Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34964 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fiqi Fatichadiasty
"ABSTRAK
Hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) sebagai lembaga penegak hukum
administrasi bagi para pencari keadilan, seringkali menemui hambatan atas
pelaksanaan/eksekusi putusan. Putusan yang dimaksud ialah dalam konteks
putusan tersebut sudah in kracht, terhadap putusan yang sudah in kracht tersebut
Pejabat TUN selaku pihak yang kalah seringkali tidak mau mematuhi isi putusan
dari para hakim PTUN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan data sekunder. Terhadap faktor-faktor tidak
dilaksanakannya putusan TUN disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
seperti belum adanya pengaturan pelaksanaan terkait uang paksa, penggunaan
media massa sebagai upaya pejabat TUN jera ternyata tidak mudah dijangkau oleh
penggugat, eksekusi hierarkis yang sering tidak ditindaklanjuti, serta dapat
disimpulkan sekalipun terdapat berbagai macam upaya paksa ternyata letak
martabat dan daya eksekusi putusan TUN sendiri berada pada kesadaran/self
respect dari pejabat TUN. Adapun perbuatan tidak patuh terhadap isi putusan
TUN tersebut dapat masuk kedalam unsur perbuatan Contempt of Court yang
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Adapun jenis perbuatan
konstitutif ketidak patuhan pejabat TUN masuk kedalam bentuk penentangan
terhadap perintah pengadilan secara terbuka atau disebut Obstruction of Justice.
Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap kemungkinan kriminalisasi Pejabat TUN
sesuai Pasal 216 KUHP atas konsekuensi perbuatan tidak patuh tersebut.

ABSTRACT
The presence of the State Administrative Court (TUN) as an administrative law
enforcement agency for justice seekers, often faces obstacles to the
implementation / execution of decisions. The verdict in question is in the context
of the verdict already in kracht, against the verdict that is already in kracht TUN
officials as the losing party often do not want to comply with the contents of the
decisions of the PTUN judges. This type of research is normative legal research
using secondary data. The factors that the implementation of the TUN verdict
were not caused by several factors such as the lack of implementation
arrangements related to forced money, the use of mass media as a deterrent from
TUN officials was apparently not easy to reach by the plaintiff, hierarchical
executions were often not followed up, and it could be concluded even though
there were various the kind of forced effort turns out that the location of the
dignity and power of execution of the TUN decision itself is in the awareness /
self respect of the TUN official. The act of not complying with the contents of the
TUN decision can be included in the Contempt of Court element of action
mentioned in Act Number 14 of 1985 jo Law Number 5 of 2004 concerning the
Supreme Court. The type of constitutive act of disobedience of TUN officials goes
into the form of open opposition to court orders or called Obstruction of Justice.
This can have implications for the possibility of criminalization of TUN Officials
in accordance with Article 216 of the Criminal Code for the consequences of such
non-compliance.
"
2020
T54430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mailani
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S22185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oemar Seno Adji
Jakarta: Wirawan PD, 2000
345 OEM c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hayati Diyan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang permasalahan imbalan jasa kurator dari suatu kasus kepailitan yang dihadapkan pada dua peraturan, di mana dua peraturan tersebut memiliki beberapa perbedaan substansi yang saling bertolak belakang. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tipologi penelitian Preskriptif. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dua peraturan yang memiliki beberapa perbedaan substansi tersebut sama-sama menerapkan sistem hourly sehingga seharusnya penetapan imbalan jasa kurator harus dihitung berdasarkan jam kerja kurator. Sedangkan pihak yang wajib membayar imbalan jasa kurator adalah pemohon pailit dan debitor dan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap penetapan tersebut adalah kasasi.

ABSTRACT
This thesis deals with the curator’s service fee of a bankruptcy which has two different rules and substantial. It uses a normative method and prescriptive. The result of this research conclude that those two different rules use the same method which apply hourly systems so that a curators service fee should be calculated based on how many hours he has worked. The one who has the obligation to pay a curators service fee is the one who filing the petition and debtor. The legal remedy of the judgment is cassation."
2013
T35057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Luhut M.P.
Jakarta: Djambatan, 1996
347.052 PAN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Ratu Sari
"Kita mengenal apa yang dinamakan kebebasan pers. Kebebasan pers itu sendiri tidak bersifat mutlak. Salah satu pembatasnya adalah kode etik jurnalistik. Pasal-pasal dalam kode etik jurnalistik merupakan saringan bagi kebebasan pers. Dengan begitu, pers tidak dapat menyajikan berita sebebas-bebasnya. Ada suatu pedoman yang harus dijadikan pegangan, yang harus dihormati agar beritanya tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan dalam kode etik jurnalistik. Dengan mematuhi kode etik jurnalistik misalnya, pemberitaan di media massa diharapkan tidak menghukum seseorang bersalah atau tidak.
Di Indonesia belum terdapat peraturan yang mengatur tentang trial by the press. Padahal, pemberitaan yang sudah "memvonis" seseorang tersangka dilihat dari sudut tata negara sudah merupakan trial by the press, karena sudah merupakan perusakan sistem ketatanegaraan (Loqman, 1994:10).
Dalam suatu negara hukum, dilarang main hakim sendiri (Eigenrichting). Karena itu, tindakan pers yang "memvonis" tersangka padahal hakim belum menjatuhkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, merupakan pelanggaran terhadap fungsi kekuasaan kehakiman. Seharusnya kekuasaan kehakiman yang menentukan kesalahan seseorang tersangka, tidak boleh dipengaruhi kekuasaan apapun termasuk media massa. Kekuasaan kehakiman harus bebas.
Menurut Padmo Wahyono (dalam Logman, 1994:10), trial by the press dapat dilihat dari dua sisi, yakni pers yang bebas menghakimi seseorang. Jadi ada suatu pertentangan dengan kebebasan seseorang dan pers yang bebas ikut campur atau mempengaruhi kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Dalam hal sisi yang pertama bila dikaitkan dengan Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, maka kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Karena itu, tidak ada pemberian kekuasaan di luar kehakiman dalam menghakimi seseorang. Jadi, penghakiman oleh pers merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi.
Sedangkan sisi yang kedua, hakim yang profesional dalam kariernya tidak akan terpengaruh oleh tanggapan pers yang bebas. Bila pemberitaan pers sampai mempengaruhi jalannya suatu proses peradilan, maka hal itu merupakan masalah yang sifatnya konstitusional. Karena di satu pihak kebebasan pers harus dihormati, di lain pihak kebebasan pers jangan sampai menghakimi tersangka (jangan sampai terjadi trial by the press).
Di beberapa negara, bila sampai terjadi penghakiman oleh pers, maka media massa tersebut diberi sanksi dengan dasar telah melakukan contempt of court (kejahatan terhadap proses peradilan). Ini berarti, media massa tersebut dianggap telah melakukan trial by the press dan harus mempertanggungjawabkannya melalui peradilan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oemar Seno Adji
Jakarta: Diadit Media, 2007
347.05 OEM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Izzati
"Warga masyarakat dalam pengajuan gugatan perkara perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) sudah seharusnya memperhatikan karakteristik dan kompetensi absolut dari perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang ingin digugat. Hal ini disebabkan ketepatan karakteristik dan tempat pengajuan gugatan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad menjadi salah satu syarat materil dan formil dalam mengajukan gugatan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad sehingga gugatan warga masyarakat diterima dan dapat dilanjutkan untuk diperiksa dalam proses persidangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative dan metode pendekatan kasus dengan peraturan perundang-undangan dan 7 putusan pengadilan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang menjadi bahan hukum primer. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa terhadap gugatan perkaraOnrechtmatige Overheidsdaad dengan berlakunya Perma Nomor 2 Tahun 2019 tidak serta merta hanya menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi dapat menjadi bagian dari kewenangan Pengadilan Negeri. Untuk mengetahui manakah perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri maka Penggugat harus memperhatikan karakteristik dari perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang ingin digugat.

Citizens filing lawsuits for unlawful acts by Government Agencies and/or Officials (Onrechtmatige Overheidsdaad) should already pay attention to the characteristics and absolute competence of the Onrechtmatige Overheidsdaad case that they wish to sue. This is due to the accuracy of the characteristics and place of submission of the Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit which is one of the material and formal requirements in filing an Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit so that the community's claim is accepted and can be continued for examination in the trial process. The research method used is normative juridical and case approach methods with statutory regulations and 7 decisions of the Onrechtmatige Overheidsdaad case court which are the primary legal material. The results obtained from this study are that the Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit with the enactment of Perma Number 2 of 2019 does not necessarily only become the authority of the State Administrative Court, but can become part of the authority of the District Court. To find out which Onrechtmatige Overheidsdaad cases are the absolute competence of the State Administrative Court and the District Court, the Plaintiff must pay attention to the characteristics of the Onrechtmatige Overheidsdaad case that he wishes to sue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>