Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159710 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Biancha Andardi
"Latar belakang: Angka kematian neonatal di Indonesia masih berada pada tingkat
yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2015, disebutkan terdapat 14 kematian neonatal per
1.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian tertinggi kematian neonatal adalah
kelahiran preterm. Defisiensi vitamin D dipercaya sebagai salah satu penyebab
kelahiran preterm. Sayangnya, belum terdapat penelitian mengenai pengaruh vitamin D
pada wanita terhadap kehamilan preterm di Indonesia
Tujuan: Mengetahui perbedaan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3), enzim 1-
Hidroksilase (CYP27B1) dan 1,25 Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) serum dan
plasenta pada wanita hamil aterm dan preterm
Metode: Penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang dilakukan
dengan subjek ibu hamil yang datang ke RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk
persalinan aterm dan preterm pada Januari 2017 hingga Agustus 2017. Pasien dengan
kehamilan multipel, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital, pecah ketuban
dini, preeklampsia atau memiliki penyulit lainnya dieksklusi dari penelitian. Kadar 25-
Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3), enzim 1-Hidroksilase (CYP27B1), dan 1,25
Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) pada plasenta dan serum maternal diambil pada
seluruh subjek.
Hasil: Didapatkan sebanyak 60 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dengan rincian 30 subjek preterm dan 30 subjek aterm. Tidak terdapat perbedaan status
25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) pada serum persalinan preterm dan serum
persalinan aterm (p>0,05). Didapatkan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) pada
plasenta yang lebih rendah pada persalinan preterm dibandingkan plasenta persalinan
aterm (p=0,001). Tidak terdapat perbedaan status 1,25 Dihidroksivitamin D3
(1,25(OH)2D3) pada serum dan plasenta persalinan preterm dengan plasenta persalinan
aterm, namun didapatkan kadar yang lebih rendah pada persalinan preterm. (pada serum
dengan median 62,9 pg/mL pada hamil preterm, sedangkan median hamil aterm 75,5
pg/mL; dan pada plasenta dengan median 4,57 pg/g pada preterm dan 5,15 pg/g pada
aterm, p>0,05) Tidak terdapat perbedaan status enzim 1-Hidroksilase (CYP27B1)
pada plasenta persalinan preterm dengan plasenta persalinan aterm (p>0,05).
Kesimpulan: Didapatkan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) plasenta yang
lebih rendah pada subjek dengan kelahiran preterm dibandingkan aterm. Tidak terdapat
perbedaan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) serum, enzim 1-Hidroksilase
(CYP27B1) plasenta, dan 1,25 Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) plasenta dan serum
antara wanita dengan kehamilan preterm dengan aterm

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inayah Syafitri
"Tujuan: Mengetahui dosis terapi vitamin D yang optimal untuk ibu hamil dengan defisiensi dan insufisiensi vitamin D
Metode: Uji klinis acak terkontrol dilakukan Juni 2019–Desember 2022 di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja, Jakarta. Subjek adalah wanita hamil usia kehamilan ≤14 minggu dengan defisiensi atau insufisiensi vitamin D (25(OH)D<30 ng/ml). Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama mendapatkan terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu dan kelompok kedua mendapatkan terapi vitamin D3 5.000 IU/hari. Intervensi diberikan selama 4 minggu. Pengukuran kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D dilakukan pada awal dan akhir intervensi.
Hasil: Subjek awal berjumlah 60 orang, dan 8 subjek mengalami drop out. Karakteristik dasar subjek pada kedua kelompok setara. Kadar awal 25(OH)D tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara kedua kelompok (p=0,552). Pemberian terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu selama 4 minggu meningkatkan kadar 25(OH)D secara signifikan (dari 14,5±4,3 menjadi 27,9±9,3 ng/mL, p<0,001) dan meningkatkan kadar 1,25(OH)2D namun secara statistik tidak signifikan (p=0,257). Pemberian terapi vitamin D3 5.000 IU/hari selama 4 minggu meningkatkan kadar 25(OH)D secara signifikan (dari 15,3±4,7 ng/mL menjadi 26,9±6,1 ng/mL, p<0,001) dan juga meningkatkan kadar 1,25(OH)2D secara signifikan (p=0,042). Namun tidak didapatkan perbedaan yang bermakna baik pada delta 25(OH)D (p=0,694), maupun delta 1,25(OH)2D di antara kedua kelompok dosis (p=0,641).
Kesimpulan: Terapi vitamin D3 50.000 IU/minggu selama 4 minggu sama efektifnya dengan vitamin D3 5.000 IU/hari dalam meningkatkan kadar 25(OH)D serum pada wanita hamil dengan defisiensi dan insufisiensi vitamin D. Kedua dosis tersebut juga aman dan dapat ditoleransi oleh ibu hamil.

Objective: To determine the optimal therapeutic dose of vitamin D for pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D
Methods: A randomized controlled trial was conducted from June 2019 to December 2022 at Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital and Koja District Hospital in Jakarta, Indonesia. Subjects were ≤14 weeks gestation pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D (25(OH)D<30 ng/ml]. Two intervention groups were randomly assigned: 5,000 IU vitamin D3 daily or 50,000 IU weekly. Maternal blood samples were collected before and after four weeks of interventions to assess changes in serum concentrations of 25(OH)D and 1,25(OH)2D).
Result: Sixty subjects were randomized into two groups, and eight subjects were dropped out. The basic demographics of subjects in both groups were equivalent. There were no differences in baseline levels of 25(OH)D between two groups (p=0.552). In the 50,000 group, 25(OH)D levels increased from 15.3 ± 4.7 ng/mL to 26.9 ± 6.1 ng/mL (p<0.001). The 1,25(OH)2D levels increased however, the increase is not statistically significant. While in the 5,000 group, the 25(OH)D levels increased from 14.5 ± 4.3 ng/mL to 27.9 ± 9.3 ng/mL (p<0.001) and the 1,25(OH)2D levels increased significantly (p=0.042). However, the increment 25(OH)D and 1,25(OH)2D were not statistically significant between two groups.
Conclusion: Vitamin D3 50,000 IU weekly is equally effective and safe as 5,000 IU daily in increasing 25(OH)D serum levels in pregnant women with insufficiency or deficiency of Vitamin D.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruswantriani
"Pendahuluan: Prediksi persalinan preterm penting untuk menunda terjadinya kelahiran preterm dan merujuk ke fasilitas dengan perawatan neonatal intensif. Hal ini penting guna menurunkan mortalitas dan morbiditas neonatal. Beberapa metode untuk memprediksi persalinan preterm adalah menggunakan prediksi klinis yaitu indeks persalinan preterm atau prediksi biofisik dengan mengukur panjang servik.
Tujuan: Membandingkan nilai risiko indeks persalinan preterm dan panjang servik terhadap kejadian kelahiran preterm pada kasus persalinan preterm tanpa ketuban pecah.
Metode: Desain penelitian ini adalah case- control menggunakan data dari rekam medis, dilakukan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo sejak Agustus 2013 ? Februari 2014. Semua pasien persalinan preterm tanpa ketuban pecah pada periode tersebut ditelusuri. Dilakukan pengamatan data demografik dan klinis, setelah itu dilakukan penilaian indeks persalinan preterm dan panjang servik. Kemudian selanjutnya pasien ditentukan apakah mengalami kelahiran preterm atau tidak.
Hasil: Dari bulan Agustus 2013 - Februari 2014 terdapat 127 kasus persalinan preterm tanpa ketuban pecah, tetapi hanya 57 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik demografik dan klinis pada kelompok indeks persalinan preterm dan panjang servik tidak berbeda bermakna saat dibandingkan. Duapuluh dari 57 subjek mengalami kelahiran preterm (35.1%). Dari hasil analisis bivariat, variabel yang bermakna mempengaruhi kejadian kelahiran pretem adalah indeks persalinan preterm dan panjang servik. Pasien dengan indeks persalinan preterm ≥ 4 memiliki kemungkinan 4 kali lipat (OR = 4,024) untuk mengalami kelahiran preterm. Sementara itu, pasien dengan panjang serviks ≤ 25 mm memiliki kemungkinan hingga 38 kali lipat (OR = 38,00) untuk mengalami kelahiran preterm.
Kesimpulan: Indeks persalinan preterm dan panjang servik merupakan variabel yang baik untuk menilai risiko terjadinya kelahiran preterm pada persalinan preterm tanpa ketuban pecah.

Introduction: Prediction of preterm labor is important to delay the incident of preterm birth and refers to the facility with a neonatal intensive care. It is important to reduce neonatal mortality and morbidity. Several methods for predicting preterm labor are using clinical prediction : preterm labor index or biophysical prediction with measurement cervical length.
Objectives: comparing risk value of preterm labor index to cervical length on preterm birth incident in preterm labor without rupture of membrane cases.
Methods: the research was a case control study using data from medical records in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital since August 2013 ? February 2014. All preterm labor without rupture of membrane cases were traced. Demographic and clinical data were observed. After that preterm labor index and cervical length were assessed. Then patients were determined whether they had experienced preterm birth or not.
Results: From August 2013 - February 2014 there were 127 cases of preterm labor without rupture of membrane, but only 57 research subjects who meet the inclusion and exclusion criteria. The demographic and clinical characteristics of the index group of preterm labor and cervical length did not differ significantly when compared. Twenty from 57 subjects were experience preterm birth (35.1%). From the results of the bivariate analysis, the variables that significantly affect the incidence of preterm birth are preterm labor index and cervical length Patients with preterm labor index ≥ 4 has a possibility of 4-fold (OR = 4.024) to experience preterm birth. Meanwhile, patients with a cervical length ≤ 25 mm have the possibility of up to 38-fold (OR = 38.00) to experience preterm birth.
Conclusions: Preterm labor index and cervical length is a good variable for assessing the risk of preterm birth in preterm labor without rupture of membrane cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nunki Febriastuti
"Latar Belakang : Preeklamsia terjadi akibat adanya gangguan pada proses implantasi dan desidualisasi pada awal kehamilan. Vitamin D memainkan peranan penting pada proses desidualisasi, implantasi dan plasentasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D yang rendah dalam serum merupakan faktor risiko preeklamsia. Bukti terbaru mendukung peran suplementasi vitamin D yang dimulai pada saat sebelum, awal dan selama kehamilan dalam mengurangi risiko preeklamsia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan suplementasi vitamin D 5000 IU/hari pada implantasi dan plasentasi melalui pemeriksaan PI A. Uterina dan PlGF serum maternal pada wanita hamil trimester pertama.
Metode : Uji klinis paralel acak tersamar tunggal. Subjek wanita hamil usia 7-11 minggu yang dibagi 2 kelompok, yaitu normal dan risiko tinggi berdasarkan kriteria risiko tinggi ACOG. Tiap kelompok dibagi lagi menjadi kontrol yang hanya mendapat obat standar dan perlakuan yang mendapat vitamin D 5000 IU/hari. Semua pasien diperiksa kadar 25(OH)D awal, kemudian diberikan intervensi selama 1 bulan dan diperiksa ulang kadar 25(OH)D akhir, PlGF serum maternal dan PI. A. Uterina. Menilai perbandingan kenaikan kadar 25(OH)D, PlGF, dan PI A. Uterina diantara semua kelompok
Hasil : Subjek awal berjumlah 92 orang, dieksklusi sebanyak 12 orang dan tersisa 80 subjek yang menyelesaikan penelitian. Semua subjek mengalami defisiensi vitamin D. Dibandingkan pasien kontrol kenaikan kadar 25(OH)D pada kelompok perlakuan normal masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan risiko tinggi yaitu 12,33±6,26 ng/mL dan 10,45±5,09 ng/mL dengan nilai p<0,001. Kelompok normal, penurunan PI A. Uterina dibandingkan antara kontrol dan perlakuan bermakna sebesar 0,57±0,36 dan 1,08±0,29 (p<0,001) sedangkan kadar PlGF juga berbeda bermakna antara kontrol (84,27±10,02) dan perlakuan (107,87±31,97) dengan nilai p 0,005. Pada kelompok risiko tinggi, perbadingan rerata kadar PlGF pada kontrol dan perlakuan berbeda bermakna yaitu 37,59±9,67 dan 70,53±18,32) nilai p<0,001. Pada pasien intervensi baik kelompok normal dan risiko tinggi rerata penurunan PI A. Uterina (1,08±0,29 vs 0,43±0,26; nilai p<0,001) dan kadar PlGF (107,87±31,97 vs 70,53±18,32; nilai p<0,001) berbeda bermakna.

Background : Preeclampsia occurs due to disruption of the implantation and decidualization in early pregnancy. Vitamin D plays an important role in decidualization, implantation, and placentation. Recent evidence supports the role of vitamin D supplementation initiated before, early and during pregnancy in reducing the risk of preeclampsia. The study aim is to determine the effect of vitamin D supplementation of 5000 IU/day on implantation and placentation through examination of Uterine Artery PI (UtA-PI) and maternal serum PlGF in first trimester pregnant women.
Methods: Using a single-blind, randomized parallel clinical trial. Subjects were pregnant women 7-11 weeks gestation and divided into 2 groups, normal and high risk, based on ACOG preeclampsia high risk criteria. Each group was further divided into controls who received the standard drug and interventions who received 5000 IU of vitamin D/day. Subjects were examined for 25(OH)D levels before and after the 1 month intervention, including maternal serum PlGF and UtA-PI levels. Both groups were compared for the difference of 25(OH)D levels, mean PlGF, and UtA-PI.
Results: We have 80 subjects who have vitamin D deficiency. The normal and high-risk intervention group showed the increase of 25(OH)D levels, 12.33±6.26 ng/mL and 10.45±5.09 ng/mL with p<0.001 accordingly. For the normal group, the decrease of UtA-PI compared between control and intervention was significant 0,57±0,36 and 1,08±0,29 (p<0.001) while PlGF levels were also significantly different between control (84,27±10,02) and intervention (107,87±31,97) with p<0.05. While in high-risk group, the PlGF levels of control and intervention were significantly different, 37.59±9.67 and 70.53±18.32 with p<0.001. In intervention patients, both normal and high-risk groups, the decrease of UtA-PI (1.08±0.29 vs 0.43±0.26; p<0.001) and PlGF levels (107.87±31.97 vs 70.53±18.32; p<0.001) were significantly different.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Handoko
"Tujuan: Penelitian ini membandingkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada serum maternal, darah tali pusat dan jaringan plasenta pada ibu hamil normal dan preeklamsia. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 pasien yang melakukan persalinan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Tangerang. Setelah itu data disajikan dalam tabel dan dianalisis dengan uji parametrik, yaitu uji-t berpasangan bila sebaran data normal atau uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney bila sebaran data tidak normal Hasil: Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 serum maternal kelompok preeklamsia sebesar 16.30 6.20-49.00 ng/mL sedangkan pada sampel kelompok tidak preeklamsia, sebesar 13.50 4.80 ndash; 29.20 ng/mL di mana didapatkan nilai p = 0,459, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia sebesar 11.80 3.50 ndash; 38.60 ng/mL sedangkan kelompok tidak preeklamsia sebesar 11.70 1.00 ndash; 28.80 ng/m, di mana didapatkan nilai p = 0.964, dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 49.00 22.00 ndash; 411.00 ng/mL. sedangkan kelompok tidak preeklamsia, sebesar 43.40 11.80 ndash; 153.00 ng/mL, di mana didapatkan nilai p 0.354 dengan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 serum kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.80 6.20 ndash; 41.90 ng/mL sedangkan kelompok preeklamsia awitan lanjut sebesar 18.00 7.00 ndash; 49.00 ng/mL dengan nilai p = 0,133, di mana tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan hasil kadar 25- OH -vitamin D3 tali pusat kelompok preeklamsia awitan dini sebesar 10.65 3.50 ndash; 38.60 ng/mL. sedangkan pada kelompok preeklamsia awitan lanjut, sebesar 12.65 6.40 ndash; 33.20 ng/mL. di mana didapatkan nilai p = 0.377 dengan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Didapatkan kadar 25- OH -vitamin D3 pada jaringan plasenta kelompok preeklamsia sebesar 79.00 36.00 ndash; 411.00 ng/g. sedangkan pada kelompok tidak preeklamsia sebesar 40.00 22.00 ndash; 171.00 ng/g. di mana didapatkan nilai p 0.006, dengan didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 jaringan plasenta Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum, tali pusat dan jaringan maternal pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada darah serum dan tali pusat pada wanita preeklamsia dan tidak preeklamsia Terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada rerata kadar 25- OH -vitamin D3 pada plasenta wanita preeklamsia dan tidak preeklamsiaKata kunci: 25- OH -vitamin D3, preeklamsia, serum, tali pusat, jaringan plasenta

Abstract Objective: This study is designed for comparing 25- OH -vitamin D3 levels in maternal serum, cord blood and placental tissue in non preeclampsia and preeclampsia pregnant women.Methods: This study is a cross sectional study with the number of samples of 86 patients who deliver in Cipto Mangunkusumo Hospital and Tangerang District Hospital. After that the data is presented in the table and analyzed by parametric test, ie paired t-test when the distribution of normal data or non parametric test, ie Mann-Whitney test when the data distribution is not normal..Results: The serum maternal 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 16.30 6.20-49.00 ng / mL while in the non-preeclamptic sample group, 13.50 4.80 - 29.20 ng / mL were obtained p = 0.459, with no statistically significant difference . The umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of preeclampsia group were 11.80 3.50 - 38.60 ng / mL while the preeclampsia group was 11.70 1.00 - 28.80 ng / m, where p = 0.964 was obtained, with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissue in the preeclampsia group by 49.00 22.00 - 411.00 ng / mL. while the group did not preeclampsia, amounting to 43.40 11.80 - 153.00 ng / mL, where p value of 0.354 was obtained with no statistically significant difference Earning serum 25- OH -vitamin D3 serum pre-eclampsia group onset was 10.80 6.20 - 41.90 ng / mL whereas the onset of pre-eclampsia group was 18.00 7.00 - 49.00 ng / mL with p value = 0.133, where no statistically significant difference was obtained. The results of the umbilical cord 25- OH -vitamin D3 levels of early onset preeclampsia group were 10.65 3.50 - 38.60 ng / mL. whereas in the onset of pre-eclampsia group, it was 12.65 6.40 - 33.20 ng / mL. where obtained p value = 0.377 with no statistically significant difference. Obtained 25- OH -vitamin D3 levels in placental tissue preeclampsia group of 79.00 36.00 - 411.00 ng / g. while in the pre-eclampsia group was 40.00 22.00 - 171.00 ng / g. where obtained p value of 0.006, with statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels of placental tissueConclusion: There was no statistically significant difference in mean serum 25- OH -vitamin D3 levels in serum, cord blood and maternal tissue in women with preeclampsia and not preeclampsia. There was no statistically significant difference in mean 25- OH -vitamin D3 levels in serum and umbilical blood in pre-eclampsia and non-preeclampsia women. There were statistically significant differences in mean 25- OH -vitamin D3 levels in female placenta preeclampsia and not preeclampsia Keywords: 25- OH -vitamin D3, preeclampsia, serum, umbilical cord, placental tissue "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Probiotics have been known for their use in medical field for quite a long time. Strong evidences now available for the use of probiotics in clinical setting. One of the current issues on this topic is the use of probiotics in pregnancy. Recent studies showed that probiotics may be safe and beneficial for prenatal supplementation. In this review, we highlighted seven proven use of probiotics supplementation in pregnant women. A few selected strains of probiotics showed promising outcome to prevent preterm labor and preeclampsia, and to reduce atopic eczema but not asthma and wheezing, in offspring of women who had prenatal probiotics supplementation. The mechanism of action responsible for this effect is closely related to the regulation of T cells, although the exact pathways are not defined yet "
UI-MJI 24:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Handi Suryana
"Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu lengkap. Bayi prematur yang dilahirkan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas . Di negara maju kelahiran preterm merupakan penyebab 70% kematian perinatal, dan 50% kelainan neurologi jangka panjang. Meskipun telah dilakukan penelitian selama hampir empat dekade namun penyebab dan alur mekanisme sesungguhnya persalinan preterm masih belum jelas seluruhnya. Dari serangkaian penelitian-penelitian yang dilakukan baik secara in vivo maupun secara in vitro disimpulkan bahwa persalinan preterm merupakan suatu sindrom akibat dari berbagai penyebab balk yang telah diketahui maupun yang tidak.
Suatu fenomena yang menonjol adalah bergesernya dominasi sitokin Yh2 (IL-10) ke dominasi sitokin Th1 pada interface koriodesidua yang pada akhimya mengaktifkan kaskade proinflamasi yang rnencetuskan proses persalinan. Angka kejadian persalinan preterm sandhi dari tahun ke tahun tidak mengalami penurunan, bahkan menurut beberapa penelitian ada kecenderungan meningkat. Kenyataan bahwa angka bertahan hidup bayi prematur telah jauh meningkat dibandingkan sebelumnya adalah berkat kemajuan perinatologi, manfaat pematangan paru dengan kortikosteroid dan pencegahan infeksi GBS dengan antibiotik. Masalah yang ditimbulkan oleh persalinan preterm ini setiap tahunnya menghabiskan sumber daya pelayanan kesehatan yang luar biasa besamya, dan merupakan beban tersendiri bagi negara berkembang.
Permasalahan dalam penanganan persalinan preterm: Yang menjadi fokus permasalahan dalam penanganan persalinan preterm dari dulu sampai sekarang adalah :
1. Masih belum dipahaminya sebagian penyebab dan alur mekanisme persalinan preterm. Dari penelitian-penelitian dekade terakhir timbul pemahaman bahwa kelangsungan suatu kehamilan, atau dengan kata lain kelangsungan keberadaan janin-plasenta sebagai semiallograf dalam badan ibu (uterus), sangat tergantung pada apa yang disebut Immunology privilege dari janin-plasenta, yang dicapai melalui pencapaian dominasi sitokin Th2 pada interface ibu-janin (koriodesidua). Persalinan akan terjadi bila terjadi "pembatalan" immunology privilege tersebut, yang ditandai dengan pergeseran dari dominasi sitokin antiinflamasi Th2 ke dominasi sitokin proinflamasi Th1. Sementara persalinan preterm terjadi bila terjadi "pembatalan dini" immunology privilege tersebut yang dipicu oleh berbagai sebab.
2. Sulitnya penegakan diagnosis persalinan prematur yang tepat. Umumnya dalam penelitian secara klinis dikatakan persalinan prematur terjadi bila (7.8'9)
a.Kontraksi uterus > 4 kali dalam 30 menit, dengan durasi > 30-40 detik dan
b.Perubahan servik berupa:
* Dilatasi 1-3 cm (0-3 cm untuk nullipara) dengan penipisan 75% atau
* Dilatasi 3 cm dengan penipisan > 50% atau
* Pemeriksaan servik berulang mendapati perubahan dilatasi 1 cm dan perubahan penipisan servik 50%.
Dalam kenyataannya dengan kriteria tersebut di atas didapatkan angka positif palsu yang tinggi, di mana 50-80% wanita yang didiagnosa mengalami persalinan preterm yang hanya diberi plasebo pada akhirnya melahirkan setelah 37 minggu lengkap. Angka positif palsu yang tinggi ini telah menyebabkan pengobatan yang tidak perlu dengan obat tokolitik yang potensial berbahaya bagi ibu dan janin.
3. Belum adanya pengobatan/pencegahan persalinan preterm. Hal ini dikarenakan persalinan preterm adalah suatu sindrom kejadian akhir bersama dari berbagai penyebab yang sangat bervariasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atheeya Raishya Kalzaman
"Pendahuluan:
Prematuritas, yang didefinisikan sebagai kelahiran sebelum 37 minggu masa kehamilan, merupakan penyebab utama komplikasi perkembangan dan kematian anak. Kelahiran prematur, yang sering menyebabkan perkembangan organ yang tidak sempurna, menimbulkan risiko seperti keterlambatan perkembangan saraf dan masalah kesehatan jangka panjang. Studi potong lintang ini bertujuan untuk menilai hasil perkembangan anak- anak prematur di bawah usia dua tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2022.
Metode:
Sebanyak 1.495 anak dilibatkan dalam penelitian ini. Hasil perkembangan yang dinilai meliputi keterlambatan perkembangan umum, bicara, motorik, dan global. Penelitian ini juga mengeksplorasi hubungan antara keterlambatan perkembangan dengan faktor-faktor seperti usia kehamilan, jenis kelamin, status imunisasi, dan status gizi menggunakan analisis chi-square dan regresi logistik.
Hasil:
Kelahiran prematur tercatat pada 43,1% dari sampel. Di antara anak-anak prematur, 15,8% mengalami keterlambatan perkembangan, termasuk 5% dengan keterlambatan bicara, 10,9% dengan keterlambatan motorik, dan 10,1% dengan keterlambatan perkembangan global. Anehnya, anak-anak cukup bulan memiliki tingkat keterlambatan perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak prematur. Faktor-faktor seperti imunisasi dan status gizi berhubungan signifikan dengan beberapa domain keterlambatan perkembangan, sementara jenis kelamin dan usia kehamilan tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Kesimpulan:
Meskipun anak-anak prematur umumnya dianggap lebih rentan terhadap keterlambatan perkembangan, studi ini menemukan prevalensi keterlambatan yang lebih tinggi pada anak- anak cukup bulan. Temuan ini menekankan pentingnya pemantauan berkelanjutan dan intervensi dini, tanpa memandang status kelahiran. Faktor-faktor seperti imunisasi dan gizi memainkan peran penting dalam mengurangi risiko keterlambatan perkembangan.

.Introduction:
Prematurity, defined as birth before 37 weeks of gestation, is a major contributor to developmental complications and child mortality. Preterm birth, often leading to incomplete organ development, poses risks such as neurodevelopmental delays and long- term health issues. This cross-sectional study aimed to assess the developmental outcomes of preterm children under two years of age at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) in 2022.
Methods:
A total of 1,495 children were included in the study. Developmental outcomes, including general, speech, motor, and global delays, were assessed. The study also explored associations between these delays and factors like gestational age, gender, immunization status, and nutritional status using chi-square and logistic regression analysis.
Results:
Preterm births accounted for 43.1% of the sample. Among preterm children, 15.8% exhibited developmental delays, including 5% with speech delays, 10.9% with motor delays, and 10.1% with global developmental delays. Interestingly, full-term children had higher rates of developmental delays compared to preterm children. Factors such as immunization and nutritional status were significantly associated with some developmental delays, while gender and gestational age did not show a significant correlation. Conclusion:
Though preterm children are typically seen as more vulnerable to developmental delays, this study found a higher prevalence of delays in full-term children. These findings highlight the importance of ongoing monitoring and early intervention, regardless of birth status. Factors like immunization and nutrition play a critical role in reducing developmental risks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsson, Mathias
"Saat ini penggunaan enzim semakin meningkat baik untuk penelitian maupun untuk industri Hal ini terjadi akibat kemajuan dalam berbagai bidang seperti teknologi fermentasi rekayasa genetika dan teknologi aplikasi enzim Salah satu jenis enzim yang sangat banyak digunakan dan berperan penting dalam aplikasi bioteknologi dan industri adalah enzim protease yang mana yang banyak digunakan adalah enzim papain Enzim papain merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari getah penyadapan buah papaya atau bisa juga berasal dari daun pohon pepaya Carica papaya L Di pasar sudah dijual enzim komersial merk ldquo Paya rdquo yang berfungsi sebagai pengempuk daging dengan harga yang murah akan tetapi enzim papain ini tidak murni dan tidak diketahui aktivitasnya Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji konsentrasi enzim papain dan kasein yang terlarut dengan menggunakan metode uji kadar protein Lowry Hasil dari percobaan pertama digunakan untuk percobaan kedua yaitu untuk mengukur dan mengetahui parameter parameter kinetika enzim yaitu Km dan Vmaks dari enzim papain ini Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk Didapatkan nilai Km dan Vmaks sebesar masing masing 248 68 ppm dan 1 514 ppm kasein menit.

The use of enzymes is increasing nowadays both for research and for industry This happens due to the advances in various fields such as fermentation technology genetic engineering and enzyme applications technology One kind of enzymes that is very widely used and plays an important role in biotechnology and industrial applications is a protease enzyme especially papain enzyme Papain enzyme is a proteolytic enzyme which is isolated from papaya fruit sap tapping or it could be derived from the leaves of papaya Carica papaya L Actually in the market there is already a commercial papain enzyme called Paya which serves as a meat tenderizer with a relatively cheap price but the enzyme papain was not pure and has unknown activity Therefore this study aims to examine the levels of dissolved papain enzyme and casein as the substrate by using the Lowry protein assay method The results from the first experiment are used for the second experiment which is to measure and determine the enzyme kinetics parameters Km and Vmax of that commercial papain enzyme with casein as the substrate From this research we found that the Km and Vmax of this commercial papain enzyme respectively 248 68 ppm dan 1 514 ppm casein minute.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S58237
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Risandi Priatama
"Kelahiran preterm sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas yang utama pada neonatus memiliki prevalensi kejadian yang tinggi khususnya di Indonesia yang mencapai 15,5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelahiran preterm dan keputihan pada kehamilan.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Subjek penelitian yaitu ibu yang melahirkan di RSCM tahun 2011 yang memenuhi kriteria pemilihan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi kelahiran preterm di RSCM pada tahun 2011 sebesar 26,4% dan prevalensi keputihan pada ibu hamil di RSCM tahun 2011 sebesar 29,9%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat hubungan yang berbeda bermakna antara kelahiran preterm dengan keputihan pada kehamilan di RSCM tahun 2011 dengan nilai p<0,001 dan keputihan pada kehamilan merupakan risiko terjadinya kelahiran preterm dengan nilai rasio prevalens lebih dari 1 (1,5) serta interval kepercayaan 0,40-0,60.

Preterm birth as causes of morbidity and mortality in neonates have a major high prevalence, especially in Indonesia, which reached 15.5%. This study aims to determine the relationship between preterm birth and vaginal discharge in pregnancy.
The study design used is cross-sectional. Subject of research is the mother who gave birth in the RSCM in 2011 that meets the selection criteria for the study. Results from this study showed that the prevalence of preterm births in the RSCM in 2011 amounted to 26.4% and the prevalence of vaginal discharge in pregnant women in the RSCM in 2011 amounted to 29.9%.
From the results of this study concluded that there is a significant difference in the relationship between preterm birth with vaginal discharge in pregnancy in the RSCM in 2011 with a value of p <0.001 and vaginal discharge in pregnancy is a risk of preterm birth prevalence ratio with a value of more than 1 (1.5) as well as the confidence interval 0.40 to 0.60."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>