Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harry Yusuf
"Latar Belakang: Periostin memainkan peran sebagai mediator proses inflamasi termasuk inflamasi dan fibrosis ginjal. Namun, data signifikansi periostin pada acute kidney injury terbatas. Kami meneliti korelasi kadar periostin urin dengan fungsi ginjal pada pasien keganasan yang mendapat terapi cisplatin dosis tinggi. Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di n ruang rawat HOM lantai 8 gedung A, di RSCM dari November 2019 hingga jumlah sampel minimal terpenuhi dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23.0 sesuai tujuan penelitian. Hasil: Dari 37 responden diketahui 70,3% laki-laki, 29,7% berusia 41-50 tahun, 59,5% menderita KNF, serta 64,9% memiliki Skor Karnofsky 80. Kadar ureum dan kreatinin darah responden meningkat dari pra kemoterapi hingga 1 minggu paska kemoterapi I. Begitu juga dengan nilai eGFR yang makin menurun. Perubahan kadar periostin menurun selama kemoterapi I dan II, naik kembali 1 minggu paska kemoterapi III dengan nilai p>0,05. Pada uji korelasi kadar periostin urin dengan variabel fungsi ginjal lainnya tidak didapatkan domain yang signifikan bermakna (p>0,05) dengan nilai koefisien korelasi lemah (r = 0,017-0,254) dan beberapa domain memiliki arah korelasi negatif.
Simpulan: Tidak didapatkan korelasi bermakna kadar periostin urin dengan kadar ureum darah, kreatinin darah serta laju filtrasi glomerulus pasien keganasan dengan terapi cisplatin dosis tinggi.

Background: Periostin plays role as mediator of inflammatory processes including inflammation and kidney fibrosis. However, data on the significance of periostin in acute kidney injury are limited. We investigated the correlation of urine periostin levels with kidney function in malignant patients receiving high-dose cisplatin therapy. Methods: This prospective cohort study was conducted in the 8th floor HOM care room in building A, in the RSCM from November 2019 until the minimum sample size was fulfilled by consecutive sampling. Data were analyzed using SPSS version 23.0 according to the purpose of study. Results: Of the 37 respondents known to be 70.3% male, 29.7% aged 41-50 years, 59.5% suffer from NPC, and 64.9% have Karnofsky score of 80. Urea levels and blood creatinine of respondents increased from pre-chemotherapy to 1 week after chemotherapy I. Likewise, the eGFR value decreases. Changes in periostin levels decreased during chemotherapy I and II, rising again 1 week after chemotherapy III with a p value> 0.05. In the correlation test of urinary periostin levels with other kidney function variables, no significant domain was found (p> 0.05) with a weak correlation coefficient (r = 0.017-0.254) and some domains had a negative correlation direction.
Conclusion: No significant correlation was found in urine periostin levels with blood urea levels, blood creatinine and glomerular filtration rates of malignant patients with high-dose cisplatin therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Yusuf
"Latar Belakang: Periostin memainkan peran sebagai mediator proses inflamasi termasuk inflamasi dan fibrosis ginjal. Namun, data signifikansi periostin pada acute kidney injury terbatas. Kami meneliti korelasi kadar periostin urin dengan fungsi ginjal pada pasien keganasan yang mendapat terapi cisplatin dosis tinggi.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di n ruang rawat HOM lantai 8 gedung A, di RSCM dari November 2019 hingga jumlah sampel minimal terpenuhi dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23.0 sesuai tujuan penelitian.
Hasil: Dari 37 responden diketahui 70,3% laki-laki, 29,7% berusia 41-50 tahun, 59,5% menderita KNF, serta 64,9% memiliki Skor Karnofsky 80. Kadar ureum dan kreatinin darah responden meningkat dari pra kemoterapi hingga 1 minggu paska kemoterapi I. Begitu juga dengan nilai eGFR yang makin menurun. Perubahan kadar periostin menurun selama kemoterapi I dan II, naik kembali 1 minggu paska kemoterapi III dengan nilai p>0,05. Pada uji korelasi kadar periostin urin dengan variabel fungsi ginjal lainnya tidak didapatkan domain yang signifikan bermakna (p>0,05) dengan nilai koefisien korelasi lemah (r = 0,017-0,254) dan beberapa domain memiliki arah korelasi negatif.
Simpulan: Tidak didapatkan korelasi bermakna kadar periostin urin dengan kadar ureum darah, kreatinin darah serta laju filtrasi glomerulus pasien keganasan dengan terapi cisplatin dosis tinggi.

Background: Periostin plays role as mediator of inflammatory processes including inflammation and kidney fibrosis. However, data on the significance of periostin in acute kidney injury are limited. We investigated the correlation of urine periostin levels with kidney function in malignant patients receiving high-dose cisplatin therapy.
Methods: This prospective cohort study was conducted in the 8th floor HOM care room in building A, in the RSCM from November 2019 until the minimum sample size was fulfilled by consecutive sampling. Data were analyzed using SPSS version 23.0 according to the purpose of study.
Results: Of the 37 respondents known to be 70.3% male, 29.7% aged 41-50 years, 59.5% suffer from NPC, and 64.9% have Karnofsky score of 80. Urea levels and blood creatinine of respondents increased from pre-chemotherapy to 1 week after chemotherapy I. Likewise, the eGFR value decreases. Changes in periostin levels decreased during chemotherapy I and II, rising again 1 week after chemotherapy III with a p value> 0.05. In the correlation test of urinary periostin levels with other kidney function variables, no significant domain was found (p> 0.05) with a weak correlation coefficient (r = 0.017-0.254) and some domains had a negative correlation direction.
Conclusion: No significant correlation was found in urine periostin levels with blood urea levels, blood creatinine and glomerular filtration rates of malignant patients with high-dose cisplatin therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rochyantini
"Tujuan : Mengetahui perbandingan respons terapi dan Disease Free Survival pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang clilakukan pengobatan kemoradiasi dan radiasi.
Tempat : Ruang rawat Paviliun ERIA dan Poliklinik Onkologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN-Cipto Mangunkusumo.
Rumusan Data : Penelitian ini bersifat uji klinik retrospektif.
Bahan dan Data Kerja : 278 pasien kanker serviks mendapat terapi lengkap selama kurun waktu 1997-2004. Terbagi 2 kelompok terapi, 199 kasus (1997-2000) adalah kelompok radiasi dan 79 kasus (2001-2004) adalah kelompok kemoradiasi. Kedua kelompok diikuti sampai dengan 1 tahun setelah selesai terapi. Kejadian yang dinilai adalah respons terapi serta adanya residif dan dihitung waktu babas tumor untuk menentukan disease free survival.
Hasil : Respons Berdasarkan Jenis Terapi :Respons komplit kelompok radiasi 179 kasus (89,95%), 14 kasus respons parsial (7,04%), 4 kasus nonrespons (2,01%) dan 2 kasus progresif (1,01%). Respons komplit kelompok kemoradiasi 73 kasus (92,41%), 4 kasus respons parsial (5,06%), 1 kasus nonrespons (1,27%) dan 1 kasus progresif (1,27%), (p = 0,899). Respons terapi pada stadium lanjut: Kelompok radiasi : komplit respons pada 99 kasus, Parsial respons 8 kasus, progresif 2 kasus. Kelompok kemoradiasi : komplit respons 63 kasus, parsial respons 3. dan 1 kasus progresif, (p > 0,05). Disease Free Survival Berdasarkan Jenis Terapi :DFS kelompok radiasi 1 tahun 87,07%, sedangkan kelompok kemoterapi 81,66%. DFS kelompok radiasi 2 tahun 79,81%, sedangkan kelompok kemoterapi 68,6%. (p = 0,405). Disease Free Survival pada Stadium Lanjut :Kelompok radiasi DFS 85% pada 1 tahun dan 71,58% pada 2 tahun.Kelornpok kemoradiasi 81% pada 1 tahun, 2 tahun sebesar 66,77%, dengan peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali.
Kesimpulan : Respons terapi kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak berrnakna.Ditinjau dari Disease Free Survival dan laju rekurensinya, perlakuan kelompok kemoradiasi tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok radiasi, namun secara statistik tidak bermakna.Peluang residif terapi kemoradiasi 1,09 kali dibanding dengan terapi radiasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shinta Dewi Permata Sari
"Nefrotoksisitas merupakan efek samping utama yang membatasi penggunaan cisplatin sebagai obat anti-tumor. Kurkumin memeliki beberapa aktivitas farmakologis salah satunya, yaitu sebagai nefroprotektor. Akan tetapi kurkumin kurang larut di dalam air, sehingga digunakan nanokurkumin yang lebih mudah larut/terdispersi dalam air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek kurkumin dan nanokurkumin terhadap nefrotoksisitas tikus yang diinduksi cisplatin melalui jalur ERK1/2. Perlakuan hewan coba dilakukan selama 10 hari, menggunakan tikus Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok, n=6, yaitu kelompok normal, cisplatin CIS, Cisplatin kurkumin 100 mg/kgBB/hari p.o Cis Kurku100, Cisplatin nanokurkumin 50 mg/kgBB/hari p.o Cis Nanokur50, Cisplatin nanokurkumin 100 mg/kgBB/hari p.o Cis Nanokur100 . Pada hari ke-7 dilakukan injeksi cisplatin 7 mg/kgBB, i.p dan 72 jam setelah injeksi cisplatin dilakukan pengambilan darah dan organ ginjal. Cisplatin dosis tunggal pada kelompok CIS menyebabkan peningkatan kadar BUN dan kreatinin dalam plasma, kadar MDA, peningkatan rasio ekspresi BCL-2/Bax, serta peningkatan rasio ekspresi protein p-ERK/ERK secara signifikan, dibandingkan kelompok normal. Pemberian kurkumin 100 mg/kgBB dan nanokurkumin 100 mg/kgBB berperan sebagai antioksidan untuk mencegah progresifitas nefrotoksisitas akibat cisplatin, dilihat melalui terjadinya penurunan kadar BUN dan kreatinin dalam plasma, penurunan kadar MDA, dan peningkatan rasio ekspresi gen BCL-2/Bax secara signifikan dibandingkan kelompok CIS, serta penurunan rasio ekspresi protein p-ERK/ERK secara signifikan dibandingkan kelompok CIS. Cisplatin dosis tunggal 7 mg/kgBB dapat menyebabkan nefrotoksisitas pada tikus yang menyerupai AKI Acute Kidney Injury pada manusia. Kurkumin 100 mg/kgBB cenderung memiliki efek nefroprotektor yang lebih baik dalam mencegah progresifitas nefrotoksisitas akibat cisplatin melalui jalur stress oksidatif dan apoptosis.

Nephrotoxicity is the major limitation for the clinical use of cisplatin as an antitumor. Curcumin has some pharmacological activity, one of them as nephroprotector. However, curcumin less soluble in water, so it is used nanocurcumin which is readily dispersed in aqueous media. The purpose of this study is to investigate the effects of curcumin and nanocurcumin against ciplatin induced nephrotoxicity in rats through ERK1 2 pathway. This study conducted for 10 days treatment, five groups n 6 of male Sprague Dawley rats were examined normal, cisplatin CIS 7 mg kgBW, Cis curcumin Cis Curcu100 100 mg kg BW day, Cisplatin nanocurcumin 50 mg kg BW day Cis Nanocur50, and Cisplatin nanocurcumin 100mg kg BW day Cis Nanocur100 . After 72 h following injection cisplatin, specimens were collected. This study resulted a single dose of cisplatin in CIS group caused a significant increased in plasma BUN, plasma creatinine, MDA levels, decreased ratio expression of BCL 2 Bax gene, and increased ratio of p ERK ERK as compared to normal group. Pre treatment with curcumin 100 mg kgBW and nanocurcumin 50 and 100 mg kgBW acts as an antioxidant to prevent progression of nephrotoxicity cisplatin, were reduced plasma BUN levels, plasma creatinine levels, MDA levels in kidney, increased GSH level in kidney, increased ratio expression of BCL 2 Bax gene in kidney, and decreased ratio of p ERK ERK protein in kidney compared with cisplatin induced nephrotoxicity rats without treatment. Cisplatin with single dose 7 mg kgBW is able to induced nephrotoxicity in rats that mimicked acute kidney injury in human. Curcumin 100 mg kgBW tend to have a better nephroprotector effect in preventing the progression of cisplatin induced nephrotoxicity through oxidative stress pathways and apoptosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King Hans Kurnia
"Latar belakang. Penelitian ini bertujuan menilai gambaran struktur dan fungsi retina serta menilai hubungan antara durasi terapi kelasi besi dan kadar feritin serum dengan abnormalitas struktur retina pada penyandang thalasemia-β mayor yang memperoleh terapi kelasi besi di RSCM. Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada penyandang thalasemia-β mayor berusia di atas 10 tahun yang memperoleh terapi kelasi besi dan menjalani kontrol di Pusat Thalasemia RSCM. Subjek dilakukan pemeriksaan oftalmologis, foto fundus, dan fundus autofluorescence. Selanjutnya dilakukan pengambilan subsampel dari subjek awal berdasarkan hasil fundus autofluorescence dan dilakukan pemeriksaan elektroretinografi multifokal dan elektrookulografi. Hasil. Abnormalitas struktur retina didapatkan pada 46,2% subjek sedangkan abnormalitas pemeriksaan fundus autofluorescence didapatkan pada 41,9% subjek. Sebagian besar subjek memiliki tajam penglihatan dan sensitivitas kontras yang normal. Nilai tengah seluruh parameter elektroretinografi multifokal dan rasio amplitudo light peak terhadap dark trough elektrookulografi kedua kelompok subjek berada dalam rentang normal. Didapatkan penurunan sensitivitas kontras yang signifikan pada subjek dengan abnormalitas struktur retina dan makula, namun tidak untuk tajam penglihatan. Kadar feritin serum yang lebih tinggi berhubungan dengan abnormalitas struktur retina. Kesimpulan. Rerata kadar feritin serum dalam periode satu tahun dengan titik potong ≥6.000 ng/ml dapat digunakan sebagai panduan untuk memulai pemeriksaan struktur dan fungsi retina.

Introduction. This study aims to evaluate retinal structure and function and association between iron chelation treatment duration and serum ferritin level with retinal structure abnormality in β-thalassemia major patients treated with iron-chelating agent in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods. This cross-sectional study was performed on β-thalassemia major patients aged more than 10 years old in Thalassemia Center, Cipto Mangunkusumo Hospital, who received iron-chelating agent for at least one year. Patients underwent ophthalmologic examination, fundus photography, and fundus autofluorescence imaging. Afterwards subsample was chosen based on fundus autofluorescence imaging result, and underwent multifocal electroretinography and electrooculography examination. Results. Retinal structure abnormality was found in 46.2% patients and fundus autofluorescence abnormality in 41.9% patients. The majority of patients had normal visual acuity and contrast sensitivity. Each multifocal electroretinography parameters and light peak to dark trough amplitude ratio in electrooculography had normal median values. Significant contrast sensitivity reduction was found on patients with retinal and macular structure abnormality, but not for visual acuity. Significant association between higher ferritin serum level and retinal structure abnormality was found. Conclusion. Mean ferritin serum level within one year with cutoff point of ≥6.000 ng/ml can be used as a guide to start retinal structure and function evaluation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Perlita Kamilia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keluhan subjektif mata kering dan gangguan komponen air mata (lipid, akuos, mucin) pada pasien thalassemia mayor dengan riwayat transfusi darah jangka panjang, serta menganalisis hubungan antara kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi darah dengan masing-masing parameter penilaian komponen lapisan air mata. Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional) pada pasien thalassemia mayor yang sudah berusia dan mengalami transfusi darah selama minimal 10 tahun. Penilaian mata kering terdiri dari pengisian kuesioner OSDI untuk menilai keluhan subjektif, pemeriksaan biomikroskopi lampu celah dan nilai tear break up time (TBUT) untuk menilai tingkat keparahan mata kering, pemeriksaan Schirmer basal, Ferning, dan sitologi impressi konjungtiva untuk menghitung jumlah sel goblet. Data perhitungan tingkat keparahan mata kering, nilai uji Schirmer basal, TBUT, dan jumlah sel goblet dianalisis dan dicari hubungannya dengan kadar feritin serum, durasi dan frekuensi transfusi. Pada 77 subyek, mata kering terjadi sebanyak 14.3%, penurunan nilai TBUT (39%), nilai Schirmer basal (37.7%), nilai Ferning (24.7%), dan jumlah sel goblet (45.5%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat keparahan mata kering, nilai TBUT, nilai Schirmer basal, nilai Ferning, dan jumlah sel goblet dengan kadar feritin serum, durasi, dan frekuensi transfusi. Namun, terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat keparahan mata kering dan usia (p = 0.014), serta nilai TBUT (p = 0.012) dan Schirmer (p = 0.014) dengan jenis kelamin. Penelitian ini memperlihatkan 14.3% subyek thalassemia mayor mengalami mata kering berdasarkan kriteria DEWS 2007. Kejadian mata kering pada thalassemia mayor tidak dipengaruhi oleh faktor transfusi dan kadar feritin serum, melainkan dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin.

This study is aimed to understand subjective complaints for dry eyes and disruption of component of tear fluid (lipid, aqueous, mucin) in patients with major thalassemia with a history of long-term blood transfusions and to analyse the correlation between serum ferritin level, duration and frequency of blood transfusion. This study is a cross-sectional study. The subject of this study is patients with major thalassemia age minimum of 10 years old and have had blood transfusion for at least 10 years. OSDI questionnaire, slit-lamp biomicroscopy examination, tear break up time (TBUT), and basal Schirmer test was used to assess dry eyes severity. Ferning and conjunctiva impression cytology examination was used to assess mucin quality and count the amount of goblet cells. The correlation analysis between the result of these assessments and serum ferritin level and duration and frequency of blood transfusion was done. In 77 subjects, the prevalence of dry eyes is 14.3%. There is a decrease in TBUT (39%), basal Schirmer (37.7%), Ferning (24.7%), and goblet cells (45.5%). There is no significant correlation between dry eyes severity and TBUT, basal Schirmer, Ferning, and the amount of goblet cells with serum ferritin level, duration, and frequency of blood transfusion. There is a significant correlation between dry eyes severity and patient s age (p = 0.014); TBUT (p = 0.012), as well as, Schirmer (p = 0.014) with sex. This study showed that 14.3% of patients with major thalassemia suffer from dry eyes with severity level grade 2 according to DEWS 2007. The incidence of dry eyes is not influenced by transfusion and serum ferritin level but is influenced by age and sex."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Heru Dento
"Latar belakang: Penyakit kardiovaskular adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Dengan tingginya kejadian penyakit jantung koroner akan berakibat makin meningkatnya tindakan intervensi di bidang kardiovaskuler untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pada pasien. Pada akhir dekade ini intervensi koroner perkutan IKP digunakan secara luas untuk menangani penyakit arteri koroner dimana timbulnya restenosis masih menjadi hambatan utama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inflamasi lokal dan sistemis mempunyai peranan penting pada terjadinya patogenesis in-stent restenosis ISR. Sejumlah penanda inflamasi telah diajukan untuk memprediksi angka mortalitas baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap sindroma koroner akut SKA, ISR dan trombosis stent, termasuk disini adalah eosinophil cationic protein ECP. Laporan mengenai korelasi antara kadar ECP dengan ISR belum pernah dilaporkan di Indonesia. Metode: Dilakukan studi potong lintang pada pasien jantung koroner yang mengalami ISR pasca dilakukan tindakan IKP yang berobat di unit Pelayanan Jantung Terpadu PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan April-Mei 2018. Pasien yang diketahui mengalami ISR dimasukkan sebagai subyek penelitian dan dilakukan pemeriksaan kadar ECP dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Analisa data menggunakan Analisa Bivariat dan uji korelasi Spearman. Hasil: Penelitian mendapatkan 32 subyek yang terdiri dari 27 subyek laki-laki 84,4 dan 5 subyek perempuan 15,6. Rerata usia pasien adalah 60,69 tahun dengan simpang baku 10,17. Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR r=0,099 ; p=0,589. Simpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar ECP dan ISR pada pasien PJK pasca dilakukannya IKP.

Background Cardiovascular disease is one of the major health problems worldwide, especially in developing countries. With the high incidence of coronary heart disease will result in increased interventions in the field of cardiovascular to reduce the level of morbidity and mortality in patients. By the end of this decade percutaneous coronary intervention PCI is widely used to treat coronary artery disease where the onset of restenosis remains a major obstacle. Several studies have shown that local and systemic inflammation plays an important role in the development of in stent restenosis ISR pathogenesis. A number of inflammatory markers have been proposed to predict both short and long term mortality rates for acute coronary syndrome ACS, ISR and stent thrombosis, including here is eosinophil cationic protein ECP. Reports on the correlation between ECP and ISR levels have not been reported in Indonesia. Metods Cross sectional study was performed on coronary heart patients who had ISR after PCI performed treatment at Integrated Heart Service Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital in April May 2018. Patients who were known to have ISR were included as research subjects and examined ECP levels by method of Enzyme Linked Immunosorbent Assay Human Eosinophil Cationic Protein ELISA. Data analysis using Bivariate Analysis and Spearman correlation test Result The study obtained 32 subjects consisting of 27 male subjects 84,4 and 5 female subjects 15,6. The average age of the patient is 60,69 years with standar deviation 10,17. There is no correlation between ECP and ISR levels r 0,09 p 0,589. Conclusion There was no correlation between ECP and ISR levels in CHD patients after PCI."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erico Wanafri
"Kemoterapi dengan cisplatin merupakan modalitas utama pada terapi pada kanker ovarium, walaupun telah diketahui toksisitasnya pada berbagai organ termasuk ginjal. Kurkumin, senyawa fenolik yang diperoleh dari Curcuma longa, diketahui memiliki efek proteksi pada ginjal akibat cisplatin pada berbagai model toksisitas in vivo. Namun, efek kurkumin pada ginjal dibatasi oleh bioavailabilitasnya yang rendah. Kelompok penelitian kami telah berhasil mengembangkan formulasi kurkumin nanopartikel baru yang telah terbukti memperbaiki efikasi cisplatin pada model kanker ovarium. Namun, belum diketahui apakah formulasi kurkumin nanopartikel ini juga dapat memperbaiki fungsi dan kondisi inflamasi pada ginjal yang disebabkan oleh cisplatin.
Metode Sebanyak 24 ekor tikus Wistar betina dibagi menjadi: 6 ekor tikus normal (sham treatment) dan 18 ekor tikus yang diinduksi menjadi kanker ovarium dengan DMBA. Tikus kanker ovarium dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 6 ekor yang menerima cisplatin 4 mg/kgBB/minggu atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu +kurkumin 100 mg/kgBB/hari atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu + nanokurkumin 100 mg/kgBB/hari. Terapi diberikan selama 4 minggu, kemudian dilakukan terminasi dan diambil darah dan organ ginjal untuk analisis penanda fungsi ginjal dan inflamasi.
Hasil Nanokurkumin dapat menurunkan kadar ureum serum signifikan dibandingkan kelompok cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar kreatinin dan sedikit menurunkan kadar neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL). Nanokurkumin tidak berhasil menurunkan kadar penanda inflamasi: TNF-, IL-1β dan IL-6.
Kesimpulan
Nanokurkumin memiliki kecenderungan untuk memperbaiki beberapa penanda fungsi ginjal dalam darah pada model kanker ovarium yang diberikan cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar penanda inflamasi di ginjal.

The effects of nanocurcumin on kidney function and inflammatory
markers in rat model of ovarian cancer treated with cisplatin
Cisplatin remains the main modality of treatment for ovarian cancer, despite its known toxic effects to various organs, including the kidney. Curcumin, a phenolic compound derived from Curcuma longa, was known to have a renoprotective effect on cisplatin- induced in vivo models. However, the beneficial effect of curcumin on the kidney is limited by its low bioavailability. Our research group has successfully developed a novel curcumin nanoparticle formulation that has been shown to improve the efficacy of cisplatin in ovarian cancer models. However, it is not yet known whether this curcumin nanoparticle formulation can also improve kidney function and inflammatory conditions caused by cisplatin in ovarian cancer models.
Method
A total of 24 female Wistar rats were divided into: 6 normal rats (sham treatment) and 18 rats induced to develop ovarian cancer with DMBA. Ovarian cancer rats were divided into 3 groups of 6 each receiving cisplatin 4 mg/kgBW/week or cisplatin 4 mg/kgBW/week + curcumin 100 mg/kgBW/day or cisplatin 4 mg/kgBW/week + nanocurcumin 100 mg/day. kgBB/day. Therapy was given for 4 weeks, then terminated and blood and kidney were taken for analysis of markers of kidney function and inflammation.
Results
Nanocurcumin lowered serum urea levels significantly compared to the cisplatin group. However, nanocurcumin did not alter creatinine levels and slightly reduced serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) concentrations. Nanocurcumin was did not affect the inflammatory markers studied: TNF-, IL-1β and IL-6.
Conclusion
Nanocurcumin has a tendency to improve several markers of kidney function in cisplatin- treated ovarian cancer models. However, the effect was not associated by the alteration of inflammatory cytokines in the kidney.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimma Cempaka Salsabilla
"Introduction. Thalassemia is one of the hemoglobin disorders with high prevalence worldwide and in Indonesia. A continuous red blood cells transfusion can result in accumulation of iron in the body and stored as ferritin. The excessive iron is removed using iron chelation therapy where a good compliance to iron chelators is required for desirable outcomes. Hence, this study aims to find the association between patients’ compliance to oral iron chelators (Deferasirox and Deferiprone) and serum ferritin level in adolescent thalassemia patients as they have been known to be non-compliant towards their medication.
Methods. Questionnaire and patient diary card were distributed to adolescent thalassemia patients who had fulfilled exclusion and inclusion criteria. Subjects were divided into poor and good compliance based on the result of patient diary card which were filled for 30 days. Based on Adherence Barrier Questionnaire (ABQ), high and low ABQ score were obtained. The serum ferritin level pre- and post-study was obtained from patients’ medical record. The association between patients’ compliance from the diary card report was assessed using SPSS along with identification of adherence barriers and questionnaire’s total score from the ABQ result.
Results. Out of 29 subjects, from the result of patient diary card, there were 72% subjects with poor compliance and 28% subjects with good compliance. Based on ABQ result, there were 4.8% subjects with high ABQ score and 55.2% subjects with low ABQ score. There was a statistically significant correlation between ABQ score and serum ferritin level difference pre- and post-study (ρ = -0.394, p = 0.034). The correlation between patient’s compliance from diary card and serum ferritin level was insignificant (ρ = -0.040, p = 0.838). Based on ABQ result, it was found that forgetfulness, patients’ attitude towards their regiments, and fear of side effects are barriers towards patients’ compliance for iron chelators.
Conclusion. There is a correlation between patients’ compliance and serum ferritin level based on the result of ABQ.

Pendahuluan. Talasemia adalah salah satu kelainan hemoglobin dengan prevalensi tinggi di dunia dan di Indonesia. Transfusi darah dalam jangka waktu panjang menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh yang disimpan sebagai feritin serum. Zat besi yang berlebihan dikeluarkan dengan terapi kelasi besi, dimana dibutuhkan kepatuhan yang baik terhadap obat kelasi besi agar hasil pengobatan baik. Studi ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kepatuhan pasien terhadap obat kelasi besi oral (Deferasiroks dan Deferipron) dengan jumlah feritin serum pada pasien talasemia remaja karena remaja dikenal sering tidak patuh terhadap pengobatan mereka.
Metode. Kuesioner dan buku diari disebarkan untuk mengumpulkan data dari pasien talasemia remaja yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. Subjek dibagi menjadi kepatuhan baik dan buruk berdasarkan hasil buku diari yang diisi selama 30 hari. Berdasarkan hasil Adherence Barrier Questionnaire (ABQ), didapatkan skor ABQ tinggi dan rendah. Jumlah feritin serum sebelum dan sesudah studi diambil dari rekam medik pasien. Hubungan antara kepatuhan pasien berdasarkan buku diari dinilai menggunakan SPSS bersamaan dengan identifikasi penghambat kepatuhan dan skor total kuesioner berdasarkan hasil ABQ.
Hasil. Dari 29 subjek, berdasarkan hasil buku diari, terdapat 72% subjek dengan kepatuhan yang baik dan 28% subjek dengan kepatuhan yang buruk. Berdasarkan hasil ABQ, terdapat 44.8% subjek dengan skor ABQ tinggi dan 55.2% subjek dengan skor ABQ rendah. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara skor ABQ dan perbedaan feritin serum sebelum dan sesudah studi (ρ = -0.394, p = 0.034). Sementara itu, hubungan antara kepatuhan pasien bedasarkan buku diari dengan perbedaan jumlah feritin serum tidak bermakna (ρ = -0.040, p = 0.838). Ditemukan bahwa lupa, sikap pasien terhadap obatnya, dan ketakutan terhadap efek samping adalah penghalang kepatuhan pasien terhadap obat kelasi besi berdasarkan hasil respon dari ABQ.
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara kepatuhan pasien dengan jumlah feritin serum berdasarkan hasil ABQ.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>