher proportion of women than men (74.3%) and the proportion of sinus rhythm is higher than atrial rhythm (57.1%) . T-test analysis result showed significant difference in the average levels of P selectin 3 months after PTMC on the level of physical activity 1-4 METs and > 4 METs. The average P selectin levels on the level of physical activity in group with > 4 METs was significantly lower compared with group 1-4 METs (p = 0.003). After multivariate analysis, the physical activity level still has an effect on the P selectin levels 3 months after PTMC (p = 0.001). The Mitral Valve Area (MVA) after PTMC also has an effect on P selectin levels (p = 0.018). However, the level of physical activity after PTMC has a greater effect than MVA.
Conclusion : There is a relationship between the level of physical activity with P selectin levels 3 months after PTMC.Group with higher activity level (> 4 METs) have lower level of P selectin (with the mean difference levels of P Selectin 10,489 ug/ml).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Sugiarno
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T57272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Barita
"Masalah kesehatan anak di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu masalah kesehatan anak yang terdapat di negara maju dan masalah yang sering terjadi di negara yang sedang berkembang. Pola penyakit yang sering terjadi di negara sedang berkembang umumnya berupa penyakit infeksi, infestasi parasit, dan penyaldt kurang gizi.
Di negara berkembang, penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Penyakit infeksi dan status gizi seseorang mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, demikian juga tuberkulosis (TB).
Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi kronik yang masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Di Amerika Serikat, berkurangnya penderita penyakit TB sangat nyata pada tahun 1980, tetapi insidensnya kembali meningkat dan diikuti dengan meningkatnya resistensi terhadap obat-obat anti TB. Hampir di setiap negara mempunyai peraturan untuk mengendalikan penyakit tuberkulosis, tidak hanya melalui perundang-undangan atau pengembangan dalam terapi yang efektif, tetapi juga dalam memperbaiki kondisi tempat tinggal. Strategi pelayanan kesehatan masyarakat tergantung dari besarnya faktor-faktor penyebab epidemi seperti kemiskinan, tunawisma, penyalahgunaan obat, penurunan prasarana pelayanan kesehatan, dan epidemi human immunodeficiency virus (HIV), yang memberikan peran dalam peningkatan insidens penyakit TB.
Menurut laporan WHO tahun 1991, Indonesia adalah salah satu dari 16 negara yang kemajuannya lambat dalam penanganan penyakit TB. Angka kesakitan penderita TB paru di Indonesia dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1996 cenderung menurun. Angka kesembuhan ini secara program belum mencapai target yang ditetapkan. Dengan strategi DOTS (directly observed treatment short-course), diharapkan dapat menghasilkan kepatuhan berobat, sehingga target angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85%.
Di Indonesia terdapat 4 masalah utama kurang gizi, yaitu kurang energi protein (KEP), defisiensi vitamin A, defisiensi zat besi, defisiensi yodium. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), pemberian kapsul vitamin A untuk anak 1-4 tahun, distribusi kapsul yodium untuk penduduk pada daerah rawan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), pemberian tablet Fe untuk ibu hamil dart upaya lain yang berhubungan dengan peningkatan produksi pangan dan pendapatan masyarakat. Pada dasarnya upaya tersebut dilakukan secara terpadu antar sektor.
Dari hasil pemantauan status gizi tahun 1994 dari tahun 1995, DKI Jakarta mengalami peningkatan prevalensi KEP Nyata dan Total, yang masing-masing 3,6% menjadi 5,3% dan 20,8% menjadi 25,8%. Keberhasilan dalam penanggulangan penyakit TB, diharapkan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 21255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Tri Harjaningrum
"ABSTRAK
Latar belakang:.Demam reumatik DR dan penyakit jantung reumatik PJR merupakan penyakit kronis yang berdampak terhadap fisik, psikososial, dan akademik. Penting menilai kualitas hidup anak DR dan PJR serta faktor-faktor yang memengaruhinya, untuk mengetahui prioritas masalah. Tujuan: Mengetahui gambaran kualitas hidup anak DR dan PJR serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode: Studi potong lintang pada April-Agustus 2017, dengan subyek anak berusia 5-18 tahun. Data didapatkan secara consecutive sampling menggunakan kuesioner PedsQL trade; 3.0 modul jantung dan rekam medis retrospektif. Hasil: Kualitas hidup baik ditemukan pada 53 laporan anak dan 52 laporan orangtua subyek. Skor median laporan anak 79,70 29,7-100 , dan laporan orangtua 77,31 45,03-99,40 . Kepatuhan berobat merupakan kunci penyebab membaiknya kualitas hidup. Tidak ada faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan kualitas hidup. Faktor klinis yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah rute antibiotik. Anak DR dan PJR yang mendapat antibiotik intramuskuler, 3,2 kali laporan anak memiliki kemungkinan kualitas hidup lebih baik dibandingkan yang mendapatkan antibiotik oral p ABSTRACT
Background Rheumatic fever RF and rheumatic heart disease RHD are chronic diseases that affect physical, psychosocial, and academic. Assessment of quality of life in children with RF and RHD and the factors affecting it, is important to identify problems. Objective To identify quality of life in children with RF and RHD and the factors influencing it. Method A cross sectional study on RF and RHD patients aged 5 18 years old, using PedsQLTM 3.0 Cardiac Module questionnaire and retrospective medical records from April 2017 until August 2017. Result High quality of life was found in 53 child report and 52 parent report of subjects. Median score from children rsquo s reports and parents rsquo reports are, 79,70 29,7 100 , and 77,31 45,03 99,40 respectively. Compliance was the key to cause quality of life to increase. Clinical factors affecting quality of life included the route of antibiotic administration, and there were no sociodemographic factors. By child report, children with RF and RHD who received intramuscular antibiotics were 3.2 times more likely to have higher quality of life than children who received oral antibiotics p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Siane
"Latar belakang dan tujuan: diabetes termasuk dalam 8 faktor risiko tertinggi berkembangnya tuberkulosis (TB). Diabetes melitus (DM) meningkatkan risiko TB 3 kali, sedangkan infeksi TB memperburuk kontrol glikemik pasien DM dengan risiko kegagalan terapi TB 69% dan relaps 4 kali. Strategi pengobatan optimal untuk pasien TB-DM belum ditemukan, pengelolaan TB-DM sama dengan pasien TB non-DM. Sejak 2017, WHO tidak lagi merekomendasikan pemberian obat intermiten pada fase lanjutan karena risiko kegagalan terapi, kekambuhan, dan resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan pemberian harian. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping pengobatan TB-DM fase lanjutan antara pemberian setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu.
Metode: penelitian retrospektif menggunakan rekam medik pasien TB-DM dengan desain potong lintang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien TB-DM yang sudah memasuki fase lanjutan dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien TB-DM tanpa HIV, tanpa gangguan fungsi ginjal atau hati, berusia ≥18 tahun yang mendapat pengobatan TB yang diberikan setiap hari dan tiga kali seminggu di RSUP Persahabatan periode 1 januari 2015-31 desember 2018.
Hasil: 64 subyek pada kelompok pengobatan setiap hari dan 69 subyek pada kelompok pengobatan intermiten tiga kali seminggu memenuhi kriteria inklusi. Tidak didapatkan perbedaan antara kelompok pengobatan setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu dalam hal kesembuhan (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), pengobatan lengkap (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), gagal (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), dan putus obat (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Hanya 1 subyek (3,1%) yang mengalami kekambuhan pada kelompok pengobatan intermiten (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). Satu subyek (1,6%) pada kelompok pengobatan setiap hari dan 9 subyek (13%) pada kelompok intermiten mengeluhkan efek samping ringan (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.
Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan hasil pengobatan antara pemberian obat setiap hari dengan intermiten tiga kali seminggu pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus. Terdapat perbedaan dalam hal efek samping, yang sifatnya ringan, antara kedua kelompok pengobatan. Sebagian besar pasien pada kedua kelompok menjalani pengobatan selama lebih dari 6 bulan hingga 9 bulan.

Background and aim: diabetes is the 8th highest risk factor for tuberculosis. Patients with diabetes mellitus (DM) have three times higher risk of active TB. Tuberculosis disturbs glycemic control in DM patients and 69% TB-DM patients would have failed and the risk for relapse is 4 times higher. The optimal treatments strategy for TB-DM patients is not found yet. Management of TB-DM patients is similar with TB without DM. Since 2017, WHO no longer recommends intermittent drug regiment in advanced phase therapy due to the higher risk of treatment failure, TB recurrence, and drug resistance. This study aims to compare treatment outcomes and safety of advanced phase treatment between daily and intermittent treatment in TB-DM patients.
Methods: this is a retrospective study with cross sectional design using medical record at Persahabatan Hospital from 1 January 2015 to 31 December 2018. The study sample are all TB-DM patient who have entered the advanced phase that met inclusion criteria, which are TB-DM patients without HIV/ impaired kidney or liver function, aged ≥18 years who had tuberculosis treatment.
Results: 64 subjects in daily treatment group and 69 subjects in intermittent group met the inclusion criteria. There are no difference between daily and intermittent group in term of cured (41,4% vs 44,2%, p=0,814, IP=1,122; IK95%:0,432-2,909), completed treatment (45,7% vs 50%, p=1,0, IP=1,188; IK95%: 0,430-3,282), failed (3,4% vs 2,3%, p=0,888, IP=0,667; IK95%: 0,040-11,104), and dropouts (54,7% vs 49,3%, p=0,533, IP=0,805; IK95%:0,407-1,592). Only 1 subject (3,1%) in intermittent group had recurrence (p=1,0, IP=0,910; IK95%: 0,910-1,031). One subject (1,6%) in daily treatment group and 9 subjects (13%) in intermittent group had minor side effects (p=0,018, IP=0,106, IK95%: 0,013-0,861). Most subjects in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months.
Conclusion: there were no differences in cure rate, complete treatment, failure and dropouts between daily and intermittent treatment in diabetic pulmonary tuberculosis patient. There is difference in side effects, which mostly are mild, between the two group. Most patients in both groups underwent treatment for more than 6 months up to 9 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Feigan Yoshua Axello
"Stigma sosial tentang penyakit merupakan sebuah faktor penting yang mempengaruhi sikap pasien. Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan hubungan antara stigma ibu terhadap TB dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Survey berbasis kuesioner pada 2415 ibu yang dipilih secara acak dari 11 kelurahan yang paling padat di Jakarta Timur. Status sosio-ekonomi yang diteliti ialah usia, tingkat pendidikan formal, status kerja dan tingkat pendapatan keluarga per bulan. Pengetahuan tentang TB yang diteliti ialah etiologi dan kurabilitas TB.
Analisis univariate menunjukan bahwa 546 (23,5%) ibu akan menjauhi patien TB. Analisis multivariate menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja (OR 1,464 (CI 1,165-1,773), p<0,05), mengetahui bahwa TB disebabkan oleh infeksi kuman (OR 1,451 (CI 1,110-1,895), p<0,05) dan tidak merasa malu terhadap TB lebih cenderung untuk tidak menjauhi pasien TB (OR 4,184 (CI 3,322-5,197), p<0,001). Hasil ini mengindikasikan bahwa stigma terhadap TB dipengaruhi oleh status sosio-ekonomi dan pengetahuan terhadap TB. Oleh karena itu, intervensi dalam menangani stigma TB sangat diperlukan di daerah-daerah dengan status sosio-ekonomi yang buruk dan tingkat pengetahuan TB yang rendah.

Disease-related social stigma is an important factor in altering patient attitude. The objective of this study is to describe the relation between mothers’ stigma on TB patient and factor associated with it. A questionnaire-based survey was carried out with 2415 housewives, selected randomly from 11 most populated districts in East Jakarta as research subject. Inquired socio-economic status were subjects’ age, level of formal education, employment status and level of monthly family income. Questions regarding knowledge on TB were etiology, transmission and curability of TB.
Univarate analysis showed that 546 (23,5%) of mothers would avoid TB patient. Multivariate analysis showed that unemployment (OR 1,464 (CI 1,165-1,773), p<0,05), knowing that TB was caused by infection (OR 1,451 (CI 1,110-1,895), p<0,05), and not feeling shameful toward TB (OR 4,184 (CI 3,322-5,197), p<0,001) were significantly associated with not avoiding TB patient. These results suggest that various socio-economic status and knowledge on TB may affect the mother’s enacted stigma on TB. Therefore, intervention on tackling stigma on TB is urgently needed on community with poor socio-economic status and TB knowledge.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>