Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178086 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riyadi Sutarto
"Latar belakang : Efek potensial EGFR-TKI terhadap fungsi paru belum diinvestigasi secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek pemberian EGFR TKI terhadap fungsi paru terutama nilai DLCO.
Metode : Penelitian berlangsung secara prospektif dari September 2018 hingga Juni 2019 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Terdapat 20 subjek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal di exon 19/21 yang dapat menyelesaikan pemeriksaan DLCO baik sebelum mendapat EGFR TKI dan setelah tiga bulan terapi.
Hasil : Penelitian ini mendapatkan peningkatan bermakna nilai rerata KVP prediksi dari 60,6% menjadi 68,25% (p=0,03), nilai rerata VEP1 Prediksi dari 59,7% menjadi 67,05% (p=0,036), nilai rerata DLCO dari 11,55 ml/menit/mmHg menjadi 13,72 ml/menit/mmHg (p=0,004) dan DLCO prediksi dari 53,4% menjadi 63,85% (p=0,03). Peningkatan nilai rerata DLCO prediksi paling besar pada kelompok dengan hasil RECIST partial response yaitu sebesar 16,43% (p=0,056).
Kesimpulan : Terapi EGFR TKI selama tiga bulan pada subyek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal exon19/21 dapat meningkatkan fungsi paru secara bermakna baik nilai KVP prediksi, VEP1 prediksi, DLCO, dan DLCO prediksi.

Background : The epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are drugs of choice in non-small cell lung cancer possessing EGFR mutation. Its effect on the lung function is not well understood. This study aims to assess lung function using the lung diffusion capacity (DLCO) test in lung cancer patients treated with EGFR-TKIs. ming
Method :
This prospective study included lung cancer patients treated with EGFR-TKIs at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between September 2018 andGrowt June 2019. The study recruited 20 lung adenocarcinoma patients presented with a single mutation at exon 19 or 21 as subjects in the process. Their DLCO was examined before and three months after receiving EGFR-TKI. Subjects were grouped according to the Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) assessment.
Results: There was an increase in predicted FVC from 60.60% to 68.25% (p=0.03), predicted FEV1 from 59.7% to 67.05% (p=0.036%), DLCO from 11.5 mL/minute/mmHg to 13.72 mL/minute/mmHg (p=0.004), and predicted DLCO from 53.4% to 63.85% (p=0.03) during the therapy. The largest increase of predicted DLCO was shown in RECIST group of partial response (16.43%, p=0.056) Conclusion: This study found an improvement in lung function (predicted FVC, predicted FEV1, DLCO, and predicted DLCO) among lung adenocarcinoma subjects exhibiting single mutation at exon 19 or 21 after three months of EGFR-TKIs treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Moulid Hidayat
"Latar Belakang: Beberapa bukti menunjukkan bahwa quiescent cancer stem cell (CSC) terlibat dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru sebagai mekanisme nonmutasi. Kami sebelumnya telah mempublikasikan bahwa gefitinib- resistant persister (GRP) mengekspresikan stemness factor dengan level yang tinggi dan memiliki ciri khas fenotip CSC. Studi terbaru menunjukkan bahwa FBXW7, merupakan jenis protein F-box, memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescent CSC dengan memediasi degradasi protein c-MYC melalui proses ubiquination. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran FBXW7 dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR.
Metode: Cell line dari sel adenokarsinoma paru, PC9, yang mengandung mutasi sensitif EGFR dipajankan pada gefitinib dengan konsentrasi tinggi untuk mengembangkan GRP. Kami mencoba melakukan abrogasi ekspresi gen FBXW7, dan mengevaluasi sensitivitasnya terhadap gefitinib dan populasi CD133-positive stem cell di GRP. Kami juga memasukkan plasmid FUCCI melalui proses infeksi lentiviral ke dalam sel dan kemudian menyelidiki siklus sel dan sel pada fase G0 dalam GRP. Selanjutnya, kami telah mengembangkan model gefitinib-resistant tumor (GRT) dengan menyuntikkan sel PC9 ke dalam mencit NOG diikuti dengan pemberian gefitinib setelah pertumbuhan tumor, dan mengevaluasi ekspresi mRNA dan ekspresi protein dari penanda terkait quiescence, FBXW7 in vivo.
Hasil: GRP menunjukkan ekspresi yang tinggi dari penanda cancer stem cell, CD133 dan penanda terkait quiescence, FBXW7 dan ekspresi c-MYC yang rendah pada tingkat protein secara in vitro. Analisis siklus sel menunjukkan bahwa mayoritas GRP berada pada fase G0/G1. TIndakan abrogasi gen FBXW7 menurunkan populasi sel CD133-positive di GRPs. Abrogasi FBXW7 juga meningkatkan kerentanan sel terhadap gefitinib, membalikkan populasi sel fase G0/G1 menjadi sel S/G2/M, dan menurunkan jumlah sel GRP. Secara in vivo, pada GRT setelah pengobatan gefitinib menunjukkan ekspresi FBXW7 yang tinggi dan ekspresi c-MYC yang rendah. Kami juga menemukan bahwa ekspresi FBXW7 dalam sel CD133-positive meningkat dan ekspresi c-MYC menurun pada mencit dan pada 9 dari 14 spesimen tumor dari pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR resistan terhadap gefitinib.
Kesimpulan: Temuan ini menunjukkan bahwa FBXW7 dapat memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescence pada gefitinib-resistant lung CSC pada adenokarsinoma paru dengan mutasi positif EGFR

Background: Accumulating evidence indicates that quiescent cancer stem cells (CSCs) are involved in the resistance to gefitinib in non-small cell lung cancer (NSCLC) as non-mutational mechanism. We have previously reported that gefitinib-resistant persisters (GRPs) highly expressed stemness factors and had characteristic features of the CSCs phenotype. Recent studies demonstrate that FBXW7, a type of F-box protein, plays an important role in the maintenance of quiescent CSC by mediating the degradation of c-MYC protein by ubiquination. The aim of this study is to figure out the role of FBXW7 in the resistance to gefitinib in lung adenocarcinoma with EGFR mutation.
Methods: lung adenocarcnoma cell lines, PC9, harboring sensitive-EGFR mutation were exposed to high concentration of gefitinib in order to develop GRPs. We tried to knockdown FBXW7 gene expression, and evaluated their sensitivity to gefitinib and CD133-positive stem cell population in GRPs. We also introduced FUCCI plasmid via lentiviral infection in the cells and then investigated the cell cycle and G0-phase cells in GRPs. Furthermore, we established gefitinib-resistant tumor (GRT) model by injecting PC9 cells into NOG-mice followed by gefitinib administration after tumor growth, and evaluated mRNA and protein expression of quiescence-related markers including FBXW7 in vivo.
Results: In vitro, GRPs showed high expression of stem cell marker CD133 and quiescence-related markers including FBXW7 and low expression of c-MYC at protein level. Cell cycle analysis revealed that majority of GRPs existed in G0/G1 phase. Silencing of FBXW7 gene reduced CD133-positive cell population in GRPs. Knockdown of FBXW7 also increased susceptibility of cells to gefitinib, reversed population of G0/G1 cells to G2/S/M cells, and decreased cell number of GRPs. In vivo, GRTs after gefitinib treatment revealed high expression of FBXW7 and low expression of c-MYC. We also found that FBXW7 expression in CD133-positive cells was increased and c-MYC expression was decreased in mice and in 9 out of
14 tumor specimens from EGFR-mutant lung adenocarcinoma patients with acquired resistance to gefitinib.
Conclusion: These findings suggest that FBXW7 plays a pivotal role in the maintenance of quiescence in gefitinib-resistant lung CSCs in EGFR mutation- positive lung adenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Asdar
"Pendahuluan: Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) sangat efektif terhadap Kanker
Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dengan mutasi Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR). Gefitinib dan Erlotinib adalah generasi pertama
EGFR-TKI untuk pengobatan KPKBSK dengan mutasi EGFR. Obat-obat ini telah
tersedia melalui asuransi kesehatan di Indonesia untuk pasien Adenokarsinoma
paru dengan mutasi EGFR. Data mengenai efikasi dan toksisitas EGFR-TKI saat
ini belum tersedia di Indonesia.
Metode: Kami melakukan analisis observasional kohort retrospektif pada pasien
Adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan, Jakarta
Indonesia dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2017. Kami meninjau
rekam medis 331 pasien dengan diagnosis Adenokarsinoma paru dengan mutasi
EGFR stage lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI generasi pertama. Sebanyak
192 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mendapatkan Gefitinib (n=132) dan Erlotinib (n=60). Median
progression free survival (PFS) sebanding antara Gefitinib dan Erlotinib (9,0 dan
7,0 bulan, interval kepercayaan 95% [IK] 0,57-1,07, p=0,126). Median Overall
survival (OS) dan angka tahan hidup 1 tahun masing-masing kelompok adalah
44,5 vs 39,5 bulan (95% IK 0,35-1,29, p=0,670) dan 92% berbanding 92%
(p=0,228). Terdapat toksisitas termasuk diare, paronikia, skin rash dan stomatitis
yang diamati tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada toksisitas derajat 3
atau 4 antara kedua kelompok (p=0,713).
Kesimpulan: Kedua EGFR-TKIs generasi pertama sebanding dalam PFS dan OS,
meskipun Gefitinib terlihat lebih tinggi, tetapi secara statistik tidak bermakna dan
keduanya memiliki toksisitas yang sebanding dan dapat ditoleransi.

Introductions: Tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are effective against non-small
cell lung cancer (NSCLC) with epidermal growth factor receptor (EGFR)
mutation. Gefitinib and erlotinib are the first-generation EGFR-TKIs
recommended as first-line treatments for NSCLC with EGFR mutations and are
available through Universal Health Coverage in Indonesia for lung
adenocarcinoma patients with EGFR mutations. However, the efficacy and safety
data of EGFR-TKIs are unavailable in Indonesia.
Methods: We did a retrospective cohort analysis of the patients of lung
adenocarcinoma with EGFR mutations treated in Persahabatan Hospital Jakarta,
Indonesia, between January 2015 and December 2017. We reviewed the records
of 331 patients with advanced stage lung adenocarcinoma with EGFR mutation
treated with the first-generation EGFR-TKIs. The subjects were 192 patients who
met the inclusion criteria.
Results: Subjects were receiving gefitinib (n=132) and erlotinib (n=60). Median
progression-free survival (PFS) was comparable between gefitinib and erlotinib
(9.0 vs 7.0 months, 95% confidence interval [CI] 0.57-1.07, p=0.126). The
median overall survival (OS) and 1-year survival were 44.5 vs 39.5 months
(95%CI 0.35-1.29, p=0.228; and 92% vs 92%, p=0.228, respectively). Reported
toxicities were diarrhea, paronychia, rash, and stomatitis but not of significant
difference between grade 3 or 4 toxicities (p=0.713).
Conclusions: The PFS and OS of the first-generation EGFR-TKIs were
comparable, although gefitinib PFS and OS was shown to be better, but without
significance. Both gefitinib and erlotinib had comparable and tolerable adverse
effects"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Widya Angasreni
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan kanker terbanyak kedua yang terdiagnosis dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat kanker. Pemberian afatinb sebagai terapi target Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI saat ini telah menjadi terapi standar untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di Indonesia, termasuk di RSUP Persahabatan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemberian terapi afatinib pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib pada Januari 2018-Desember 2021 di Poli Onkologi RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 116 subjek penelitian, pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib di RSUP Persahabatan dengan karakteristik lebih banyak laki-laki (52,6%), kelompok usia <65 tahun (80,2%), suku Jawa (81,9%), tanpa faktor risiko keganasan di keluarga (82,8%). Saat terdiagnosis subjek penelitian lebih banyak dengan stage IVA (75%), metastasis pleura (59,5%), mutasi EGFR delesi ekson 19 (53,4%) status tampilan 0-1 (75,9%) dan metastasis otak didapatkan pada 19% subjek. Nilai median progression free survivival (PFS) subjek penelitian yang mendapat afatinib adalah 13 bulan (95%IK 10,5-15,5 bulan), dan nilai median overall survival (OS) adalah 17 bulan (95%IK 14,9-19,1 bulan). Angka tahan hidup satu tahun yang didapat 65,1% dan Objective Respons Rate (ORR) adalah 36,1%. Sebanyak 35,3% subjek mendapatkan penurunan dosis afatinib 20 mg atau 30 mg. Toksisitas nonhematologi tersering pada pada penelitian ini adalah diare (74,1%), diikuti oleh stomatitis (61,2%), ruam kulit (59,5%) dan paronikia (49,1%).
Kesimpulan: Afatinib sebagai terapi lini pertama memberikan luaran yang cukup baik untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan dengan efek samping samping nonhematologi yang dapat dikelola. Riwayat penurunan dosis afatinib tidak memengaruhi angka kesintasan.

Background: Lung cancer is the second most diagnosed cancer and the most common cause of death from cancer. Afatinib as targeted therapy with Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) has now become standard therapy for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations in Indonesia, including at RSUP Persahabatan. This study was conducted to analyze the administration of afatinib therapy in lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital.
Metode: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records at Oncology Clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of lung adenocarcinoma patients with EGFR mutation and received afatinib therapy by January 2018- December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 116 subjects of lung adenocarcinoma with EGFR mutation and received afatinib at Persahabatan Hospital, with predominant of male (52,6%), age <65 years old (80,2%), Javanese (81,9%), without history of cancer in family (82,8%). Most of subjects are diagnosed as lung adenocarcinoma at stage IVA (75%), with most of them have pleural metastases (59,5%), EGFR mutation with exon 19 deletion (53,4%), performa status 0-1 (75,9%), and brain metastases were found in 19% of subject. The median progression free survival (PFS) of subjects was 13 months (95% CI 10.5-15.5 months), and the median overall survival (OS)was 17 months (95% CI 14.9- 19.1 months). The one-year survival rate was 65.1% and the Objective Response Rate (ORR) was 36,1%. As many as 35.3% of subjects had adjustment dose of afatinib to 20 mg or 30 mg The most common non-hematological toxicity found was diarrhea (74.1%), followed by stomatitis (61.2%), skin rash (59.5%) and paronychia (49.1%).
Conclusion: Afatinib as a first-line therapy provides a good outcome for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital with manageable non-hematological adverse events. History of adjustment dose of afatinib did not affect survival rate.
"
2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maududi, Abul A`la, supervisor
"Latar Belakang : Pasien kanker paru rentan terhadap infeksi jamur. Candida dan Aspergillus merupakan jenis jamur paling banyak yang menyebabkan infeksi jamur pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil klinis, spektrum jamur dan imunoglobulin G spesifik Aspergillus pada pasien kanker paru yang belum dikemoterapi di RSUP Persahabatan.
Metode : Penelitian ini berdesain potong lintang. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang sudah tegak jenis dan belum dikemoterapi yang berobat di RSUP Persahabatan. Dahak dan serum diperiksakan biakan jamur dan IgG spesifik Aspergillus di Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil biakan jamur dan IgG spesifif Aspergillus dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan demografi.
Hasil : Subjek penelitian sebanyak 77 pasien. Hasil biakan dahak yang tumbuh jamur sebanyak 76 subjek (98,7%). Jumlah isolat jamur yang tumbuh ≥ dua spesies sebanyak 35 pasien (45,5%). Isolat jamur yang paling banyak tumbuh adalah Candida albicans (72,3%) dan Aspergillus niger (33,8%). Hasil IgG spesifik Aspergillus pada subjek penelitian yang positif sebanyak 22,1%. Terdapat hubungan bermakna antara umur dan leukosit dengan IgG spesifik Aspergillus dan antara umur dan jenis kelamin dengan biakan Aspergillus.
Kesimpulan : Isolat jamur yang ditemukan di antaranya adalah Candida albicans, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Penicillium spp. Candida glabrata, Candida paraspillosis, Candida tropicalis dan Candida kruseii. Terdapat hasil IgG spesifik Aspergillus positif pada subjek penelitian sebanyak 22,1%. Umur dan nilai leukosit berhubungan dengan IgG spesifik Aspergillus dengan nilai (p = 0,048) dan (p = 0,014), sedangkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan biakan Aspergillus dengan nilai (p = 0,027) dan (p = 0,035).

Background: Lung cancer patients are prone to fungal infections. Candida and Aspergillus are the most common cause of fungal infections in cancer patients. This study aimed to determine the clinical profile, fungal detection spectrum and level of Aspergillus specific immunoglobulin-G (igG) of new lung cancer patients prior to chemotherapy at Persahabatan Hospital.
Methods: We performed a cross-sectional study, involving NSCLC patients in Persahabatan Hospital whose type of cancer had been established and had not received chemotherapy as subjects. Sputum and serum of the patients was examined for fungus and Aspergillus specific IgG cultures in the Department of Parasitology Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. The results of Aspergillus specific fungi and IgG were analyzed to determine their relationship with demographics.
Results: The study included 77 patients as subjects. Sputum culture detected fungi growth in 76 subjects (98.7%). Fungal isolates that grew ≥ 2 species were present in 35 patients (45.5%). Candida albicans (72.3%) and Aspergillus niger (33.8%) were found from the cultures. Positive Aspergillus specific IgG was present in 22.1% of the subjects. There was a significant relationship between age, leukocytes concentration, and level of Aspergillus specific IgG and between age, sex and Aspergillus culture.
Conclusion: The fungi isolates in this study were Candida albicans, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Penicillium spp. Candida glabrata, Candida paraspillosis, Candida tropicalis and Candida kruseii. Aspergillus specific IgG results were positive in 22.1% of subjects. Age and leukocyte value are associated with Aspergillus specific IgG with (p=0.048) and (p=0.014), and age and sex are associated with Aspergillus culture with (p=0.027) and (p=0.035).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eha Julaeha
"Latar Belakang: Berdasarkan fitur radiologisnya seperti ukuran, lokasi, tepi nodul, serta adanya kavitas dan air bronchogram intratumoral, CT scan dapat membantu membedakan antara adenokarsinoma (AK) dan karsinoma sel skuamosa (KSS). CT scan merupakan modalitas non invasif. Tujuan: Mengetahui gambaran radiologi pada subtipe AK dan KSS paru menggunakan CT toraks sebagai alat bantu dalam mendiagnosis karsinoma paru. Metode: Dilakukan evaluasi CT scan berupa lokasi, kavitas dan airbronchogram intratumoral, tepi tumor dan densitas tumor pada 31 subjek AK dan 16 subjek KSS yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square atau Fisher. Analisis multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik. Hasil: Proporsi tumor AK lebih banyak berlokasi di perifer, sedangkan KSS lebih banyak di sentral. Kavitas intratumoral lebih sering bermanifestasi pada KSS dibandingkan AK. Tepi berspikulasi lebih banyak terlihat pada AK dibandingkan KSS. Air bronchogram dan lesi subsolid lebih sering bermanifestasi pada AK. Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada variabel densitas tumor di mana lesi subsolid lebih sering bermanifestasi pada AK dibandingkan KSS.

Background: Based on its radiological features such as size, location, nodule margins, as well as the presence of intratumoral cavities and air bronchograms, CT scans can aid in distinguishing between adenocarcinoma (AK) and squamous cell carcinoma (KSS). CT scans are a non-invasive modality. Objective: To assess the radiological characteristics of lung cancer subtypes AK and KSS using thoracic CT scans as a diagnostic tool. Methods: CT scans were evaluated for location, intratumoral cavities, air bronchograms, tumor margins, and tumor density in 31 AK subjects and 16 KSS subjects who met the study's criteria. Bivariate analysis was conducted using the Chi-Square or Fisher's test. Multivariate analysis was performed using logistic regression. Results: The proportion of AK tumors is more often located in the periphery, whereas KSS tumors tend to be more central. Intratumoral cavities are more frequent in KSS than AK. Spiculated margins are more common in AK than KSS. Air bronchograms and subsolid lesions are more frequent in AK. Conclusion: There is a significant difference in tumor density, with subsolid lesions being more common in AK than in KSS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Arya Maha Putra
"Program spesialis keperawatan merupakan program pembelajaran dan praktik keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan berkualitas. Program spesialis dilakukan selama 2 semester dengan mengelola satu kasus utama dan 30 kasus dengan berbagai jenis kanker serta penerapan Evidence Based Nursing (EBN) dan proyek inovasi. Pelaksanaan selama 2 semester telah mampu mengelola satu kasus utama yakni klien Adenokarsinoma Laring stadium IV post tiroidektomi total dengan trakeostomi dan gastrostomi serta 30 kasus lainnya dengan variasi jenis kanker menggunakan teori adaptasi Roy. Pengelolaan kasus utama dan 30 kasus kanker lainnya dilakukan di ruang IGD, Lantai 4 dan 8 Gedung A RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pelaksanaan EBN dilakukan dengan menerapakan distres thermometer dan problem list untuk mengkaji distres pada klien kanker. Proyek inovasi kelompok dilakukan dengan penerapan video edukasi efek samping mual muntah pada kemoterapi. Program spesialis keperawatan bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi asuhan keperawatan yang berkualitas.

Nursing specialist program is learning and practice program aimed at improving competence of nursing. This program conducted for 2 semester by managing one main case, 30 various cancer cases, evidence based nursing, and inovation project. During this program, specialist has been managing one main case toward client with adenocarcinoma larynx stage IV post total thyroidectomi, tracheostomy and gastrostomy and 30 various cancer cases using Roys Adaptation approach at emergency room and inpatient room (4th and 8th floor) of National Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo. Evidence Based Nursing conducted by implementation of distress thermometer and problem list to assess distress in cancer client. Inovation project conducted with implementation of education video about nausea and vomiting side effect of chemotherapy. Nursing specialist program is useful to improve competence of Nursing in providing nursing care."
2019: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gusyani Rahmawati
"Kanker kolorektal merupakan jenis kanker terbanyak ketiga di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat seperti merokok, pola makan yang mengadopsi makanan cepat saji, kegemukan, dan kurangnya aktivitas fisik. Penatalaksanaan medis utama pada kasus kolorektal yaitu pembedahan dengan cara mereseksi kanker, kemudian membuat stoma, dan penyambungan kembali usus yang disebut anastomosis. Salah satu masalah utama pada pasien postoperasi adalah nyeri akut. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan hasil analisis asuhan keperawatan pada pasien post operasi close colostomy dan dan laparatomi adhesiolisis. Metode yang digunakan adalah studi kasus. Adapun intervensi berbasis bukti yang diterapkan yaitu intervensi manajemen nyeri berupa teknik relaksasi napas dalam guna menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi close colostomy dan laparatomi adhesiolisis. Penerapan teknik relaksasi napas dalam diharapkan dapat diaplikasikan oleh perawat bedah di ruangan khususnya untuk mengurangi nyeri akut post operasi close colostomy dan laparatomi adhesiolisis. Kata kunci : kanker kolorektal, close colostomy, laparatomi adhesiolisis, nyeri akut, relaksasi napas dalam.

Colorectal cancer is the third most common type of cancer in Indonesia. This is caused by unhealthy lifestyles such as smoking, eating patterns that adopt fast food, obesity, and lack of physical activity. The main medical management in colorectal cases is surgery by resecting the cancer, then making a stoma, and reconnecting the intestine which is called anastomosis. One of the main problems in postoperative patients is acute pain. This study aims to present the results of the analysis of nursing care in postoperative patients with close colostomy and adhesiolysis and laparotomy. The method used is a case study. The evidence-based intervention applied is pain management intervention in the form of deep breathing relaxation techniques to reduce pain intensity in postoperative close colostomy and adhesionic laparotomy patients. It is hoped that the application of deep breathing relaxation techniques can be applied by surgical nurses in the room especially to reduce acute pain after close colostomy surgery and adhesiolysis laparotomy. Keywords : colorectal cancer, close colostomy, laparotomy adhesiolisis, acute pain, deep breat relaxation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>