Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Niken Wahyu Puspaningtyas
"Non-invasive respiratory support adalah suatu metode pemberian bantuan napas mekanik tanpa intubasi. High flow nasal cannula (HFNC) dan continuous positive airway pressure (CPAP) termasuk dalam golongan ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas HFNC dibandingkan dengan CPAP pada anak dengan gagal napas hipoksemia akut. Uji klinis acak terkontrol dilakukan pada anak gagal napas hipoksemia akut (saturasi oksigen <90%) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek dilakukan randomisasi dan terbagi ke dalam kelompok HFNC atau intubasi dengan modus CPAP. Pemeriksaan gas darah dan pengambilan parameter klinis (saturasi oksigen, laju napas, laju nadi), skor nyaman dan lingkar perut sebagai data dasar dan dalam 1 jam pasca-pemasangan alat. Sebanyak 22 subyek penelitian, kelompok HFNC dan CPAP, menunjukkan perbaikan parameter klinis dan skor nyaman yang bermakna 1 jam pasca pemasangan alat (p<0,05). Terdapat peningkatan rasio PF (PO2/FiO2) pada kedua kelompok dengan hasil yang bermakna pada kelompok HFNC (p = 0,023). Tidak ada perbedaan efektivitas antara HFNC dan CPAP. Penelitian ini tidak menemukan adanya efek samping aerofagi, iritasi mukosa hidung dan intoleransi minum pasca-pemasangan HFNC. Dengan demikian HFNC sama efektif dengan CPAP dalam memperbaiki parameter klinis dan rasio PF (PO2/FiO2) pada anak dengan gagal napas hipoksemia akut. HFNC dan CPAP dapat memberikan kenyamanan dalam pemakaiannya.

Non-invasive respiratory support provides mechanical positive presure breathing assistance without intubation. High flow nasal cannula (HFNC) and continuous positive airway pressure (CPAP) belong to this group. This research is conducted to see the efficacy of HFNC in acute hypoxemic respiratory failure pediatric patient compared to CPAP mode through intubation. A randomized controlled trial study of children with acute hypoxemic respiratory failure (oxygen saturation less than 90%) was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who met the inclusion criteria were randomized and divided into HFNC or intubated with CPAP mode group. Clinical parameters (oxygen saturation, respiratory rate, and pulse rate), comfort behaviour score, abdominal circumference, and blood gas analysis were evaluated as initial data dan within one hour after device installation. Out of 22 subjects, HFNC and CPAP group showed significant improvement in clinical parameters and comfort score within one hour after device installation (p<0,05). There was an increase of PF ratio (PO2/FiO2) in both groups with significant result for HFNC group (p=0,023). No difference in efficacy between HFNC and CPAP group. There were no adverse events of aerophagia, nasal mucosal irritation and feeding intolerance in HFNC group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
"ABSTRAK
Sesak napas bayi baru lahir merupakan morbiditas tersering pada bayi prematur < 35 minggu. Sesak napas harus ditangani secepatnya dengan pemberian tekanan jalan napas positif. Sampai saat ini, nCPAP merupakan pilihan pertama terapi ventilasi non-invasive untuk bayi prematur. Walaupun efektif, nCPAP sering memberikan efek samping berupa trauma hidung. Heated humidified high flow nasal cannulae merupakan metode terapi oksigen beraliran tinggi yang tanpa sengaja mampu memberikan tekanan jalan napas positif, namun keamanan dan efektifitasanya masih belum banyak diteliti. Mengetahui efektifitas dan keamanaan HHHFN dibanding nCPAP pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu yang mengalami sesak napas derajat sedang. Penelitian ini merupakan uji klinis non-inferioritas, acak, tidak tersamar yang membandingkan HHHFN dan nCPAP pada bayi prematur usia yang mengalami sesak napas sejak dari kamar bersalin Tidak ada perbedaan insiden intubasi endotrakeal pada pemakaian < 72 jam HHHFN 20 dibanding nCPAP 18 p = 0,799 . Terdapat perbedaan proporsi trauma hidung derajat 2 pada penggunaan nCPAP 14 dibanding HHHFN 0 . Tidak terdapat perbedaan pH, pCO2, pO2 darah arteri, lama capaian minum enteral penuh, lama penggunaan alat, lama perawatan metode kanguru, dan insiden komplikasi BPD, IVH, PDA, NEC dan SNAL antara pengguna nCPAP dan HHHFN. HHHFN tidak lebih inferior ditinjau dari efektivitas dan keamanan dibanding nCPAP sebagai terapi non-invasif pada bayi pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu dengan berat lahir > 1000 gram yang mengalami sesak napas derajat sedang jika diberikan sedini mungkinABSTRACT
Respiratory distress in new borns are the most common morbidity in premature babies 35 weeks. It should be treated immediately with positive airway pressure. Nasal CPAP is still the first choice of treatment for these cases. Despite its effectivity, nCPAP is proved causing nasal trauma as side effect. Meanwhile Heated Humidified high flow nasal cannula is an alternative oxygen therapy which also could generate inadvertent positive pressure airway, but the effectivity and safety has not been widely studied. The goal of this study is s identifying the effectivity and safety of HHHFN and nCPAP in premature babies ages 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress. This research is a random, non inferiority, clinical trial which compares safety and effectivity between HHHFN and nCPAP in treating babies with moderate respiratory distress since in the delivery room. There is no difference in incidence of endotracheal intubation in 72 hours of HHHFN 20 compared to nCPAP 18 p 0,799 . There is a significant difference of moderate nasal trauma in nCPAP 14 compared to HHHFN 0 . There are no statistically differences of pH, pCO2, pO2 time to full enteral feeding, length of Kangaroo Mother care, length of using the devices, and rate of in complication BPD, IVH, PDA, NEC and SNAL between nCPAP dan HHHFN user. HHHFN is not inferior than nCPAP in terms of safety and effectivity as primary noninvasive therapy in premature babies age 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress if given as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Harry Adoe
"Latar belakang. Continuous positive airway pressure (CPAP) dan nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) mengurangi intubasi dan ventilasi mekanik pada neonatus dengan gawat napas. Masih sedikit penelitian yang membandingkannya pada neonatus cukup bulan maupun kurang bulan.
Tujuan. Mengetahui kejadian intubasi, lama dukungan ventilasi non invasif dan pemakaian oksigen, bronchopulmonary dysplasia (BPD), dan kematian antara CPAP dan NIPPV pada neonatus dengan gawat napas.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap neonatus dengan gawat napas, usia gestasi 28-40 minggu, lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi pada periode Januari 2013 - Juni 2015. Pengambilan subyek penelitian secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi, dan menggunakan bantuan napas dengan CPAP atau NIPPV, masing-masing 50 subjek.
Hasil. Neonatus dengan gawat napas menggunakan CPAP maupun NIPPV disebabkan karena respiratory distress syndrome , transient tachypnea of the newborn, pneumonia neonatal. Rerata usia gestasi dan berat lahir pada kelompok CPAP (34±3,11 minggu, 2018±659 gr) dan NIPPV [34 (28-40) minggu, 2050 (900-3900) gr]. Kejadian intubasi dan kematian berkurang, rerata hari dukungan ventilasi non infasif maupun pemakaian oksigen lebih lama pada NIPPV dibandingkan CPAP.
Simpulan. NIPPV mengurangi kejadian intubasi dan kematian pada neonatus dengan gawat napas dibandingkan CPAP.

Background. Continuous positive airway pressure (CPAP) and nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) reduce intubation and mechanical ventilation. Still limited studies compare to CPAP and NIPPV in term and preterm infant with respiratory distress.
Purpose. To determine CPAP and NIPPV to the event of intubation, duration non-invasive ventilation and oxygen support, bronchopulmonary dysplasia, and death in neonate.
Methods. Retrospective cohort study was conducted to newborn with gestational age 28-40 weeks were born at General Hospital of Bekasi City, January 2013 - June 2015. Consecutive subjects and met inclusion criteria for CPAP and NIPPV group, each one 50 subjects.
Results. CPAP and NIPPV were support to neonate with respiratory distress due to respiratory distress syndrome, transient tachypnea of the newborn, and pneumonia. Mean gestational age and birth weight in CPAP group (34 ± 3.11 weeks, 2018 ± 659 gr) and NIPPV [34 (28-40) weeks, 2050 (900-3900) g]. Raduce rate of intubation and death, duration of non-invasive ventilation and oxygen support longer to NIPPV than CPAP in neonate.
Conclusion. NIPPV reduce intubation and mortality rate comparison to CPAP in neonate
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliani
"Latar belakang: Nasal CPAP dini sebagai standar bantuan napas untuk mengatasi sindrom gawat napas telah diketahui, namun masih ada 30-80 % kegagalan terapi NCPAP untuk mencegah penggunaan ventilator mekanik. NIPPV dilaporkan lebih mampu menurunkan kegagalan bantuan napas non invasif dibandingkan NCPAP, tetapi beberapa penelitian lain menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam kegagalan terapi antara NCPAP dan NIPPV. Sampai saat ini belum ada penelitian uji klinik terkendali yang membandingkan NIPPV dengan NCPAP sejak di ruang bersalin. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui apakah pengunaan NIPPV dini sejak di ruang bersalin sebagai terapi awal sindrom gawat napas pada bayi prematur, mampu menurunkan kegagalan terapi non invasif dibanding dengan NCPAP. Metode: Uji acak terkendali tidak tersamar ganda, pada bayi dengan usia gestasi 28 sampai <35 minggu dengan sindrom gawat napas yang tidak membutuhkan intubasi subyek saat resusitasi, di randomisasi untuk mendapatkan NCPAP atau NIPPV sejak dari ruang bersalin. Terdapat 52 subyek bayi yang terandomisasi 27 pada kelompok NCPAP dan 25 pada kelompok NIPPV, dengan berat badan lahir 1.513+374 gram vs 1522+411 gram, usia gestasi 32+1,5 minggu vs 32+1,7 minggu. Hasil : Proporsi subyek dalam kelompok NCPAP yang gagal terapi terdapat 16 bayi (59,2%) sedangkan di kelompok NIPPV terdapat 2 bayi (8,0%) dengan RR 0,135 (IK 95% 0,040- 0,619) dengan p =0,025. Dari kelompok NCPAP subyek yang memerlukan intubasi sebanyak 7 bayi (26%) sedangkan di NIPPV sebanyak 2 bayi (12%). Terdapat 9 bayi dalam kelompok NCPAP yang membutuhkan bantuan NIPPV dalam 72 jam pertama, dan semuanya terhindar dari pemakaian ventilasi mekanik. Simpulan : penggunaan NIPPV dini sejak dari ruang bersalin dapat menurunkan kegagalan terapi non invasif pada bayi prematur dibandingkan NCPAP.

Background: Early nasal CPAP has been proven to be an effective therapy for respiratory distress syndrome in neonates. However, 30-80% of this intervention fails to avoid the use of mechanical ventilator. Some studies report that NIPPV is a more preferable approach compared to NCPAP, but the results remain conflicting. There are no randomized clinical trials of using NIPPV compare to NCAP in the delivery room. Objective: The aim of this study was to determine the efficacy of early NIPPV as an initial therapy for respiratory distress compared to early NCPAP in premature neonates. Methods: This is a randomized, controlled, single blind study. Subjects included neonates with a gestational age between 28 until less than 35 weeks with respiratory distress syndrome that did not require intubation at resuscitation. Patients were randomized into NCPAP and NIPPV since in the delivery room, immediately after birth. Twenty-seven infants randomized to NCPAP and 25 comparable infants to NIPPV, with birth weight  1.513+374 gram vs 1.522+411 gram, and gestational age 32+1,5 week vs 32+1,7 week. Results: A higher number of premature neonates eventually failed NCPAP in the  control group compared to the NIPPV group (59.2% vs. 8.0%, RR 0,135 (IK 95% 0,040 - 0,619), p = 0.025. There were 26% subjects in the NCPAP group that required intubation, as opposed to only 12% in the NIPPV group. Additionally, there were 9 subjects in the NCPAP group that required NIPPV in the first 72 hours, all of whom did not require mechanical ventilation. Conclusion: The use of early NIPPV after birth was found to reduce the intervention failure of non-invasive methods compare with NCPAP."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Latar Belakang. Selama ini pemberian oksigen dengan nasal kanul, sungkup hidung dan wajah merupakan tatalaksana pertama untuk gagal nafas hipoksemia. Alat high flow nasal cannula (HFNC) merupakan alternatif terapi oksigen yang lebih baik dari nasal kanul, karena dapat mengalirkan oksigen hingga 60 L/menit, FiO2 21% hingga 100% yang dilengkapi penghangat serta pelembab udara. Alat tersebut dapat menurunkan kerja otot- otot pernafasan dengan mekanisme menurunkan tekanan jalan nafas positif dan tahanan jalan nafas, meningkatkan oksigenasi, serta menghilangkan ruang rugi nasofaring. Penelitian ini bertujuan membandingkan HFNC dengan terapi oksigen konvensional (TOK) terhadap profil hemodinamik dan mikrosirkulasi pada pasien pascabedah.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji acak terkendali yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo bulan Februari hingga Juli 2019. Sebanyak 40 subjek terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok HFNC (n=20) dan kelompok terapi oksigen konvensional (TOK) (n=20). Pengambilan data dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, jam ke-3 dan ke-24 setelah prosedur ekstubasi. Pengambilan data dilakukan menggunakan kateter vena sentral yang tertera di monitor, pengambilan darah dari kateter vena sentral, serta pengukuran hemodinamik dengan ICON® dari Ospyka. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji-t tidak berpasangan dan generalize estimating equation (GEE) dengan SPSS versi 23.
Hasil. Hasil uji kemaknaan menunjukkan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok HFNC dengan kelompok TOK untuk seluruh luaran hemodinamik (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna untuk luaran kadar laktat pada uji GEE dengan perbedaan rerata sekitar 0,78 mmol/L (nilai p=0,049), namun secara klinis tidak berbeda bermakna. Hal ini disebabkan tidak ada subyek kami yang mengalami hipoksemia maupun gangguan hemodinamik perioperatif.
Kesimpulan. Penggunaan alat HFNC tidak lebih baik dibandingkan nasal kanul pada pasien pascabedah laparotomi abdomen atas di ICU.

Background. Conventional oxygen therapy (COT) with nasal cannula, simple mask or face mask remains as the first line therapy for hypoxemic respiratory failure. High flow nasal cannula (HFNC) serves as an alternative oxygen therapy which can deliver oxygen at the flow up to 60 L/min and FiO2 ranging from 21% to 100% via warm and humid air based on human's physiology. This device can decrease the workload of respiratory muscles by reducing positive airway pressure and airway resistances, improving oxygenation and washing out airways' dead space. This research was conducted to study the comparison between HFNC and COT on hemodynamic profile and microcirculation in post-upper abdominal patients.
Methods. This was an open label randomized controlled trial (RCT) at National Cipto Mangunkusumo between February to July 2019. Forty patients were recruited and divided into HFNC group (n=20) and COT group (n=20). Hemodynamic parameters were recorded using the bedside monitor (heart rate, respiratory rate, and mean arterial pressure) as well as the electrical cardiometry using ICON® measurements (stroke volume index, cardiac index and systemic vascular resistance index); laboratory parameters were ScvO2 and lactate serum collected via central venous catheter. Data were collected at 0, 30 minutes, 60 minutes, 3 hours and 24 hours after extubation. Statistic analysis were conducted using independent sample T-test and generating estimating equations (GEE) with SPSS 23.
Results. All analysis showed no statistically significant difference between HFNC and COT group for all hemodynamic parameters (p>0.05). There was a significant mean difference for 0.78 mmol/L of serum lactate level according to GEE analysis in HFNC group (p=0.049), whereas this difference is not clinically significant. This results are caused by relatively stable subjects condition without the occurrence of perioperative hypoxemia or hemodynamic disturbances.
Conclusion. In post-upper abdominal surgery patients, HFNC is not superior compared to COT on improving hemodynamic and microcirculation outcomes.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Lunaesti
"Latar Belakang. Bulan Maret 2020, World Health Organization mengumumkan Covid-19 sebagai sebuah pandemi global. Hingga saat ini, kasus Covid-19 masih terus bertambah dengan angka kematian mencapai lebih dari 590.000 kasus di seluruh dunia. Covid-19 terutama mempengaruhi sistem pernapasan menyebabkan pneumonia dan dapat secara cepat bertambah berat dan masuk ke dalam kondisi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Tingginya kebutuhan bantuan ventilasi mekanis pada pasien Covid-19 dengan ARDS membuat para petugas medis harus terus mencari tatalaksana yang paling tepat, termasuk moda ventilasi mekanis yang cocok digunakan pada pasien Covid-19. Moda airway pressure release ventilation (APRV) terus berkembang dan pengunaannya terus bertambah, terutama dalam tatalaksana gagal napas dan ARDS. Pada laporan kasus berbasis bukti ini, kami membahas efektivitas APRV dibandingkan ventilasi mekanis konvensional dalam manajemen gagal napas pasien tersangka Covid-19 dengan komplikasi ARDS.
Metode. Metode laporan kasus berbasis bukti ini mengikuti pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA). Pencarian sistematis dilakukan menggunakan database elektronik yaitu Pubmed®, Ebsco®, Cochrane Library® dan Science Direct® dengan menggunakan kata kunci airway pressure release ventilation, acute respiratory distress syndrome, dan Covid.
Hasil. Tiga artikel dengan desain studi randomized control trials (RCT) dan satu artikel studi observasional retrospektif didapatkan dari hasil pencarian. Keempat artikel menunjukkan adanya peningkatan rasio PaO2/FiO2 setelah intervensi dan dua artikel menyimpulkan bahwa APRV diasosiasikan dengan berkurangnya lama rawat di ICU.
Simpulan. Pada kasus pasien Covid-19 dengan komplikasi ARDS (tipe H), APRV dapat menjadi alternatif moda ventilator yang dapat digunakan sebagai tatalaksana bantuan ventilasi mekanis meskipun APRV tidak dapat dikatakan lebih efektif dibandingkan moda ventilator konvensional.

Background. In March 2020, World Health Organization (WHO) stated that Covid-19 was a global pandemic. Currently, the number of case is still inclining with mortality rate more than 590,000 cases worldwide. This disease mainly affects the respiratory system that will lead to pneumonia, and quickly becoming worse so that will fall into acute respiratory distress syndrome (ARDS) condition. The high demand of mechanical ventilation in patients with Covid-19 and ARDS encourages medical workers to find the appropriate managements, including this mechanical ventilation mode. The airway pressure release ventilation (APRV) mode continuously develops and its utilization consistently increases, especially in the management of respiratory failure and ARDS. This evidence based case report elaborates the effectiveness of APRV compared to conventional mechanical ventilation in the management of respiratory failure in patients suspicious of Covid-19 with ARDS complications.
Methods. The method of this evidence based case report was performed based on Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA). Systematic exploration was conducted through electronic database, such as Pubmed, EBSCO, Cochrane Library, and Science Direct, with airway pressure release ventilation, acute respiratory distress syndrome, and Covid as the keywords.
Results. There were 3 randomized control trials (RCT) and 1 observational study revealed to be relevant to this study. There 4 articles mentioned the increasing of PaO2/FiO2 ratio following intervention. Two of those studies also stated that APRV was associated with the shorter length of hospitalization in Intensive Care Unit (ICU).
Conclusion. In patients with Covid-19 and ARDS complication (type H), APRV can be an alternative ventilator mode to assist mechanical ventilation, although APRV cannot be said more effective than conventional ventilator mode.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yossy Utario
"Masalah utama yang terjadi pada bayi prematur adalah gangguan oksigenasi, sehingga memerlukan alat bantu napas. Efektifitas alat bantu napas Continuous Positive Airway Pressure CPAP dapat ditingkatkan dengan mengatur posisi tidur bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh posisi quarter prone terhadap status oksigenasi bayi prematur yang menggunakan CPAP. Penelitian ini menggunakan rancangan uji klinis acak terkontrol dengan cross-over design. Sampel berjumlah 15 bayi prematur yang menggunakan CPAP. Randomisasi alokasi dilakukan untuk menentukan responden dalam kelompok intervensi quarter prone atau kelompok kontrol supine terlebih dahulu. Pengukuran status oksigenasi dilakukan menggunakan lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pada saturasi oksigen bayi prematur yang menggunakan CPAP pada kelompok quarter prone dibandingkan dengan posisi supine p=0,045 . Posisi quarter prone efektif untuk meningkatkan status oksigenasi bayi prematur yang menggunakan CPAP. Disarankan agar posisi quarter prone dapat diterapkan sebagai salah satu tindakan mandiri perawat di ruang perawatan neonatus.

The main problem that occurs in premature infants was oxygenation disorders, thus requiring respiratory support. The effectiveness of Continuous Positive Airway Pressure CPAP can be improved by adjusting the body position. The aimed of this study was examine the effect of quarter prone position on oxygenation status of the premature infants using CPAP. This study used a randomized controlled trial with cross over design. Fifteen premature infants receiving CPAP were selected. Randomization of allocation was done to determine the respondent in the intervention group quarter prone or control group supine first. Measurement of oxygenation status was performed using an observation form. The result shown significant difference in the oxygen saturation of premature infants using CPAP in the quarter prone group compared with the supine group p 0,045 .The quarter prone position was effective for improving the oxygenation status of premature infants using CPAP. It is recommended the position of quarter prone can be applied as one of nursing care in neonatal nurseries."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Puspita
"Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan BPJS sebagai badan penyelenggaranya merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Namun, dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala terutama mengenai perbedaan tarif rumah sakit dengan tarif INA CBG's dimana di RS. Hermina Palembang perbedaan tarif tersebut menyebabkan selisih negatif bagi rumah sakit khususnya untuk perawatan pasien di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Tarif RS juga dirasakan tinggi oleh pasien non jaminan (sebelum era BPJS) yang dampaknya erat sekali dengan keselamatan pasien. Untuk itu, dirasakan perlu dilakukan analisis biaya satuan penggunaan alat ventilator dan CPAP sebagai bagian dari perawatan NICU.
Penelitian ini bertujuan mengetahui besarnya biaya satuan (unit cost) pada penggunaan alat ventilator dan CPAP di ruang NICU RS. Hermina Palembang serta mengetahui tingkat pemulihan biaya (Cost Recovery Rate) yang dihitung dari biaya satuan terhadap tarif RS dan tarif INA CBG's. Penelitian yang bersifat analisis deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif menggunakan metode Activity Based Cost dimana data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bagian keuangan, fix asset dan rekam medis di tahun 2014. Dari hasil perhitungan dengan ABC system didapatkan biaya satuan penggunaan ventilator sebesar Rp. 5.790.673,-(biaya satuan aktual) dan Rp.2.053.552,- (biaya satuan normatif). Sedangkan pada penggunaan CPAP, biaya satuan aktual sebesar Rp.4.201.712,- dan biaya satuan normatif sebesar Rp.2.840.519,-. CRR tarif RS terhadap biaya satuan aktual untuk penggunaan ventilator sebesar 44,9% dan 63,76% untuk penggunaan CPAP. Sedangkan CRR tarif INA CBG's terhadap biaya satuan aktual untuk penggunaan ventilator sebesar 13% dan 17% untuk penggunaan CPAP.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperlukan keterlibatan stakeholder eksternal yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Kemenkes dalam rangka efisiensi biaya bagi pihak rumah sakit serta evaluasi tarif INA CBG's untuk penggunaan alat ventilator dan CPAP yang didasarkan pada biaya satuan yang digunakan dalam menghasilkan suatu layanan agar terciptanya keseimbangan antara biaya RS dan tarif INA CBG's serta terjaminnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

National Health Assurance whereas BPJS as an organizer is one form of social protection to insure people health needs. However in practice, still having problems especially about differentiation between hospital and INA CBG's rates in which at Hermina Hospital Palembang this problem create negative difference in particular for patient care in Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Hospital rates also very high perceived by the patient who didn't have any health insurance which create issues related to patient safety. Therefor, it is needed to having unit cost analysis for ventilator and CPAP Usage in Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
The purpose of this research is to knowing how much of unit cost in ventilator and CPAP usage at Hermina Hospital Palembang's NICU and how about Cost Recovery Rate (CRR) by comparing actual unit cost with hospital rates and INA CBG's rates. This descriptive analitic research was done by using Activity Based Cost method in which the data that used in this research was obtained from financial record, fix asset, and medical record in year 2014. The counting result with ABC system, actual unit cost for ventilator usage is Rp.5.790.673,- and normative unit cost is Rp. 2.053.552,-. For the use of CPAP, actual unit cost is Rp. 4.201.712,- and normative unit cost is Rp. 2.840.519,-. CRR for ventilator usage by comparing actual unit cost with hospital rate is 44,9% and 63,76% for CPAP usage. While CRR by comparing actual unit cost with INA CBG's rates is just 13% for ventilator usage and 17% for CPAP usage.
Based on this research results, it is needed to have cost efficiency by involving external stakeholder such as Government and Health Ministry in decreasing unit cost of ventilator and CPAP's and evaluate INA CBG's rate for ventilator and CPAP's usage which is based on the calculation of unit cost incurred to produce a hospital service/product in order to create a balance between hospital unit cost and INA CBG's rate and for assuring public health services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, 2015
T44219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaka Pradipta
"ABSTRAK
Latar belakang: Asma dan rinitis alergi merupakan penyakityang disebabkan oleh inflamasi saluran napas.United airway adalah hipotesis terdapatnya kesatuan morfologi dan fungsi sistem saluran napas atas dan bawah yang memiliki kesamaan dalam histologi, fisiologi dan patologi. Penilaian respons inflamasi pada saluran pernapasan diharapkan mampumemperbaiki derajat berat penyakit asma maupun rinitis alergi sehingga derajat penyakit terkontrol baik.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada 31 pasien asma yang berobat ke RSUP Persahabatan. Subjek penelitian dinilai derajat berat penyakitnya berdasarkan derajat asma stabil, derajat kontrol asma dan derajat rinitis. Penilaian inflamasi saluran napas atas menggunakan eosinofil mukosa hidung dan inflamasi saluran napas bawah menggunakan FeNO Subjek dibagi menjadi kelompok asma dengan rinitis alergi dan asma tanpa rintis alergi menggunakan pemeriksaan alergi uji cukit kulit.
Hasil: Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara peningkatan kadar FeNO dengan asma yang tidak terkontrol (r=0,39, p = 0,02).Terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah eosinofil mukosa hidung (p = 0,02) dan FeNO (p = 0,01)pada subjek asma dengan rinitis alergidan asma tanpa rinitis alergi. Terdapat hubungan dengan korelasi yang bermakna antara kadar FeNO dengan jumlah eosinofil mukosa hidung. (r = 0,378, p= 0,04).

ABSTRACT
Background:Asthma and allergic rhinitis are diseases caused by airway inflammation. The united airways hypothesis suggests a similarity of morphology and function betweenthe upper and lower airway systems. Thus, the assessment of inflammatory activities in the united airway systems should reflect the severity and the degree of disease control in asthma and allergic rhinitis.
Methods:This cross-sectional study included 31 asthma patients treated in National Respiratory Referral Center Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, as subjects. Subjects were grouped into asthma with allergic rhinitis and asthma without allergic rhinitis based on the skin test examination. The degrees of stable asthma, asthma control, and rhinitis of the subjects were recorded. The nasal eosinophil counts and fractional concentration of exhaled nitric oxide (FeNO) level examinations were performed to assess the lower and upper airway inflammation, respectively.
Results:There was a moderate correlation between FeNO levels and degree of asthma control (r=0.39, p=0.02).Subject grouping resulted in different nasal eosinophil counts and FeNO levels (p=0.02 and p=0.01, respectively). There was a moderate correlation between nasal eosinophil counts and FeNO levels (r=0.378, p= 0.04)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>