Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158616 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifka Maulidya
"Austenit sisa bersifat metastabil pada suhu ruang sehingga dapat bertransformasi menjadi martensit sehingga menyebabkan delayed crack, yang terjadi setelah beberapa lama proses produksi, pada bucket tooth excavator dengan material baja HSLA. Penelitian ini berfokus pada proses perlakuan panas yang dilakukan, yaitu pada tahapan austenisasi. Austenisasi dilakukan pada temperature 926°C dengan variable waktu tahan 28 menit, 43 menit, 58 menit, dan 73 menit. Sampel pengujian awalnya berupa keel block hasil normalisasi temper, yang kemudian dipotong menjadi balok dengan dimensi 4x1x4 cm. Karakterisasi dilakukan pada sampel as-QTT dan setelah ditempering, dimulai dari pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optic dan Scanning Electron Microscope (SEM), serta pengujian kekerasan mikro (microvickers) dan kekerasan makro (Rockwell C). Setelah diamati, diperoleh bahwa sampel baja as-QTT memiliki struktur mikro yang didominasi oleh tempered martensit, namun ditemukan juga keberadaan lower bainite dan sejumlah kecil austenite sisa. Semua variabel temperatur tempering menghasilkan bentuk struktur mikro yang sama, namun memiliki presentase austenite sisa yang berbeda-beda. Seiring bertambahnya waktu tahan austenisasi, ukuran butir dan martensite menjadi semakin kasar. Kekerasan baja mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu austenisasi yaitu dari 486 HV menjadi 522 HV pada waktu tahan 58 menit, lalu menurun menjadi 450 pada waktu tahan 73 menit.

ABSTRACT
Retained Austenite is metastable at room temperature so that it can be transformed into martensite, causing delayed cracks, which occur after a long time of the production process, on bucket tooth excavators with HSLA steel material. This research focus on the heat treatment process carried out, especially in the austenitizing stage. Austenitizing was carried out at a temperature of 926°C with a variable holding time of 28 minutes, 43 minutes, 58 minutes, and 73 minutes. Initially the test sample was a tempered normalized keel block, which was then cut into blocks with dimensions of 4x1x4 cm. Characterization is carried out on as-QTT samples and after tempering, starting from observing microstructure using optical microscopy and Scanning Electron Microscope (SEM), as well as testing micro hardness (microvickers) and macro hardness (Rockwell C). After observing, it was found that the as-QTT steel sample had a micro structure dominated by tempered martensite, but the presence of lower bainite and a small amount of remaining austenite was also found. All tempering temperature variables produce the same microstructure, but have different residual austenite percentages. As the austenisation holding time increases, grain size and martensite become increasingly coarse. The hardness of steel has increased with increasing austenisation time from 486 HV to 522 HV at 58 minutes holding time, then decreased to 450 at 73 minutes holding time.
"
2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dino Adipradana Darwanto Haroen
"

High-strength low alloy steel atau biasa disebut baja HSLA merupakan material yang digunakan untuk komponen excavator bucket tooth pada industri alat berat. Komponen ini diproduksi di Indonesia tanpa adanya kegagalan pada produk, namun ketika diekspor ke luar negeri, produk mengalami retak yang diindikasikan sebagai delayed crack. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa delayed crack ini terjadi akibat hadirnya austenit sisa yang merupakan fasa metastabil dan dapat bertransformasi secara isotermal menjadi fasa lain serta menghasilkan tegangan sisa sehingga berujung pada inisiasi retak. Penelitian ini memfokuskan pada metode untuk mengurangi jumlah austenit sisa dengan memvariasikan waktu tempering pada perlakuan double tempering (QTT). Namun, nilai kekerasan akhir juga dipertimbangkan pada penelitian ini agar sesuai pada standar komponen industri alat berat. Temperatur tempering yang digunakan adalah 205°C dan waktu tempering yang digunakan adalah 68 menit x 2 (t1), 81 menit x 2 (t2), 94 menit x 2 (t3), dan 107 menit x 2 (t4). Perlakuan tempering dapat secara efektif menurunkan jumlah austenit sisa karena ketika tempering austenit sisa akan terdekomposisi menjadi fasa lain. Selama perlakuan tempering juga, martensit akan terdekomposisi menjadi tempered martensite sehingga kehilangan sebagian atom karbonnya (loss of tetragonality) dan menjadi lebih lunak. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah OM, SEM, Image-J (image analyzer), microvickers (kekerasan mikro), dan Rockwell C (kekerasan makro). Setelah dianalisis, penelitian ini mendapatkan hasil mikrostruktur berupa martensit (fresh martensite & tempered martensite), bainit (lower bainite), dan austenit sisa. Ditemukan pula karbida transisi pada bilah-bilah martensit. Ukuran fasa martensit (panjang bilah/jarum) tidak mengalami perubahan yang signifikan (cenderung seragam) seiring peningkatan waktu tempering. Peningkatan waktu tempering memengaruhi jumlah austenit sisa yang mengalami penurunan dan jumlah tempered martensite meningkat. Jumlah austenit sisa seiring peningkatan variabel waktu tempering mengalami penurunan dari 2.88%, 1.93%, 1.15%, dan 0.65%. Sementara itu, nilai kekerasan yang dihasilkan seiring meningkatnya waktu tempering adalah 49.43 HRC, 48.21 HRC, 47.78 HRC, dan 46.93 HRC dimana nilai kekerasan mengalami penurunan yang tidak signifikan. Maka, peningkatan waktu tempering dari 68 menit x 2 (t1), 81 menit x 2 (t2), 94 menit x 2 (t3), hingga 107 menit x 2 (t4) akan menurunkan potensi terjadinya delayed crack karena jumlah austenit sisa dapat berkurang, namun tetap memiliki nilai kekerasan yang baik.


The high-strength low alloy steel or commonly called HSLA steel is a material used for bucket tooth excavator components in the heavy equipment industry. This component was produced in Indonesia without product failure, but when exported abroad, the product experienced cracks which was indicated as delayed crack. Previous studies have suggested that this delayed crack occurred due to the presence of retained austenite which is a metastable phase and can be transformed isothermally into another phase and produces residual stress resulting in crack initiation. This study focuses on methods to reduce the amount of retained austenite by varying the tempering time in the double tempering (as-QTT) treatment. However, the final hardness value was also considered in this study to fit the heavy equipment industry component standard. The tempering temperature was 205°C and the tempering time was 68 minutes x 2 (t1), 81 minutes x 2 (t2), 94 minutes x 2 (t3), and 107 minutes x 2 (t4). The tempering treatment can effectively reduce the amount of residual austenite because when tempering the retained austenite will decompose into another phase. During tempering too, martensite will decompose into tempered martensite so that it loses some of its carbon atoms (loss of tetragonality) and becomes softer. The characterizations carried out in this study are OM, SEM, Image-J (image analyzer), microvickers (micro hardness), and Rockwell C (macro hardness). After being analyzed, this study obtained the results of microstructure in the form of martensite (fresh martensite & tempered martensite), bainite (lower bainite), and retained austenite. Also found transition carbides on martensite laths. The size of the martensitic phase (length of the lath/needle) does not change significantly (tends to be uniform) with increasing tempering time. An increase in tempering time affects the amount of retained austenite that has decreased and the amount of tempered martensite increases. The amount of retained austenite with increasing tempering time variables decreased from 2.88%, 1.93%, 1.15%, to 0.65%. Meanwhile, the value of hardness produced with increasing tempering time was 49.43 HRC, 48.21 HRC, 47.78 HRC, and 46.93 HRC where the value of hardness experienced an insignificant decrease. Thus, increasing the tempering time from 68 minutes x 2 (t1), 81 minutes x 2 (t2), 94 minutes x 2 (t3), until 107 minutes x 2 (t4) will reduce the potential for delayed cracks to occur because the amount of retained austenite can be reduced, but still has a good hardness value.

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Putri Nasaruddin Siradz
"Baja paduan rendah (high strength low alloy steel) atau baja HSLA memiliki aplikasi luas termasuk dalam industri alat berat untuk komponen bucket tooth pada excavator. Bucket tooth dikirim ke konsumen dalam keadaan tanpa cacat namun saat diterima, produk mengalami retak yang diindikasikan sebagai delay crack. Delay crack diduga terjadi akibat terjadinya transformasi isotermal pada austenit sisa yang bersifat metastabil sehingga menghasilkan tegangan sisa dan terjadi inisiasi retak selama masa pengiriman. Penelitian ini berfokus pada proses perlakuan panas yang dilakukan, khususnya pada tahap austenisasi. Austenisasi dilakukan selama 28 menit dengan variabel temperatur 850oC, 870oC, 900oC, dan 926oC. Karakterisasi yang dilakukan yaitu metalografi, pengujian kekerasan mikro dan makro, serta pengujian kuantitatif fasa austenit sisa menggunakan program image analyzer. Mikrostruktur yang dihasilkan berupa tempered martensite. Nilai kekerasan baja naik dengan meningkatnya temperatur austenisasi sampai temperatur 900oC kemudian turun pada 926oC. Jumlah austenit sisa menurun dengan naiknya temperatur austenisasi sampai temperatur 900oC kemudian naik pada temperatur 926oC. Temperatur austenisasi paling optimal dengan nilai kekerasan tertinggi dan persentase jumlah austenit sisa terendah pada 900oC. Jika jumlah austenit sisa rendah, maka kemungkinan terjadi transformasi isotermal pada temperatur ruang dari austenite sisa menjadi fasa lain juga menjadi lebih sedikit sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya delay crack.

High strength low alloy steel has a wide application range, including the heavy equipment industry as material for bucket tooth of excavator. Bucket tooth was shipped to a consumer without any defects but when received, the product has a crack which was indicated as delayed crack. Delayed crack was suspected to happen because the retained austenite experienced isothermal transformation resulting in residual stress and crack initiation during the shipping period. This research focuses on the austenitizing stage of heat treatment process. Austenitizing was carried out for 28 minutes on 850oC, 870oC, 900oC and 926oC. The characterization conducted was metallogaphy, micro and macro hardness testing and retained austenite phase quantification using an image analyzer. The microstructure produced was tempered martensite. The hardness of steel increased with the rise of austenitizing temperature until 900oC, then it decreased at 926oC. The retained austenite amount of steel decreased with the rise of austenitizing temperature until 900oC, then it increased at 926oC. The optimum austenitizing temperature is at 900oC. With low amount of retained austenite, the possibility of isothermal transformation in room temperature of the retained austenite to other phases becomes less so it reduces the likelihood of delayed crack."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
I Wayan Sujana
"Didalam tesis ini, laku panas feritik nitrokarburisasi dengan reaktor fluidised bed telah dilakukan pada temperatur 570 °C dengan menggunakan campuran gas yang mengandung LPG dan C02, serta menghasilkan lapisan kompon Fe23 (N,C) dan Fe4 (N,C) dengan ketebalan 3,03 - 39,26 p.m.
Pengaruh parameter proses yaitu komposisi gas dan waktu proses diteliti pengaruhnya terhadap karakteristik lapisan kompon yang terbentuk pada baja karbon AISI 1040 dan baja paduan AISI 4140. Hasil penelitian menunjukan variasi komposisi gas yang mengandung LPG menghasilkan ketebalan yang lebih rendah dibandingkan variasi gas yang mengandung CO2. Disamping itu zona difusi yang terbentuk pada atmosfir yang mengandung CO2 lebih besar dibandingkan dengan yang mengandung LPG.
Komposisi substrat mempengaruhi karakteristik lapisan yang terbentuk yaitu, baja AISI 4140 memberikan ketebalan lapisan yang lebih rendah dibandingkan baja AISI I040. Kesetabilan fasa c lebih baik pada atmosfir yang mengandung LPG, juga pada permukaan substrat baja AISI 4140.
Porositas dan sementit dapat terbentuk bila waktu nitrokarburisasi diperpanjang sampai 5 jam. Terbentuknya sementit pada baja AISI 4140 merendahkan ketebalan lapisan dan ini tidak terjadi pada baja AISI 1040. Hasil penelitian juga mengkonfirmasikan ketahanan aus meningkat akibat terbentuknya lapisan kompon baik pada baja AISI 1040 maupun pada baja AISI 4140. Tetapi dengan terbentuknya sementit dan porositas pada lapisan kompon, menurunkan sifat mekanisnya, sehingga kekerasan permukaan lapisan kompon dan ketahanan ausnya menurun.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa parameter proses yang paling sesuai untuk baja AISI 1040 dan baja AISI 4140 adalah dengan menggunakan komposisi gas 50% NH3, 49% N2 dan 1% LPG atau 50% NH3, 47% N2 dan 3% C02, dengan waktu roses 4."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Pahlevi
"Penggunaan material baja cetakan (die steels) terutama dalam pembuatan komponen-komponen peralatan dalam industri manufaktur. Cetakan berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk membuat benda/komponen dengan bentuk dan bahan tertentu yang sesuai dengan profit cetakannya. Saat ini kehanyakan produk yang ada masih merupakan barang yang didatangkan dari luar negeri (impor). Oleh karena itu penelitian ini akan menekankan pada pengembangan dan fabrikasi baja cetakan untuk keperluan industri manufaktur melalui proses pengecoran (foundry route). Material cetakan yang digunakan sebagai acuan adalah baja SKD 61(AISI H 13) yang umum dipakai proses die casting dan baja Stavac (AISI 420 modification) yang hiasa dipakai sebagai cetakan pada plastic injection.
Penelitian ini melputi perencanaan dan pembuatan bakalan cetakan dengan proses pengecoran yang meliputi perencanaan peleburan dan pengecoran (melting and casting design) yang meliputi pembuatan pola (pattern), pembuatan cetakan pasir dan penentuan material balance. Selain itu akan dilihat pengaruh perlakuan panas terhadap kekerasan, ketangguhan dan struktur mikro yang terbentuk. Perlakuan panas yang diberikan berupa annealing pada suhu 770° C untuk Stavac dan 850° C untuk SKD 61 yang dilanjutkan proses auslenisusi pada suhu 1010° C yang didahului preheat 650° C untuk kedua feats bakalan cetakan dengan menggunakan media udara untuk pendinginan. Proses selanjutnya berupa tempering pada suhu 200, 300, 500, 550, dan 600° C. Masing-masing proses menggzrnakan waktu tahan selama 1jam, kecuali pada preheat proses austenisasi selama 30 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan yang dihasilkan bakalan cetakan Stavac relatif sama dengan produk impor. Kekerasan tertinggi terjadi pada temper 550° C. Pada SKD 61 kekerasannya relat f lebih rendah yang disebabkan kadar karbon yang dihasilkan lebih rendah dan target. Kekerasan tertinggi untuk SKI) 61 terjadi pada temper 500° C. Ketangguhan kedua jenis bakalan cetakan melalui foundry route relatif lebih rendah dart produk impor yang disebabkan perbedaan poses pembuatan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
T5564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Ichwanul Muslimin Alfattah
"Penelitian ini didasari oleh terjadinya fenomena crack pada komponen bucket tooth, yang yang menggunakan material baja HSLA, setelah 1 bulan diproduksi, yang disebut dengan delayed crack. Penelitian ini akan berfokus terhadap proses perlakuan panas, khususnya tempering setelah normalisasi. Tempering dilakukan selama 1 jam dengan variabel temperatur tempering pada temperatur 527, 577, 627, dan 677°C. Sampel pengujian awalnya berupa keel block hasil normalisasi, yang kemudian dipotong menjadi balok dengan dimensi 4 x 1 x 4 cm. Karakterisasi dilakukan pada sampel as-normalize dan setelah ditempering, dimulai dari pengamatan struktur mikro menggunakan mikroskop optik, Scanning Electron Microscope (SEM), dan pengujian kekerasan mikro dan makro. Didapatkan bahwa tempering setelah normalisasi tidak hanya menghomogenisasi struktur mikro, tetapi juga mentransformasi fasa dari upper bainite menjadi granular bainite. Semua variabel temperatur tempering menghasilkan bentuk struktur mikro yang sama, berupa granular bainite. Seiring meningkatnya temperatur tempering setelah normalisasi, struktur mikro akan semakin membulat, ketajamannya akan semakin berkurang, kekerasan makro akan menurun dari 389 HVN menjadi 257 HVN, dan kekerasan mikro akan menurun dari 371 HVN menjadi 247 HVN.

This study is based on the occurrence of a phenomenon of crack on a bucket tooth component that used HSLA steel as a material after 1 month being produced, which is called delayed crack. This study will be focusing on its heat treatment process, especially tempering after normalizing. Tempering was carried out for 1 hour with variable tempering temperatures at 527, 577, 627, and 677°C. Initially, the sample was a normalized keel block, which was then cut into blocks with dimensions of 4 x 1 x 4 cm. Characterization was carried out on as normalize and after tempering samples, such as observing microstructure using Optical Microscopy (OM), Scanning Electron Microscope (SEM), microhardness and macro hardness testing. It was found that tempering after normalizing not only homogenized the microstructure, but also transformed the phase from upper bainite to granular bainite. All tempering temperature variables produced the same microstructure, that is granular bainite. As the tempering temperature after normalizing increases, the microstructure will be increasingly rounded, the sharpness will be decreased, macro hardness decreased from 389 HVN to 257 HVN, and microhardness decreased from 371 HVN to 247 HVN."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adani Khairina Hakimah
"

Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan mikrostruktur, ukuran butir austenit awal, dan kekerasan di bawah pengaruh proses normalisasi dengan variasi waktu tahan pada baja HSLA hasil coran sebagai upaya pencegahan delayed crack akibat transformasi fasa untuk aplikasi bucket tooth. Normalisasi dilakukan pada suhu 970oC dengan waktu tahan selama 45 menit, 60 menit, 75 menit, dan 90 menit dan laju pemanasan 10oC/menit. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa mikrostruktur yang dihasilkan berupa bainit pada matriks bainit atau daerah gelap serta struktur martensit dan martensit-austenit sisa pada daerah gelap atau transformation zone. Semakin bertambahnya waktu tahan maka akan dihasilkan ukuran butir yang semakin besar namun diikuti oleh semakin tingginya nilai kekerasan sebab ada penghalusan butir secara intragranular serta semakin besarnya persentase area transformation zone. Waktu tahan selama 45 menit, 60 menit, 75 menit, 90 menit secara berturut-turut menghasilkan ukuran butir 5.06 mm, 5.14 mm, 5.08 mm, 5.20 mm dan nilai kekerasan sebesar 355 VHN, 369 VHN, 376 VHN, dan 385 VHN. Serta didapatkan pula kenaikan persentase area transformation zone dengan nilai 8.27%, 10.222%, 10.787%, dan 11.7%.

 


This research investigated microstructures, prior austenite grain sizes, and hardness under the influence of normalizing process with various holding time parameters on high strength low alloy (HSLA) steel castings for bucket tooth excavator application in order to prevent delayed crack due to phase transformation. Normalizing process was carried out at 970oC with holding time of 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes, and 90 minutes by heating rate of 10oC /min. The result of this research shows that the obtained microstructures consisted of bainite in bainite matrix also retained austenite and martensite-retained austenite was found in transformation zone structures. Increasing holding time produced larger grain size but followed by the higher value of hardness due to larger percentage area of transformation zone and also intergranular nucleation which caused grain refinement. The holding time of 45 minutes, 60 minutes, 75 minutes, 90 minutes respectively produced grain sizes of 5.06 mm, 5.14 mm, 5.08 mm, 5.20 mm and hardness values of 355 VHN, 369 VHN, 376 VHN, and 385 VHN. Transformation zone also increased by values of 8.27%, 10.222%, 10.787%, and 11.7%.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finia Nur Chaerunisa
"Baja High Strength Low Alloy digunakan sebagai material bucket tooth pada excavator. Perlakuan panas dilakukan pada baja HSLA mulai dari hasil pengecoran, yaitu normalisasi, pre-tempering, austenisasi, dan double quenching. Penelitian sebelumnya menemukan adanya austenit sisa pada komponen bucket tooth yang menyebabkan delay crack akibat austenit sisa yang bertransformasi dan menimbulkan tegangan sisa. Struktur mikro yang seragam diperlukan agar material lebih responsif terhadap perlakuan panas selanjutnya. Penelitian ini berfokus pada optimalisasi temperatur normalisasi sebelum pengerasan dan meneliti pengaruhnya terhadap struktur mikro dan sifat mekanis baja HSLA, yaitu normalisasi pada temperatur 910oC, 940oC, 970oC, dan 1000oC. Struktur mikro baja HSLA hasil cor terdiri dari matriks granular bainit yang dendritik dan adanya area transformation zone yang memiliki kekerasan mikro lebih tinggi dibanding matriks. Ketika dinormalisasi pada berbagai temperatur, dihasilkan matriks carbide free upper bainit dengan pola yang masih dendritik dan masih terdapat transformation zone (lower bainite dan martensite dan/atau retained austenite). Namun, normalisasi 1000oC, struktur dendritik tidak ditemukan pada permukaan sampel. Penggunaan etsa Vilella’s reagent, ditemukan pada sampel hasil cor memiliki ukuran butir yang besar. Meningkatnya temperatur normalisasi menyebabkan peningkatan ukuran butir. Namun pada temperartur 970oC, pengamatan dengan SEM ditemukan adanya nukleasi butir secara intra-granular yang ditandai ditemukannya butir-butir yang lebih halus. Presentase area transformation zone pada baja HSLA hasil cor sebesar 7,786%, kemudian meningkat seiring meingkatnya temperatur normalisasi, secara bertutut-turut menjadi 8.043%, 10.012%, 10.222%, dan 11.295%. Nilai kekerasan makro untuk sampel hasil cor sebesar 356,05 HV dan meningkat seiring meningkatnya temperatur normalisasi, yaitu secara berturut turut menjadi 361,90 HV; 366,47 HV; 377,18 HV; 382,00 HV. Kekuatan tarik sampel as-cast 1172,31 MPa, kemudian meningkat seiring meningkatnya temperatur normalisasi, berutut-turut menjadi 1190,93 MPa; 1205,74 MPa; 1238,55 MPa; dan 1253,35 MPa. Meningkatnya temperatur normalisasi menyebabkan peningkatan kekerasan dan kekuatan tarik, walaupun tidak signifikan. Tegangan sisa pada permukaan sampel normalisasi 970oC didominasi tegangan sisa tarik.

High Strength Low Alloy steel is used as bucket tooth material in excavators. The heat treatment is carried out on as-cast HSLA steel starting from normalization, pre-tempering, austenisation, and double quenching. Previous research found the presence of residual austenite in the bucket tooth component which causes delay cracks due to the residual austenite that transforms and causes residual stress. A uniform microstructure is needed, so that the material is more responsive to subsequent heat treatment. This research focuses on optimizing the normalization temperature before hardening and investigating its effect on the microstructure and mechanical properties of HSLA steels, with normalization at 910oC, 940oC, 970oC, and 1000oC. The microstructure of HSLA steel as-cast consists of a dendritic matrix of granular bainite and transformation zone area with a higher micro hardness than the matrix. When normalized at various temperatures, carbide free upper bainite matrix is ​​produced with a dendritic dendritic pattern and there is still a transformation zone (lower bainite and martensite and/or retained austenite). However, normalizing 1000oC, the dendritic structure was not found on the surface of the sample. A large grain size was found on the cast sample when the Vilella’s reagent etching was used. Increasing the normalization temperature causes an increase in grain size. However, at a temperature of 970oC, observations with SEM found that there was intra-granular nucleation characterized by the discovery of finer grains. The percentage of transformation zone area on HSLA steel produced by casting is 7,786%, then increases with increasing normalization temperature, which are 8,043%, 10,012%, 10,222%, and 11,295% respectively. The macro hardness value for the cast sample was 356,05 HV and increased with increasing normalization temperature, which are 361,90 HV; 366,47 HV; 377,18 HV; and 382,00 HV respectively. The tensile strength of the as-cast sample was 1172,31 MPa, then increasing with increasing normalization temperature to 1190,93 MPa; 1205,74 MPa; 1238,55 MPa; and 1253,35 MPa, respectively. An increase in normalization temperatures cause an increase in hardness and tensile strength, although not significant. Residual stress on the surface of the 970oC normalized sample is dominated by tensile residual stress."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Herfanola Hermawan
"Tool Steel merupakan jenis baja paduan khusus yang digunakan sebagai perkakas dimana aplikasinya untuk memotong dan membentuk material lain menggunakan baja perkakas maka dibutuhkan sifat mekanik yang baik. Fasa austenit sisa memiliki sifat yang lunak dan tidak stabil yang dapat merubah sifat mekanik dari baja perkakas sehingga austenit sisa dalam jumlah yang banyak cenderung menurunkan sifat mekanik dari baja perkakas. Penelitian ini menggunakan AISI O1 tool steel yang merupakan salah satu jenis cold work tool steel dengan variasi temperatur austenisasi yaitu 750, 800, 850, 900, dan 950oC. Penelitian ini difokuskan untuk menentukan temperatur austenisasi yang paling optimal dimana jumlah austenit sisa paling ideal pada material baja AISI O1 dengan tetap mempertahankan kekerasan dari material baja AISI O1 sesuai aplikasi yang diinginkan. Metode karakterisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Optical Microscope dengan software image-J, dan uji kekerasan Brinell dan Vickers. Fasa yang terkandung pada mikrostruktur secara umum adalah martensit berbentuk jarum, bainite island, austenit sisa, dan fasa karbida yang jumlahnya sangat sedikit. Meningkatnya temperatur austenisasi menyebabkan jumlah karbida yang terlarut semakin banyak, jumlah austenit sisa semakin banyak pada sampel As Quench (γr 1,57% - 7,46%) maupun sampel As Temper (γr 1,23% - 5,66%). dan fasa martensit menjadi lebih kasar. Meningkatnya temperatur austenisasi menyebabkan peningkatan nilai kekerasan sampel As Quench maupun sampel As Temper pada temperatur 750oC - 800oC dan menurunnya nilai kekerasan pada temperatur 800oC – 950oC yang disebabkan faktor kandungan karbon dan paduan pada matriks, jumlah austenit sisa, dan besar butir. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara sampel As Quench dengan sampel As Temper terhadap mikrostruktur, jumlah austenit sisa, dan nilai kekerasan. Temperatur austenisasi paling ideal terdapat pada variabel 800oC dimana sampel as Quench dan As Temper berturut – turut memiliki nilai 4,62% dan 3,84% dengan nilai kekerasan sebesar 756,6 HB dan 685,52 HB.

Tool Steel is a special type of alloy steel used as a tool where the application to cut and form other materials. Tool steel required good mechanical properties. Retained austenite has soft and unstable properties that can change the mechanical properties of tool steel so that a large amount of retained austenite tends to lower the mechanical properties of tool steel. This study uses AISI O1 tool steel which is a type of cold work tool steel with austenitizing temperature variations of 750, 800, 850, 900, and 950oC. This research is focused on determining the most optimal austenitizing temperature where the most ideal amount of retained austenite in AISI O1 while maintaining the hardness of the AISI O1 according to the desired application. The characterizations carried out in this study are Optical Microscope with software Image-J, Brinell hardness test, and Vickers hardness test. The phases contained in the microstructure, in general, are needle-shaped martensite, bainite island, retained austenite, and a very small carbide phase. Increased austenitizing temperatures cause the number of dissolved carbides to increase, the number of retained austenite is increasing in the As Quench sample (γr 1.57% - 7.46%) as well as the As Temper sample (γr 1.23% - 5.66%), and the martensite phase becomes coarser. Increased austenitizing temperatures led to an increase in the hardness value of As Quench and As Temper samples at 750oC - 800oC and decreased hardness values at 800oC – 950oC due to the effect of carbon and alloy content in the matrix, the amount of retained austenite, and grain size. There was no significant influence between the As Quench sample and the As Temper sample on the microstructure, the amount of retained austenite, and the hardness value. The most optimal austenitizing temperature is found in the variable 800oC where the sample as Quench and As Temper respectively have a value of 4,62% and 3,84% with a hardness value of 756,6 HB and 685,52 HB."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>