Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205709 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tina Reisa
"Pendahuluan: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) merupakan masalah kesehatan global dan sebagai hambatan dalam upaya pengendalian tuberkulosis (TB) di dunia. Infeksi sekunder adalah infeksi yang terjadi pada saat terinfeksi kuman lain atau sedang dalam terapi untuk jenis kuman lain. Infeksi sekunder pada pasien TB dapat disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi imunitas individu. Koinfeksi dengan organisme lain dapat berperan dalam progresivitas TB dan mempengaruhi luaran terapi TB. Data mengenai pola mikroorganisme pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui pola mikroorganisme pada pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif kohort di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2018 hingga Desember 2018. Kami meninjau rekam medis 84 pasien dengan diagnosis TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan 66 status rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 66 pasien yang termasuk dalam penelitian ini 65,2% infeksi saluran napas bawah bronkiektasis terinfeksi. Status HIV reaktif berhubungan dnegan kejadian infeksi saluran napas bawah pada pasien TB RO (p=0,001). Gangguan fungsi ginjal dan gangguan fungsi hati juga berhubungan bermakna dengan kejadian infeksi saluran napas bawah (p=0,041 dan p=0,046). Klebsiella pneumonia adalah mikroorganisme terbanyak yaitu 15,2%. Kuman multidrug resistant obat (MDRO) ditemukan sebanyak 56% dengan mikroorganisme MDRO terbanyak adalah Acinetobacter baumanii. Waktu konversi sputum memiliki rerata 2,96 ± 1,83 bulan. Kematian < 30 hari ditemukan sebanyak 30,3% dan ada hubungan yang bermakna antara infeksi saluran napas bawah dan kematian < 30 hari pada pasien TB RO (p=0,025).
Kesimpulan: Infeksi saluran napas bawah pada TB RO yang paling banyak adalah bronkiektasis terinfeksi dengan pola mikroorganisme gram negatif serta kuman MDRO banyak ditemukan. Kejadian infeksi saluran napas bawah berhubungan bermakna terhadap kematian < 30 hari pada pada pasien TB RO.

Introductions: Secondary lower respiratory tract infection (LRTI) in drug-resistant (DR) tuberculosis (TB) patients may alter disease progression and therapy outcomes. Specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients in Indonesia is yet to be known.
Aims: To identify the specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients and the factor that influenced it.
Methods: We performed a retrospective cohort analysis of DR-TB patients with LRTI treated in National Respiratory Referral Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between January and December 2018. We reviewed the records of 84 DR-TB patients with LRTI. The subjects were 66 patients who met the inclusion criteria.
Results: Most subjects (65.2%) were co-diagnosed with infected bronchiectasis. Factors related to LRTI in DR-TB were the detection of human immunodeficiency virus (HIV) antigen (p=0.002) and impaired renal function (p=0.041) and liver function (p=0.046) from the blood test. The microorganism patterns found in the specimens were multidrug-resistant (MDR) (56.0%), which Klebsiella pneumonia (15.2%) and Acinetobacter baumanii (9.1%) predominated. The average sputum conversion time of subjects was 2.96±1.83 months. The <30 days-mortality was found in 30.3% subjects and was correlated with LRTI (p=0.025).
Conclusions: The most common LRTI in DR-TB was infected bronchiectasis. The most common specimen microorganism pattern in DR-TB was MDR Gram- negative microorganisms. This study showed a correlation between LRTI and the
<30 days-mortality in DR-TB.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adistya Sari
"Latar Belakang : Tuberkulosis endobronkial (TBEB) adalah salah satu bentuk TB yang terus menjadi masalah kesehatan karena komplikasi berupa bronkostenosis yang tetap terbentuk walaupun sudah mendapatkan obat antituberkulosis (OAT). Gejala dan tanda pernapasan yang tidak khas menyebabkan sering terjadi keterlambatan dan kesalahan diagnosis. Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional (RSRRN) Persahabatan belum memiliki data mengenai keberhasilan pengobatan TBEB setelah pemberian OAT.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pada pasien dengan diagnosis TBEB berdasarkan data bronkoskopi dan rekam medis sejak bulan Januari 2013 sampai Desember 2017. Diagnosis TBEB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi atau berdasarkan kombinasi gejala klinis, radiologis dan tampilan lesi bronkoskopi. Pengobatan TBEB dianggap berhasil bila terdapat perbaikan klinis disertai perbaikan atau jumlah lesi TBEB tidak berkurang dan tampilan radiologi.
Hasil :Sampel penelitian terdiri dari 30 subjek. Mayoritas subjek adalah perempuan (86,7%), usia <20-39 tahun (73,3%), berpendidikan tinggi (90%), tidak bekerja (56,6%), status gizi kurang (58,3%), belum pernah mendapat OAT (63,3%), tidak ada riwayat kontak TB (83,4%), tidak merokok (86,7%) dan tidak ada komorbid (76,6%). Sesak napas (83,3%) merupakan gejala respirasi yang paling sering dikeluhkan pasien. Stridor dan ronki merupakan tanda yang paling sering didapat (36,7%).Infiltrat, fibroinfiltrat dan konsolidasi merupakan gambaran radiologis yang paling sering didapat pada foto toraks (26,6%). Sedangkan pada CT scan toraks paling banyak didapatkan gambaran konsolidasi (45%). Lesi TBEB terbanyak didapatkan di trakea (60%) dan berbentuk fibrostenosis 86,7%). Tujuh puluh persen pasien mendapat pengobatan OAT jenis non KDT, mendapat steroid inhalasi (73,3%) dengan median lama pengobatan TBEB adalah 12 bulan. Keluhan membaik setelah pemberian OAT dari klinis pada 76% pasien, bronkoskopi 20% pasien, foto toraks 23% pasien dan CT scan 16,6% pasien.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TBEB adalah 43%, sebanyak 17% keluhan membaik disertai sekuele dan 40% tidak dapat dinilai.

Background: Endobronchial tuberculosis (EBTB) is a special form of respiratory tuberculosis that continues to be a health problem because bronchostenosis may develop as a serious complication despite efficacious antituberculosis chemotherapy. The EBTB has nonspesific signs and symptoms, therefor it may cause misdiagnosis and delayed diagnosis. Persahabatan National Respiratory Referral Hospital doesnt have data about successful treatment of EBTB
Method: This was a retrospective study of EBTB patients based from the medical record and confirm with bronchoscopy data from January 2013 to December 2017. Endobronchial tuberculosis diagnosed based from microbiology, histopathology examination or based on combination of clinical symptoms, radiology and bronchoscopy lesion appearance. Endobronchial tuberculosis treatment considered successful if there is improvement in clinical symptoms, microbiological conversion, accompanied by improvement or no change in the number of lesions or the radiological appearance.
Results: The study sample consisted of 30 subjects. Majority of the subjects were female (86,7%), age <20-39 years (73,3%), highly educated (90%), not working (56,6%), malnutrition (58,3%), never received antituberculosis medication (63,3%), not smoking (86,7%) and has no comorbidities (76,6%). Shortness of breath (83.3%) is the most complained symptom. Stridor and rhonchi are the most frequent signs (36.7%). Infiltrate, fibroinfiltrates and consolidation are the most common radiological images on chest X-ray (26.6%). Whereas most chest CT scans obtained a consolidated picture (45%). Most EBTB lesions were fibrostenosis (86,7%) found in the trachea (60%). Seventy percent of patients received non fix dose combination (FDC) type antituberculosis treatment (ATT), received inhaled steroids (73.3%) with a median duration of TBEB treatment was 12 months. Complaints improved after administration of ATT in clinical symptoms in 76% of patients, bronchoscopy 20% patients, chest X-ray 23% patients and CT scans 16.6% patients.
Conclusion: The success of EBTB treatment is 43%, as many as 17% of complaints improve with sequels and 40% cannot be assessed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55542
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Astuti Mirasanti
"Pneumonia merupakan masalah kesehatan anak di seluruh dunia. Terapi antibiotik
digunakan secara empiris karena sulitnya pengambilan sampel langsung dari sumber
infeksi. Namun, di era resistensi antibiotik ini, identifikasi patogen spesifik bermanfaat
untuk pemberian antimikroba yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil
mikroorganisme penyebab pneumonia pada anak dan sensitivitasnya terhadap antibiotik
empiris yang diberikan. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang terhadap 106
pasien di RSCM yang dirawat dengan pneumonia sepanjang Juli 2018 – Juni 2020. Data
demografi serta jenis mikroorganisme, daftar sensitivitasnya, dan antibotik yang
digunakan diambil dari rekam medis. Mayoritas mikroorganisme yang tumbuh adalah
kuman Gram negatif dengan jenis kuman terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa
(38,3%). Antibiotik terbanyak yang digunakan adalah sefotaksim (37,7%) dan sensitivitas
mikroorganisme terhadap antibiotik empiris adalah sebesar 17,3%. Perbaikan klinis
didapatkan pada 35,8% subjek dan amikasin memiliki tingkat sensitivitas terbesar dari
mikroorganisme yang tumbuh (65,4%). Pemeriksaan biakan setelah atau pada 5 hari
perawatan memiliki rasio odds 1,264 kali untuk memiliki etiologi berupa polimikroba
(p=0,641). pengambilan sampel dari saluran napas bawah untuk biakan pada hari rawat
ke-13 dan selanjutnya memiliki rasio odds sebesar 6,328 kali lebih tinggi untuk
tumbuhnya jamur (p=0,014). Angka mortalitas pada penelitian ini sebesar 35,8%. Angka
mortalitas pada subjek yang mengalami sepsis lebih tinggi dibandingkan pada subjek
yang tidak mengalami sepsis (rasio odds 4,222 (95%IK 1,792-9,947); p=0,0001).

Pneumonia is one of child health problem in the world. Antibiotic therapy is used
empirically due to difficulty in obtaining sample from the source of infection. However,
in this antibiotic resistance era, identification of specific pathogen is more beneficial. We
aimed to identify microorganisms causing pneumonia in children and their sensitivity
towards empiric antibiotic. This is a cross sectional study examined 106 patients
hospitalized with pneumonia during July 2018 - June 2020. Baseline characteristics,
species of microorganisms, their sensitivity pattern, and antibiotics used were obtained
from medical record. Most microbes were Gram negative species. The most common
bacteria was Pseudomonas aeruginosa (38.3%). The most frequently used empiric
antibiotic was cefotaxime (37.7%) and microorganisms' sensitivity towards empiric
antibiotic was 17.3%, Clinical improvement was shown in 35.8% subjects. Amikacin had
the highest sensitivity rate (65.4%). Culture performed on the 5th day of admission
onwards had higher odds for multiple growth (OR 1.264, p=0,641) while culture
performed on the 13th day of admission onwards had higher odds for the growth of fungi
(OR 6.328, p=0,014). Mortality rate was 35,8%. Mortality rate was higher in subjects
with sepsis (OR 4.222; 95% CI 1.792-9.947; p=0.0001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sutera Insani
"ABSTRAK
Metode : Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol berpasangan, dilakukan di ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2018-Maret 2019. Kriteria kasus semua pasien yang terdiagnosis HAP saat perawatan, kriteria kontrol berpasangan adalah, jenis kelamin sama dengan kasus, usia ± 10 tahun dengan kasus dan dirawat di ruang perawatan yang sama dengan kasus. Pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat infiltrat baru dibandingkan dengan foto lama. Pada kelompok kasus dilakukan pemeriksaan biakan sputum dan darah sebagai data pola mikroorganisme HAP.
Hasil : Didapatkan 25 kasus HAP dan faktor risiko HAP dinilai dari 23 pasang subjek penelitia. Faktor risiko intrinsik yang paling berperan pada HAP adalah hipoalbuminemia (OR 5 [IK 95% 3,34-6,63], p=0,039). Faktor ekstrinsik HAP yang paling berperan adalah penggunaan obat lambung dengan (p=0,016). Pola mikroorganisme pasien HAP dari 25 pasien HAP biakan yang tumbuh 19 (78,7% dahak dan 21,3% darah). Lima belas sampel (78,9%) adalah Gram negatif, dan 5 (26,3%) diantaranaya adalah Acinetobacter baumanii. Dari 19 mikroorganisme yang tumbuh terdapat 63,5% MDRO.
Kesimpulan: Hipoalbuminemia adalah faktor risiko yang paling berperan dalam terjadinya HAP serta mikroorganisme terbanyak adalah Acinetobacter baumanii.

ABSTRACT
Background: Hospital acquired pneumonia (HAP) is the second largest cause of nosocomial infections. The pneumonia occurs after 48 hours of inpatient admission in hospital. Risk factors affecting HAP consists of intrinsic and extrinsic factors. Early detection of risk factors would decrease morbidity and mortality in HAP case.
Objectives: This study was to identify risk factors that influence the occurrence of HAP infections and microbiological profile of HAP patients.
Methods: This matched-case control study involved patients treated at regular wards (e.g. not an intensive care ward) of National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia between November 2018 and March 2019. The case and control group were matched for their sex, age (±10 yo), and length of hospital stay (±7 days). Both groups received chest x-ray (CXR) examination while the control group exclusively received sputum and blood culture for microbiology of HAP.
Results: This study involved 25 HAP patients and 23 matched-control patients. The main intrinsic risk factor for HAP was hypoalbuminemia (OR 5.00 [CI95% 3.34-6.63], p=0.039) and the main extrinsic risk factor for HAP was administration of gastric medications (p=0.016). Nineteen out of 25 microbiological samples were collected; of which, 78.7% were collected from sputum culture and 21.3% were collected from blood culture. Fifteen (78.9%) of those were positive for Gram-negative, 5 (26.3%) were positive for Acinetobacter baumanii, and 12 (63.5%) were positive for multi-drug resistance organism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Murniati
"Latar Belakang:Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan ancaman bagi seluruh dunia termasuk Indonesia, karena memerlukan waktu lama dan biaya yang besar dalam mengobati penyakit tersebut meskipun telah ditangani dengan baik. Data penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa terdapat kekambuhan TB-RO, tapi datanya sangat terbatas. Di Indonesia belum ada data tentang angka kekambuhan TB-RO.
Tujuan: Mengevaluasi pasien TB resisten obat (TB-RO) pasca pengobatan yang datang kontrol pada bulan ke 6, 12, 18, dan 24 di RSUP Persabatan Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang terhadap pasien TB-RO yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol di poli MDR RSUP Persahatan Jakarta mulai bulan April 2017 sampai Desember 2017. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto toraks dan biakan sputum. Mencatat data pengobatan dan hasil-hasil pemeriksaan terkait data yang diperlukan dalam dalam rekam medis pasien.
Hasil: Didapatkan 60 subjek penelitian dengan rerata usia 42,3 + 12,5 tahun, berjenis kelamin laki-laki 31 (51,7%) dan perempuan 29 (48,3%), dengan rerata IMT 21,75+ 4,34. Dari hasil foto toraks didapatkan gambaran dominan lesi luas dan hasil kultur sputum semua pasien yang diteliti tidak ditemukan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis.
Kesimpulan: Tidak ditemukan kekambuhan pada pasien TB resisten obat yang yang telah dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap yang datang kontrol pasca pengobatan di RSUP Persahabatan Jakarta.

Objective: This study aimed to evaluate DR-TB patients which was biannually performed for two-years (e.g. at the 6th, 12th, 18th, and 24th mos) after treatment completion.
Methods: This cross-sectional study involved DR-TB patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia, between April and December 2017. The post-treatment evaluation during the 6th, 12th, 18th, and 24th mos included clinical, chest x-ray (CXR) and sputum culture examination.
Results: Sixty patients were observed in this study, 31 (51.7%) were males and 29 (48.3%) were females. The mean age was 42.3+12.5 yo and the mean body mass index was 21.75+4.34. Fourty nine (81.7%) patients showed extensive lesions per CXR and none of the patient showed Mycobacterium tuberculosis growth per sputum culture.
Conclusion: There was no recurrence of DR-TB from patients completing their treatment at Persahabatan General Hospital Jakarta, Indonesia during two-years post-treatment evaluation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyantri Wulandini
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronik. Proses inflamasi yang terjadi akan mengeluarkan nitrit oksida (NO) sehingga pengukuran fraksi nitrit oksida ekspirasi saat ini dapat digunakan sebagai penanda hayati inflamasi yang dapat digunakan klinisi untuk memonitor derajat keparahan suatu penyakit dan efikasi dari pengobatan anti inflamasi.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan pada bulan Februari - April 2019 untuk melihat kadar NO ekspirasi pada pasien PPOK stabil. Pemilihan subjek dilakukan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan FeNO dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 53 subjek ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki - laki (86,79%) dengan rerata usia subjek adalah 63,45 + 8,53. Pada penelitian ini juga dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu PPOK non eosinofilik (58,5%) dan PPOK eosinofilik (41,5%). Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil sebesar 18 ppb. Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK non eosinofilik adalah 17 ppb dan pada kelompok PPOK eosinofilik adalah 22,5 ppb. Terdapat perbedaan bermakna pada nilai kadar NO ekspirasi pada kedua kelompok namun tidak terdapat hubungan antara nilai kadar NO ekspirasi dengan hitung eosinofil maupun riwayat merokok pada kelompok PPOK non eosinofilik maupun PPOK eosinofilik.
Kesimpulan : Rerata nilai kadar NO ekspirasi pada kelompok PPOK stabil adalah 18 ppb.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that characterized by persistent airflow limitation, progressive and correlated with chronic inflammatory response. Inflammation process that occur will release nitric oxide (NO) then it makes fraction exhaled nitric oxide as an inflammation biomarker that clinician could use to monitor the degree of severity disease and efficacy of anti inflammation therapy.
Methods : This is cross sectional study that was conducted from February - April 2019 at National Referral Respiratory Center Persahabatan Hospital to know the value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient. Subjects were taken to participate in this study in a consecutive sampling basis and all patients were interviewed, physical examination, lung function test, FeNO test and laboratory test.
Results : Total 53 subjects were participated in this study with dominant male subjects (86,79%) and the mean age value is 63,45 + 8,53. This study is divided into two main groups which are COPD non eosinophilic (58,5%) and COPD eosinophilic (41,5%). The mean value of exhaled nitric oxide in COPD stable is 18 ppb. The mean value of exhaled nitri oxide in COPD non eosinophilic is 17 ppb and for group COPD eosinophilic is 22,5 ppb. There is a significant difference between exhaled nitric oxide in those two groups but there is no relation between exhaled nitric oxide with eosinophil count or smoking history in COPD non eosinophilic group and COPD eosinophilic.
Conclusion : Mean value of exhaled nitric oxide in stable COPD patient is 18 ppb."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Findra Setianingrum
"Infeksi saluran napas bawah merupakan salah satu infeksi penyebab kematian terbesar di dunia. Seiring dengan banyaknya kasus infeksi saluran napas bawah maka pemakaian antibiotik untuk mengatasinya pun semakin meluas, diantara antibiotik tersebut ialah siprofloksasin Oleh karena itu pola kepekaan bakteri, dalam hal ini bakteri gram negatif, perlu diketahui guna menjaga agar terapi yang diberikan pada pasien efektif dan tepat guna. Terlebih lagi, Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) Departemen Mikrobiologi FKUI merupakan laboratorium yang menerima spesimen dari banyak rumah sakit di Jakarta termasuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang merupakan rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder isolat sputum tahun 2000-2005 di LMK FKUI yang mengandung bakteri gram negatif kemudian diuji sensitivitasnya terhadap siprofloksasin.
Metode penelitian yang digunakan ialah cross sectional. Hasilnya terdapat 2744 isolat bakteri gram negatif dengan tiga bakteri terbanyak yaitu Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterobacter aerogenes. Ketiga bakteri tersebut mengalami penurunan sensitivitasnya terhadap siprofloksasin (K. pneumoniae ss pneumonia: 79.90% ?³ 62.86%, Pseudomonas aeruginosa: 73.68% ?³ 52.20% dan Enterobacter aerogenes: 79.03% ?³ 61.36% ). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan di rumah sakit, klinisi, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam penanganan kasus infeksi di Indonesia.

Lower respiratory tract infection (LRTI) is one of the biggest cause of death related to infections around the world. The spread of LRTI followed by the wide use of antibiotics, included ciprofloxacin. For that reason, bacterial sensitivity pattern, in this case gram negative bacteria, is important to be knew to get the effective therapy for patients. Moreover, Clinical Microbiology Laboratory FKUI is references of many hospitals in Jakarta include Ciptomangunkusomo Hospital (RSCM) which is national reference hospital. This research use secunder data from sputum isolates contain bacteria gram negative that entered to LMK Department of Microbiology FKUI in from 2000 until 2005. Then, the isolates is examined for their sensitivity pattern against ciprofloxacin.
The research metode for this research is cross sectional. The result of this research, there is 2744 isolates that contain bacteria gram negatives. The most common bacterias are Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, and Enterobacter aerogenes. The sensitivity against ciprofloxacin in these three bacteria are decrease (K. pneumoniae ss pneumonia: 79.90% ?³ 62.86%, Pseudomonas aeruginosa: 73.68% ?³ 52.20% and Enterobacter aerogenes: 79.03% ?³ 61.36% ). This result could be used for further evaluation for stake holder in hospital, physician, and others that involved in control infection diseases in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Eka Pujanta Putra
"Pendahuluan: Pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengalami eksaserbasi akan meningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD), PPOK derajat sedang dan berat dapat diberikan antibiotik sebagai tata laksananya. Salah satu cara menilai ketepatan pemberian antibiotik adalah dengan menggunakan alur Gyssens. Penelitian ini bertujuan melihat proporsi ketepatan pemberian antibiotik berdasarkan alur Gyssens dan hubungannya dengan mortalitas, perbaikan klinis, kebutuhan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan menggunakan desain penelitian kohort restrospektif. Sebanyak 161 pasien PPOK derajat sedang dan berat yang dirawat di RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional pada Januari 2022 hingga Desember 2023 mendapatkan terapi antibiotik. Pasien yang mendapatkan antibiotik selama perawatan dinilai ketepatannya sesuai alur Gyssens. Hasil: Berdasarkan ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens, sebanyak 93 subjek (62,8%) laki-laki dan lima subjek (38,5%) perempuan dengan rerata usia 64,34 (±9,62) tahun. Sebagian besar memiliki status merokok indeks Brinkman berat dengan kelompok PPOK grup E dan derajat esksaserbasi sedang. Hipertensi merupakan komorbiditas yang paling sering ditemukan. Terdapat hubungan bermakna antara ketepatan pembrian antibiotik dengan rerata lama rawat (p=<0,001). Proporsi ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens sebesar 60,9%. Antibiotik yang paling seering digunakan adalah levofloxacin. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan pemberian antibiotik berdasarkan alur Gyssens dengan mortalitas, lama perbaikan klinis, penggunaan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun. Kesimpulan: Proporsi pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens pada pasien PPOK eksaserbasi derajat sedang dan berat sebesar 60,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ketepatan pemberian antibiotik sesuai alur Gyssens dengan mortalitas, lama perbaikan klinis, penggunaan ventilasi mekanis invasif dan perawatan berulang dalam satu tahun.

Introduction: Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) experiencing exacerbations will increase morbidity and mortality rates. According to the Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD), moderate and severe COPD can be treated with antibiotics. One way to assess the appropriateness of antibiotic administration is by using the Gyssens flowchart. This study aims to examine the proportion of appropriateness of antibiotic administration based on the Gyssens flowchart and its relationship with mortality, clinical improvement, need for mechanical ventilation and readmission within one year. Method: This study is an observational study using a retrospective cohort design. A total of 161 moderate and severe COPD patients treated at Persahabatan Hospital National Respiratory Center from January 2022 to December 2023 received antibiotic therapy. The appropriateness of antibiotic administration during treatment was assessed according to the Gyssens flowchart.. Results: Based on the appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart, there were 93 male subjects (62.8%) and five female subjects (38.5%) with a mean age of 64.34 (±9.62) years. Most of them had a heavy Brinkman smoking index with COPD group E and moderate exacerbation. Hypertension was the most commonly found comorbidity. There is a significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration and length of stay (p=<0.001). The proportion of appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart was 60.9%. Levofloxacin was the most frequently used antibiotic. Bivariate analysis results showed no significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration based on the Gyssens flowchart with mortality, duration of clinical improvement, use of invasive mechanical ventilation and readmission within one year. Conclusion: The proportion of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart in patients with moderate and severe exacerbations of COPD is 60.9%. There is no statistically significant relationship between the appropriateness of antibiotic administration according to the Gyssens flowchart and mortality, duration of clinical improvement, use of invasive mechanical ventilation and readmission within one year"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Afidjati
"Latar belakang: Kompleksitas pengobatan TB RO berupa durasi pengobatan yang panjang, penggunaan beberapa obat lini kedua, toksisitas obat, dan interaksi obat akibat multidrug use dapat menyebabkan efek samping pengobatan pada pasien. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pengobatan dan memengaruhi luaran pengobatan TB RO. Tujuan: Untuk melihat efek samping obat/kejadian tidak diinginkan terhadap luaran pengobatan TB RO.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta. Sumber data adalah data sekunder dari sistem informasi tuberkulosis (SITB) yang melibatkan pasien TB RO yang menjalani pengobatan di tahun 2021 – 2023. Metode sampling berupa total sampling. Analisis data bivariat antara KTD dengan luaran pengobatan TB RO berupa Cox regresi dan uji Log-Rank, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan Extended Cox Regresi.
Hasil: Dari 583 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini, insidens luaran pengobatan tidak berhasil sebanyak 40,65%. Sebanyak 12,69% pasien mengalami efek samping berat. Sebagian besar efek samping terjadi pada fase intensif pengobatan TB RO (43,57%). Jenis efek samping yang paling sering dialami pada pasien adalah gangguan gastrointestinal (79,25%), gangguan muskuloskeletal (58,32%), dan gangguan saraf (49,40%). Efek samping berupa KTD berat/serius tidak memiliki asosiasi yang signifikan terhadap terjadinya pengobatan tidak berhasil berdasarkan hasil analisis Cox regresi bivariat (HR=0,823; 95% CI: 0,558-1,216; p=0,329) dan analisis multivariat Extended Cox regresi (setelah dikontrol oleh variabel kovariat). Probabilitas survival antara kelompok dengan KTD berat dan kelompok non-KTD berat tidak berbeda bermakna. Kesimpulan: pemantauan efek samping selama pengobatan TB RO berlangsung merupakan hal yang penting untuk menunjang keberhasilan pengobatan.

Background: The complexity of treating drug-resistant tuberculosis (DR TB) involves prolonged treatment duration, the use of several second-line drugs, drug toxicity, and drug interactions due to multidrug use, which can lead to adverse drug reactions in patients. These issues can reduce treatment effectiveness and affect treatment outcomes for DR TB.
Objective: To investigate the impact of adverse drug reactions/adverse events on DR TB treatment outcomes.
Methods: This observational study utilized a retrospective cohort design conducted at RSUP Persahabatan, Jakarta. The data source was secondary data from the tuberculosis information system (SITB) involving DR TB patients who underwent treatment between 2021 and 2023. The sampling method was total sampling. Bivariate data analysis between adverse events and TB RO treatment outcomes involved Cox regression and Log Rank tests, followed by multivariate analysis using Extended Cox Regression.
Results: Among the 583 subjects included in this study, the incidence of unsuccessful treatment outcomes was 40.65%. Severe adverse drug reactions were experienced by 12.69% of patients. Most adverse reactions occurred during the intensive phase of TB RO treatment (43.57%). The most common types of adverse reactions experienced by patients were gastrointestinal disorders (79.25%), musculoskeletal disorders (58.32%), and neurological disorders (49.40%). Severe/serious adverse reactions did not have a significant association with unsuccessful treatment outcomes based on the results of the bivariate Cox regression analysis (HR=0.823; 95% CI: 0.558-1.216; p=0.329) and the multivariate Extended Cox regression analysis (after adjusting for covariate variables). The survival probability between the group with severe adverse reactions and the non- severe adverse reactions group did not differ significantly.
Conclusion: Monitoring adverse drug reactions during DR TB treatment is crucial to support the success of the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fikri Syadzali
"Pendahuluan: Timoma adalah salah satu jenis dari tumor epitel timus yang paling sering ditemukan pada keganasan di mediastinum anterior yaitu sekitar 20% dari keganasan mediastinum. Timoma memiliki angka kejadian antara 0,2 – 1,5% dari seluruh penyakit keganasan. Kemoterapi adalah salah satu penatalaksanaan untuk timoma stage III keatas. Berbagai kombinasi obat kemoterapi dapat diberikan pada pasien timoma dan menunjukkan respon yang baik dari pasien. Paduan cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) adalah salah satu paduan kemoterapi yang digunakan di Indonesia terutama di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi dan toleransi kemoterapi dengan panduan obat cisplatin, doxorubicin, vincristine dan cyclophosphamide (ADOC) pada timoma.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta, Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2015 sampai Desember 2019. Kami meninjau rekam medis 118 pasien dengan diagnosis timoma dan 17 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 17 pasien yang termasuk dalam penelitian ini, laki-laki 47,06% dan perempuan 52,94%. Median usia pasien adalah 50 tahun. Jenis sel A (47,06%) dan stage IVA (64,71%) adalah yang terbanyak. Anemia (11,24%) adalah toksisitas paling sering terjadi pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan ADOC. Rerata PFS sebesar 22,87±5,01 bulan dengan median 23 bulan. Rerata OS pada pasien timoma yang mendapatkan kemoterapi paduan obat ADOC adalah 26,95±4,88 bulan dengan median 25 bulan (IK 95%; 6,46- 43,55).Overall response rate pada penelitian ini yaitu 35,29% dan clinical response rate 88,23%

Introduction: Thymoma is a major type thymic epithelial tumor in the anterior mediastinum with incidence rate of 0.2–1.5% of all malignancy. Stage III thymoma is considered to receive chemotherapy as main treatment. Various combinations of chemotherapy drugs can be given to thymoma patients and show a good response from patients. Cisplatin, doxorubicin, vincristine, and cyclophosphamide (ADOC) is one of the chemotherapy alloys used in Indonesia, particularly in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan.
Aims: To determine the efficacy and tolerance of thymoma chemotherapy using ADOC.
Methods: We performed a retrospective cohort observational analysis in National Respiratory Referral Hospital Persahabatan Jakarta, Indonesia. Subjects by means of total sampling were patients between January 2015 to December 2019. We reviewed the medical records of 118 thymoma patients, of which 17 were met the inclusion criteria.
Results: We included 17 patients, of which consisted of 47.06% males and 52.94% females. The median age of the patient was 50 years old. Cell type A (47.06%) and stage IVA (64.71%) were found in this study. Anemia (11.24%) was the common toxicity in thymoma patients receiving ADOC chemotherapy. The mean progression free survival (PFS) was 22.87 ± 5.01 months with median of 23 months. The mean overall survival in thymoma patients receiving ADOC drug chemotherapy was 26.95 ± 4.88 months with a median of 25 months (95% CI; 6.46-43.55).The overall response rate in this study was 35.29% and the clinical response rate was quite good at 88.23%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55665
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>