Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98700 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bonita Melia
"ABSTRAK
Penyakit ginjal diabetes merupakan komplikasi mikrovaskuler yang menyerang pasien diabetes melitus tipe 2. Dalam perkembangan penyakit ginjal diabetes, sistem renin-angiotensin intrarenal merupakan faktor yang berperan penting.. Hal ini menjadikan angiotensinogen sebagai salah satu komponen sistem renin-angiotensin yang berpotensi menjadi penanda kerusakan ginjal. Article review ini bertujuan untuk menelusur dan menelaah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan pengukuran kadar angiotensinogen dalam urin sebagai penanda klinis penyakit ginjal diabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penyusunan article review dilakukan dengan mengumpulkan jurnal-jurnal penelitian pada pangkalan data daring, yaitu ScienceDirect, Pubmed, dan Scopus. Penelusuran menghasilkan tujuh jurnal penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Studi artikel menunjukkan bahwa angiotensinogen memiliki korelasi positif yang signifikan dengan ekspresi mRNA angiotensinogen, kreatinin urin, dan faktor terkait spesi oksigen reaktif. Angiotensinogen juga menunjukkan korelasi negatif yang signifikan terhadap estimasi laju filtrasi glomerulus. Hasil telaah beberapa artikel menunjukkan bahwa angiotensinogen memiliki performa yang baik dalam menggambarkan kondisi ginjal subjek penelitian. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang signifikan antara angiotensinogen dengan parameter-parameter lain yang terlibat dalam patofisiologi penyakit ginjal diabetes melitus yang terdiri dari estimasi laju filtrasi glomerulus, ekspresi mRNA angiotensinogen, kadar faktor spesi oksigen reaktif, dan kadar albumin kreatinin urin."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risyifa Audinia
"ABSTRAK
Penyakit ginjal diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal stadium akhir, sehingga dibutuhkan penanda biologis yang spesifik dan sensitif untuk mengantisipasi progresi penyakit. Sistem renin-angiontensin aldosteron diketahui memiliki peran yang signifikan dalam perkembangan awal penyakit ginjal diabetes, sehingga renin sebagai salah satu komponen sistem renin-angiotensin aldosteron memiliki potensi sebagai penanda awal penyakit ginjal diabetes. Penulisan review article ini bertujuan untuk mengkaji literatur-literatur terkini yang meneliti hubungan kadar renin pada urin dengan perkembangan kerusakan ginjal. Review bersifat sistematik berdasarkan acuan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses Guidelines (PRISMA) tahun 2009 dengan pendekatan kualitatif. Literatur yang dikaji diperoleh melalui pencarian internet pada database ScienceDirect, PubMed, dan SpringerLink. Sebanyak 5 literatur dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Hasil analisis literatur menunjukkan bahwa potensi renin urin sebagai penanda biologis penyakit ginjal diabetes cukup besar dikarenakan renin urin akan meningkat pada kondisi kerusakan ginjal. Selain itu, renin urin juga dapat menggambarkan aktivitas sistem renin-angiotensin aldosteron intrarenal dan memiliki korelasi positif dengan albuminuria. Hasil analisis literatur juga menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi antara eLFG dan renin urin pada pasien dengan penyakit ginjal diabetes. Namun, renin urin secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal diabetik dibandingkan dengan pasien dengan penyakit ginjal kronis.

ABSTRACT
Diabetic kidney disease is one of the main causes of end-stage renal disease, therefore there is a need for specific and sensitive biological markers to anticipate progression of the disease. The renin-angiontensin aldosterone is known to have a significant role in the early development of diabetic kidney disease, that means renin as one of the components of the renin-angiotensin aldosterone system has a potential as an early biomarker for diabetic kidney disease. This review article aims to review latest literatures that studied the relationship of renin levels in urine with the development of kidney damage in patients with diabetes or chronic kidney disease. This systematic review was written based on the Reference Reporting Item Options for Systematic Review and Meta-Analysis Guide (PRISMA) of 2009 with a qualitative approach. The literature studied was obtained through an internet search in the ScienceDirect, PubMed, and SpringerLink databases. A total of 5 literatures were chosen based on specified criteria. The results of the literature analysis showed that urinary renin has a promising potential as a biological marker for diabetic kidney disease because urinary renin will likely increase in presence kidney damage. In addition, urinary renin can also describe the activity of the intrarenal renin-angiotensin aldosterone system and positively corelates with albuminuria. The results of the literature analysis also showed no correlations between eGFR and urinary renin in patients with diabetic kidney disease. However, urinary renin were significantly high in patients with diabetic kidney disease compared to patients with chronic kidney disease."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septia Nurmala
"Glikokaliks endotel pada glomerulus membantu mempertahankan homeostasis vaskular. Perubahan hemodinamik ginjal yang disebabkan oleh hiperglikemia kronis meningkatkan tekanan hidrolik glomerulus yang berkontribusi terhadap peluruhan glikokaliks. Faktor ini berkontribusi terhadap inisiasi penyakit ginjal kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi antara degradasi glikokaliks urin dan penyakit ginjal diabetes yang dinilai dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG) pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dan teknik pengambilan sampel consecutive di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Sampel darah dan urin partisipan dikumpulkan untuk pengukuran eLFG, HbA1c, perbandingan albumin-kreatinin urin, dan degradasi glikokaliks. Degradasi glikokaliks urin diukur menggunakan 1,9- dimetilmetilen biru (GAG-DMMB). Total 75 partisipan dibagi menjadi dua kelompok menurut eLFG, ≥ 90 ml/min per 1,73 m2 (n = 33) (kelompok G1) dan 60-89 ml/min per 1,73 m2 (n = 42) (kelompok G2). Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) pada karakteristik dasar dan klinis kedua kelompok kecuali usia (p<0,001) dan HbA1c (p=0,039). Lebih lanjut, degradasi glikokaliks urin (mg/g kreatinin) lebih rendah pada kelompok G1 (median (min-max): 1,50 (0,00-16,59)) dibandingkan dengan kelompok G2 (2,04 (0,00-17,00)), namun tidak bermakna secara statistik. Tidak terdapat korelasi antara eLFG dengan degradasi glikokaliks urin (r=-0,11; p=0.33). Peningkatan degradasi glikokaliks urin tidak berhubungan terhadap tahap awal penyakit ginjal diabetes.

Endothelial glycocalyx in the glomeruli helps maintain vascular homeostasis. Renal hemodynamic alterations caused by chronic hyperglycemia increase glomerular hydraulic pressure that contributes to the shedding of glycocalyx. This factor predisposes to the initiation of chronic kidney disease. This study aimed to investigate the association between endothelial glycocalyx breakdown and diabetic kidney disease assessed by the estimated glomerular filtration rate (eGFR) among type 2 diabetes mellitus patients. This cross-sectional study used consecutive sampling method and was conducted in Pasar Minggu Primary Health Center. Participants’ blood and urine samples were collected for measurement of eGFR, HbA1c, urine albumin-to-creatinine ratio (UACR), and glycocalyx degradation. Urinary glycocalyx breakdown was measured in the form of glycosaminoglycan and was assayed with 1,9-dimethylmethylene blue (GAG-DMMB). A total of 75 participants were divided into two groups according to the eGFR, ≥ 90 ml/minute per 1.73 m2 (n = 33) (G1 group) and 60-89 ml/minute per 1.73 m2 (n = 42) (G2 group). There were no statistically significant differences (p<0.05) in baseline and clinical characteristics among groups except for age (p<0.001) and HbA1c level (p=0.039). Furthermore, there was a decrease in urinary glycocalyx degradation product (mg/g creatinine) in G1 group (median (min-max): 1.50 (0.00-16.59)) compared to G2 group (2.04 (0.00-17.00)) with no statistically significant difference. There was no correlation between eGFR and urinary glycocalyx degradation product (r=-0,11; p=0.33). Increased urinary glycocalyx degradation was not associated with early phase of diabetic kidney disease."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelique Valentia Wijaya
"Penyakit Ginjal Diabetes (PGD) merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular dari penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) yang cenderung tidak terdeteksi secara dini sehingga diperlukan biomarker yang lebih efektif untuk mendeteksi penyakit ini. Tingginya HbA1c diketahui berpengaruh pada progresivitas PGD karena berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (eGFR) dan peningkatan rasio albumin kreatinin urin (UACR). Penelitian ini merupakan studi metabolomik tidak tertarget dan bertujuan untuk membandingkan metabolit urin pasien DMT2 risiko PGD rendah dengan HbA1c terkontrol dan tidak terkontrol pada pasien yang mengonsumsi terapi metformin-glimepirid. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan teknik pengambilan sampel non-probabilitas di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Sebanyak 32 sampel dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok HbA1c terkontrol (n=16) dan kelompok HbA1c tidak terkontrol (n=16). Sampel darah diambil untuk pengukuran HbA1c dan eGFR sedangkan sampel urin diambil untuk pengukuran UACR dan dianalisis metabolitnya. Analisis metabolit dilakukan menggunakan LC/MS-QTOF dan diolah datanya menggunakan MetaboAnalyst 6.0 serta berbagai database. Signifikansi metabolit antarkelompok diseleksi dengan parameter VIP>1, log2(FC)>1,2, dan p-value<0,05. Tiga metabolit yang berpotensi menjadi biomarker (AUC>0,65), yaitu oxaloacetate, 5'-phosphoribosyl-N-formylglycinamidine, dan (S)-dihydroorotate. Berdasarkan ketiga metabolit tersebut, jalur metabolisme yang terlibat meliputi (1) alanin, aspartat, dan glutamat, (2) asam sitrat (siklus Krebs), (3) glukoneogenesis, (4) piruvat, (5) pirimidin, dan (6) purin.

Diabetic Kidney Disease (DKD) is one of the microvascular complications of Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) which tended not to be detected early, necessitating more effective biomarkers for its detection. Uncontrolled HbA1c was significantly associated with the progression of DKD because it is associated with a decrease in glomerular filtration rate (eGFR) and an increase in the urine albumin creatinine ratio (UACR). This study was an untargeted metabolomics study and aimed to compare urine metabolites in low-risk DKD T2DM patients with controlled and uncontrolled HbA1c undergoing metformin-glimepiride therapy. Conducted with a cross-sectional design and non-probability sampling at Pasar Minggu District Health Center, 32 samples were split into controlled (n=16) and uncontrolled HbA1c groups (n=16). Blood samples were taken for measurement of HbA1c and eGFR, while urine samples were taken for measurement of UACR and analyzed for metabolites. Metabolite analysis was carried out using LC/MS-QTOF and the data were processed using MetaboAnalyst 6.0 and various databases. Significant metabolites were identified with VIP>1, log2(FC)>1.2, and p-value<0.05. Three metabolites, namely oxaloacetate, 5'-phosphoribosyl-N-formylglycinamidine, and (S)-dihydroorotate, emerged as potential biomarkers (AUC>0.65). The involved metabolic pathways included (1) alanine, aspartate, and glutamate, (2) citric acid (Krebs cycle), (3) gluconeogenesis, (4) pyruvate, (5) pyrimidine, and (6) purine."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Nusrianto
"Latar Belakang: Gagal jantung adalah salah satu bentuk komplikasi kardiovaskular dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien DMT2. Disfungsi diastolik merupakan bentuk awal dari gagal jantung yang tidak bergejala dan seringkali terlambat terdiagnosis, sehingga deteksi dini penting untuk dilakukan. Guideline gagal jantung dari AHA merekomendasikan pemeriksaan NTproBNP dengan nilai batas >125 pg/ml sebagai salah satu upaya deteksi dini pada populasi berisiko. Penelitian-penelitian faktor klinis yang ada mayoritas dilakukan pada populasi kaukasia dengan hasil yang heterogen. Diketahui populasi DMT2 di Asia memiliki indeks massa tubuh lebih rendah, usia lebih muda, dan nilai dasar NTproBNP lebih rendah, namun memiliki prevalensi gagal jantung yang lebih tinggi. Belum ada penelitian yang meneliti hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP pada populasi DMT2 di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini dibuat untuk mengetahui hubungan faktor klinis dan kadar NTproBNP dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang (cross sectional study), menggunakan data sekunder dari follow up ke-30 Studi Kohort PTM Litbangkes. Subyek berusia dibawah 65 tahun yang terdiagnosis DMT2 selama pengamatan dan memenuhi kriteria inklusi dicatat, dilakukan pemeriksaan NTproBNP dan dilakukan analisis dengan kejadian disfungsi diastolik yang didapatkan dari ekhokardiografi. Uji bivariat dilakukan dengan uji chi square dan uji multivariat menggunakan uji regresi multipel. Kadar NTproBNP yang diperiksakan dilakukan penentuan titik potong menggunakan Receiver Operating Characteristics (ROC).
Hasil: Subyek yang terinklusi didapatkan sebesar 91 orang. Uji multivariat menunjukkan baik kadar NTproBNP>125 pg/ml dan titik potong NTproBNP baru >62,5 pg/ml berhubungan bermakna dengan kejadian disfungsi diastolik dengan PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) dan PRadj 2,587 (IK 95%; 1,554 – 4,645; p:<0,0001) dengan Area under curve (AUC) 0,76. Pada penelitian kami, tidak ada faktor klinis yang berhubungan secara bermakna pada uji statistik
Simpulan: Peningkatan kadar NTproBNP >125 pg/ml berhubungan dengan kejadian disfungsi diastolik pada populasi DMT2 di Indonesia.

Background: Diastolic dysfunction is an early form of heart failure that is asymptomatic and often diagnosed late in T2DM patients, so early detection is encourage. The AHA heart failure guideline recommends NTproBNP testing with a cut-off value of >125 pg/ml as one of the early detection strategies. The majority of existing clinical factor studies have been conducted in Caucasian populations with heterogeneous results and it is known that T2DM populations in Asia have lower body mass index, younger age, lower baseline NTproBNP values with higher heart failure prevalence. To date, there have been no research determining the association between clinical factors and NTproBNP levels in the T2DM population in Indonesia.
Objective: This study was designed to determine the association of clinical factors and NTproBNP levels with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia
Methods: This study is a cross sectional study, using secondary data from the 30th follow up of the Bogor NCD Cohort Study. Subjects under 65 years of age who are diagnosed with T2DM during observation and meet the inclusion criteria were being recorded, We will determine the association between clinical factors and NTproBNP examination results with the incidence of diastolic dysfunction obtained from echocardiography. Bivariate tests were performed using the chi square test and multivariate tests using multiple regression tests. The new NTproBNP cut off points were determined using Receiver Operating Characteristics (ROC).
Results: 91 subjects were included. Multivariate test showed that both NTproBNP level >125 pg/ml and new cut off >62,5 pg/ml was significantly associated with the incidence of diastolic dysfunction with PRadj 2,791 (95% IK; 1,937-4,021; p<0,0001) and PRadj 2.587 (95% CI; 1.554 - 4.645; p: <0.0001) respectively, with Area under curve (AUC) 0.76. In our study, No clinical factors were associated significantly with diastolic dysfunction incidence.
Conclusions: NTproBNP levels >125 pg/ml are associated with the incidence of diastolic dysfunction in the T2DM population in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enda Safitri
"Penyakit ginjal diabetik adalah suatu komplikasi yang disebabkan oleh diabetes melitus. Perkembangan penyakit ini mengarah kepada penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) dan kardiovaskular yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Hal ini menunjukkan pentingnya manajemen terapi pada penyakit ginjal diabetik. Saat ini kontrol glikemik dan tekanan darah adalah manajemen utama pada penyakit ginjal diabetik. Walaupun demikian, diketahui beberapa pasien tetap mengalami progresivitas menjadi ESRD. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukannya terapi baru untuk penyakit ginjal diabetik. Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian – penelitian untuk menemukan target terapi baru yang berpotensi untuk terapi penyakit ginjal diabetik. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri, menelaah dan mensintesis hasil studi perkembangan terbaru untuk terapi penyakit ginjal diabetik pada golongan obat inhibitor sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2 inhibitor), agonis glucagon-like peptide-1 (GLP-1 agonist), antagonis endothelin-1 receptor (ET-1 antagonist) dan antagonis nonsteroidal mineralocorticoid receptor. Penelusuran literatur dilakukan dengan sistematik pada pusat data Pubmed, ScienceDirect, dan SpringerLink dan dipilah berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Efektivitas obat dievaluasi melalui kadar albuminuria dan estimasi laju filtrasi glomerulus. Berdasarkan hasil studi literatur 3 tahun terakhir, diperoleh hasil bahwa inhibitor SGLT2 dan agonis GLP-1 terbukti memiliki efek perlindungan ginjal dan kardiovaskular pada pasien diabetes melitus tipe 2. Kedua golongan tersebut juga dapat menurunkan tekanan darah dan berat badan. Studi saat ini juga menunjukkan antagonis ET-1 dan antagonis nonsteroidal mineralocorticoid receptor juga memiliki potensi sebagai terapi penyakit ginjal diabetik dikarenakan efeknya yang dapat mengurangi albuminuria pasien diabetes melitus tipe 2. Namun demikian untuk memastikan efikasi dan keamanan obat harus dilakukan uji klinis lebih lanjut.

Diabetic kidney disease is a complication caused by diabetes mellitus. The development of the disease leads to end-stage renal disease (ESRD) and cardiovascular disease which increases patient’s morbidity and mortality. This show the importance of therapeutic management in diabetic kidney disease. Nowadays, glycemic control and blood pressure are the main management of diabetic kidney disease. However, it is known that some diabetes patients still progress to ESRD, highlighting the need to identify novel therapies for diabetic kidney disease. The last few years research has been carried out to find new therapeutic targets for therapy diabetic kidney disease. This article review aims explore, examine, and synthesize to new therapeutic studies for diabetic kidney disease in sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2) inhibitor, glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonist, endothelin-1 receptor (ET-1) antagonist, dan nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonist. Literature searches were carried out systematically in Pubmed, ScienceDirect, and SpringerLink data centers and sorted according to inclusion and exclusion criteria. Efficacy of the drug was evaluated through the levels of albuminuria and estimated glomerular filtration rate (eGFR). Recent study showed that SGLT2 inhibitors and GLP-1 agonist have renal and cardiovascular protective effects in patient with type 2 diabetes mellitus. Both groups can also reduced blood pressure and body weight. Current studies show that ET-1 antagonists and nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonists also have the potential to treat diabetic kidney disease because of their effect on reducing albuminuria in patient with type 2 diabetes mellitus. However, to ensure efficacy and safety of the drug further clinical trials must be carried out"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70505
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devo Fitrah Ramadhan
"Penyakit ginjal diabetes (PGD) merupakan komplikasi jangka panjang yang terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Parameter laju filtrasi glomerulus (LFG) dan albuminuria untuk diagnosis PGD memiliki keterbatasan sehingga cenderung tidak terdeteksi secara dini. Oleh karena itu, diperlukan biomarker yang lebih efektif untuk mendeteksi penyakit ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil metabolit serum pasien DMT2 risiko rendah PGD yang mengonsumsi metformin-glimepirid dengan nilai HbA1c terkontrol dan nilai HbA1c tidak terkontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling sesuai dengan kriteria inklusi yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Total sebanyak 32 sampel penelitian yang terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok risiko HbA1c terkontrol (n=16) dan kelompok risiko HbA1c tidak terkontrol (n=16). Berdasarkan analisis karakteristik dasar dan klinis, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada seluruh karakteristik dasar dan klinis. Analisis metabolomik tidak tertarget dilakukan dengan menggunakan liquid chromatography-mass spectrometry quadrupole time-of-flight (LC/MS-QTOF) dan pengolahan data menggunakan MetaboAnalyst 6.0 serta identifikasi metabolit menggunakan beberapa database, seperti HMDB, Metlin, Pubchem, dan KEGG. Hasil analisis statistik ditampilkan dalam grafik Principal Component Analysis (PCA), Partial Least Squares-Discriminant Analysis (PLS-DA), dan heatmap. Beberapa parameter untuk menentukan metabolit yang signifikan dalam penelitian ini, yaitu nilai (log2(FC)>1,2), variable importance in projection (VIP>1), p value (p<0,05), dan nilai area under the curve (AUC>0,65). Hasil analisis metabolomik menunjukkan bahwa terdapat 10 metabolit yang signifikan berbeda antara 2 kelompok subjek penelitian dan 1 metabolit potensial dijadikan sebagai biomarker PGD, yaitu lysoPC(18:1(9Z)/0:0 yang terlibat dalam jalur metabolisme gliserofosfolipid dengan tren naik terhadap HbA1c tidak terkontrol.

Diabetic kidney disease (DKD) is a long-term complication that occurs in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM). The parameters of glomerular filtration rate (GFR) and albuminuria for the diagnosis of DKD have limitations and tend not to be detected early. Therefore, more effective biomarkers are needed to detect this disease.  This study aimed to determine the serum metabolite profile of low risk T2DM patients with PGD who take metformin-glimepirid with controlled HbA1c and uncontrolled HbA1c values. The research was conducted using a cross-sectional design with nonprobability sampling techniques at Pasar Minggu District Health Center. A total of 32 research samples were divided into two groups, namely the controlled HbA1c risk group (n = 16) and the uncontrolled HbA1c risk group (n = 16). Untargeted metabolomic analysis was performed using LC/MS-QTOF and the data was processed using MetaboAnalyst 6.0 and various databases including the HMDB, METLIN, PubChem, and KEGG. The signature metabolites determined by Projections to Latent Structures Discriminant Analysis with Variable Importance for the Projection > 1.0, fold change >1.2, p-value <0.05, and Area Under the Receiver Operating Characteristic Curve > 0.65. The results showed 10 metabolites that were significantly different between the 2 groups of study subjects. The metabolic pathway analysis of these metabolites found that likely the three metabolic pathways were glycerophospholipids, porphyrin, and sphingolipid metabolism. Only one metabolite is qualified as DKD  potential biomarker between the two groups, namely lysoPC(18:1(9Z)/0:0 which is involved in the glycerophospholipid metabolic pathway with an upward trend towards uncontrolled HbA1c groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhonna Dwi Safitri
"ABSTRAK
Dalam satu dekade terakhir, para peneliti berfokus dalam upaya penemuan biomarker proteindan peptida untuk penyakit ginjal diabetik. Reviewini bertujuan untuk menelusuri, menelaah, dan mensintesisterkaitperkembangan terkini protein dan peptida sebagai biomarker untuk penyakit ginjal diabetik. Penelusuranliteratur dilakukan secara sistematis dengan melakukan penelusuran studi observasionalpada databaseseperti Sciencedirect, Springerlink, dan PubMed yang dipublikasikan dari Januari 2018 hingga April 2020. Setelah melakukan proses penyaringan, terdapat 20 artikel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Berdasarkan literatur tersebut, biomarker protein dan peptida yang ditemukan menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk memprediksi penyakit ginjal diabetik. Biomarker baru diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan peran biomarker dalam mekanisme patogenesis penyakit ginjal diabetik, seperti biomarker pada glomerulus (ANGPTL4, beta-2 microglobulin, Smad1, dan glypican-5), biomarker inflamasi (MCP-1 dan adiponectin), dan biomarker pada tubulus (NGAL, VDBP, megalin, sKlotho, dan KIM-1). Selain itu, pengembangan panel biomarker diduga memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan biomarker tunggaldalam diagnosis penyakit ginjal diabetik. Semua biomarker yang dibahas pada review ini menunjukkan hubungan dengan albuminuria dan nilai eLFG. Namun, belum ada biomarker baru yang memiliki kemampuan prognosismelebihi albuminuria ataupun nilai eLFG. Hingga saat ini penggunaan biomarker protein dan peptida baru pada praktik klinis masih sangat terbatas.

ABSTRACT
In the past decade, researchers are focused on the discovery of protein and peptide biomarkers for diabetic kidney disease (DKD). This paper aims to search, analyze, and synthesizethe current updates regarding the development of proteins and peptides as biomarkers for DKD. We systematically searched ScienceDirect, Springerlink, and PubMed (January 2018 until April 2020) databases for observational studies of protein and peptide biomarkers in patients with diabetes mellitus. Following the screening process, only 20 research articles met the inclusion criteria. Protein and peptide biomarkers found showed promising results for predicting DKD. These biomarkers include glomerular biomarkers (ANGPTL4, beta-2microglobulin, Smad1, and glypican-5), inflammatory biomarkers (MCP-1 and adiponectin), and tubular biomarkers (NGAL, VDBP, megalin,sKlotho,and KIM-1). Besides, the developmentof a panel biomarker showed a more promising result than a single biomarker at diagnosing DKD. All biomarkers discussed in this review correlate with albuminuria and eGFR. However, there's still no biomarker that has a prognostic value beyond albuminuria or eGFR. Until now, the use of biomarker proteins and peptides in clinical practice is still very restricted."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiah Nur Rohmah
"Penyakit Ginjal Diabetes (PGD) merupakan salah satu komplikasi yang paling umum terjadi dari diabetes. Deteksi dini gangguan fungsi ginjal pada pasien diabetes melitus tipe-2 (DMT2) dapat mencegah progresivitas PGD. Tujuan penelitian ini adalah menilai perbedaan profil metabolit urin pasien DMT2 yang mengonsumsi metformin-glimepirid pada kelompok risiko rendah dan sedang PGD serta menganalisis pemetaan jalur biokimia yang terjadi. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan metode consecutive sampling di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan RSUD Jati Padang. Sampel urin dan darah dikumpulkan untuk pengukuran HbA1c, eLFG (estimasi laju filtrasi glomerulus), UACR (rasio albumin-kreatinin urin), dan analisis metabolomik berbasis LC/MS-QTOF. Total 32 subjek penelitian dibagi menjadi kelompok risiko rendah PGD (n=16) dan kelompok risiko sedang PGD (n=16) berdasarkan kategori prognosis KDIGO. Analisis data karakteristik dasar dan klinis dilakukan menggunakan software IBM SPSS Statistics Premium versi 24. Analisis hasil kromatogram dan spektra dari alat LC/MS-QTOF dianalisis menggunakan software Metaboanalyst 5.0. Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada karakteristik dasar dan klinis kedua kelompok, kecuali jenis kelamin (p=0,013) dan HbA1c (p=0,001). Terdapat metabolit urin yang berbeda signifikan (Variable Importance for the Projection (VIP)-score>1; fold change>1,2, dan p<0,05) antara kelompok risiko rendah dan sedang PGD, yaitu sphinganine, lysophospatidic acid, gamma-glutamylalanine, dan N-acetyl-Laspartic acid. Perubahan jalur biokimia yang berkaitan dengan metabolit penanda kerusakan ginjal pada kedua kelompok adalah metabolisme (1) sphingolipid, (2) gliserolipid, (3) gliserofosfolipid, (4) glutation, dan (5) alanin, aspartat, dan glutamat. Dengan demikian, disregulasi metabolisme lipid dan asam amino dapat menjadi biomarker (AUC>0,65) dalam perkembangan PGD pada tahap awal.

Diabetic Kidney Disease (DKD) is one of the most common complications of diabetes. Early detection of impaired kidney function in type-2 diabetes mellitus (T2DM) patients can prevent the progression of DKD. The study aimed to compare the urine metabolites profile of T2DM patients who consumed metformin-glimepiride with low and moderaterisk groups of DKD and to analyze the mapping of the biochemical pathways that occur. The study was conducted using a cross-sectional design with a consecutive sampling method at Pasar Minggu District Health Center and Jati Padang Hospital. Urine and blood samples were collected for measurements of HbA1c, eGFR (estimated glomerular filtration rate), UACR (urine albumin-creatinine ratio), and LC/MS-QTOF-based metabolomics analysis. A total of 32 subjects were divided into low-risk (n=16) and moderate-risk groups of DKD (n=16) based on KDIGO prognosis category. The baseline and clinical characteristics of the subjects were analyzed using IBM SPSS Statistics Premium software version 24. The chromatogram and spectra results from the LC/MSQTOF were analyzed using Metaboanalyst 5.0 software. The results showed that there were no statistically significant differences in the baseline and clinical characteristics of the two groups, except for sex (p=0.013) and HbA1c (p=0.001). There are significant differences in urine metabolites (VIP-score>1; fold change>1.2, and p<0.05) between low and moderate-risk groups of DKD i.e. sphinganine, lysophosphatidic acid, gammaglutamylalanine, and N-acetyl-L-aspartic acid. Changes in biochemical pathways associated with markers of kidney damage in both groups are the metabolism of (1)sphingolipids, (2)glycerolipids, (3)glycerophospholipids, (4)glutathione, and (5) alanine, aspartate, and glutamate. Therefore, dysregulation of lipid and amino acid metabolism could be biomarkers (AUC > 0,65) for the progression of DKD in the early stage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sean Alexander Lee Tzien Yi
"

Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah suatu penyakit metabolik yang terjadi akibat gangguan fungsi insulin. Hiperglikemia dapat memicu produksi reactive oxygen species yang berlebih sehingga terjadi ketidakseimbangan sistem redoks tubuh. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus, tubuh dapat mengalami stres oksidatif yang ditandai dengan menurunnya kadar antioksidan enzimatik dan meningkatnya peroksidasi lipid. Salah satu organ yang paling rentan terkena dampak dari stres oksidatif adalah ginjal. Metformin adalah obat lini pertama pada DMT2 yang juga memiliki efek renoprotektif, tetapi metformin dapat menyebabkan sejumlah efek samping yang kurang nyaman bagi pasien. Î±-mangostin merupakan senyawa yang dipercaya memiliki efek antioksidan sehingga diharapkan dapat menjadi kandidat potensial dalam memperbaiki stres oksidatif pada kondisi tersebut.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek antioksidan Î±-mangostin pada biomarker stres oksidatif pada DMT2, terutama pada kadar MDA dan SOD ginjal.
Metode: Penelitian berlangsung selama sebelas minggu menggunakan tikus Wistar berusia 10-12 minggu yang terbagi ke dalam enam kelompok: kontrol, kontrol+AM 200 mg/kg, DMT2, DMT2+metformin 200 mg/kg, DMT2+AM 100 mg/kg, DMT2+AM 200 mg/kg. Induksi DMT2 dilakukan dengan diet tinggi lemak-karbohidrat dan injeksi streptozotocin (STZ). Kadar MDA dan SOD diperoleh dengan menggunakan assay kit pada organ ginjal tersimpan.
Hasil: Studi ini menunjukan adanya penurunan kadar MDA yang signifikan pada tiga kelompok perlakuan: DMT2+metformin 200 mg/kg (p=0,001), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001), dan DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi. Selain itu, peningkatan kadar SOD yang signifikan secara statistik hanya ditemukan pada kelompok tikus DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,030) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi.
Simpulan: Hasil ini menyimpulkan bahwa Î±-mangostin dapat memberikan efek antioksidatif pada ginjal tikus dengan DMT2, ditandai dengan penurunan kadar MDA dan peningkatan kadar SOD. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian lanjutan agar didapatkan hasil yang lebih optimal serta dapat diaplikasikan pada manusia.

 


Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder caused by impaired insulin function. Hyperglycemia would induce an excessive production of reactive oxygen species which causes imbalance to the body’s redox system. This condition will eventually lead to oxidative stress, showed by decreasing enzymatic antioxidant levels and increasing lipid peroxidation. Kidneys are one of the susceptible organs to be the target of oxidative stress. Metformin has been the first-line therapy for type 2 diabetes mellitus. While it also has a renoprotective effect, there are some reports about its serious adverse effects on the patients. Î±-mangostin, a substance that is believed to have an antioxidant effect, is expected to be a potential candidate on ameliorating oxidative stress in such condition

Objective: This study aims to investigate the antioxidant effect of Î±-mangostin on oxidative stress biomarkers on T2DM, specifically on the kidney’s MDA and SOD levels.
Methods: This study was conducted for eleven weeks using 10-12 weeks old Wistar rats, which were divided into six groups: control, control+AM 200 mg/kg, T2DM, T2DM+metformin 200 mg/kg, T2DM+AM 100 mg/kg, T2DM+AM 200 mg/kg. T2DM groups were induced using a high-fat/high-glucose diet followed by streptozotocin (STZ) injection. MDA and SOD levels were measured by assay kit on refrigerated kidney samples.
Results: This study showed a significant decrease in MDA levels on three groups: DMT2+metformin (p=0,001 vs. DMT2), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2), and DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2). On the other hand, a significant increase in SOD levels is found only within the DMT2+AM 200 mg/kg group (p=0,030 vs. DMT2).
Conclusion: These findings demonstrated that Î±-mangostin did establish antioxidative effects on T2DM-induced rat’s kidney, showed by a decrease in the MDA level and an increase in the SOD level. Therefore, further studies are essential to obtain better results.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>