Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161971 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Made Dwi Sandhiutami
"

Latar belakang: Kurkumin memiliki aktivitas antikanker yang poten, namun profil farmakokinetik dan ketersediaan kurkumin di organ target sangat rendah. Nanopartikel kurkumin dibuat untuk meningkatkan aktivitas kurkumin sehingga dapat meningkatkan efek obat pada proses angiogenesis dan proliferasi sel pada tikus model kanker ovarium.

Metode: Nanopartikel kurkumin dibuat dengan metode gelasi ionik menggunakan kitosan sebagai polimer. Profil farmakokinetika kurkumin dan nanokurkumin dilakukan pada tikus dengan pemberian dosis oral sebesar 100 mg/kgBB. Sampel darah diambil pada sembilan  waktu dan konsentrasi kurkumin dalam plasma dianalisis menggunakan UPLC-MS/MS. Pengujian nanokurkumin sebagai ko-kemoterapi secara in vivo pada kanker ovarium dilakukan pada tikus model kanker ovarium dengan induksi DMBA. Tikus model kanker ovarium diberikan terapi cisplatin atau kombinasi cisplatin dan kurkumin, atau kombinasi cisplatin dan nanokurkumin. Efek antikanker dilihat dari pengukuran marker antiproliferasi (Ki67), marker apoptosis serta jalur sinyal TGF-b/PI3K/Akt dan IL-6/JAK/STAT3.

Hasil: Diperoleh ukuran partikel nanokurkumin sebesar 19,43±11,24 nm, dengan efisiensi penjerapan 99,97%, dan loading capacity 11,34%. Sifat mukoadhesif nanokurkumin lebih baik dibandingkan dengan kurkumin. Evaluasi profil farmakokinetik pada tikus diperoleh bahwa nanokurkumin meningkatkan AUC, Cmax, Tmax dan menurunkan klirens. Pada uji aktivitas in vivo,  pemberian cisplatin dan ko-kemoterapi nanokurkumin menyebabkan penurunan yang signifikan pada volume dan berat ovarium. Penemuan ini sesuai dengan penurunan ekspresi protein TGF-β, PI3K dan p-Akt/Akt. Efek ko-kemoterapi nanokurkumin juga dapat dapat menurunkan ekspresi protein IL-6, JAK, dan p-STAT3/STAT3. Pemberian cisplatin dan nanokurkumin juga menyebabkan peningkatan marker apoptosis yang signifikan seperti Bax, kaspase-9 dan kaspase-3 serta menurunkan ekspresi Bcl-2.

Kesimpulan: Nanokurkumin dapat memperbaiki profil farmakokinetika kurkumin, sehingga dapat diaplikasikan pada strategi ko-kemoterapi kanker ovarium dengan menghambat proliferasi melalui penghambatan jalur sinyal PI3K/Akt, JAK/STAT3, peningkatan apoptosis marker Bax, kaspase-3 dan kaspase-9 serta menurunkan ekspresi Bcl-2.

Kata kunci: kurkumin, kitosan, nanopartikel, kanker ovarium, PI3K/Akt, JAK/STAT


Background: Curcumin has a potent anticancer activity. However, its systemic bioavailability and its concentration in organ is extremely low. The modification of curcumin to curcumin nanoparticles was expected to increase the activity of curcumin on angiogenesis and cell proliferation process in rat ovarian cancer.
Methods: Nanocurcumin were made using ionic gelation methods. The pharmacokinetic profiles of curcumin particles and nanoparticles were then assessed in rats by administering a single oral dose of 100 mg/kg BW. Blood samples were taken from nine predetermined time points, and curcumin plasma concentrations were then analyzed using UPLC-MS/MS. Nanocurcumin was tested as a co-chemotherapy in vivo and was carried out on ovarian cancer animal models, induced with 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA). The ovarian cancer animal models were then treated with cisplatin, or cisplatin and curcumin, or combination of cisplatin with nanocurcumin. The anticancer effect of nanocurcumin as co-chemotherapy was investigated with the measurement of antiproliferation marker (Ki67), apoptotic markers as well as the expression of TGF-b/PI3K/Akt dan IL-6/JAK/STAT3.

Result: The particle size of the curcumin nanoparticles obtained were 19,43±11,24 nm. Entrapment efficiency (EE) of curcumin nanoparticles were exceeding 99.97%, and drug loading capacity (DLC) was 11.34%. The mucoadhesive properties of the nanoparticles were superior to that of curcumin particles. Pharmacokinetic evaluation in rats revealed that curcumin nanoparticles resulted in an increase of AUC, Cmax, Tmax, and lower Cl. The administration of cisplatin and nanocurcumin co-chemotherapy caused a significant reduction in ovarian volume and weight. These findings followed with decreased protein expression of TGF-β, PI3K and p-Akt/Akt. The co-chemotherapy effect nanocurcumin is also investigated as a mechanism of action via IL-6, JAK, p-STAT3/STAT3 expressions.  Treatments of cisplatin and nanocurcumin resulted in a significant increase in apoptotic markers such as Bax, caspase-9, and caspase-3 expressions and decreased Bcl-2 expression.

Conclusion: Nanocurcumin is an effective formulation to improve pharmacokinetics profile. Nanocurcumin as a co-chemotherapy  can be considered as a potential co-chemotherapy in ovarian cancer. The improved mechanism of actions are shown by the proliferation inhibition, downregulation of PI3K/Akt, JAK/STAT3 signaling pathways, and Bcl-2 expression and increasing apoptosis through the expression of Bax, caspase-9 and caspase-3.

Keywords: curcumin, chitosan, nanoparticles, ovarian cancer, PI3K/Akt, JAK/STAT

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muftah Risyaldi
"Latar belakang : Cisplatin adalah pilihan utama dalam penatalaksanaan kanker ovrium secara farmakologi. Namun, disisi lain cisplatin dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Kerusakan ginjal akibat Cisplatin salah satunya terjadi karena perubahan aktivitas sistem endotelin ginjal sebagai pengatur hemodinamik ginjal. Secara teori kerusakan ini dapat dikurangi dengan pemberian ko-kemoterapi cisplatin yang memiliki sifat renoprotektif. Salah satu agen renoprotektif adalah Kurkumin. Salah satu manfaat kurkumin dapat mengurangi kerusakan ginjal karena bersifat renoprotektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian kurkumin sebagai ko-kemoterapi cisplatin terhadap ekspresi reseptor endothelin B (ETBR) dan gambaran hitopatologi pada ginjal tikus model kanker ovarium.
Metode: Dua puluh empat tikus Wistar betina (150-200 gram) berusia 5 minggu dikelompokan menjadi empat kelompok: Normal (N), Kanker Ovarium tanpa pemberian obat (Ca), Cisplatin (Cis) adalah kelompok tikus kanker ovarium yang mendapat terapi cisplatin 4mg/KgBB selama tiga minggu, Cisplatin+Kurkumin (Cis+Cur) adalah kelompok tikus kanker ovarium yang diberi cisplatin 4mg/KgBB+ curcumin 100mg/KgBB selama tiga minggu. Setelah memasuki minggu ke-24, tikus dikorbankan dan diambil jaringan ginjal untuk dilakukan pengamatan secara histologi dan molekular.
Hasil: gambaran histologi ginjal menunjukan perubahan struktur abrnomal. Akan tetapi perubahan struktur menuju kerusakan ginjal pada penelitian ini tidak signifikan. Selanjutnya, pengamatan ekspresi ETBR didapati ekspresi tertinggi pada kelompok tikus normal (N) dan terendah pada kelompok tikus dengan pemberian Cisplatin dan Kurkumin (Cis+Cur) dengan nilai p pada uji ANOVA Satu Arah sebesar 0.087 (signifikan jika p<0,05).
Kesimpulan: pemberian kurkumin sebagai ko-kemoterapi cisplatin pada tikus model kanker ovarium tidak menyebabkan perubahan struktur histologi yang bermakna dan tidak menyebabkan peningkatan ekspresi ETBR yang signifikan.

Background: Cisplatin is the main choice in pharmacological treatment of ovarian cancer. However, cisplatin can cause kidney damage. One of the causes of kidney damage due to cisplatin occurs due to changes in the activity of the renal endothelin system as a renal hemodynamic regulator. In theory, this damage can be reduced by giving cisplatin co-chemotherapy which has renoprotective properties. One of the renoprotective agents is curcumin. One of the benefits of curcumin is to reduce kidney damage because it is renoprotective. This study aims to determine the effect of curcumin administration as co-chemotherapy of cisplatin on endothelin B receptor expression (ETBR) and the histopathological description of ovarian cancer model rats.
Methods: Twenty-four female Wistar rats (150-200 grams) aged 5 weeks were grouped into four groups: Normal (N), Ovarian Cancer without drug administration (Ca), Cisplatin (Cis) is a group of ovarian cancer mice receiving 4mg/KgBB cisplatin therapy for three weeks, Cisplatin + Curcumin (Cis + Cur) is a group of ovarian cancer mice that were given cisplatin 4mg / KgBB + curcumin 100mg / KgBB for three weeks. After entering the 24th week, the rats were sacrificed and kidney tissue was taken for histological and molecular observation.
Result: The histology of the kidneys showed an abnormal structural change. However, the structural changes leading to kidney damage in this study were not significant. Furthermore, observations of ETBR expression found the highest expression in the normal (N) group
of rats and the lowest in the group of rats given Cisplatin and Curcumin (Cis + Cur) with a p value in the One Way ANOVA test of 0.087 (significant if p <0.05).
Conclusion: giving curcumin as co-chemotherapy of cisplatin in ovarian cancer model mice did not cause significant changes in histological structure and did not cause a significant increase in ETBR expression
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leo Alfath Araysi
"Latar belakang: Kanker ovarium diduga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan kerusakan ginjal. Cisplatin salah satu terapi kanker ovarium bersifat nefrotoksik. Kerusakan ginjal ini terjadi melalui berbagai mekanisme, salah satunya adalah peningkatan ekspresi ETAR. Kurkumin diduga mampu menurunkan ekspresi ETAR pada jaringan ginjal yang rusak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ko-kemoterapi kurkumin pada cisplatin terhadap ekspresi ETAR serta gambaran histopatologi jaringan ginjal pada tikus model kanker ovarium. Metode: 24 tikus wistar betina dibagi menjadi empat kelompok: Kelompok normal sham (N), kanker ovarium tanpa perlakuan (Ca), kanker ovarium yang mendapat 4 mg/KgBB cisplatin (Cis), dan kanker ovarium yang mendapat 4 mg/KgBB cisplatin +100 mg/KgBB kurkumin (Cis+Cur). Setelah 3 minggu tikus dikorbankan, ginjal tikus diambil untuk pengamatan histopatolgi serta ekspresi mRNA ETAR. Hasil: Pada pengamatan histopatologi Masson Trichrome ditemukan fokus fibrosis pada kelompok tikus Ca dan Cis. Melalui qRT-PCR diketahui bahwa ekspresi mRNA pada kelompok Ca dan Cis relatif sama, namun meningkat masing-masing sebesar 133% (2,33 kali lipat) dan 123% (2,23 kali lipat) dibandingkan dengan kelompok normal. Sedangkan pada kelompok Cis+Cur terdapat penurunan ekspresi mRNA sebesar 31,5% (0.315 lebih rendah) dan 34,4% (0.344 lebih rendah) berurutan dibanding kelompok Cis dan Cur. Tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik antar kelompok uji. Kesimpulan: Kanker ovarium dapat memicu kerusakan ginjal pada tiku dibuktikan dengan peningkatan ekspresi mRNA ETAR dan fokus fibrosis. Pemberian cisplatin pada dosis terapeutik tidak meningkatkan ekspresi mRNA ETAR pada jaringan tikus model kanker ovarium, meski demikian pemberian kurkumin sebagai ko-kemoterapi menurunkan ekspresi mRNA ETAR dan fokus fibrosis meskipun tidak bermakna secara statistik.

Background: Ovarian cancer is believed can lead to renal functional deterioration Furthermore, cisplatin as chemotherapeutic agent has nephrotoxic effects. Increased expression of the Endothelin A receptor (ETAR) is thought to be one of the mechanisms. Curcumin is believed to have protective effects in injured kidney. This study is to evaluate the co-chemotherapy effects of curcumin for cisplatin upon ETAR expression and histopathological appearances in rats’ kidney. Method: Total of 24 wistar rats, devided into four treatment groups: normal group (N), ovarian cancer without treatment group (Ca), ovarian cancer which received cisplatin 4 mg/kgBW group (Cis), and ovarian cancer which received cisplatin 4 mg/kgBW + 100 mg/kgBW curcumin group (Cis+Cur). Kidney tissue specimen was obtained for histopathological examination and ETAR messenger ribonucleic acid (mRNA) expression. Results: Fibrosis foci were found at kidney tissue of Ca and Cis group. The mRNA expression level among Ca and Cis group were relatively equivalent; however increased by 133% (2,33 fold) and by 123% (2,23 fold), respectively compared to N group. Meanwhile, the Cis + Cur group decreased by 31.5% (0.315 lower) and 34.4 % (0.344 lower) compared to Cis and Ca group respectively. There are no statistical significant among the experiment groups. Conclusion: Ovarian cancer is associated with kidney injury, demonstrated by increased of ETAR mRNA and fibrosis foci formation. Therapeutic dose cisplatin do not increased ETAR mRNA in the kidney of ovarian cancer rat. Curcumin administration as co-chemotherapeutic agent result in the decrease of ETAR mRNA level and the decrease of fibrosis foci formation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erico Wanafri
"Kemoterapi dengan cisplatin merupakan modalitas utama pada terapi pada kanker ovarium, walaupun telah diketahui toksisitasnya pada berbagai organ termasuk ginjal. Kurkumin, senyawa fenolik yang diperoleh dari Curcuma longa, diketahui memiliki efek proteksi pada ginjal akibat cisplatin pada berbagai model toksisitas in vivo. Namun, efek kurkumin pada ginjal dibatasi oleh bioavailabilitasnya yang rendah. Kelompok penelitian kami telah berhasil mengembangkan formulasi kurkumin nanopartikel baru yang telah terbukti memperbaiki efikasi cisplatin pada model kanker ovarium. Namun, belum diketahui apakah formulasi kurkumin nanopartikel ini juga dapat memperbaiki fungsi dan kondisi inflamasi pada ginjal yang disebabkan oleh cisplatin.
Metode Sebanyak 24 ekor tikus Wistar betina dibagi menjadi: 6 ekor tikus normal (sham treatment) dan 18 ekor tikus yang diinduksi menjadi kanker ovarium dengan DMBA. Tikus kanker ovarium dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 6 ekor yang menerima cisplatin 4 mg/kgBB/minggu atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu +kurkumin 100 mg/kgBB/hari atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu + nanokurkumin 100 mg/kgBB/hari. Terapi diberikan selama 4 minggu, kemudian dilakukan terminasi dan diambil darah dan organ ginjal untuk analisis penanda fungsi ginjal dan inflamasi.
Hasil Nanokurkumin dapat menurunkan kadar ureum serum signifikan dibandingkan kelompok cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar kreatinin dan sedikit menurunkan kadar neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL). Nanokurkumin tidak berhasil menurunkan kadar penanda inflamasi: TNF-, IL-1β dan IL-6.
Kesimpulan
Nanokurkumin memiliki kecenderungan untuk memperbaiki beberapa penanda fungsi ginjal dalam darah pada model kanker ovarium yang diberikan cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar penanda inflamasi di ginjal.

The effects of nanocurcumin on kidney function and inflammatory
markers in rat model of ovarian cancer treated with cisplatin
Cisplatin remains the main modality of treatment for ovarian cancer, despite its known toxic effects to various organs, including the kidney. Curcumin, a phenolic compound derived from Curcuma longa, was known to have a renoprotective effect on cisplatin- induced in vivo models. However, the beneficial effect of curcumin on the kidney is limited by its low bioavailability. Our research group has successfully developed a novel curcumin nanoparticle formulation that has been shown to improve the efficacy of cisplatin in ovarian cancer models. However, it is not yet known whether this curcumin nanoparticle formulation can also improve kidney function and inflammatory conditions caused by cisplatin in ovarian cancer models.
Method
A total of 24 female Wistar rats were divided into: 6 normal rats (sham treatment) and 18 rats induced to develop ovarian cancer with DMBA. Ovarian cancer rats were divided into 3 groups of 6 each receiving cisplatin 4 mg/kgBW/week or cisplatin 4 mg/kgBW/week + curcumin 100 mg/kgBW/day or cisplatin 4 mg/kgBW/week + nanocurcumin 100 mg/day. kgBB/day. Therapy was given for 4 weeks, then terminated and blood and kidney were taken for analysis of markers of kidney function and inflammation.
Results
Nanocurcumin lowered serum urea levels significantly compared to the cisplatin group. However, nanocurcumin did not alter creatinine levels and slightly reduced serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) concentrations. Nanocurcumin was did not affect the inflammatory markers studied: TNF-, IL-1β and IL-6.
Conclusion
Nanocurcumin has a tendency to improve several markers of kidney function in cisplatin- treated ovarian cancer models. However, the effect was not associated by the alteration of inflammatory cytokines in the kidney.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farrasy Ammar
"Latar Belakang: Cisplatin, agen kemoterapi utama dalam terapi kanker ovarium,
memiliki sifat hepatotoksik karena menginduksi stres oksidatif. Kurkumin dapat
meningkatkan kadar atau aktivitas antioksidan endogen seperti enzim superoksida
dismutase dan glutation. Formulasi nanopartikel kurkumin dapat meningkatkan
bioavailabilitas kurkumin dan distribusinya pada organ target. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh nanokurkumin terhadap hepatotoksisitas
akibat cisplatin melalui regulasi antioksidan endogen SOD dan GSH. Metode: 25
ekor tikus galur Wistar betina dibagi ke dalam 1 kelompok sham dan 4 kelompok
model kanker ovarium yang diinduksi DMBA pada penelitian in-vivo ini. Empat
kelompok tersebut adalah kelompok tanpa terapi, cisplatin 4 mg/KgBB
intraperitoneal, cisplatin dengan kurkumin konvensional 100 mg/KgBB per oral,
atau cisplatin dengan nanopartikel kurkumin dalam kitosan 100 mg/KgBB per oral.
Setelah perlakuan selama 1 bulan, hepar tikus diambil dan disimpan beku.
Pengukuran aktivitas SOD, kadar GSH, dan kadar GSSG dilakukan dengan metode
spektrofotometri. Hasil: Uji statistik pada kadar GSH, GSSG, dan aktivitas SOD
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada kelompok ko-kemoterapi
kurkumin konvensional dibanding monoterapi cisplatin (p<0.05). Tidak ada
perbedaan yang bermakna antarkelompok pada rasio GSH/GSSG (p>0.05) dan
tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kedua kelompok ko-kemoterapi pada
semua variabel (p>0.05). Kesimpulan: Kurkumin konvensional dan nanokurkumin
setara dalam meregulasi antioksidan endogen SOD dan GSH pada tikus model
kanker ovarium yang mendapat cisplatin.

Introduction: As the primary chemotherapeutic agent of choice for ovarian cancer,
cisplatin has hepatotoxic properties via oxidative stress induction. Curcumin can
increase the levels and activities of endogenous antioxidants like superoxide
dismutase enzyme and glutathione. Formulation of curcumin nanoparticles
increases its bioavailability and target organ distribution. This research aims to
elucidate the effects of nanocurcumin on cisplatin-induced hepatotoxicity via
regulation of endogenous antioxidants, SOD and GSH. Method: 25 Wistar female
rats were grouped into 1 sham group and 4 DMBA-induced ovarian cancer model
groups in this in-vivo study. Four cancer model groups were further divided into
no-treatment, 100 mg/KgBW intraperitoneal cisplatin therapy, cisplatin with oral
100 mg/KgBW conventional curcumin, and cisplatin with oral 100 mg/KgBW
curcumin nanoparticle in chitosan group. The liver of the rats were taken and frozen
after one month of treatment. Spectrophotometry was used to measure the activities
of SOD, levels of GSH, and levels of GSSG. Results: Statistic tests on levels of
GSH, GSSG, and activity of SOD showed significant increase in the curcumin cochemotherapy
against cisplatin monotherapy (p<0.05). There was no significant
difference within the groups of GSH/GSSG ratio (p>0.05) and no significant
difference was found between the curcumin co-chemotherapy and nanocurcumin
co-chemotherapy groups in all the variables (p>0.05). Conclusion: Conventional
curcumin and nanocurcumin administration are similar in regulating endogenous
antioxidants SOD and GSH on rats with ovarian cancer model treated with cisplatin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Sawitri
"Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Episode ini umumnya dihubungkan dengan obstruksi yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Hipereaktiviti saluran napas merupakan faktor penting yang mendasari asma bronkial dan untuk mengetahui ada atau tidak hipereaktiviti saluran napas perlu dilakukan uji provokasi bronkus 2 Proses inflamasi menyebabkan peningkatan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala-gejala pernapasan akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi. Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan seperti alergen, infeksi, rangsangan fisis, rangsangan rat kimia, reaksi refleks terhadap udara dingin atau latihan serta akabat refluks gastroesofagus (RGE).
Pada penderita asma dengan RGE, beberapa gangguan pernapasan berhubungan dengan asam lambung. Berbagai penelitian menyatakan RGE berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas, penurunan faal paru dan gejala Minis asma. Hubungan penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan asma dipikirkan oleh William Oster pertama kali pada tahun 1912. William Oster memperkirakan bahwa serangan asma dapat disebabkan oleh iritasi langsung mukosa bronkus atau tidak langsung oleh pengaruh refleks lambung. Bray pada tahun 1934 memperkirakan bahwa distensi lambung pada sore hari dapat meningkatkan refleks vagal dan menyebabkan bronkokonstriksi. Harding dkk menyatakan bahwa asam lambung berhubungan dengan 90% kejadian batuk dan 78% ganguan pernapasan. Mekanisme patofisilogi ini disebut esophageal acid induced bronchoconstriclion. Berbagai data penelitian mendukung hipotesis bahwa RGE menyebabkan asma, dilain pihak asma menyebabkan RGE namun hubungan antara RGE dan asma sampai sekarang belum jelas."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davy Ariany
"Ruang lingkup dan Cara penelitian : Untuk melakukan penelitian eksperimental in vivo mengenai pengaruh serbuk Brucea javanica (SBJ) secara topikal pada proses karsinogenesis kulit mencit C3H akibat pemberian topikal DMBA digunakan 8 kelompok yang terdiri atas 4 kelompok kontrol (A, B, C, D) dan 4 kelompok uji (E, F, G, H). Kelompok E diberikan DMBA. Sedangkan yang lain diberikan SBJ dengan dosis 10 mg, 20 mg dan 40 mg selama 4 minggu lalu pemberian SBJ diikuti dengan pemberian DMBA selama 12 minggu. Kemudian dilihat pengaruh SBJ dengan mengamati jumlah mencit bertumor, jumlah tumor per mencit dan volume tumor. Disamping itu dibuat sediaan histopatologik dengan pewarnaan hematoksilin eosin.
Hasil dan kesimpulan : Jumlah mencit bertumor, jumlah tumor per mencit dan volume tumor kelompok E menunjukkan angka yang lebih kecil dari kelompok F, G dan H. Analisis varian menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,003 dan p=0,000) antara kelompok kontrol dan kelompok uji dalam hal jumlah tumor per mencit dan volume tumor. Hasil pada kelompok F, G dan H tidak tergantung pada besaran dosis SBJ. Secara makroskopik, pada kelompok E, F, G dan H tampak tumor dan bercak kehitaman dengan jumlah dan ukuran bervariasi. Secara mikroskopik, pada kelompok A, C dan D tidak tampak kelainan. Pada kelompok B tampak atrofi ringan pada beberapa tempat. Pada kelompok E, F, G dan H tampak hiperkeratosis, atrofi dan fibrosis disertai gambaran papiloma, keratoakantoma, karsinoma sel skuamosa dan peningkatan pigrnen melanin dermis. Dengan demikian pada penelitian ini, pemberian SBJ secara topikal pada dosis 10 mg, 20 mg dan 40 mg memberikan pengaruh aditif terhadap kerja DMBA dan tidak tergantung pada besaran dosis SBJ dalam proses karsinogenesis kulit mencit C3H akibat pemberian topikal DMBA selama 12 minggu. Di samping itu terjadi peningkatan pigmen melanin di dermis secara berkelompok maupun tersebar tidak teratur.

Scope and method of research : In vivo experimental about effect of topical application of Brucea javanica powder on skin carcinogenesis process by topical application of DMBA in C3H mice, have been made 8 groups consist of 4 control groups (A, B, C, D) and 4 test groups (E, F, G, H). Group E is exposed to DMBA only, while F, G and H were exposed to SBJ (10 mg, 20 mg and 40 mg) for 4 weeks and then they were exposed to SBJ and DMBA for 12 weeks. Those groups were monitored on SBJ effect by number of mice with tumor, number of tumor on each mice and volume of tumor. Histopathological changes were examined on HE stain.
Result and conclusion : Number of mice with tumor, number of tumor on each mice and volume of tumor in group E gave smaller number than F, G and H. Analysis of variance shows significant discrepancies (p=0,003 and p=0,000) between control groups and test groups in number of tumor and volume of tumor. SBJ dose did not have any effect on F, G and H. Macroscopically, in E, F, G and H tumors and black marks in various number and size were seen. Microscopically, in A, C and D no significant changes on epidermis and dermis, although in B only atrophyc changes of epidermis. In E, F, G and H, non tumor changes such as hyperkeratosis, and atrophic of epidermis and fibrosis of dermis were noted, tumors found varied from papilloma, keratoacanthoma to squamous cell carcinoma as well as deposition of melanin containing cells in dermis. In conclusion, topical application of 10 mg, 20 mg and 40 mg Brucea javanica powder showed additive effect of DMBA on skin carcinogenesis process in C3H mice irrespective of Brucea javanica powder dose. In addition, melanin depositions in dermis were seen.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T21215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulhaji
"Fotoproduksi pion pada nukleon dengan model isobar telah dipelajari dan dikembangkan pada tiga tingkatan level energi. Reaksi yang ditinjau adalah γ + ρ ➙ π0 + ρ. Selanjutnya Amplitudo transisi akan dihitung pada kerangka pusat massa untuk setiap kanal. Perhitungan dimulai dari suku born, suku vektor meson hingga suku resonan P33, P11, dan S11. Pada penelitian ini akan dihitung penampang lintang total dengan energi foton sampai 1 GeV diatas energi ambang. Nilai dari parameter-parameter akan ditentukan melalui proses fitting dan akan dicocokkan dengan data eksperimen.

The pion photoproduction on the nucleon have been studied and developed by using the isobaric model at the tree level. The considered reaction is γ + ρ ➙ π0 + ρ. The transition amplitudes are formulated in the center of mass system and consist of s , t , and u channel as the Born term, vector mesons term, and the resonances term P33, P11, and S11. As observables, we calculate the total and differential cross section at photon energies from threshold up to 1 GeV. The value of the parameters are determined by fitting the calculated observables to the experimental data."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67001
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvina Natalia Setyoso
"Latar belakang: Refluks laringofaring LPR merupakan penyakit komorbid laringomalasia terbanyak, sehingga tata laksana laringomalasia mencakup penanganan LPR. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, hubungan keteraturan berobat, dosis penghambat pompa proton PPI , dan faktor lain yang memengaruhi perbaikan klinis laringomalasia. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis. Subjek penelitian dipilih secara total sampling. Hasil: Total subjek adalah 95 rekam medis. Usia median pasien 3 bulan. Mayoritas pasien adalah lelaki, lahir cukup bulan, berat lahir cukup. Pada awal diagnosis, sebagian besar berstatus gizi baik, tidak gagal tumbuh, mengalami laringomalasia tipe 1, berderajat klinis sedang, skor gejala laringomalasia positif LSS , mengalami gejala refluks, tanpa pipa nasogastrik, tidak teratur berobat, dan mendapat PPI ge;1,0mg/kg/hari. Penyakit penyerta yang terbanyak adalah kelainan neurologi dan yang terjarang adalah penyakit refluks. Pasien yang berobat teratur mengalami perbaikan status gizi p=0,020 , derajat laringomalasia p=0,043 , nilai LSS p=0,002 , gejala refluks.

Background Laryngopharyngeal refluks LPR is laryngomalacia rsquo s most common comorbidity. Laryngomalacia management includes LPR treatment. Aim To describe the characteristics of patients, relationships of compliance, proton pump inhibitor PPI dosage, and other factors that contribute to clinical improvements. Methods Cohort retrospective study based on medical records. Subjects is recruited by total sampling. Results Total subject consists of 95 medical records. Median age is 3 months, majority are boys, born aterm, normal birth weight. Most patients are well nourished, thrive well, experienced type 1 laryngomalacia, moderate degree, positive laryngomalacia symptom score LSS , experienced reflux symptoms, did not require feeding tube, poor compliance to medication, and prescribed PPI ge 1,0mg kg day. The most common recorded comorbidity is neurologic abnormality, while the most infrequent is reflux. Good compliance is related to improvements of nutritional status p 0,020 , degree p 0,043 , LSS p 0,002 , reflux symptom p"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fili Sufangga
"ABSTRAK
Latar belakang: Fundic gland polyp (FGP) merupakan salah satu polip gaster
yang sering ditemukan pada saat endoskopi. Penggunaan proton pump inhibitor
(PPI) jangka panjang dianggap berpengaruh terhadap perkembangan FGP.
Hipergastrinemia/hiperplasia sel G dan hiperplasia sel ECL dapat terjadi pada
penggunaan PPI jangka panjang. Efek trofik dari hiperplasia sel G ini yang
kemudian menyebabkan proliferasi sel parietal hingga berkembang menjadi FGP,
bahkan dapat menyebabkan terjadinya tumor karsinoid pada tikus. Untuk
mengkonfirmasi adanya sel G dilakukan pulasan imunohistokimia gastrin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hiperplasia sel G ditinjau dari
ekspresi gastrin pada mukosa antrum kasus-kasus FGP yang dihubungkan dengan
riwayat penggunaan PPI.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel
terdiri atas 40 kasus FGP yang terbagi menjadi 25 kasus dengan riwayat
penggunaan PPI jangka panjang dan 15 kasus dengan riwayat penggunaan PPI
jangka pendek di RSCM dari tahun 2016-2017. Dilakukan pulasan gastrin untuk
menilai sel G pada mukosa antrum. Kondisi hiperplasia sel G dinilai melalui ekspresi
gastrin apabila terdapat lebih dari 40 sel terpulas positif dalam 10 kelenjar antrum.
Hasil: Didapatkan 13 kasus dengan hiperplasia sel G dan 27 kasus tanpa hiperplasia.
Sebelas dari 13 kasus dengan hiperplasia sel G memiliki riwayat penggunaan PPI jangka
panjang, sedangkan 2 kasus dengan penggunaan PPI jangka pendek. Uji Fisher's exact
menunjukkan perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada penggunaan PPI jangka
panjang dan pendek dengan nilai p<0,05.
Simpulan: Secara statistik terdapat perbedaan bermakna antara hiperplasia sel G pada
FGP dengan riwayat penggunaan PPI jangka panjang dan pendek.

ABSTRACT
Background: Fundic gland polyps is one of gastric polyps often found at
endoscopy. Long-term proton pump inhibitors (PPIs) use is considered to
influence the development of FGP. Hypergastrinemia/G cell hyperplasia and
ECL cell hyperplasia can occur in long-term PPI use. This trophic effect of G cell
hyperplasia causes proliferation of parietal cells that then develop into FGP, and
can even cause carcinoid tumors in mice. To confirm the presence of G cells, we
can use gastrin immunohistochemistry. This study aims to determine the presence
of G cell hyperplasia based on gastrin expression in mucosa of FGP associated
with a history of PPI use.
Method: This study uses a cross-sectional design. Samples consisted of 40 cases
of FGP which were divided into 25 cases with long-term use of PPI and 15 cases
with short-term use of PPI at RSCM from 2016-2017. We performed gastrin
staining to assess G cells in the antrum mucosa. Hyperplasia of G cells is
considered if there were more than 40 cells with positive staining to gastrin in 10
antrum glands.
Result: There were 13 cases with G cell hyperplasia and 27 cases without
hyperplasia. Eleven of 13 cases with G cell hyperplasia had a history of long-term
PPI use, while 2 cases with short-term PPI use. The Fisher's exact test showed a
significant difference between G cell hyperplasia in the use of short and long-term
PPIs with p value <0.05.
Conclusion: Statistically there are significant difference between G cell
hyperplasia in FGP with a history of long and short term PPI use."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>