Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209094 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khoyrunnisaa Annabiilah Amila Fiartri
"Meski secara teoretis diduga sebagai hambatan utama pencapaian pertumbuhan pascatrauma, peran disregulasi emosi terhadap pertumbuhan pascatrauma jarang sekali diteliti secara empiris. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah benar terdapat hubungan negatif signifikan antara disregulasi emosi dan pertumbuhan pascatrauma; dan jika iya, apakah penggunaan regulasi emosi interpersonal merupakan moderator signifikan. Partisipan merupakan 388 dewasa muda Indonesia 87,1% wanita; Musia = 21,06, SD = 2,12) yang pernah mengalami kekerasan dan/atau penelantaran di masa kecil. Disregulasi emosi diukur menggunakan Difficulties in Emotion Regulation Short Form DERS SF, regulasi emosi interpersonal diukur menggunakan Interpersonal Emotion Regulation Questionnaire IER-Q, dan pertumbuhan pascatrauma diukur menggunakan Posttraumatic Growth Inventory (PTGI). Melalui analisis moderasi ditemukan bahwa disregulasi emosi memprediksi pertumbuhan pascatrauma secara signifikan (b = -0,3683, t(384) = -6,235, p < 0,001) dan penggunaan regulasi emosi interpersonal bukan merupakan moderator signifikan (b = 0,0027, t(384) = 0,850, p > 0,001). Bukti empiris ini menekankan betapa penting teregulasi dengan baiknya emosi negatif dan perasaan distres untuk mencapai pertumbuhan pascatrauma."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Fatikha
"Bagi penyintas kanker remaja-dewasa muda, mengidap kanker adalah peristiwa yang sangat menantang dan mengubah hidup. Walaupun dapat membawa dampak negatif, kanker sebaliknya dapat menjadi pemicu dialaminya posttraumatic growth (PTG) pada penyintas kanker remaja-dewasa muda. Salah satu faktor protektif yang berhubungan dengan kemunculan PTG adalah persepsi dukungan sosial. Kemudian, diduga bahwa mekanisme yang dapat menjelaskan terdapatnya hubungan antara persepsi dukungan sosial dan PTG pada penyintas kanker remaja-dewasa muda adalah kemunculan self- compassion. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara persepsi dukungan sosial dan PTG pada penyintas kanker remaja-dewasa muda dengan self-compassion sebagai mediator. Penelitian korelasional ini melibatkan 55 penyintas kanker di Indonesia dengan usia diagnosis 15—39 tahun yang saat ini berusia 18—39 tahun (Musia = 27,64; SD usia = 5,74; 78,18% perempuan). Alat ukur yang digunakan adalah PTGI-SF (Posttraumatic Growth Inventory-Short Form), MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), dan SWD-SF (Skala Welas Diri-Short Form). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi dukungan sosial dan self-compassion berkorelasi positif signifikan dengan PTG pada penyintas kanker remaja-dewasa muda. Akan tetapi, self-compassion tidak terbukti menjadi mediator pada hubungan antara persepsi dukungan sosial dan PTG pada penyintas kanker remaja-dewasa muda. 

For adolescent and young adult (AYA) cancer survivors, living with cancer is a challenging and life-changing experience. Although it causes several negative impacts, cancer can induce the process of experiencing posttraumatic growth (PTG) in AYA cancer survivors. One of the protective factors associated with PTG is perceived social support. Furthermore, it hypothesized that a mechanism that can explain the relationship between perceived social support and PTG is the emergence ofself-compassion. Therefore, this study explores the relationship between perceived social support and PTG in AYA cancer survivors with self-compassion as a mediator. This correlational study involved 55 cancer survivors with the age of diagnosis of 15—39 years old who currently is 18—39 years old (Mage = 27,64; SDage = 5,74; 78,18% female). The instruments used in this study are PTGI-SF (Posttraumatic Growth Inventory-Short Form), MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), and SWD-SF (Skala Welas Diri- Short Form). This study shows that perceived social support and self- compassion correlate positively and significantly with PTG in AYA cancer survivors. However, self-compassion is not mediating the relationship between perceived social support and PTG in AYA cancer survivors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ceisha Kartika Novianti
"Anak usia prasekolah rentan mengalami permasalahan regulasi emosi yang berdampak pada aspek psiko-sosial dan akademik, baik pada saat ini maupun usia mendatang. Regulasi emosi anak terbukti berhubungan dengan regulasi emosi ibu dan sosialisasi emosi juga terbukti mampu berperan sebagai mediator dalam hubungan ini. Penelitian ini ingin mengetahui peran sosialisasi emosi sebagai mediator dalam hubungan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah. Penelitian kuantitatif dengan desain korelasional ini melibatkan 205 ibu dari anak usia prasekolah (3-6 tahun) sebagai partisipan.
Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa tidak terdapat direct effect yang signifikan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah dan tidak terdapat indirect effect yang signifikan melalui sosialisasi emosi secara supportive, tetapi terdapat indirect effect yang ditemukan signifikan melalui sosialisasi emosi secara unsupportive dalam memediasi hubungan antara regulasi emosi ibu dan anak usia prasekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ibu tidak dapat berhubungan secara langsung dengan regulasi emosi anak usia prasekolah, tetapi harus melewati sosialisasi emosi secara unsupportive terlebih dahulu untuk berhubungan dengan regulasi emosi anak usia prasekolah.

Preschool-aged children are vulnerable to emotional regulation problems that have an impact on psycho-social and academic aspects, both now and in the future. Children's emotional regulation has been shown to be related to maternal emotion regulation and emotional socialization has also been shown to be able to act as a mediator in this relationship. The current study examined the role of emotion socialization as a mediator of the relations between maternal emotional regulation and emotion regulation of preschool-aged children. This quantitative study with a correlational design involved 205 mothers of preschool children (3-6 years old) as participants.
Results of the mediation analysis revealed that there was no significant direct effect between the maternal emotion regulation and preschool-aged children was not significant, and there was no significant indirect effect through supportive emotional socialization, whereas there was significant indirect effect through unsupportive emotional socialization in mediating the relationship between maternal emotion regulation and preschool-aged children. Therefore, it can be concluded that maternal emotional regulation cannot be directly related to emotional regulation of preschool-aged children, but must pass through unsupportive emotional socialization first to correlate with emotional regulation of preschool-aged children.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Millati Syamila
"Tingginya durasi penggunaan internet dan kesulitan dalam mengontrol penggunaan internet di kalangan remaja saat ini dapat berpotensi mengakibatkan penggunaan internet yang problematik. Adanya keyakinan metakognisi yang maladaptif bahwa dengan menggunakan internet dapat meregulasi emosi negatif secara efektif diduga dapat memediasi hubungan antara kesulitan regulasi emosi dan penggunaan internet yang berpotensi problematik pada 261 sampel remaja usia 11 hingga 20 tahun (perempuan 66.28%, M = 15). Analisis dilakukan dengan metode kuantitatif non-eksperimental menggunakan Hayes PROCESS Mediation Analysis. Penggunaan internet yang problematik diukur dengan skala GPIUS2, regulasi emosi diukur dengan DERS-SF, serta keyakinan metakognisi maladaptif diukur dengan skala MCQ-30. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keyakinan metakognisi maladaptif berperan dalam memediasi hubungan antara penggunaan internet yang berpotensi problematik dan kesulitan regulasi emosi pada remaja secara parsial. Kesulitan regulasi emosi ditemukan dapat memengaruhi penggunaan internet yang berpotensi problematik baik secara langsung maupun tidak langsung. Penemuan ini mengimplikasikan bahwa intervensi penggunaan internet problematik pada remaja dapat mempertimbangkan regulasi emosi dan input informasi yang tepat dalam mengembangkan keyakinan metakognisi yang adaptif.

Adolescents' exessive use of the internet and lack of control in using internet might potentially result in problematic internet use (PIU). In a sample of 261 typical adolescents aged 11 to 20 years (female 66.28%, M = 15), the association between emotion regulation difficulties and Internet users problematik is assumed to be mediated by the maladaptive metacognitive beliefs that utilizing the internet may effectively decrease negative emotions. Hayes PROCESS Mediation Analysis, non-experimental quantitative methods were used for the analyses. The GPIUS2 scale was used to test potentially PIU, the DERS-SF was used to measure emotion regulation difficulties, and the MCQ-30 scale was used to measure maladaptive metacognitive beliefs. The findings demonstrated that the association between penggunaan internet problematik and emotion regulation difficulties was partially mediated by maladaptive metacognitive beliefs. It has been discovered that potentially problematic internet use is both directly and indirectly by emotion regulation difficulties. This research suggests that problematic internet use interventions for adolescents ought to take emotion regulation, appropriate information input in developing adaptive metacognitive beliefs into account."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Gita Andani
"ABSTRAK
Salah satu dampak prominen yang sering dijumpai pada penyintas kekerasan seksual di masa kecil adalah permasalahan citra tubuh. Meskipun begitu, pengalaman negatif yang diakibatkan peristiwa traumatis sendiri tidak selalu menetap; penyintas dapat mengalami pertumbuhan positif dari pengalamannya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh posttraumatic growth terhadap citra tubuh, secara spesifik pada perempuan dewasa muda penyintas kekerasan seksual di masa kecil. Adapun hubungan antara pelaku dengan korban, frekuensi terjadinya kekerasan, dan BMI juga diidentifikasi dapat berperan sebagai kovariat dalam hubungan di antara kedua variabel. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian dengan topik serupa oleh Kotin (2019), tetapi lebih berfokus kepada pengaruh dari posttraumatic growth dibandingkan sekadar hubungan di antara kedua variabel. Sebanyak 121 partisipan diperoleh melalui kuesioner daring. Melalui analisis regresi linear, ditemukan model regresi yang signifikan, F(1, 119) = 87.818, p = 0.000, dengan effect size besar. Secara spesifik, posttraumatic growth menjelaskan sebesar 42.5% varians citra tubuh. Dalam kata lain, posttraumatic growth berpengaruh terhadap citra tubuh. Terdapat implikasi bahwa hubungan posttraumatic growth dengan citra tubuh dapat digeneralisasi ke dalam populasi lain, dengan tetap mempertimbangkan faktor kontekstual.

ABSTRACT"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Khairunnisa
"Non-suicidal self-injury (NSSI) saat ini banyak ditemukan pada dewasa muda dengan prevalensi 4-23%. Pada dewasa muda yang memiliki banyak tekanan secara emosional, NSSI sering digunakan untuk mengatasi tekanan tersebut karena adanya kecenderungan untuk tidak menerima tekanan emosional yang tidak diinginkan. Kecenderungan tidak menerima emosi secara kaku disebut juga infleksibilitas psikologis (IP). Penggunaan strategi regulasi emosi diduga dapat menjembatani hubungan kedua variabel. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah strategi regulasi emosi cognitive reappraisal (CR) dan strategi regulasi emosi expressive suppression (ES) dapat menjadi mediator dari hubungan IP dan NSSI. Total partisipan berjumlah 231 dan jumlah partisipan NSSI 135 orang dengan rata- rata usia 22 tahun. Perilaku NSSI diukur menggunakan NSSI-FS, IP menggunakan AAQ-II dan strategi regulasi emosi menggunakan ERQ. Melalui analisis mediasi, ditemukan regulasi emosi CR memediasi secara penuh hubungan antara IP dan NSSI, sedangkan ES tidak dapat memediasi. Dengan kata lain ketika individu cenderung kaku dan terus-menerus enggan untuk mengalami pikiran, perasaan, dan sensasi internal yang tidak nyaman (IP), hal tersebut akan menghambat penggunaan CR, yang kemudian meningkatkan kecenderungan perilaku NSSI pada individu dewasa muda.

Non-suicidal self-injury (NSSI) is currently prevalent among emerging adults, with rates ranging from 4-23%. Among young adults who experience significant emotional pressure, NSSI is often used as a way to cope with this pressure due to a tendency to reject unwanted emotional distress. This tendency to rigidly reject emotions is also referred to as psychological inflexibility (PI). The use of emotion regulation strategies is suspected to mediate the relationship between these two variables. This study aims to examine whether the emotion regulation strategy of cognitive reappraisal (CR) and expressive suppression (ES) can mediate the relationship between PI and NSSI. A total of 231 participants were involved, with 135 reporting NSSI, and the average age was 22 years old. NSSI behavior was measured using the NSSI-FS, PI using the AAQ-II, and emotion regulation strategies using the ERQ. Through mediation analysis, it was found that CR fully mediated the relationship between PI and NSSI, while ES could not mediate this relationship. In other words, when individuals are rigid and consistently unwilling to experience uncomfortable thoughts, feelings, and internal sensations (PI), it hinders the use of CR, which in turn increases the tendency for NSSI behavior among young adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilya Dhestina
"Meskipun individu yang mengalami pengalaman sulit di masa kecil mendapatkan
beragam dampak negatif, individu juga mungkin mengalami perubahan positif yaitu
pertumbuhan pascatrauma. Individu perlu melewati proses yang dipengaruhi berbagai
faktor untuk dapat mengalami pertumbuhan pascatrauma. Peneliti melakukan analisis
pada 396 data partisipan dewasa muda yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia,
dengan tujuan untuk memeriksa hubungan ruminasi disengaja dan harapan dalam
memprediksi pertumbuhan pascatrauma pada populasi individu dengan pengalaman sulit
sebelum berusia 18 tahun. Partisipan mengisi kuesioner daring berupa Adverse Childhood
Experience Questionnaire untuk mengukur kejadian sulit masa kecil, Event Related
Rumination Inventory mengukur ruminasi disengaja yang dulu dilakukan, Adult State
Hope Scale mengukur keadaan harapan saat ini, dan Posttraumatic Growth Inventory
mengukur besaran pertumbuhan pascatrauma. Hasil analisis regresi linear berganda
menunjukkan bahwa ruminasi disengaja dan harapan dapat memprediksi tingkat
pertumbuhan pascatrauma secara positif dan signifikan. Berdasarkan temuan ini, harapan
dan ruminasi disengaja dapat ditumbuhkan dan diajarkan dalam program intervensi.

Despite survivors of adverse childhood experiences (ACE) have to face a variety of
negative effects, they also have the opportunity to experience positive changes known as
posttraumatic growth (PTG). Survivors of ACE have to pass through a long process
influenced by various factors. Analysis of 396 data on young adult participants living
across Indonesia were performed, with the aim to examine the effect of deliberate
rumination and hope in predicting PTG on a population of individuals experienced
adverse childhood before the age 18. Participants completed an online questionnaire
consisting of Adverse Childhood Experience Questionnaire measuring ACE’s score,
Event Related Rumination Inventory measuring past deliberate rumination’s level, Adult
State Hope Scale measuring the current hope’s level, and Posttraumatic Growth Inventory
measuring the degree of PTG. Multiple linear regression analysis indicated that deliberate
rumination and hope significantly predict the degree of PTG. Intervention strategies using
hope and deliberate rumination are further discussed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Perdana Sopamena
"Didiagnosis dan menjalani treatment penyakit kanker merupakan pengalaman traumatis yang
dapat memicu acute stress. Namun, terdapat individu yang merespon dengan positif, atau
disebut Post Traumatic Growth, yang dipengaruhi dukungan sosial. Penelitian ini meneliti
hubungan PTG dan acute stress dengan moderator perceived social support. Pengumpulan
data dilakukan kepada 106 penyintas kanker dewasa, sebagian partisipan mengikuti support
group dan sebagian partisipan tidak mengikuti support group . Hasil penelitian menunjukkan
bahwa PTG dan acute stress memiliki hubungan negatif yang signifikan (r = -0,33, p < 0,01),
dan perceived social support memperkuat hubungan negatif antara PTG dan acute stress.
Hasil dari penelitian dapat menjelaskan dan memperkaya literatur terkait PTG, acute stress,
perceived social support.

Being diagnosed and treated for cancer is a traumatic experience that can lead to acute stress.
However, there are individuals who can respond positively, known as Post Traumatic
Growth, which influenced by social support. This study designed to discuss the correlation
between PTG and acute stress, moderated by perceived social support. The data collection
was carried out to 106 adult cancer survivors, some participating in support group, while
some others not participating in support group. The results showed that PTG had a significant
negative effect (r = .33, p <.001) in predicting acute stress, and perceived social support is
moderating the correlation between PTG and acute stress. These results can be useful in
explaining and enriching the literature related to PTG, acute stress, and perceived social
support.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Emanuella Setyani
"Childhood emotional maltreatment ditemukan menjadi faktor risiko bagi resiliensi mahasiswa baru. Padahal, mahasiswa baru membutuhkan resiliensi agar mereka dapat menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan lebih baik. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari suatu faktor protektif yang dapat menguatkan resiliensi pada mahasiswa baru. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran moderasi perceived social support dalam hubungan childhood emotional maltreatment dan resiliensi. Partisipan terdiri dari 206 mahasiswa baru dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Resilience Scales for Adults (RSA), Childhood Trauma Questionnaire (CTQ), dan Multidimensional Scale of Social Support (MSPSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived social support tidak memoderasi hubungan antara childhood emotional maltreatment dan resiliensi pada mahasiswa baru (β = 0.0014, t (206) = 0.1313, p > 0.05). Hasil penelitian juga menemukan bahwa childhood emotional maltreatment berpengaruh pada resiliensi (β= -1.2628, t(206)= -2.0266, p < 0.05) dan begitu pula perceived social support (β = 1.3070, t (206) =3.5226, p < 0.05). Dapat disimpulkan bahwa childhood emotional maltreatment dan perceived social support masing-masing berpengaruh pada resiliensi, namun perceived social support tidak ditemukan memoderasi hubungan childhood emotional maltreatment dan resiliensi pada mahasiswa baru.

The experience of emotional maltreatment in childhood was found to be a risk factor for first-year college students’ resilience while first-year college students need resilience in order to adjust to college better. Therefore, it is very important to look for a protective factor that can strengthen the resilience in first-year college students. This study aims to analyze the moderating role of perceived social support in the relationship between childhood emotional maltreatment and resiliency. Participants in this study consist of 206 first-year college students from all universities in Indonesia. The measuring instruments of this study are Resilience Scales for Adults (RSA), Childhood Trauma Questionnaire (CTQ), dan Multidimensional Scale of Social Support (MSPSS). The result shows that perceived social support does not moderate the relationship between childhood emotional maltreatment and resiliency among first-year college students (β = 0.0014, t (206) = 0.1313, p > 0.05). This study also found that childhood emotional maltreatment has an effect on resiliency (β= -1.2628, t (206) = -2.0266, p < 0.05) and so does perceived social support (β = 1.3070, t (206) =3.5226, p < 0.05). It can be concluded that childhood emotional maltreatment and perceived social support each have an effect on resilience, but perceived social support was not found to moderate the relationship between childhood emotional maltreatment and resilience in first-year college students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabrila Hasti Endah Ramadani
"

Pendahuluan: Remaja mengalami perkembangan dalam berbagai aspek dan remaja akan memberikan berbagai respons terhadap perkembangannya. Respon maladaptif yang rentan dialami remaja adalah penyalahgunaan NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA dapat disebabkan oleh harga diri rendah yang dialami remaja. Faktor-faktor yang menyebabkan harga diri rendah remaja diantanya masalah emosi dan perilaku, rendahnya perilaku prososial serta pola asuh orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan harga diri dan penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Metode: Desain penelitian menggunakan deskriptif korelatif. Teknik yang digunakan adalah purposive sampling dan stratified-cluster sampling dengan jumlah responden sebanyak 268 remaja SMA di Jakarta Selatan. Data diambil menggunakan enam kuesioner yaitu data demografi, Strength and Difficulties Questionnaire, Typology of Parenting Style, Coopersmith Self Esteem Inventory, dan Drug Abuse Screening Test-20. Hasil: Remaja SMA di Jakarta Selatan memiliki tingkat harga diri sedang sebesar 54,9% dan 77,6% bersih dari penyalahgunaan NAPZA. Faktor risiko masalah emosi dan perilaku memiliki hubungan bermakna dengan harga diri remaja, sedangkan perilaku prososial dan pola asuh tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan harga diri. Masalah emosi dan perilaku, perilaku prososial, serta pola asuh orang tua tidak berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA pada remaja. Rekomendasi: Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar mengembangkan promosi kesehatan jiwa pada pencegahan penyalahgunaan NAPZA dengan kontrol diri, pelatihan penyelesaian masalah dan pembentukan kader kesehatan remaja, school nurse, dan life skills serta program preventif penurunan harga diri dengan menyediakan ekstrakurikuler. Selain itu, penelitian diharapkan dapat menjadi dasar dalam pemberian program kuratif dan rehabilitatif pada remaja yang menyalahgunakan NAPZA.


Introduction: Adolescents develop in various aspects and they will provide various responses to their development. Maladaptive responses that are vulnerable to adolescence are drug abuse. Drug abuse can be caused by low self-esteem experienced by adolescents. Factors that cause adolescent low self esteem include emotional and behavioral problems, low prosocial behavior and parenting style. This study aims to determine the factors associated with self-esteem and drug abuse in adolescents. Method: The research design uses descriptive correlative. The technique used was purposive sampling and stratified-cluster sampling with the number of respondents as many as 268 high school adolescents in South Jakarta. Data was taken using six questionnaires, namely demographic data, Strength and Difficulties Questionnaire, Typology of Parenting Style, Coopersmith Self Esteem Inventory, and Drug Abuse Screening Test-20. Results: High school adolescents in South Jakarta have a moderate self-esteem rates of 54,9% and 77,6% are clear of drug abuse. Risk factors for emotional and behavioral problems have a significant relationship with adolescent self-esteem, while prosocial behavior and parenting style do not have a meaningful relationship with self-esteem. Emotional and behavioral problems, prosocial behavior, and parenting style are not related to drug abuse in adolescents. Recommendation: The results of this study are expected to be the basis for developing mental health promotion on the prevention of drug abuse by self-control, problem solving training, and establishment of adolescent health cadres, school nurses, and preventive programs to reduce self-esteem by providing extracurricular activities. In addition, research is expected to be the basis for giving curative and rehabilitative programs to adolescents who abuse drugs.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>