Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pangihutan, Ruben Salamat
"Latar Belakang. Cisplatin masih merupakan agen pilihan utama untuk kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring (KNF) stadium lanjut lokal. Acute Kidney Disaease (AKD) merupakan salah satu toksisitas utama pada cisplatin. Diketahui dosis kumulatif cisplatin berhubungan dengan kesintasan. Belum diketahui bagaimana hubungan dosis kumulatif cisplatin dengan AKD.
Tujuan.Mengetahui hubungan dosis kumulatif cisplatin dengan kejadian AKD
Metode Desain studi ini kohort retrospektif. Didapat subjek penelitian sebanyak 126 pasien KNF stadium lokal lanjut yang menjalani kemoradiasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2014 sampai Juni 2019. AKD didefinisikan sesuai kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes(KDIGO). Digunakan analisis bivariat menggunakan uji Kai Kuadrat untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Hasil. Penelitian ini melibatkan 126 pasien yang menjalani kemoradiasi pertama kali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Terdapat 49 (38,9%) pasien yang mengalami AKD. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian AKD antara kelompok yang mendapatkan cisplatin dengan dosis kumulatif >200mg/m2 dan 200mg/m2 (39,5%vs38,0%,p=0,868, RR 1,039,CI 0,662-1,630).
Kesimpulan. Proporsi AKD cukup tinggi (38,9%) , namun tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian AKD antara dosis kumulatif cisplatin >200mg/m2 dengan 200mg/m2

Background. Cisplatin is still the first choice agent for chemoradiation in localy advanced-stage Nasopharingeal Cancer (NPC) patients. Acute Kidney Disease (AKD) is one of the main toxicity in cisplatin. Known cumulative doses associated with survival. It is not yet known how the cisplatin cumulative dose relationship with AKD.
Objective. To determine the relationship of cisplatin cumulative dose with the incidence of AKD
Methods The design of this study was a retrospective cohort. There were 126 study subjects from advanced stage NPC patients who get chemoradiation at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period of January 2014 to June 2019. AKD was in accordance with the Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) study. Bivariate analysis using the chi Square test to find out the relationship between variables.
Results. This study found 126 patients who received chemoradiation for the first time at the RSCM. Obtained 49 (38,9%) patients who get AKD. Excluding the difference in the incidence of AKD between the groups receiving cisplatin with cumulative doses of >200 mg / m2 and 200 mg / m2 (39,5%vs38,0%,p=0,868,RR 1,039,CI 0,662-1,630)
Conclusion. The proportion of AKD is quite high (38,9%), but does not contain a significant difference with the AKD between the cumulative dose of cisplatin >200mg / m2 with 200mg / m2
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Araminta Ramadhania
"Pasien kanker kepala-leher berisiko tinggi mengalami malnutrisi disebabkan oleh perubahan metabolisme, lokasi tumor, serta gejala toksisitas akut akibat kemoradiasi. Terapi medik gizi secara dini sejak pasien terdiagnosis kanker untuk mencapai asupan energi dan protein yang adekuat, didukung asupan branched-chain amino acid (BCAA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) sesuai target, serta aktivitas fisik dapat menjaga massa otot dan status gizi pasien. Acute kidney injury (AKI) merupakan efek toksisitas obat kemoterapi berbasis platinum yang sering dialami pasien. Kondisi tersebut dapat menghambat optimalisasi pemberian nutrisi khususnya protein pada pasien kanker. Tiga dari empat pasien serial kasus sudah mengalami penurunan berat badan drastis, juga pre-kaheksia atau kaheksia sebelum mendapat terapi medik gizi. Selama menjalani kemoradiasi, asupan keempat pasien mengalami penurunan akibat gejala toksisitas akut yang semakin memberat mulai minggu ke-2 radiasi, sehingga tiga dari empat pasien tidak dapat mencapai target asupan energi dan protein pada sebagian besar pemantauan, dengan kisaran antara 6–41 kkal/kgBB/hari dan 0,3–1,6 g/kgBB/hari. Pemberian oral nutrition supplements (ONS) dan nutrisi enteral melalui nasogastric tube (NGT) membantu pemenuhan makronutrien, mikronutrien, serta nutrien spesifik. Berbagai studi menyatakan bahwa pasien yang mendapat terapi medik gizi disertai konseling nutrisi rutin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit selama menjalani kemoradiasi. Keempat pasien serial kasus ini mengalami penurunan berat badan >10% selama menjalani kemoradiasi, terutama dari penurunan massa otot. Pasien juga mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Dua orang pasien yang mendapat terapi medik gizi sejak sebelum kemoradiasi disertai asupan nutrien spesifik sesuai target, dengan rentang asupan BCAA 3,5–16,2 g/hari dan EPA 1–1,38 g/hari, mengalami penurunan berat badan dan kualitas hidup relatif lebih sedikit dibanding dua pasien lainnya. Dibutuhkan asupan energi ≥30 kkal/hari dan asupan protein ≥1,2 g/hari disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. Penurunan asupan masih dapat terjadi hingga beberapa minggu pascakemoradiasi, sehingga pemberian terapi medik gizi juga harus dilanjutkan setelah terapi kanker selesai.

Patients with head and neck cancer are at risk of malnutrition as a result of the metabolic alteration, site of their cancer, also acute toxicity following chemoradiation therapy. Early nutrition intervention consisted of adequate energy, protein, BCAA, and EPA intake, including physical activity initiated immediately after diagnosis was made, may maintain skeletal muscle mass and nutritional status. Platinum-based chemotherapy drug-induced nephrotoxicity can hinder the optimization of protein intake in cancer patients. Three out of four patients in this case series had experienced severe weight loss, also pre-cachexia and cachexia before initiation of nutrition intervention. Energy and protein intake of three patients remained insufficient until the end of chemoradiation therapy, ranged from 6–41 kcal/kg/day and 0,3–1,6 g/kg/day. These inadequacies were mainly caused by acute radiation toxicities that worsen as radiation went on. Oral nutrition supplements and enteral tube feeding may help to achieve adequate macronutrient, micronutrient, and specific nutrient intake. A number of studies demonstrated that regular dietary counseling during chemoradiation was associated with less weight loss. All patients in this case series suffered from weight loss >10%, mainly from skeletal muscle loss. Functional status and quality of life during chemoradiation therapy were also reduced. Better quality of life and less weight loss were seen in two patients who received early nutrition intervention and reached the daily intake target of specific nutrient, ranged from 3,5–16,2 g/day for BCAA and 1–1,38 g/day for EPA. Energy intake ≥30 kcal/day and protein intake ≥1,2 g/day combined with increased physical activity are needed to maintain or increase muscle mass. Side effects of radiation can last for months after treatment; therefore, nutrition intervention should be continued to maintain good nutrition after radiation therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Adimulya Tasela
"Latar belakang: Gagal ginjal akut (GGA) menjadi salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi setelah prosedur bedah pintas arteri koroner (BPAK). GGA paska
operasi jantung secara independen berhubungan dengan peningkatan 3-8 kali lipat angka morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang durasi perawatan (hospitalisasi) sehingga dapat meningkatkan biaya kesehatan. Untuk menurunkan insidensi GGA ini, dibutuhkan modalitas pemeriksaan sebelum operasi yang berhubungan dengan kejadian GGA paska BPAK sehingga dapat digunakan sebagai prediktor nantinya untuk tindakan pencegahan. Indeks resistif renal (IRR) diketahui dapat menggambarkan kondisi resistensi dan komplians pembuluh darah yang berhubungan dengan patofisiologi GGA paska BPAK. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara nilai IRR dan kejadian GGA paska BPAK. Tujuan: Mengetahui hubungan nilai IRR terhadap kejadian GGA paska BPAK Metode: Pasien yang akan dilakukan prosedur BPAK akan menjalani pemeriksaan dupleks renalis untuk mendapatkan nilai IRR. Luaran gagal ginjal akut dinilai dengan pemeriksaan kadar kreatinin darah selama 48 jam paska BPAK Hasil: Terdapat 96 pasien yang menjadi subjek penelitian. Median nilai IRR pada subjek penelitian ini ialah 0.71 (0.57-0.87). Terdapat perbedaan median nilai IRR antara kelompok GGA dan non GGA (0.73, rentang 0.57-0.87 dan 0.65, rentang 0.58-0.72). Nilai IRR memiliki korelasi yang cukup baik terhadap kejadian GGA paska BPAK (nilai koefisien korelasi r = 0.66, p < 0,001) dengan titik potong pada
nilai IRR 0.685 (sensitivitas 82.40%, spesifisitas 73.30%). Faktor-faktor lain seperti usia, diabetes melitus, hipertensi, nilai kreatinin serum pre operatif, klirens kreatinin pre operatif, fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal dan durasi klem silang aorta secara statistika berbeda bermakna berhubungan terhadap kejadian GGA paska BPAK. Namun dari analisis multivariat, hanya faktor fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal, nilai IRR, dan diabetes mellitus terbukti bermakna Kesimpulan: Terdapat hubungan antara IRR dengan kejadian gagal ginjal akut paska BPAK. Nilai IRR 0.685 merupakan titik potong optimal (sensitivitas 82,40% dan spesifisitas 73.30%)

Background: Acute kidney injury (AKI) still become one of the serious complications that can occur after a coronary artery bypass graft (CABG) procedure. Post-operative AKI is independently associated with a 3-8 fold increase in morbidity and mortality and extending the duration of treatment (hospitalization) thereby increasing health costs. To reduce the incidence of AKI, a modality of examination prior surgery which is related to the incidence of post-operative AKI is needed so that it can be used as a predictor later for preventive action. The renal resistive index (RRI) is known to be able to describe the condition of resistance and vascular compliance which are related to the pathophysiology of post-operative AKI. However, there has been no research that assesses the direct relationship between RRI values and the incidence of post-operative AKI Objectives: To investigate the relationship between RRI value and incidence of post-operative AKI in patients underwent CABG procedure. Methods: CABG candidates patients will undergo duplex renalis examination to obtain an RRI score. Outcome of renal impairment was assessed by blood creatinine examination within 48 hours after CABG procedure. Results: There were 96 patients who became the subject of the study. The median of RRI value in this study subjects was 0.71 (0.57-0.87). There were differences in median of RRI values between groups with post-operative AKI and those not (0.73, range 0.57-0.87 dan 0.65, range 0.58-0.72). There was quite good correlation between RRI and post-operative AKI (p < 0.001 with correlation coefficient r = 0.66) with cut off point of IRR value was 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%). Other factors such as age, diabetes mellitus, hypertension, ejection fraction, CPB duration, and aortic cross clamp duration are associated with incidence of post-operative AKI. However, multivariat analysis showed only ejection fraction, cardiopulmonary bypass duration, RRI, and diabetes mellitus significantly related to post-operative AKI Conclusion: RRI values has relationship with post-operative AKI. The optimal cut off value of RRI retrieved by this study is 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winnugroho Wiratman
"Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala
neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi.
Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi
kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang
mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan
cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai
kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak
menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan
neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan
dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Februari hingga Mei 2013.
Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19
subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian
berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51
subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati
secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik
80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47%
mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami
demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN
Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang
mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien
mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik
merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat
kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total
yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada
pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin

Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy.
Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic
process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of
nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This
study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received
chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with
cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as
kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause
peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders
previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical
examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted
using a cross-sectional design. The data was collected between February and May
2013.
Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female
subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60
years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had
neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There
were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32%
had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had
the experience of pure demyelination. There is a statistically significant
relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each
p <0,05).
Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC
patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who
experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical
neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all
factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin
chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Salman Paris
"Latar Belakang: Karsinoma narofaring (KNF) termasuk kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia dengan prognosis yang cukup. Dalam menentukan progresifitas suatu kanker, didapatkan peranan penting dari penurunan tumor supresor gen dan peningkatan proliferasi. Hal tersebut ditandai oleh marker p53 sebagai gen supresor yang menginduksi apoptosis dan Ki67 sebagai marker proliferasi sel. Hingga saat ini belum terdapat penelitian mengenai hubungan overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan analisis kesintasan selama 3 tahun pada KNF stadium lokal lanjut. Tujuan: Mencari hubungan antara overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan kesintasan 3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain analisis kesintasan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif, dengan pengambilan data dari rekam medis kemudian ditelusuri riwayat perjalanan penyakitnya. Sample penelitian berupa jaringan pada blok parafin pasien KNF stadium lokal lanjut yang diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian dari periode 2015–2017 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejumlah 82 orang. Hasil: Dari total 82 pasien KNF stadium local lanjut, terdapat 65 pasien kelamin laki – laki (79,3%) dan 17 pasien perempuan (20,7%), dengan usia paling banyak pada kelompok 41 – 50 tahun sebanyak 31,8%. Overekspresi p53 ditemukan pada 36 pasien (43,9%), sementara overekspresi Ki67 ditemukan pada 35 pasien (42,7%). Dari respon kemoradiasi, pasien dengan overekspresi p53 dan Ki67 berpeluang memberikan respon negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan low ekspresi (RR = 3,052 dengan IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 dengan IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 berturut-turut). Dinilai dari kesintasan 3 tahun, pasien dengan overekspresi p53 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih buruk dibandingkan dengan low ekspresi (HR = 19,827 dengan IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Begitu juga dengan overekspresi Ki67 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih rendah.

Background: Naropharyngeal carcinoma (NPC) is a cancer with a fairly high prevalence in Indonesia with a fairly poor prognosis. Tumor supressor gene and cancer proliferation played an important roles in determining the progression of a cancer. This was indicated by the marker p53 as a suppressor gene that induces apoptosis and Ki67 as a marker of cell proliferation. There has been limited research on the relationship of p53 and Ki67 overexpression to the chemoradiation response and 3-year survival in locally advanced NPC. Objective: To determine the relationship between p53 and Ki67 overexpression with chemoradiation response to therapy and 3-year survival in locally advanced NPC patients. Methods: This research is an observational analytic study with a survival analysis design. This study used a retrospective cohort study design, by collecting data from medical records and then tracing the history of the disease. The research sample was tissue in the paraffin block of locally advanced NPC patients taken by consecutive sampling from the study population from period 2015–2017 at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital with a total number of 82 patients.
Results: From a total of 82 patients with locally advanced NPC, there were 65 male patients (79.3%) and 17 female patients (20.7%), with the most age being in the 41-50 years group as many as 31.8 %. Overexpression of p53 was found in 36 patients (43.9%), while overexpression of Ki67 was found in 35 patients (42.7%). Based on therapy response, patients with overexpression of p53 and Ki67 had a higher chance of giving a negative response compared to those with low expression (RR = 3,052 with IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 with IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 respectively). Assessed by 3- year survival, patients with p53 overexpression were statistically significantly worse than those with low-expression (HR = 19,827 with IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Likewise, Ki67 overexpression was statistically significant and had a lower 3-year survival compared to low Ki67 expression (HR = 14,634 with IK95%: 5,074 – 42,204, p = <0,001). Conclusion: Locally advanced NPC patients with p53 overexpression and Ki67 overexpression have a tendency to give a negative chemoradiation response and have a lower 3-year survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuki Andrianto
"Tujuan: PD-L1 merupakan protein yang berperan dalam pengaturan respon imun terhadap tumor. Peningkatan ekspresi PD-L1 mengakibatkan antigen atau sel kanker dapat terhindar dari sistem imun. Hubungan ekspresi PD-L1 dengan penggunaan imunoterapi dan radioterapi secara bersamaan telah banyak dilakukan. Akan tetapi, saat ini masih belum diketahui hubungan antara ekspresi tersebut dengan toksisitas akut radiasi. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi hubungan antara ekspresi PD-L1 dengan toksisitas akut selama radiasi dan 2 bulan paska radiasi. Metoda: 30 pasien kanker serviks lanjut local yang mendapatkan terapi radiasi di Departemen radioterapi RSCM. Pasien dilakukan biopsy 2 kali yaitu pra radiasi eksterna dan paska radiasi eksterna untuk dilakukan pemeriksaan ELISA & IHK PD-L1. Selama menjalani radiasi eksterna dan 2 bulan paska radiasi, pasien dievaluasi toksisitas akut dengan kirteria CTCAE versi 5. Hasil: Ekspresi PD-L1 pada kanker serviks lanjut lokal yang mendapatkan radiasi tidak memengaruhi pada toksisitas akut selama radiasi eksterna dan 2 bulan paska radiasi (p>0,05). Akan tetapi, IHK PD-L1 dengan intesitas ≥ 2 dan ELISA PD-L1 yang mengalami penurunan dari pra radiasi ke paska radiasi, menunjukkan ada kecenderungan memiliki toksisitas yang lebih rendah yaitu ≤ Grade 1. Kesimpulan: Ekspresi PD-L1 tidak menurunkan toksisitas akut radiasi selama radiasi dan 2 bulan paska terapi pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal. Akan tetapi, pada toksisitas akut 2 bulan paska terapi menunjukkan kecenderungan mendapatkan toksisitas radiasi yang lebih rendah pada pasien yang memiliki ekspresi PD-L1.

Objectives: PD-L1 is a protein that controls the immune response to tumors. Increased PD-L1 expression results in immune system not detecting cancer cells. There was a correlation between the expression of PD-L1 and the combined use of immunotherapy and radiotherapy. At this time, however, there is no established association between these expression and radiation acute toxicity.
Methods: Totally 30 locally advanced cervical cancer patients receiving radiation therapy in the Department of Radiotherapy of RSCM. Biopsy was performed twice, pre-external radiation and post-external radiation for PD-L1 ELISA & IHC tests. The patient was evaluated for radiation of acute toxicity with CTCAE version 5 during external radiation and 2 months post-radiation.
Results: The expression of PD-L1 in local advanced cervical cancer which received radiation did not affect acute toxicity during external radiation and 2 months post radiation (p > 0.05). However, PD-L1 CPI with intensity ≥ 2 and PD-L1 ELISA which decreased from pre-radiation to post-radiation, showed a tendency to have lower toxicity, namely ≤ Grade 1. Conclusion: PD-L1 expression in local advanced cervical cancer patients did not reduce the acute toxicity of radiation during external radiation and 2 months post-treatment. Nonetheless, 2 months post-therapy, acute toxicity showed a propensity to lower toxicity in patients with expression of PD-L1.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuki Andrianto
"Tujuan: PD-L1 merupakan protein yang berperan dalam pengaturan respon imun terhadap tumor. Peningkatan ekspresi PD-L1 mengakibatkan antigen atau sel kanker dapat terhindar dari sistem imun. Hubungan ekspresi PD-L1 dengan penggunaan imunoterapi dan radioterapi secara bersamaan telah banyak dilakukan. Akan tetapi, saat ini masih belum diketahui hubungan antara ekspresi tersebut dengan toksisitas akut radiasi. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi hubungan antara ekspresi PD-L1 dengan toksisitas akut selama radiasi dan 2 bulan paska radiasi. Metoda: 30 pasien kanker serviks lanjut local yang mendapatkan terapi radiasi di Departemen radioterapi RSCM. Pasien dilakukan biopsy 2 kali yaitu pra radiasi eksterna dan paska radiasi eksterna untuk dilakukan pemeriksaan ELISA & IHK PD-L1. Selama menjalani radiasi eksterna dan 2 bulan paska radiasi, pasien dievaluasi toksisitas akut dengan kirteria CTCAE versi 5. Hasil: Ekspresi PD-L1 pada kanker serviks lanjut lokal yang mendapatkan radiasi tidak memengaruhi pada toksisitas akut selama radiasi eksterna dan 2 bulan paska radiasi (p>0,05). Akan tetapi, IHK PD-L1 dengan intesitas ≥ 2 dan ELISA PD-L1 yang mengalami penurunan dari pra radiasi ke paska radiasi, menunjukkan ada kecenderungan memiliki toksisitas yang lebih rendah yaitu ≤ Grade 1. Kesimpulan: Ekspresi PD-L1 tidak menurunkan toksisitas akut radiasi selama radiasi dan 2 bulan paska terapi pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal. Akan tetapi, pada toksisitas akut 2 bulan paska terapi menunjukkan kecenderungan mendapatkan toksisitas radiasi yang lebih rendah pada pasien yang memiliki ekspresi PD-L1.

Objectives: PD-L1 is a protein that controls the immune response to tumors. Increased PD-L1 expression results in immune system not detecting cancer cells. There was a correlation between the expression of PD-L1 and the combined use of immunotherapy and radiotherapy. At this time, however, there is no established association between these expression and radiation acute toxicity. Methods: Totally 30 locally advanced cervical cancer patients receiving radiation therapy in the Department of Radiotherapy of RSCM. Biopsy was performed twice, pre-external radiation and post-external radiation for PD-L1 ELISA & IHC tests. The patient was evaluated for radiation of acute toxicity with CTCAE version 5 during external radiation and 2 months post-radiation. Results: The expression of PD-L1 in local advanced cervical cancer which received radiation did not affect acute toxicity during external radiation and 2 months post radiation (p > 0.05). However, PD-L1 CPI with intensity ≥ 2 and PD-L1 ELISA which decreased from pre-radiation to post-radiation, showed a tendency to have lower toxicity, namely ≤ Grade 1. Conclusion: PD-L1 expression in local advanced cervical cancer patients did not reduce the acute toxicity of radiation during external radiation and 2 months post-treatment. Nonetheless, 2 months post-therapy, acute toxicity showed a propensity to lower toxicity in patients with expression of PD-L1."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Syahidatul Wafa
"Latar Belakang: Strategi yang sering digunakan untuk mengurangi kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin adalah kombinasi hidrasi dan mannitol. Walaupun sebagian studi menyatakan bahwa mannitol menurunkan kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin, studi lainnya menunjukkan hal sebaliknya.
Tujuan: Mengetahui pengaruh penambahan mannitol pada hidrasi terhadap kejadian acute kidney injury pada pasien kanker yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi.
Metode: Studi dengan desain kohort ambispektif terhadap pasien kanker organ padat yang mendapat kemoterapi cisplatin dosis tinggi di RSCM dan MRCCC Siloam Hospitals. Penelitian dilakukan pada September 2017-Februari 2018. Luaran yang dinilai adalah peningkatan kreatinin serum ge; 0,3 mg/dl atau 1,5 kali kadar pra kemoterapi. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi antara kelompok dengan penambahan mannitol terhadap kelompok tanpa penambahan mannitol pada hidrasi.
Hasil: Data didapat dari 110 pasien (57,3% laki-laki) dengan median usia 44,5 tahun (kisaran 19 - 60 tahun); 63 mendapat penambahan mannitol dan 47 hanya hidrasi. Proporsi kejadian AKI lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan penambahan mannitol vs kelompok tanpa penambahan mannitol (22,6% vs 10,4%). Pada analisis bivariat didapatkan penambahan mannitol pada hidrasi meningkatkan probabilitas terjadinya AKI pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi, dengan risiko relatif (RR) sebesar 2,168 (IK 95% 0,839-5,6). Pada analisis multivariat dengan mengontrol usia, adjusted RR adalah 3,52 (IK 95% 1,11-11,162; p value = 0,033).
Simpulan : Penambahan mannitol pada hidrasi memiliki risiko lebih besar terhadap kejadian AKI pasca kemoterapi Cisplatin dosis tinggi.

Background: The addition of mannitol to saline hydration has been used frequently for preventing cisplatin induced acute kidney injury (AKI). Meanwhile, the initial studies demonstrated that mannitol diuresis decreased cisplatin induced renal injury and others have shown renal injury to be worst.
Objective: To compare the risk of acute kidney injury in cancer patients receiving high dose cisplatin with and without addition of mannitol.
Method: This was an ambispective cohort study based on consecutive sampling at Cipto Mangunkusumo General Hospital and Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals. The data was obtained from September 2017 to February 2018. The choice of mannitol administration based on responsible physician clinical judgment. The outcome was any increment more than 0,3 mg/dl or 1,5 times from baseline of serum creatinine. Analysis was done by using SPSS statistic which consist of; univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of cisplatin induced acute kidney injury probability of mannitol addition on hydration.
Result: Data from 110 patients (57,3%) male with a median age of 44,5 years old (range 19 to 60 years old) were collected; 47 received saline alone and 63 received saline with mannitol addition. Acute kidney injury were higher with mannitol than without mannitol addition (22,6% vs 10,4%). Bivariate analysis showed higher probability of post chemotherapy AKI in mannitol group (RR 2,168; 95% CI 0,839-5,6). On multivariate analysis the adjusted RR was 3,52 (95% CI 1,11-11,162; p value = 0,033) by controlling age.
Conclusion: The addition of mannitol on hydration had higher risk of AKI after high dose cisplatin chemotherapy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bernardine Godong
"AKI disebabkan oleh pengaruh gangguan sistemik atau lokal hemodinamik yang menyebabkan terjadinya stres atau kerusakan pada sel tubular yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal kronik. Pasien yang mengalami malnutrisi dengan peningkatan prevalensi kejadian AKI sebanyak 2,25 kali. Skrining pasien malnutrisi dilakukan dalam 24 hingga 48 jam pertama saat pasien masuk ke rumah sakit menggunakan alat skrining, salah satunya adalah NRS-2002. Penelitian menggunakan desain kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di RSUPN dr. CIpto Mangunkusumo dan RSUI. Diperoleh 64 subjek dengan kelompok skor NRS-2002 ≥ 3 sebanyak 36 subjek dan kelompok skor NRS < 3 sebanyak 28 subjek. Jumlah pasien laki-laki sebanyak 40 (62,5%) subjek, dan perempuan sebanyak 24 (37,5%) subjek, dengan usia rerata 50,95 tahun. Berdasarkan indeks massa tubuh, kelompok IMT dengan malnutrisi adalah kelompok terbanyak dengan jumlah 21 (32,8%) subjek. Pasien dengan faktor risiko hipertensi sebanyak 18 (28,1%) subjek. Subjek dengan Skor NRS ≥ 3 didapatkan 36 subjek dengan 10 orang yang mengalami AKI. Subjek dengan skor NRS <3 didapatkan sebanyak 28 orang dengan 1 orang mengalami AKI. Hasil uji statistik menggunakan uji fischer’s exact test diperoleh nilai p 0,017 ( RR 7,78, CI 95% 1,06-57,20). Hal ini menyatakan bahwa didapatkan hubungan bermakna antara skor Nutritional Risk Screening – 2002 dengan kejadian acute kidney injury pada pasien sakit kritis

AKI is caused by systemic or local hemodynamic disturbances that result in stress or damage to tubular cells, which can progress to chronic kidney failure. Patients experiencing malnutrition have a 2.25 times higher prevalence of AKI. Screening for malnutrition is conducted within the first 24 to 48 hours of hospital admission using screening tools such as the NRS-2002. This study used a prospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. A total of 64 subjects were obtained, with 36 subjects having an NRS-2002 score ≥ 3 and 28 subjects having an NRS score < 3. There were 40 male subjects (62.5%) and 24 female subjects (37.5%), with an average age of 50.95 years. Based on body mass index, the group with malnutrition was the largest group, with 21 subjects (32.8%). There were 18 subjects (28.1%) with hypertension as a risk factor. Subjects with an NRS score ≥ 3 included 36 subjects, with 10 of them experiencing AKI. Subjects with an NRS score <3 included 28 people, with 1 person experiencing AKI. The results of the statistical test using Fischer's exact test obtained a p-value of 0.017 (RR 7.78, CI 95% 1.06-57.20). This indicates a significant relationship between the Nutritional Risk Screening - 2002 score and the incidence of acute kidney injury in critically ill patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Hanum
"Pasien gagal ginjal kornik (GGK) membutuhkan penatalaksaan berupa pengaturan diet, masukan kalori suplemen dan vitamin, obat-obatan, pembatasan asupan cairan dan terapi pengganti ginjal. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal. Komplikasi pada hemodialisis seringkali terjadi karena masalah kepatuhan diet. Penerimaan penyakit dan dukungan sosial dapat berhubungan dengan kepatuhan diet. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan penerimaan penyakit dan dukungan sosial dengan kepatuhan diet pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan consecutive sampling pada 106 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner acceptance of illness, kusioner dukungan sosial dan kuesioner kepatuhan diet. Analisis yang digunakan yaitu uji Chi-Square dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian didapatkan responden yang patuh terhadap kepatuhan diet sebanyak 78.3%, dukungan sosial tinggi sebanyak 61.3% dan penerimaan penyakit tinggi 40.6%. Hasil analisis didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan penyakit dengan kepatuhan diet (p=0.005), terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan kepatuhan diet (p=0.026). Selanjutnya pada analisis multivariat variabel yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan diet adalah lama menjalani hemodialisis (p=0.032) setelah dikontrol variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan pekerjaan, lama menjalani hemodialisis, sosial ekonomi, penerimaan penyakit, dan dukungan sosial serta mampu memprediksi sebesar 8% terhadap kepatuhan diet. Rekomendasi penelitian ini adalah perawat perlu mengidentifikasi serta melakukan upaya meningkatkan penerimaan penyakit dan dukungan sosial pada pasien untuk meningkatkan kepatuhan diet.

Patients with chronic kidney disease (CKD) require management in the form of diet regulation, calorie intake, supplements and vitamins, medication, limiting fluid intake and kidney replacement therapy. Hemodialysis is a type of kidney replacement therapy. Complications in hemodialysis often occur due to dietary compliance problems. Disease acceptance and social support may be associated with dietary compliance. This research aims to determine the relationship between acceptance of illness and social support with dietary compliance in CKD patients undergoing hemodialysis. This study used a cross-sectional design with consecutive sampling of 106 respondents. Data were collected using an acceptance of illness questionnaire, social support questionnaire and diet compliance questionnaire. The analysis used is the Chi-Square test and logistic regression. The research results showed that 78.3% of respondents were compliant with diet, 61.3% had high social support and 40.6% had high disease acceptance. The results of the analysis showed that there was a significant relationship between acceptance of illness and diet compliance (p=0.005), and there was a significant relationship between social support and diet compliance (p=0.026). Furthermore, in the multivariate analysis, the variable that most dominantly influenced diet compliance was the length of time undergoing hemodialysis (p=0.032) after controlling for the variables gender, occupational education level, length of time undergoing hemodialysis, socio-economics, disease acceptance, and social support and was able to predict 8% of dietary compliance. This research recommends that nurses need to identify and make efforts to increase disease acceptance and social support for patients to increase dietary compliance."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>