Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desi Susilowati
"Kecamatan Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu daerah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi. Tahun 2000 produksi kopi Kintamani sedang meningkat pesat akan tetapi ditahun 2014 produksi kopi Kintamani ini mulai mengalami penurunan secara signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil produksi kopi Kintamani pada tahun 2015yang mencapai 2.482,78 ton dimana tergantikan oleh tanaman jeruk Kintamani yang semakin meningkat sampai ke 117.596 ton per tahun.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa produksi kopi Kintamani selalu berubah dan cenderung menurun disetiap tahunnya. Hal ini diduga berkaitan dengan pemanfaatan lahan perkebunan di Kecamatan Kintamani.
Berdasarkan pemaparan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisisdinamika spasial perkebunan kopi Kintamanidari tahun 1999-2018 yang kemudian diproyeksikan ke tahun 2033 sesuai dengan kebijakan RTRW pemerintah Kabupaten Bangli tahun 2013-2033.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cellular Automata Markovdengan beberapa faktor pendorongterjadinya perubahan penggunaan lahan antara lain jarak dari hutan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, dan jarak dari pemukiman. Penggunaan lahanyg digunakan antara lain ditahun 1999, 2014 dan 2018. Nilai akurasi kappapada model mencapai 87%.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa dinamika spasial perkebunan kopi Kintamani tidak menurun secara signifikan karena diprediksi keberadaan kopi Kintamani masih dalam jangka panjang. Penurunan lahan perkebunan ini terus menurun seiring dengan perkembangan lahan permukiman."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Solichin
"Skripsi ini membahas nilai tanah pada suatu permukiman di Kecamatan Beji Kota Depok dengan menggunakan analisis regresi berganda dari harga tanah di permukiman di Kecamatan Beji Kota Depok pada tahun 2008 berdasarkan beberapa variabel, yaitu jarak dari jalan kolektor, jarak dari jalan lokal, jarak dari stasiun kereta api, jarak dari pasar tradisional, jarak dari mal/pertokoan, jarak dari perguruan tinggi, jarak dari sekolah, jarak dari fasilitas kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan analisis deskriptif keruangan. Hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui permukiman mana di Kecamatan Beji Kota Depok yang memiliki nilai tanah yang tinggi, sedang, maupun rendah pada tahun 2008 dan variabel apa saja yang mempengaruhinya.

This script discusses about land value in one settlement in Beji District, Depok City, by utilizing multiple regression analysis from land price of settlements in Beji District, Depok City in 2008, based on couple variables, such as dictance from collector road, distance from local, distance form railway, distance from traditional market, distance from malls and retails, distance from university, distance from school, distance from public health facility. This research is close to quantitative research by spatial descriptive analysis. The output of this research is to know which settlements, in Beji District, Depok City, has high land value, which one is middle, or low in 2008 and to know what variables influence them."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S34053
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Mahur
"ABSTRAK
Semua orang di muka bumi ini menyadari akan makna dan peranan tanah dalam kehidupannya. Bagi petani di pedesaan tanah mempunyai beberapa nilai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Nilai tanah itu bagi petani dapat bersifat ekonomis dan kesejahteraan, sosial dan yuridis, serta religius.
Saat ini, di Indonesia banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan tanah umumnya dan pengelolan tanah khususnya. Permasalahan tanah ini di Indonesia merupakan salah satu isu nasional yang krusial dan kompleks. Ada empat hal penting mengenai tanah yang perlu ditangani segera, terutama di luar pulau Jawa yaitu (1) sistem klasifikasi tanah yang belum menjamin penggunaan tanah secara optimal, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan, (2) begitu banyaknya instansi yang terlibat dan berkepentingan dengan Perencanaan Tata Guna Tanah sementara itu data mengenai penggunaan tanah cenderung tersentralisasi dan tidak tersedia di propinsi yang berwenang membuat keputusan tentang penggunaan tanah; (3) kendala yang dihadapi petani kecil dan migran dalam mendapatkan tanah pertanian baru yang cocok dan (4) kesulitan proyek-proyek pembangunan dalam mengidentifikasikan dan mendapat tanah usaha dalam skala yang dibutuhkan, selain karena klaim dari masyarakat setempat, juga karena adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi.
Pada dasarnya, permasalahan tanah itu timbul karena interaksi, interelasi dan adaptasi manusia atas tanah semakin kuat dan intensif. Karena itu dalam mengkaji permasalahan tanah dan pengelolaannya tidak terlepas dari manusia itu sendiri, sebagai unsur utama dalam lingkungan hidup. Ada dua hal yang esensial yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani yaitu sistem budaya para petani tersebut dan kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan tanah. Pada kajian ini kebudayaan dan kebijaksanaan pemerintah yang disoroti hanyalah mengenai insentif dan disinsentif. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, bahwa insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Permasalahan pokok tulisan ini adalah bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengelola tanahnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mencapai tujuan-tujuannya dan mendapat ketentraman hidupnya, dalam kondisi lingkungan hidup yang senantiasa berubah. Dari permasalahan tersebut muncul dua pertanyaan yakni : (1) faktor-faktor apa yang mempunyai hubungan dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan Satar Mese, dan (2) bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Tujuan umum kajian ini ialah mengetahui bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungannya, yang tercermin pada sistem, pola dan cara pengelolaan tanah yang dipakai dan dikembangkannya. Secara khusus tujuan kajian ini ialah : (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani; dan (2) untuk memaparkan bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Adapun hipotesis kerja yang menjadi sasaran telaahan ini adalah : (1) insentif dan disinsentif mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah; (2) insentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (3) disinsentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (4) insentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; dan (5) disinsentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah.
Data untuk kajian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Data primer diperoleh dari 100 responden dari kelima desa sampel. Pengumpulannya lewat wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Survei Deskriptif Kualitatif, maka data diolah dan dianalisis dengan tabel sederhana, tabel silang dan uji statistik berupa Koefisien Kontingensi (KR) dan Kai Kuadrat.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa para petani di kecamatan Satar Mesa mempunyai kearifan dan kebijakan ekologis yang khusus mengenai pengelolaan tanah. Hal ini selain tampak pada asas dan dasar hukum mengenai sistem, pola dan cara pengelolaan tanah, juga terbukti pada tingkat keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah.
Asas dan dasar hukum pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini bertumpu pada dan merupakan pengejawantahan dari pandangan dan cita-cita hidupnya yaitu Prinsip Sosial Kolektivitas, Prinsip Keselarasan dan Keseimbangan, dan Prinsip Musyawarah Mufakat. Ketiga prinsip hidup yang demikian itu berimplikasi selain pada cara, pola dan wawasan berpikirnya dalam berinteraksi, berinterelasi dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, juga terutama pada sikap, perilaku, aktivitas dan tindakannya sehari-hari pada tanah. Penguasaan tanah dalam bentuk Lingko dan tobok, yang umumnya belum mempunyai surat bukti hak yang kuat; penggunaan tanah berupa ladang, sawah, pekarangan dan hutan; dan pengerjaan tanah dengan pola usaha tani dan teknologi pertanian yang relatif sederhana dan cenderung mentradisi, memancarkan sikap dan perilaku, kemampuan dan upaya para petani dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang dikuasainya.
Pada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan tanah, kearifan dan kebijakan ekologis para petani itu ditunjukkan oleh besarnya nilai Koefisien Kontingensi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah, yang semuanya termasuk dalam katagori sedang yaitu 0,58, 0,46, 0,40 dan 0,37; ini berarti hubungan antara kedua peubah itu masing-masing relatif erat dan kuat. Signifikansi hubungan tersebut berada pada taraf 1 % dan 5 %. Oleh karena itu ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 4 tahun 1982 merupakan ketentuan yang tepat dan bijak, sehingga perlu dipertahankan dan diperluas ruang lingkup berlakunya.
Namun bila ditelaah secara mendalam, tampak bahwa keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif budaya lebih kuat daripada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan, penggunaan dan pengerjaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insentif dan disinsentif budaya tetap merupakan faktor penting dan menjadi acuan serta pedoman utama para petani di kecamatan ini dalam menguasai, menggunakan dan mengerjakan tanahnya. Karena itu dalam memasukkan inovasi baru yang berhubungan dengan pengelolaan tanah di kecamatan Satar Mese perlu memperhatikan dan mepertimbangkan kearifan dan kebijakan ekologis yang dimiliki dan dikembangkannya, agar inovasi itu tidak menjadi mubazir dan menimbulkan gejolak sosial. Untuk itu pandangan dan pendapat Julian Steward dan John Bennet, Glinka dan Boelars, Murphey dan Kleden cukup aktual dan masih relevan untuk diperhatikan dalam seluruh kebijaksanaan mengenai tanah umumnya dan pengelolaan tanah khususnya di Indonesia.

ABSTRACT
All people in this world realize the meaning and the role of land in their life. For the peasants in the village, land has some values, ranging from the concrete value to the abstract one. The value of a strip of land, can be economical, prosperous, sociological, juridical, and religious.
However, nowadays, many problems in accordance with the land in general and its management in particular arise in Indonesia. The land problem itself has been one of the crucial and complex national issues. There are four important points on such problem requiring immediate solutions, especially for outside Java. They are (1) the system of land classification which have not ensured land use optimally, viewed from both economical and environmental aspects; (2) the involvement of too many instances, having vested interest in the land use planning, while land use data tend to be centralized and in available in the provinces which have the authority to make decisions on the land use; (3) the smallholders and migrants have constraints in getting new favorable agriculture land; and (4) the development projects have difficulties in identifying and acquiring cultivable land in the required scale. It is caused not only by local land claims but also by government policy pertaining to the obligation to pay land compensation.
In principle, the land problem is caused by the presence of interaction, interrelation and adaptation among people which is getting more intense and intensive. Therefore, to analyze land problem and its management issue can not be separated from the people themselves as the main component of the environment. There are two essential things having much to do with the land management employed by the peasants, i.e. the cultural system of the peasants themselves and the government policy on the land management. This analysis will focus its concern on the incentive and the disincentive of the culture and the government policy. It is based on article 8 of the Act No.4 of 1982, stipulating that incentive and disincentive can be used to improve the maintenance of environment, to prevent, and to abate environmental damage and pollution.
The main issue of this writing is the investigation of how the peasants in sub district of Satar Mese deal with their land in order to fulfill their needs, to achieve their goals, and to obtain their life tranquility in this ever-changing environment. From such problem might arise two questions as follows. (1) What are the factors having relation to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in sub district of Satar Mese? (2) How is the relations of the incentive and the disincentive? of culture and government policy to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in this sub district?
The general aim of this study is to know how the peasants in this sub district anticipate the changes occurring in the environment and being manifested in the system, the pattern and the method of land management they use and develop. The specific aims are : (1) to know and to identify the factors having relation to the land management employed by the peasants; and (2) to describe how the relation is of incentive and disincentive from a culture and a government policy to the land management employed by the peasants in this sub district.
The hypothesis are : (1) incentive and disincentive as viewed from both culture and government policy, have a close relation to the land management employed by the peasants, (2) a culture incentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (3) a culture disincentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (4) an incentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants; (5) a disincentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants.
The data used in this writing consist of secondary and primary ones. The secondary data were obtained from documents and library research. The primary ones were obtained from a hundred respondents from five villages as the samples. Such data were collected through a well-designed structural and deep interviews. Since the research design used here was qualitative descriptive survey, then the primary data processing and analyzing used simple and cross tabulations, and simple statistical test of Contingency. Coefficient and Chi Square (X2).
The result of this study shows that the peasants in Satar Mese sub district have a unique ecological wisdom and intelligence in dealing with the land management. Such characteristic is not only apparent in the principle and the legal basis of the system, the pattern, and the method of the land management employed by the peasants, but also clearly seen in the tightness and the level of significance of the relationship of incentive and disincentive and the management, occupation, use and cultivation of the land employed by the peasants.
In this sub district such principle and legal basis of the land management were realized and based on the peasants way and concepts of life such as Social-Collectivity, Balance and Harmony, and Togetherness Principles. Such principles imply not only in their way of thinking, thought pattern, and insight into interacting, interrelating and adapting toward their environment, but also their attitudes, behaviors, and daily activities upon the land. The latter implications are clearly seen in the systems of land occupation as "Lingko" and "Tobok" which have no certificates; the patterns of land use which are only for dry and wet-rice field, yard and forest; and the method of land cultivation with simple farming system, pattern, and technology which tend to be a tradition. All these practices reflect their attitudes, behaviors, abilities and efforts in adapting themselves to the conditions of land they occupy.
The afore-mentioned unique ecological wisdom and intelligence of the peasants are indicated by Contingency Coefficient and Chi Square numbers on the tightness and the level of significance of the relations of incentive and disincentive to the land management. The Contingency
Coefficient numbers of relations of incentive and disincentive to the management, occupation, use, and cultivation of the land are all in medium categories, i.e. 0,58, 0.48, 0.40, and 0,37; meaning that relations between those two variables are close and strong. For that reason, article 8 of the Act No_4 of 1982 is effective and acceptable, and it needs to be maintained and more widely applied.
Nevertheless, if we analyze more thoroughly, it will be apparent that the tightness and the level of significance of incentive and disincentive relations of the culture is closer than that of the government policy. Based on that statement, the incentive and disincentive of the culture remain important factors, and become the main reference and guiding factors for the peasants in occupying, using and cultivating their land in this sub district. So, in introducing and adopting a new innovation in the land management for the peasants, we must pay attention on and consider the characteristic of the ecological wisdom and intelligence they have and develop, unless such innovation become useless, fruitless, and lead to a social movement. In relation to this analysis, the opinions and the views of Julian Steward, John Bennet, Glinka and Boelars, Kleden, and Murphey are still actual, relevant, and should be taken into account in making decisions and policies on the land and its management in Indonesia.
List of Literature :86 (from 1955 to 1991).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursiwan Taqim
"ABSTRAK
Inpres Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek, menjadikan Kota Tangerang selain melayani kebutuhan penduduknya juga melayani kebutuhan pendudukJakarta. Pesatnya arus migrasi, meningkatnya pembangunan kawasan industri, perumahan, perdagangan telah mendorong Kota Tangerang sebagai ibu kota Kabupaten Tangerang -- dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981 -- menjadi Kota Administratif, dan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1993 menjadi Kotamadya Tangerang. Setahun setelah menjadi Kotamadya Tangerang atau tahun 1994, pertumbuhan penduduknya telah mencapai 8,27 persen yang didominasi oleh migrasi dan pertumbuhan ekonominya mencapai 9,3 persen. Tingginya migrasi yang berasal dari orang-orang yang bekerja dan mencari pekerjaan serta penghuni perumahan sebagai limpahan dari Jakarta karena terbatas dan mahalnya lahan di Jakarta.
Pesatnya pembangunan industri dan perumahan menyebabkan tingginya perubahan fungsi lahan yang dulunya sebagian besar lahan pertanian, berubah menjadi lahan yang terbangun untuk perumahan dan industri. Aktivitas industri dan kegiatan domestik kalau tidak terkendali akan menimbulkan pencemaran terhadap fingkungan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk melihat keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan hidup dalam hal ini keterkaitan antara pertambahan penduduk, aktivitas penduduk, dan perubahan lahan sebagai masukan bagi perencanaan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penelitian dilakukan di Kotamadya Tangerang yang bertujuan untuk mempelajari secara kuantitatif pengaruh pertambahan penduduk, kepadatan penduduk, dan jumlah rumah tangga terhadap perubahan fungsi lahan menjadi lahan terbangun untuk perumahan dan industri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Analisis data dilakukan secara diskriptif yang memberikan gambaran keterkaitan pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga dengan laju perubahan fungsi lahan. Korelasi antara jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga, dengan luas lahan perumahan serta luas lahan perumahan ditambah Iuas lahan industri untuk tahun 1992, tahun 1995 dan signifikansi di antara variabel-varibel yang berkorelasi. Variabel bebas dalam penelitian adalah jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan jumlah rumah tangga di Kotamadya Tangerang tahun 1992 dan tahun 1995. Variabel terikatnya adalah luas lahan perumahan dan luas lahan perumahan ditambah Iuas lahan industri untuk tahun 1992 dan tahun 1995.
Hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa:
1. Pertumbuhan penduduk di Kotamadya Tangerang selama kurun waktu 1992-1995 meningkat dari 1.083.071 jiwa menjadi 1.464.738 jiwa atau naik rata-rata 11,36 persen per tahun yang didominasi oleh migrasi. Keriaikan tertinggi pada Kecamatan Cileduk 14,91 persen per tahun, Kecamatan Cipondoh 12,82 persen per tahun, Kecamatan Jatiuwung 11.86 persen per tahun, dan Kecamatan Tangerang 10,62 persen per tahun; sedangkan Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda relatif rendah, yaitu masing-masing 7,20 persen per tahun dan 5,32 persen per tahun. Perbedaan kenaikan pertumbuhan penduduk pada masing-masing kecamatan ini disebabkan karena pengaruh peruntukan wilayah dan pengembangan kegiatan yang berlangsung pada masing-masing kecamatan.
2. Antara tahun 1992-1995 rata-rata pertambahan penduduk Kecamatan Cipondoh lebih tinggi (12,82) persen per tahun dibandingkan dengan Kecamatan Jatiuwung (11,86) persen per tahun. Tetapi pertambahan rumah tangganya lebih tinggi Kecamatan Jatiuwung (12,41) persen per tahun dibandingkan dengan Kecamatan Cipondoh (10,89 persen) per tahun. Indikator ini menunjukkan bahwa tingginya migrasi di Kecamatan Cipondoh yang berasal dari para pekerja industri yang masih belum berkeluarga dan indekost pada rumah penduduk setempat, karena letak Kecamatan Cipondoh_yang strategis dan ekonomis.
3. Proporsi tenaga kerja dari jumlah penduduk keseluruhan pada tahun 1990 dan tahun 1993 hampir sama, yaitu 63,48 persen dan 63,60 persen. Pada kelompok umur 15-19 dan 20-24 tahun lebih banyak tenaga kerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki, karena pada kelompok umur 15-19 tahun tenaga kerja perempuan 56,44 pada tahun 1990 dan 56,58 persen pada tahun 1993. Begitu juga untuk kelompok umur 20-24 tahun tenaga kerja perempuan pada tahun 1990 sebanyak 51,22 persen dan tahun 1993 sebanyak 51,17 persen. Banyaknya tenaga kerja perempuan ini karena tidak terlepas dari jenis industri yang dikembangkan, seperti garmen dan sepatu yang banyak menarik minat tenaga kerja wanita.
4. Pertumbuhan ekonomi yang digambarkan oleh laju kenaikan PDRB, dilihat dari cara penghitungan atas dasar harga konstan dan harga berlaku, maka pada tahun 1992-1993 terjadi peningkatan yang cukup tajam dari seluruh sektor ekonomi, kecuali pertanian. Sektor listrik, gas, dan air meningkat paling tajam pertumbuhannya yang mencapai 4,96 persen. Indikator ini menunjukkan banyaknya permintaan karena pertumbuhan sektor lainnya, seperti sektor industri, konstruksi, sewa rumah, perbankan, perdagangan, dan restoran.
5. Kalau pengembangan perumahan dikaitkan peruntukan masing-masing kecamatan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kotamadya Tangerang, maka telah dikembangkan perumahan pada beberapa kecamatan yang tidak diperuntukkan untuk pengembangan perumahan, seperti Kecamatan Benda dan Kecamatan Tangerang. Untuk lahan terbangun untuk industri yang tidak sesuai dengan RTRW Kotamadya Tangerang adalah pada Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Tangerang, dan Kecamatan Benda.
6. Dari hasil perhitungan di antara variabel yang berkorelasi menunjukkan bahwa pengaruh pertambahan penduduk terhadap perluasan lahan pada tahun 1992 positif dan kuat sekali yang ditunjukkan angka 0,91. Tahun 1995 hanya 0,48 berarti penga.ruh ini tidak sekuat pada tahun 1992, karena lebih kepada pengisian perumahan yang telah terbangun dari memperluas kawasan untuk pembangunan perumahan baru; atau dengan kata lain pertambahan penduduk yang cukpp tinggi sampai tahun 1992 telahmendorong para developer untuk investasi pada pembangunan perumahan.
7. Penghitungan terhadap hubungan kepadatan penduduk dengan luas lahan untuk perumahan, lebih kuat pada tahun 1992 (0,59) dari tahun 1995 yang hanya (0,16). Hal ini terjadi karena pada tahun 1995 kurangnya pembangunan perumahan baru, juga kepadatan pada Kecamatan Tangerang diikuti perluasan pembangunan perumahan lebih ke atas, karena banyaknya terbangun rumah dan toko.
8. Hubungan antara jumlah rumah tangga dengan luas lahan terbangun untuk perumahan menurut penghitungan, pada tahun 1992 adalah (0,94) dan pada tahun 1995 (0,48). Pengaruh ini sangat kuat yang disebabkan karena urutannya per kecamatan sama antara pertambahan jumlah rumah tangga dan luas lahan terbangun untuk perumahan pada tahun 1995, yaitu tertinggi pada Kecamatan Cileduk, Kecamatan Jatiuwung, dan Kecamatan Cipondoh.
9. Hubungan antara pertambahan penduduk dengan perluasan lahan terbangun untuk perumahan dan industri pada tahun 1992 adalah 0,75 dan pada tahun 1995 adalah 0,54. Hubungan antara kepadatan penduduk dengan perluasan lahan terbangun untuk perumahan dan industri pada tahun 1992 adalah 0,45 dan pada tahun 1995 adalah 0,23.
10. Hubungan antara pertambahan rumah tangga dengan luas lahan terbangun untuk perumahan dan industri pada tahun 1992 adalah 0,79 dan pada tahun 1995 adalah 0,62. indikator ini menunjukkan bahwa pada tahun 1992 pertambahan penduduk dan kepadatan penduduk memperluas lahan terbangun untuk perumahan, pada tahun 1995 pertambahan penduduk masih memperluas lahan perumahan dan industri, begitu juga kepadatan penduduk pada tahun yang sama. Kepadatan penduduk pada tahun 1995 pengaruhnya tidak sekuat pada tahun 1992 untuk perumahan dan industri karena kepadatan penduduk tertinggi pada Kecamatan Cileduk, sedangkan pada Kecamatan Cileduk tidak terbangun industri. Kuatnya pengaruh pertambahan rumah tangga terhadap perluasan lahan terbangun untuk perumahan dan industri karena dimungkinkan dengan tingginya pertambahan rumah tangga pada Kecamatan Jatiuwung. Kecamatan Jatiuwung Iahannya terluas terbangun untuk industri dan terbangun untuk perumahan terluas kedua setelah Kecamatan Cipondoh.
11. Menurut Indeks Kendali dari variabel-variabel yang berkorelasi tersebut, signifikansi akan terjadi pada pertambahan penduduk tahun 1992 dengan luas lahan perumahan tahun 1992, pertambahan penduduk tahun 1992 dengan luas lahan perumahan ditambah luas lahan industri tahun 1992, dan pertambahan penduduk 1995 dengan luas lahan perumahan ditambah luas lahan industri.
12. Kalau pertambahan penduduk Kotamadya Tangerang masih tetap sebesar 11,36 persen pertahun dan kenaikan jumlah rumah tangga sebesar 6,38 persen per tahun, maka pada tahun 2000 jumlah penduduk Kotamadya Tangerang sebesar 2.555.649 jiwa dan jumlah rumah tangga sebesar 469.021. Pada tahun 2005 jumlah penduduk Kotamadya Tangerang akan mencapai 4.514.457 jiwa dan jumlah rumah tangga sebesar 782.609.
13. Mengacu kepada Petunjuk Praktis Pembuatan Rumah Sehat dari Departemen Pekerjaan Umum, yaitu setiap jiwa memerlukan luas lantai minimal 9 m2, maka pada tahun 2000 penduduk Kotamadya Tangerang memerlukan minimal 230.008,41 hektar lantai perumahan dan pada tahun 2005 memerlukan 406.301,13 hektar lantai rumah. Ini berarti pada tahun 2000 iahan di Kotamadya Tangerang hanya dapat menampung kebutuhan 67,94 persen dari jumlah kebutuhan penduduknya dan pada tahun 2005 hanya dapat menampung 38,46 persen dari jumlah kebutuhan penduduknya. Oleh sebab itu diperlukan kebijaksanaan secara terpadu untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi. Kebijaksanaan pembangunan industri agar lebih selektif terbatas kepada industri tinggi atau asembling yang sedikit tenaga kerja karena hanya memerlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian tertentu. Kebijaksanaan pembangunan perumahan untuk tidak memperluas secara horizontal tetapi juga vertikal atau pembangunan rumah susun.

ABSTRAK
Population Dynamics Analysis On Land Functional Conversion In Tangerang Municipality, West JavaPresidential Decree (Inpres) Number 13, 1976 on Developing Jabotabek region, to point out the City of Tangerang not only to serve the necessity of its people but also to serve the necessity of the Jakarta's people. Growing migration, enhancing the development of industrial estate, residential are, and trading, have led to the city of Tangerang to be a capital of the Tangerang Regency. After that, the Governmental Regulation (PP) Number 50, 1981 stated Tangerang as Administrative City, and Undang-Undang Nomor 20, 1993 declared .the Tangerang as a Kotamadya (municipality) Tangerang. One year after that, the growth of population was 8,27 percent, dominated by migration and economic growth achieved 9,3 percent. The high rate of migration is caused by working people and job seekers and new resident from Jakarta. The new resident is moving in to Tangerang due to the expensiveness and limited of Jakarta's land.
Increasing industrial development and residential area lead to the land conversion from agriculture activities. The uncontrolled of those activities would cause the environmental pollution. Therefore, to avoid the environmental pollution, the interwined between development and environmental in term of interelated among population growth, population activities, and land conversion are needed as an input for planning in achieving sustainable development and environmentally sound development.
Research was carried out in Tangerang Municipality that intends to develop the quantitative study of the impact of population growth, population density, and household number on the land conversion for residential area and industry.
Survey methods is carried out in this study. Data analysis is done as a descriptive that shows the interrelated of population growth, population density, number of household, with the rate of land conversion. This study also looks at the correlation among the number of population, population density, number of household with the area of residential and the industrial estate area associated with the area of residential in 1992 and 1995. The significancy test is also carried out among the correlation variables. The independent variables are population number, population density, and household number at the Tangerang municipality in the year 1992 and 1995. The dependent variables are residential area and residential area associated with industrial estate area in the year 1992 and 1995.
The conclusions of this research are :
1. The growth of population from 1992 to 1995 increased from 1,083,071 to 1,464,738 or raised by 11.36 percent per year, dominated by migration. The highest rate of population was 14.91 percent per year at Kecamatan Ciledug, 12.82 percent at Kecamatan Cipondoh, 11.86 percent at Kecamatan Jatiwungu, and 10.62 percent at Kecamatan Tangerang; while Kecamatan Batuceper and Benda was relatively lower, respectively 7.20 percent and 5.32 percent per year. The discrepancy of population growth among those kecarnatan is caused by the impact of land use and the kind of development activities.
2. Between 1992-1995 average population growth at Kecamatan Cipondoh was (12.82%) higher than Kecamatan Jatiwung (11.8%) per year. While the growth of household, Kecamatan Jatiwung (12.41°/o) was higher than Kecamatan Cipondoh (10.89%) per year. This indicator points out that the migration is quite high at Kecamatan Cipondoh due to the position of Cipondoh is quite strategic and close to the industrial area.
3. The proportion of labor force in 1990 and 1993 is almost similar that is 63.48 percent and 63.60 percent. Female labor is predominantly compare to male labour for the age group between 15-19 and 20-24. The age group between 15-19, the female labor was 56.44 percent in 1990 and 56.44 percent in 1993. For the age group between 20-24, female labor achieved 51.22 percent in 1990 and 51.17 percent in 1993. This phenomena appears because the kind of industries in Tangerang more need female labor rather than male labor.
4. Based on the constant price and the current price, the economic growth is significantly increasing from 1992-1993, particularly for electricity, gas and water sector that achieved 4,96 percent, except agricultural sector. This phenomena shows that increasing demand due to growing other sectors such as industry, construction, home rental, banking, trade, and restaurant.
5. There are several evidence that residential development at Kecamatan Benda and Kecamatan Tangerang does not fulfill the regional development plan of the municipality of Tangerang. In addition, the industrial development at Kecamatan Cipondoh, Tangerang and Benda are also not suitable with Tangerang's regional development plan.
6. The correlation between population growth and land conversion growth is quite significant (0.91) in 1992. Yet, in 1995 the correlation variable was only 0.48. It pointed out that population growth since 1992 did not cause the extending land conversion anymore, but they only moved in to the provided dwellings.
7. The correlation between population density and increasing land conversion for housing was stronger (0.59) in 1992 compare to 0.16 in 1995. It occurred due to the development of housing that has more than one storey.
8. The similar phenomena occurred on the correlation between the household number and land conversion for housing. The coefficient correlation was 0.94 in 1992 and 0.48 in 1995. This impact is very significant due to the rank per kecamatan is similar to additional the number of household and land conversion are for housing in 1995, that is Kecamatan Cileduk, Kecamatan Jatiwung, and Kecamatan Cipondoh.
9. The correlation between population growth and-increasing land conversion for housing and industry in 1992 was 0.75 and in 1995 was 0.54. The correlation between population density and enhancing and conversion for housing and industry in 1992 was 0.45 and in 1995 was 0.23.
10. The correlation between household growth and increasing land conversion for housing and industry in 1992 was 0.79 and in 1995 was 0.62. This indicator reflects that in 1992 population growth and population density increase land conversion for housing, in 1995 population growth and population density were still to extend land conversion for housing and industry as well as population density in the same year. The impact of population density was not significant in 1995 compare to in 1992 to housing and industry, because at Kecamatan Ciledug was not developed as unindustrial area. The significancy of the impact of additional household number on extending land conversion for housing is caused by the high rate of additional household at Kecamatan Jatiwung. The biggest industrial development and the second biggest industrial development are situated at Kecamatan_Jatiwung.
11. According to 10 Kendall index, the significant will happen between population growth variable and housing area in 1992, population growth and the total housing and industrial area in 1992, and also population growth and the total housing and industrial area in 1995.
12. If the population growth of Tangerang municipality is still 11.36 percent per year, household growth is 6.38 percent per year, so in the year 2000, the population will achieve 2,555,649 and the number of household will be 469,021. In the year 2005, the population will achieve 4,514,457 and the household will be 782,609.
13. Based on Petunjuk Praktis Pembuatan Rumah Sehat (the Simple Guidance for Building Health Housing) from Public Work Department, every people needs space minimum 9 m2, so in the year 2000, the people of Tangerang would need minimum 230,008.41 ha housing space and then in 2005 would need 406,301.13 ha. Its mean that in 2000 the provided land in the municipality of Tangerang could only to fulfill 67.94 percent demand and in 2005 could only fulfill 38.36 percent demand. Therefore, the comprehensive policies should be made and developed in order to be able to control and manage the population growth, particularly migration. The industrial development policies should be more selective in choosing and determining the kind of industries that emphasis more on high tech industry or clean industry and only need the skillful labors. in addition, housing development policies should not developed horizontally but should developed cheaper apartment etc.
Number of References : 41 (1981-1996)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Dety Novia Utami
"Keberadaan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman membuat lahan pertanian subur sehingga menjadi daya tarik bagi manusia untuk menempati wilayah tersebut. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan tuntutan penduduk akan ketersediaan lahan terbangun tinggi pula, sehingga membuat daya dukung lingkungan pada Kabupaten Sleman menurun. Akan tetapi, aktivitas vulkanik Gunung Merapi menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat yang bermukim di kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Prediksi terhadap ketersediaan lahan serta kaitannya dengan kawasan rawan bencana, dan daya dukung lingkungan perlu untuk dilakukan. Data kependudukan 2007-2017 dan citra Landsat 7 ETM 2007, 2012, dan Landsat 8 OLI 2017 akan digunakan dalam penelitian ini sebagai variabel dalam model dinamika spasial. Sedangkan, data fisik serta data aksesibilitas seperti kemiringan lereng, bentuk medan, jarak dari sungai, jarak dari kawasan lindung, jarak dari jalan, dan jarak dari pusat pertumbuhan ekonomi akan digunakan sebagai faktor pembatas wilayah terbangun. Daya dukung lingkungan dapat diamati melalui model sistem dinamis hubungan antara pertumbuhan penduduk dan ketersediaan lahan dalam kurun waktu tahun 2007-2100, kemudian dijadikan model dinamika spasial untuk diketahui perilaku spasialnya. Prediksi hasil dari model ini, menunjukkan bahwa lahan terbangun semakin meningkat tiap tahunnya, memadati wilayah yang sesuai untuk lahan terbangun, dan kemudian berkembang pada wilayah yang kurang sesuai untuk lahan terbangun serta menempati kawasan rawan bencana Gunung Merapi.

The existence of Mount Merapi in Sleman Regency makes the agricultural land so fertile and that becomes the attraction for humans to occupy the region. A high population growth will lead to the residents demand of the availability built up land higher, that makes the environmental carrying cappacity in Sleman Regency decrease. However, the volcanic activity of Mount Merapi becomes a threat to the people who live in the area of Disaster Prone Areas of Mount Merapi. Predictions on the availability of land as well as the relation to the disaster prone areas, and the carrying capacity of the environment needs to be done. 2007 ndash 2017 population data and Landsat 7 ETM 2007, 2012, and Landsat 8 OLI 2017 imagery will be used in this research as variable in the spatial dynamics model. Meanwhile, physical and accesibility data such as slope, landform, distance from the river, distance from protected area, distance from road, and distance from the center of economic growth will be used as limiting factor of built up land. Environmental carrying capacity can be observed through a dynamic system model of the relationship between population growth and land availability within the period of 2007 2100, then made into the spatial dynamics model to know its spatial stance. The results of this model show that built up land increasing every year, packed areas that are suitable for built up land first, then encroach on areas which not suitable for built up land and Mount Merapi Disaster Prone Areas."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannes Anwar
"Pemilihan lokasi diantara beberapa pilihan lokasi industri merupakan hal paling mendasar dan awal yang dilakukan oleh pengusaha atau produsen setelah menentukan jenis industri. Sebelum kemudian mengambil keputusan-keputusan lain maka pengusaha/produsen akan terlebih dahulu mempertimbangkan lokasi yang akan memberikan keuntungan yang paling maksimal atau memberikan biaya yang paling minimal. Sementara itu pemerintah sebagai regulator dari kebijakan spasial memiliki kepentingan tersendiri yang belum tentu sesuai/sinkron dengan kepentingan pengusaha.
Restriksi dalam bentuk rencana tata guna lahan merupakan salah satu kebijakan penting dari pemerintah dalam upaya mereduksi atau bahkan menghilang berbagai ekstemalitas yang ditimbulkan oleh industri terhadap perkembangan wilayah. Salah satu upaya yang kemudian dapat dilakukan adalah mengembangkan kebijakan yang memberikan hasil yang paling optimal bagi perkembangan/pertumbuhan wilayah atau dengan kata lain ada sinkronisasi antara pengembangan sektor industri dengan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Berdasarkan kenyataan diatas maka kemudian dikembangkan suatu model dinamik dari pemilihan lokasi industri yang selain mengadopsi kepentingan pengusaha juga tetap memperhatikan berbagai restriksi yang ditetapkan oleh pemerintah (dalam penetapan tata guna lahan digunakan RTRW ataupun RUTR). Dipilihnya model dinamik dalam penelitian ini karena perilaku dari produsen dalam pemilihan lokasi industri tidaklah bersifat statis tetapi selalu mempertimbangkan berbagai perubahan yang terjadi baik dari sisi biaya maupun pendapatan dari setiap lokasi yang akan dipilih.
Berdasarkan hasil pengembangan model maka diperoleh hasil bahwa faktor utama yang mempengaruhi pemilihan lokasi industri adalah keuntungan yang diperoleh, dimana besamya sangat ditentukan oleh komposisi variabel biaya dari masing-masing jenis industri yang ada pada setiap lokasi. Disamping itu pengembangan alternatif kebijakan tata guna lahan untuk sektor industri tidak dapat dilakukan secara parsial yaitu per wilayah, namun harus secara integral karena sangat berkait erat dengan upaya menekan/mereduksi high cost economy.
Indikator yang digunakan dalam pengembangan kebijakan adalah nilai ekonomi yang diwakili oleh total agregat output dan kinerja jaringan jalan. Kebijakan terbaik yang dapat dilakukan di Jabodetabek berkaitan dengan pemilihan lokasi industri adalah dengan melokalisir industri pada wilayah-wilayah yang belum tinggi tingkat kegiatannya (belum tinggi volume lalu lintasnya)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T20450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Dwijananto
"Cekungan Bandung merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan penduduk yang besar di Jawa Barat. Kondisi seperti ini telah mengakibatkan perubahan penggunaan tanah yang intensif di daerah Cekungan Bandung dari tahun 1994-2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan perubahan penggunaan tanah di Cekungan Bandung, terutama tanah terbangun. Informasi penggunaan tanah diolah dari peta penggunaan tanah yang didapat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan citra satelit dengan verifikasi lapang sebanyak 33 lokasi. Analisis deskriptif dengan pendekatan keruangan dilakukan untuk mengetahui arah perubahan penggunaan tanah terbangun.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa tanah terbangun cenderung bergerak kearah selatan dan timur. Pada bagian utara meskipun penduduknya lebih padat, faktor topografi dan kemiringan lereng mempengaruhi perkembangan tanah terbangun di bagian utara. Pada bagian selatan dan timur, faktor topografi yang datar dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan perubahan tanah terbangun cenderung menuju kedua arah ini.

The Bandung basin is one of the areas with a large population growth in West Java. This condition has resulted in intensive land use change in the area of Bandung Basin from 1994-2010. The purpose of this research is to know the trend of land use change in Bandung Basin, especially urban land. Land use information from land use map is obtained from the Badan Pertanahan Nasional (BPN) and satellite imagery with ground verification by as much 33 location. Analysis descriptive with spatial approach conducted to determine land use change direction, especially urban land.
Results of the analysis show that urban land tend to move towards the south and east. In the North despite the inhabitants are more dense, topography and slope of slope factors influenced the development of the urban land in the North. On the south and the east, a factor of topography and slope caused change to urban land tend to rise in two directions.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43036
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dana Puspita Arum
"Keberadaan Wilayah Hijau pada daerah perkotaan sangat penting, karena wilayah hijau memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan masyarakat sekitarnya, antara lain adalah fungsi sosial, fungsi ekonomi serta fungsi ekologi. Kebayoran Baru adalah kota taman tropis pertama di Indonesia karya arsitek lokal, Moh. Soesilo (1948). Kebayoran Baru merupakan adaptasi kota taman bergaya Eropa (Belanda) dengan konsep pembangunan kota yang melibatkan alam di dalamnya dan memiliki taman-taman di sekitar pusat kota, dan dikelilingi sabuk hijau berupa tanah pertanian.Tujuan skripsi ini untuk melihat perubahan wilayah hijau di Kebayoran Baru tahun 1975-2005 dan kaitan antara perubahan wilayah hijau tersebut dengan penggunaan tanah lain, kerapatan jalan, dan rencana peruntukkan tanah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif secara dinamis atau historical (spatial temporal) yang terbagi atas 3 periode dan 2 kawasan yaitu Kawasan Kebayoran Baru dan Non Kawasan Kebayoran Baru. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa perubahan wilayah hijau Kebayoran Baru pada periode I, II dan III sebagian besar terjadi di Non Kawasan Kebayoran Baru dan semakin mendekati Kawasan Kebayoran Baru terutama terjadi di jalanjalan arteri dan jalan utama. Pada periode I,II dan III sebagian besar perubahan penggunaan tanah selain dari wilayah hijau berubah menjadi komersil, juga ada kecenderungan mengarah ke Non Kawasan Kebayoran Baru, sedangkan perubahan wilayah hijau sebagian besar berkurang menjadi perumahan dan terjadi di Non Kawasan Kebayoran Baru. Kerapatan jalan pada periode I, II, dan III mengalami peningkatan yang sebagian besar terjadi di Non Kawasan Kebayoran Baru dan cenderung mengarah ke Kawasan Kebayoran Baru. Rencana peruntukan tanah pada periode I, II dan III yang sesuai dengan perubahan wilayah hijau cenderung mengarah ke Kawasan Kebayoran Baru. Perubahan wilayah hijau yang tidak sesuai dengan rencana peruntukan tanah pada periode I, II dan III semakin berkurang.

Existence green open space at urban area of vital importance, because green open space own various function for life of vinicity society, for example is social function, economic function and also ecology function. Kebayoran Baru is first tropical garden town in Indonesia local architect masterpiece, Moh. Soesilo (1948). Kebayoran Baru represent the dressy garden town adaptation of Europe(Belanda) with the concept of town development entangling nature in it and own the garden [of] around downtown, and encircled by the green belt in the form of land ground .Target of skripsi to see the green open space in Kebayoran Baru at year 1975-2005 and bearing of green open space change of the green with the land use is other, closeness walke, and plan to destine the land use. This research is research qualitative with the descriptive approach dynamicly or historical ( spatial temporal). Result of this research depict that green open space change the Kebayoran Baru at period I, II and III of most happened in Non Kawasan Kebayoran Baru and progressively come near the Kawasan Kebayoran Baru and happened in taking the air artery and especial. At period of I,Ii and III of most change of land use of besides green open space turn into commercial and tend to to aim to the Non Kawasan Kebayoran Baru, while green open space shange most decreasing to become the housing and happened in Non Kawasan Kebayoran Baru. Closeness walke at period I, II, and III experience of the improvement ismostly happened in Non Kawasan Kebayoran Baru and tend to to aim to the Kawasan Kebayoran Baru. Plan the land use allotment of at period I, II and III matching with regional change become green to tend to to aim to the Kawasan Kebayoran Baru. Green open space change which is disagree with plan of land use allotment at period I, II and III on the wane."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S34185
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>