Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106095 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrizal Hariady
"Latar belakang: Kecemasan seringkali dijumpai pada pasien yang hendak menjalani suatu prosedur operasi, termasuk brakiterapi. Agen farmakologi anti ansietas saat ini merupakan pilihan untuk mengurangi kecemasan pasien. Obat memiliki potensi efek samping seperti depresi napas dan interaksi dengan agen anestesi sehingga dapat memperlama durasi perawatan di rumah sakit. Penggunaan terapi non farmakologi dengan terapi farmakologi dianggap memiliki efektivitas yang setara. Salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi kecemasan pasien adalah terapi musik. Musik dapat mempengaruhi kondisi hemodinamik pasien. Musik juga mempengaruhi aspek psikologis pasien, termasuk modifikasi mood dan emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi musik dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi mengingat terapi musik adalah terapi non farmakologi yang mudah dan murah serta tidak memiliki potensi efek samping.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk menilai efektivitas terapi musik dibandingkan midazolam dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi dengan anestesia spinal. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 60 subyek diambil dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subyek yang mendapatkan perlakuan dengan mendapatkan suntikan obat intravena midazolam 0,02 mg/kgbb dan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan didengarkan terapi musik. Dilakukan penilaian parameter hemodinamik serta kuisioner APAIS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Uji Chi-square dan Mann-Whitney dilakukan untuk menganalisis data.
Hasil: Pemberian terapi musik memberikan manfaat yang sama baik dengan suntikan midazolam intravena dalam mengurangi kececemasan prabedah. Tidak didapatkan adanya perbedaan skor APAIS maupun parameter hemodinamik antar kedua kelompok sebelum dimulainya perlakuan p> 0,05 . Tidak dijumpai perbedaan antara nilai skor APAIS maupun parameter hemodinamik pascaintervensi pada kedua kelompok p0,05.
Simpulan: Terapi musik sama efektifnya dengan midazolam 0,02 mg/kgbb intravena dalam mengurangi kecemasan prabedah dan perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani brakiterapi dengan anestesia spinal.

Anxiety is often seen in patients who want to undergo a surgical procedure, including brachytherapy. Antimicrobial pharmacology agents are currently an option to reduce patient anxiety. Drugs have potential side effects such as respiratory depression and interactions with anesthetic agents so as to prolong the duration of hospitalization. The use of nonpharmacologic therapy with pharmacological therapy is considered to have equal effectiveness. One of the non pharmacological therapy to reduce patient anxiety is music therapy. Music can affect the patient's hemodynamic condition. Music also affects the patient's psychological aspects, including mood and emotion modification. This study aims to determine the effectiveness of music therapy in reducing anxiety before brachytherapy procedures considering music therapy is a non pharmacological therapy that is easy and cheap and has no potential side effects.
Methods: This was a single blinded randomized clinical trial to assess the effectiveness of music therapy compared with midazolam in reducing anxiety before brachytherapy procedures with spinal anesthesia. After obtaining the permit of the ethics committee and the informed consent of 60 subjects taken with consecutive sampling, subjects were randomized into two groups of subjects treated with intravenous injection of midazolam 0,02 mg kg body weight and the subjects treated with music therapy. Assessed hemodynamic parameters and APAIS questionnaires were performed before treatment and after treatment. Chi square and Mann Whitney tests were performed to analyze the data.
Results: The administration of music therapy provides the same benefits as intravenous midazolam injection in reducing anxiety before surgery. There was no difference in APAIS score nor hemodynamic parameters between the two groups before the start of intervention p 0.05 . There was no difference between APAIS score score and post intervene hemodynamic parameters in both groups p 0.05.
Conclusion: Music therapy is as effective as midazolam 0.02 mg kg body weight intravenously in reducing anxiety before surgery and haemodynamic changes in patients undergoing brachytherapy with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Darmawan
"Latar belakang: Laringoskopi dan intubasi endotrakeal adalah prosedur untuk memfasilitasi pengelolaan jalan nafas dan ventilasi pada anestesi umum. Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan variabel hemodinamik akibat respon saraf simpatis. Fentanyl merupakan agonis opioid dengan onset cepat dan durasi pendek yang dapat menekan respon saraf simpatis. Oxycodone menjadi agonis opioid kuat dengan potensi mirip morfin dan onset mirip fentanyl. Laporan penggunaan oxycodone dalam menekan tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada pasien yang menjalani anestesi umum di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilaporkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda pada 64 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi blok; Grup A 32 pasien dan grup B 32 pasien. Sebelum induksi anestesi, Grup A diberikan fentanyl 2 µg/kg dan Grup B diberikan oxycodone 0,2 mg/kg. Penilaian hemodinamik menggunakan variabel sistolik, diastolik, MAP, dan denyut jantung pada saat sebelum diberikan premedikasi, sesaat sesudah diberikan premedikasi, dan setelah dilakukan laringoskopi dan intubasi. Variabel hemodinamik ini dicatat dan dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Pada variabel denyut jantung menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dengan nilai P < 0,05. Pada variabel sistolik, diastolik dan MAP menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dimana nilai P > 0,05.
Simpulan: Terdapat perbedaan efektivitas oxycodone dibandingkan fentanyl dalam mengurangi tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum berupa denyut jantung, namun tidak dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan MAP.

Background: Laryngoscopy and endotracheal intubation are procedures to facilitate the management of airway and ventilation in general anesthesia. These procedures can cause changes in the hemodynamic variables due to the sympathetic nerve response. Fentanyl is an opioid agonist with rapid onset and short duration that can suppress sympathetic nerve responses. Oxycodone becomes a strong opioid agonist with morphine-like potential and fentanyl-like onset. Reports of the use of oxycodone in suppressing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation in patients undergoing general anesthesia in Indonesia have not been reported so far.
Method: This study used a double blind randomized clinical trial method in 64 patients who underwent surgery under general anesthesia using endotracheal tubes. Patients were divided into two groups with block randomization; Group A 32 patients and group B 32 patients. Before induction of anesthesia, Group A was given fentanyl 2 µg/kg and Group B was given oxycodone 0.2 mg/kg. Hemodynamic assessment uses the systolic, diastolic, MAP, and heart rate variables before premedication, shortly after premedication, and after laryngoscopy and intubation. These hemodynamic variables were recorded and analyzed using an unpaired T test.
Results: The heart rate variable showed a significant difference between fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P < 0.05. In the systolic, diastolic and MAP variables showed no significant difference between the fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P > 0.05.
Conclusion: There is a difference in the effectiveness of oxycodone compared to fentanyl in reducing hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation under general anesthesia in the form of heart rate, but not in terms of systolic blood pressure, diastolic blood pressure and MAP."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2019
T58833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghazi Agustanzil
"Latar belakang. Laparaskopi adalah tindakan invasif minimal yang walaupun diketahui tidak menyebabkan nyeri, namun masih dapat menyebabkan derajat nyeri sedang – berat pada periode awal pasca operasi. Magnesium sulfat (MgSO4) memiliki efek analgetik yang dapat mengurangi kebutuhan opioid dan mengurangi derajat nyeri pasca operasi. Namun penggunaan MgSO4 untuk manajemen nyeri belum umum digunakan karena kurangnya data mengenai dosis yang aman untuk menghasilkan efek analgesia yang adekuat, serta keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian MgSO4 dalam menurunkan kebutuhan opioid intraoperatif serta derajat nyeri 24 jam pascaoperasi. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 pasien berusia 18-65 tahun yang menjalani operasi laparaskopi dalam anestesia umum. Pada kelompok perlakuan diberikan 50 mg/kgBB MgSO4 intravena 15 menit praoperasi dan dilanjutkan dosis rumatan 10 mg/kgBB/jam selama periode operasi. Kelompok kontrol dilakukan pemberian placebo menggunakan NaCl 0.9%. Hasil. Pada kelompok perlakuan maupun kontrol, tidak terdapat perbedaan bermakna dalam konsumsi opioid intraoperatif, dan pada derajat nyeri pascaoperasi. Keterbatasan pada penelitian ini antara lain adanya perbedaan durasi operasi yang cukup beragam dan perbedaan jenis operasi yang dapat merupakan faktor signifikan pada derajat nyeri pada populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Simpulan. Pemberian MgSO4 pada operasi laparaskopi tidak menurunkan jumlah konsumsi opioid intraoperatif maupun derajat nyeri pascaoperasi. Walaupun manfaat MgSO4 sangat bervariasi tergantung jenis operasi.

Background. Laparascopy is a minimally invasive procedure that is known to produce minimal to no pain, however previous findings have shown that a moderate to severe pain is found during the early hours postoperatively. Magnesium sulphate (MgSO4) has an analgetic effect that may reduce opioid consumption and postoperative pain. However, usage of MgSO4 for pain management has not yet been applied to everyday practice due to the lack of data regarding the dosage to produce adequate analgetic effect, and its safety. This research is to understand the effect of MgSO4 to reduce intraoperative opioid consumption and 24 hours postoperative pain. Methods. This is a double blinded randomized clinical trial involving 50 patients aged 18-65 undergoing laparscopic surgery under general anesthesia. Treatment group is given a 50 mg/kgBB intravenous MgSO4 15 minutes preoperatively, followed by a maintenance dose of 10mg/kgBB/hour through the surgery. Control group is given a placebo using an NaCl 0.9%. Results. Findings have shown that there was no significant difference of intraoperative opioid consumption nor postoperartive pain within the treatment group and control group. Limitations of the study includes the variety of surgery duration and different types of surgery that is a significant factor in pain intensity. Conclusion. Application of MgSO4 did not cause reduction of intraoperative opioid consumption nor the postoperative pain. However, MgSO4 may be beneficial depending on the type of surgery in which it is applied to. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
"Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi.
Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi.
Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.

Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation.
Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation.
Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation
Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Anggi Sinantara
"Latar Belakang. Pemantauan respon keadaan nosiseptif dengan objektif melalui metode non-klinis masih dalam keadaan pengujian dan pengembangan, tanpa metode yang terdokumentasi dan terbukti baik untuk penggunaan sehari-hari secara klinis. Pemantauan terhadap nosiseptif hingga saat ini lebih banyak berdasarkan status hemodinamik pasien yang dinilai dari laju nadi dan tekanan darah. qNOX telah membuktikan korelasi dengan tanda-tanda klinis dari nosiseptif dan/atau antinosiseptif yang tidak memadai, seperti gerakan selama insersi LMA, laringoskopi dan intubasi trakea Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea.
Metode. Penelitian merupakan penelitian reliabilitas dan diagnostik yang menilai kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea, dan menilai validitas qNOX sebagai prediktor respon nyeri. 54 subjek dilakukan pendataan nilai qNOX sebelum dilakukan intubasi, dan dua kali pendataan hemodinamik yaitu sebelum anestesia dan dalam satu menit pasca-intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dan dikategorikan menjadi reaktif dan nonreaktif. Data qNOX yang didapatkan dikategorikan menjadi responsif dan nonresponsif. Hasil. Uji Kappa menunjukkan kesesuaian qNOX dengan perubahan hemodinamik adalah bermakna dengan nilai Kappa 0,715. qNOX menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 86%.
Simpulan. Terdapat kesesuaian yang kuat antara nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX dan perubahan hemodinamik merupakan prediktor respon nyeri yang reliabel dalam prediksi respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi
trakea.

Background. Objectively monitoring the response of nociceptive states through non-clinical methods is still in testing and development, without well-documented and proven methods for clinical daily use. Nociceptive monitoring to date has largely been based on the patient's hemodynamic status as measured by heart rate and blood pressure. qNOX has been shown to correlate with nociceptive and / or inadequate antinociceptive clinical signs, such as movements during LMA insertion, laryngoscopy and tracheal intubation. Therefore, researchers want to find out the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of
pain response in tracheal intubation procedures.
Method. The study is a reliability and diagnostic study that assesses the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of pain response intracheal intubation procedures, and assesses the validity of qNOX as a predictor of pain response. 54 subjects were collected qNOX values before intubation, and hemodynamic data collection twice before anesthesia and within one minute postintubation. Hemodynamic data is then determined by the difference and categorized as reactive and nonreactive. The qNOX data obtained is categorized as responsive and non-responsive. Results. Kappa test shows that the suitability of qNOX with hemodynamic changes is significant with a Kappa value of 0.715. qNOX shows a sensitivity of 100% and a specificity of 86%. Conclusion. There is a strong compatibility between qNOX values and
hemodynamic changes as predictors of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX and hemodynamic changes are reliable predictors of pain response in the prediction of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX has a high sensitivity and specificity as a predictor of pain response in tracheal intubation procedures.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Garditya,author
"Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal menggunakan pipa endotrakeal sering digunakan untuk memberikan ventilasi tekanan positif dan mencegah aspirasi. Namun, penggunaan alat ini dapat menimbulkan komplikasi atau keluhan pasca bedah seperti nyeri tenggorok. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan keefektifan profilaksis deksametason intravena dengan triamsinolon asetonid topikal dalam mengurangi nyeri tenggorok pasca bedah.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda. Sebanyak 121 pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan 10 mg deksametason intravena dan pasta plasebo dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Pasien dalam grup B diberikan 2 mL NaCl 0,9% dan pasta triamsinolon asetonid dioleskan pada kaf pipa endotrakeal. Skor nyeri tenggorok pasca bedah dievaluasi 3 kali; sesaat setelah pembedahan berakhir, 2 jam pasca bedah dan 24 jam pasca bedah. Insidens dan derajat nyeri tenggorok pasca bedah dicatat.
Hasil: Tidak didapatkan perbedaan bermakna di kedua kelompok pada insidens nyeri tenggorok pasca bedah sesaat setelah pembedahan berakhir (27,9% pada kelompok A dan 18,3% pada kelompok B, p = 0,214). Derajat nyeri tenggorok pasca bedah tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan: Triamsinolon asetonid topikal memiliki keefektifan yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi insidens nyeri tenggorok pasca bedah.

Tracheal intubation for general anesthesia is often used to give positive-pressure ventilation and prevent aspiration during anesthesia. However, the use of this airway device can cause complications and complains about postoperative sore throat (POST). This study was undertaken to compare the effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone to triamcinolone acetonide paste in reducing POST.
Methods : This was a prospective, randomized, double-blind clinical trial. A total of 121 patients scheduled for surgery under general anesthesia using endotracheal tube were randomly allocated into two groups; 61 (group A) and 60 (group B). Before induction, group A receives 10 mg of intravenous dexamethasone and placebo paste applied over the endotracheal tube cuff. Group B receives 2mL of intravenous normal saline and triamcinolone acetonide paste applied over the endotracheal tube cuff. POST scores were evaluated 3 times; immediately after the operation, 2-hours, and 24-hours after the operation. The incidence and severity of POST were recorded.
Results: There were no significant differences in the incidence of POST immediately after the operation between the two groups (27,9 % in group A vs 18,3% in group B, p = 0,214).The severity scores of POST were not significantly different between the two groups.
Conclusion: Topical triamcinolone acetonide was equally effective compared to prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Vivi Medina
"ABSTRAK
Latar Belakang. Optimalisasi hemodinamik perioperatif berkorelasi dengan peningkatan hasil terapi pascaoperasi. Alat pantau pulse contour analysis telah digunakan rutin pada operasi transplantasi ginjal di RSCM. Teknologi ini mahal dan harus dilakukan pemasangan akses kateter arteri. Terdapat alat ukur lain dengan kelebihan tidak invasif.Tujuan. Mengetahui kesesuaian hasil pengukuran hemodinamik antara teknik bio-impedance analysis dan pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.Metode. Penelitian observasional statistik potong lintang terhadap 35 pasien resipien transplantasi ginjal di RSCM dan RSCM Kencana Jakarta periode Oktober 2017-Febuari 2018. Parameter hemodinamik pasien diukur menggunakan kedua alat uji yaitu ICONTM dan EV1000TM, pencatatan dilakukan pascainduksi, pascainsisi dan pascapelepasan klem arteri renalis. Analisis data menggunakan uji kesesuaian Bland-Altman dan korelasi.Hasil. Rerata perbedaan nilai indeks curah jantung dan indeks isi sekuncup antara kedua alat adalah 1,3 l/mnt/m2 dan 22,1 ml/denyut/m2 lebih tinggi pada EV1000TM. Rerata perbedaan hasil indeks tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara kedua alat adalah 973,3 dynes-detik-m2/cm5 dan 4,8 lebih rendah pada EV1000TM.Simpulan. Tidak terdapat kesesuaian hasil pengukuran curah jantung, tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara teknik bio-impedance analysis dengan teknik pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.
Background. Hemodynamic optimization perioperative has strong correlation with improvement of post-operative outcome. Pulse contour analysis uses regularly for monitoring in renal transplantation surgery at RSCM hospital. This technology is expensive and need access to artery vascular. There is other monitoring device with excess non-invasive use. Purpose. Comparing hemodynamic measurement results between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplant recipients.Method. Cross sectional observasional study to 35 renal transplantation recipient patients at RSCM and RSCM Kirana hospitals Jakarta during October 2017-February 2018. Each patient was measured with both devices ICONTM and EV1000TM. Data collected after induction, after incision and after renal artery release. All the data analyzed with Bland-Altmant agreement and corellation.Result. Mean difference of cardiac output index and stroke volume index are 1,3 l/mnt/m2 and 22,1 ml/denyut/m2 higher in EV1000TM. Mean difference of systemic vascular resistance index and stroke volume variation are 973,3 dynes-detik-m2/cm5 and 4,8 lower in EV1000TM. Conclusion. There is no agreement in measurement of cardiac output, systemic vascular resistance and stroke volume variation between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplantation recipient patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>