Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200408 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fracella Putri
"Latar Belakang: Berlari merupakan pilihan olahraga yang semakin banyak diminati, namun seringkali menyebabkan cedera khususnya pada pergelangan kaki. Ligamen lateral pergelangan kaki merupakan bagian yang paling sering mengalami cedera. Kejadian cedera yang berulang dapat mengakibatkan terjadinya instabilitas pergelangan kaki kronis yang dapat mengganggu fungsi keseimbangan. Kinesio taping merupakan pendekatan baru yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi keseimbangan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek kinesio taping dengan teknik Ankle Balance Taping (ABT) dan Sham disertai latihan penguatan otot pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis. Metode: Studi intervensi pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis yang berusia 17-35 tahun dengan status gizi normal. Subjek dibagi ke dalam kelompok ABT dan kelompok Sham. Kedua kelompok juga diberikan latihan penguatan otot kaki dan tetap berlari. Fungsi keseimbangan kemudian diukur dengan Stork Test dan SEBT. Hasil: Didapatkan 36 subjek yang memenuhi kriteria penerimaan. Rerata usia pada kelompok perlakuan adalah 24.37 tahun dan kelompok kontrol 27.47 tahun (p<0.05). Setelah mendapatkan taping dan latihan penguatan otot kaki selama 3 minggu didapatkan perbaikan jarak jangkauan pada arah anterior, posteromedial dan posterolateral pada pemeriksaan SEBT di kelompok perlakuan, dan perbaikan pada arah posteromedial pada kelompok kontrol. Untuk keseimbangan statis diadapatkan perbaikan pada kedua kelompok (p<0,05). Kesimpulan: Pemberian Ankle Balance Taping (ABT) dan latihan penguatan otot kaki efektif dalam meningkatkan keseimbangan statis dan dinamis pada pelari dengan instabilitas pergelangan kaki kronis.

Background: Running is one of sport choices that is increasingly in interest, but often causes injury especially to the ankles. The lateral ankle ligament is the most frequently injured part. Recurring injuries can lead to chronic ankle instability that can interfere the balance function. Kinesio taping is a new approach that can be used to improve balance function. Therefore, this study aims to compare the effects of kinesio taping with Ankle Balance Taping (ABT) and Sham techniques accompanied by muscle strengthening exercises in runners with chronic ankle instability. Methods: Interventional studies of runners with chronic ankle instability aged 17- 35 years with normal nutritional status. Subjects were divided into ABT groups and Sham groups. Both groups were also given exercises to strengthen foot muscles and keep running. The balance function is then measured by the Stork Test and SEBT. Results: There were 36 subjects who met the inclusion criteria. The mean age in the treatment group was 24.37 years and the control group was 27.47 years (p <0.05). After getting taping and leg strengthening exercises for 3 weeks, there was an improvement in the range of anterior, posteromedial and posterolateral direction in the SEBT examination in the treatment group, and improvement in the posteromedial direction in the control group. For static balance there was an improvement in both groups (p <0.05). Conclusion: Provision of Ankle Balance Taping (ABT) and leg strengthening exercises are effective in increasing static and dynamic balance in runners with chronic ankle instability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"ABSTRAK
Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

ABSTRACT
Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Defrima Oka Surya
"Penurunan sensitivitas kaki dan ankle brachial index (ABI) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada Diabetisi. Terapi akupresur bermanfaat dalam menstimulasi aliran energi dalam tubuh sehingga memperbaiki aliran sirkulasi tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh akupresur terhadap sensitivitas kaki dan ABI Diabetisi. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan pre-posttest design pada 64 responden (kelompok intervensi = 31 orang, kelompok non intervensi = 33 orang). Kelompok intervensi diberikan terapi akupresur selama 7 sesi, 2 hari sekali selama 10 menit. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh akupresur terhadap sensitivitas kaki (p=0,001) dan ABI (p=0,001). Akupresur dapat dijadikan salah satu alternatif terapi yang dapat diterapkan perawat di masyarakat untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjut Diabetisi sebagai kelompok rentan.

Decreased of foot sensitivity and ankle brachial index (ABI) is a complication that often occurs in Diabetes. Acupressure therapy stimulating the flow of energy in the body so that the body's circulatory flow touch ups. This study aimed to determine the effect of acupressure to foot sensitivity and ABI in Diabetes Mellitus patients. This study designed was quasi-experimental with pre-posttest design at 64 responden (intervention group = 31, non-intervention group = 33). The intervention group received acupressure therapy for 7 sessions, each 2 days for 10 minutes. The results showed the effect of acupressure on foot sensitivity (p = 0.001) and ABI (p = 0.001). Acupressure can be used as an alternative therapy that can be applied by nurses in the community to prevent complications in people with diabetes as a vulnerable group.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
T45975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prisca Ockta Putri
"Diabetes melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan komplikasi yang sering terjadi adalah ulkus kaki. Salah satu penyebab terjadinya ulkus kaki adalah keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada pasien DMT2 akibat kerusakan jaringan ikat tendon yang dipengaruhi oleh produksi Advanced Glycation End Products (AGE) secara cepat pada kondisi hiperglikemia. AGE merupakan zat yang membentuk suatu ikatan dengan kolagen yang dapat merubah struktur tendon. Produksi yang berlebihan dapat menyebabkan penebalan struktur periartikuler seperti tendon, ligamen, dan kapsul sendi, menyebabkan terjadi penyempitan sehingga menimbulkan kekakuan sendi dan kemudian terjadi keterbatasan LGS. Penelitian ini bertujuan Mengetahui hubungan antara LGS pergelangan kaki dengan derajat ulkus kaki pada pasien DMT2 sebagai salah satu dasar tindakan promotif dan preventif terhadap ulkus kaki diabetik.Penelitian menggunakan studi potong lintang. Kami melaporkan ada 34 sampel (laki-laki 55,9% dan perempuan 44,1%)ulkus kaki pada pasien DMT2 yang memiliki ulkus kaki di regio hindfoot (26,5%), midfoot (5,9%) dan forefoot (67,6%).Pengukuran lingkup gerak sendi pada pergelangan kaki menggunakan goniometri digital untuk gerakan dorsifleksi, plantarfleksi, inverĀ­si dan eversi. Kemudian dihubungkan dengan usia, Indeks Massa Tubuh (IMT), level aktivitas fisik, lama ulkus, lama DM. Terdapat korelasi negatif bermakna signifikan antara lingkup gerak sendi dengan indeks masa tubuh (p=0,019; r=-0,401) dan korelasi positif bermakna signifikan dengan level aktivitas fisik (p=0,004; r=0,484). Semakin meningkat IMT, maka akan menurunkan LGS dan semakin rendah level aktivitas fisik maka akan menurunkan LGS.Tidak terdapat hubungan bermakna signifikan antara LGS dengan usia, lama ulkus dan derajat ulkus. Didapatkan hubungan yang bermakna pada semua gerakan LGS dengan lama DM dengan p-value <0.05. Semua sampel tidak memiliki kejadian yang tidak diinginkan selama penelitian. Kesimpulan dari studi ini adalah tidak ada hubungan antara LGS pergelangan kaki dengan derajat ulkus kaki pada penderita DMT2.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a group of metabolic diseases with the most common complication being foot ulcers. One of the causes of foot ulcers is the limited range of joint motion in T2DM patients due to damage of tendons connective tissue which is affected by the rapid production of Advanced Glycation End Products (AGE) in hyperglycemia conditions. AGE is a substance that forms a bond with collagen that can change the structure of the tendon. Excessive production can cause thickening of periarticular structures such as tendons, ligaments and joint capsules, causing narrowing to occur resulting in joint stiffness and then limiting the range of joint motion. This study aims to determine the relationship between the range of motion of the ankle joint and the degree of foot ulcers in T2DM patients as one of the basic promotive and preventive measures for diabetic foot ulcers. This study is a cross-sectional study. We reported that there were 34 samples (55.9% males and 44.1% females) foot ulcers in T2DM patients who had foot ulcers in the hindfoot (26.5%), midfoot (5.9%) and forefoot (67.6%) regions. Measurement of the range of motion at the ankle using digital goniometry for dorsiflexion, plantarflexion, inversion and eversion. It is related to age, body mass index (BMI), level of physical activity, time of ulcer,time of DM.There was a significant negative correlation between range of motion and body mass index (p=0.019; r=-0.401) and a significant positive correlation with the level of physical activity (p=0.004; r=0.484). The higher of BMI, the range of motion of the joints is lower and the lower level of physical activity, the lower the range of motion of the joints. There was no significant relationship between the range of motion of the joints and age, ulcer duration and degree of ulcer. A significant relationship was found in all range of motion range of motion with duration of DM with p-value <0.05. All samples did not have major adverse events. The conclusion of this study is that there is no relationship between the range of motion of the ankle joint and the degree of foot ulcers in T2DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Irawan
"Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah terjadinya krisis keuangan, perhatian pemerintah di berbagai negara terhadap financial instability semakin besar. Perhatian tersebut antara lain karena semakin disadari arti penting dan peran strategis sektor perbankan pada umumnya dan sistem keuangan pada khususnya dalam suatu perekonomian, dan terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan financial instability selama 30 tahun baik di negara berkembang maupun negara maju. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Swedia dan Finlandia, telah mengalami krisis keuangan atau resesi yang biasanya diiringi dengan menurunnya harga aset-aset dan berbagai permasalahan di sektor perbankannya. Hal ini telah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Borio, Kennedy dan Prowse (1994), Bank for International Settlements (1998) dan IMF (2000).
Dalam World Economic Outlook tahun 1998, IMF memberikan gambaran tentang biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian sebagai akibat krisis keuangan. Pada saat terjadi krisis mata uang, secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi kembali ke trendnya dalam jangka waktu sekitar I-1,5 tahun, dan kumulatif output lost untuk setiap krisis sekitar 4,25%. Untuk krisis mata uang yang parah output lost-nya bahkan mencapai sekitar 8.25%. Sementara Krisis Perbankan, relatif membutuhkan waktu recovery yang lebih Iama dan output lost yang lebih banyak dibandingkan currency crisis: secara rata- rata membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk pertumbuhan output kembali ke trendnya, dan ourpur loss yang terjadi bisa mencapai sekitar 1 l,5%.
Apa yang diuraikan di atas sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menganalisis berbagai pemasalahan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada saat terjadi krisis keuangan menghantam pada tahun 1997. Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama krisis ekonomi, penulis melihat dua fenomena yang menarik untuk diteliti, yang berkaitan tentang keterkaitan antara upaya untuk mencapai stabilitas harga dengan stabilitas sistem keuangan.
Fenomena pertama, upaya pemerintah untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan dengan memberikan batuan likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas telah mendorong meningkatnya laju inflasi. Dengan kata lain upaya untuk mempertahankan stabilitas sistem keuangan telah mengorbankan stabilitas harga.
Fenomena kedua, upaya bank Sentral dalam mengendalikan inflasi telah menyebabkan terjadinya fenomena credit crunch di Indonesia. Dengan kata lain, upaya untuk mencapai stabilitas harga telah menyebabkan stabilitas sistem keuangan menjadi terganggu.
Diskusi tentang bagaimana keterkaitan antara kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas harga serta dampaknya pada stabilitas sistem keuangan sebenarnya sudah terjadi antara pengambil kebijakan dengan ekonom dan antar ekonom sendiri, misalnya Svensson (1996), Taylor (1996), Bean (1998) dan Goodfriend (2001) juga Bernanke dan Gertler(1999).
Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini mencoba meneliti beberapa pertanyaan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Pertama, pengaruh shock pada tingkat suku bunga, dalarn upaya untuk mencapai stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Kedua, pengaruh shock yang berasal dari pertumbuhan kredit, saat terjadi ganguan stabilitas harga, pada peningkatan financial instability Indonesia. Ketiga, pengaruh shock pada harga pada peningkatan financial instability Indonesia. Keempat, meneliti konsistensi antar stabilitas harga sebagai suatu sasaran akhir kebijakan moneter dengan upaya untuk menghindari financial instability. Kelima, meneliti meneliti apakah terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dibangun model VAR yang biasa dipergunakan dalam analisis kebijakan moneter secara quatitatif dengan memasukkan variabel yang mengukur financial instability. Berdasarkan model tersebut di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Shock positif yang berasal dari suku bunga, kredit dan harga memberikan pengaruh pada meningkatnya financial instability Indonesia. Peningkatan suku bunga sebagai instrumen yang dipergunakan untuk mengendalikan harga merupakan komponen terbesar yang menjadi sumber peningkatan financial instability. Price stability dan financial stability merupakan dua hal yang dapat sekaligus dicapai sebagai sasaran dalam pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia. Kenaikan yang berasal dari variabel harga, tingkat suku bunga dan kredit memberikan magnitude yang relatif lebih besar pada peningkatan derajat financial instability dibandingkan dengan penurunan ketiga variabel tersebut terhadap penurunan derajat financial instability. Atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang asymmetric pada hubungan antara tingkat suku bunga, harga dan kredit dengan financial instability."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D668
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riky Febriansyah Saleh
"Latar Belakang: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) tercatat sebagai kelainan congenital terbanyak di Indonesia. Adanya perkembangan dalam penelitian menggeser paradigma penanganan CTEV menjadi konservatif dibandingkan operatif. Metode Ponseti dinilai aman dan dan efisien, serta memiliki nilai efektivitas yang tinggi dalam tatalaksana CTEV. Namun, kepatuhan dalam penggunaan orthosis abduksi standar pada CTEV anak usia berjalan masih menjadi tantangan dan mempengaruhi angka relaps yang cukup tinggi. Knee Ankle Foot Orthosis (KAFO) menjadi salah satu orthosis abduksi yang berpotensi untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pada CTEV usia berjalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian ulangan deformitas serta luaran penggunaan KAFO pada CTEV usia berjalan. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Februari 2021-Februari 2022. Pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan metode total sampling. Data klinis, radiologis dan laboratorium diambil dari rekam medis, sementara skor PIRANI serta skor NWDPS diukur melalui pemeriksaan fisik dan wawancara terhadap subjek baik secara langsung atau pun melalui telepon. Data pasien dimasukkan ke dalam database pasien CTEV RSCM. Seluruh data dianalisis dan ditabulasikan ke dalam tabel dengan menggunakan SPSS ver. 23. Hasil dan pembahasan: Pada penelitian ini, didapatkan 40 subjek penelitian dengan prevalensi kejadian ulangan deformitas pasca penanganan ponseti adalah 30% pada CTEV usia berjalan. Nilai tengah dari usia subjek penelitian adalah 12 (12-72) bulan dengan mayoritas subjek adalah anak laki-laki (57.5%). Terdapat hubungan bermakna antara usia memulai penggunaan KAFO dengan luaran fungsional (p = 0,047) dan skor PIRANI (p<0,001) pascapenggunaan KAFO. Selain itu, didapatkan adanya hubungan bermakna antara durasipemakaian KAFO dengan luaran fungsional (p = 0,049) dan skor PIRANI (p < 0,001) pascapenggunaan KAFO.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara usia memulai penggunaan KAFO dan durasi pemakaian KAFO dengan luaran fungsional dan skor PIRANI pasca penggunaanKAFO. Hal ini menandakan adanya angka relaps yang lebih tinggi pada anak- anak usia lebihtua atau terlambat dalam penanganan CTEV. Selain itu, penggunaan KAFO sebagai orthosisdalam fase pemeliharaan berpotensi untuk meningkatan kepatuhan dalam penanganan CTEVmetode konservatif pada anak usia berjalan.

Background: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) is reported as the most common congenital abnormalities in Indonesia. Developments in research have shifted the paradigm of treating CTEV to lean towards conservative managements rather than operative ones. The Ponseti method is considered safe and efficient, and has a high effectiveness value in the management of CTEV. However, compliance in children with the use of standard abduction orthosis CTEV of walking age is still a challenge and presumably linked to the high relapse rate of the deformity of the foot. Knee Ankle Foot Orthosis (KAFO) is an abduction orthosis that has the potential to improve comfort and compliance in walking age CTEV. This study aims to determine the prevalence of recurrence of deformity and the outcome of using KAFO in walking age CTEV. Methods: This study is an observational study with a cross-sectional design. The study was conducted at the Orthopedic Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in February 2021-February 2022. The research subjects were taken based on the total sampling method. Clinical, radiological and laboratory data were taken from medical records, while PRANI scores and NWDPS scores were measured through physical examinations and interviews with subjects either in person or by telephone. Patient data was entered into the CTEV RSCM patient database. All data were analyzed and tabulated into tables using SPSS ver. 23.
Results and discussion: In this study, there were 40 study subjects with the prevalence of recurrence of deformity after Ponseti treatment was 30% in walking age CTEV. The mean age of the study subjects was 12 (12-72) months with the majority of subjects being boys (57.5%). There was a significant relationship between the age of starting the use of KAFO with functional outcomes (p = 0.047) and the PIRANI score (p <0.001) post-KAFO usage. In addition, there was a significant relationship between the duration of KAFO usage with functional outcomes (p = 0.049) and PIRANI score (p < 0.001) post-KAFO usage. Finally, there was no significant relationship between gender and functional outcome (p = 0.315). and PIRANI score (p = 0.191) post- KAFO usage. Conclusion: There is a significant relationship between the age of starting KAFO use and duration of KAFO use with functional outcomes and PIRANI scores after using KAFO. This indicates a higher relapse rate in older children or late in the treatment of CTEV, in addition to that, the potential for increased adherence to the use of KAFO as an orthosis in the maintenance phase of CTEV treatment in children of walking age is well-marked in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011
611.98 SAR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Novita Sari
"Gangguan sirkulasi kaki pada penderita DM mengakibatkan proses penyembuhan ulkus diabetik tertunda. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengidentifikasi pengaruh Ankle Range of Motion (ROM) Exercise terhadap penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetik. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 28 responden yang dibagi menjadi 14 responden kelompok intervensi dan 14 responden kelompok kontrol. Metode penelitan ini adalah quasi eksperimental design dengan pendekatan Pretest and Posttest With Control Group Design. Kelompok intervensi diberikan perlakuan ankle Range of Motion (ROM) exercise dan perawatan luka modern dressing, sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan perawatan luka modern dressing saja. Ankle Range of Motion (ROM) exercise terdiri dari empat gerakan yaitu plantarfleksi, dorsofleksi, inversi dan eversi. Latihan ini termasuk dalam latihan tidak menahan beban dan aman dilakukan pada penderita ulkus diabetik. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan yang signifikan rerata selisih skor penyembuhan luka antara kelompok intervensi dengan kontrol dengan p value 0,000 (< 0,05). Hasil uji variabel confounding menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat merokok terhadap skor penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetik dengan p value 0,143 (> 0,05). Ankle Range of Motion (ROM) Exercise diharapkan dapat dijadikan terapi tambahan dalam manajemen luka pada pasien ulkus diabetik untuk mempercepat proses penyembuhan luka

Impaired foot circulation in diabetic patients causes the healing process of diabetic ulcers to be delayed. The purpose of this study was to identify the effect of Ankle Range of Motion (ROM) Exercise on wound healing in diabetic ulcer patients. The sample in this study amounted to 28 respondents who were divided into 14 respondents in the intervention group and 14 respondents in the control group. This research method is a quasi-experimental design with a Pretest and Posttest approach with Control Group Design. The intervention group was treated with ankle Range of Motion (ROM) exercise and modern wound dressings, while the control group was only given modern wound dressings. Ankle Range of Motion (ROM) exercise consists of four movements, namely plantarflexion, dorsiflexion, inversion and eversion. This exercise is included in non-weight-bearing exercises and is safe for diabetic ulcer sufferers. The results showed that there was a significant difference in the mean difference in wound healing scores between the intervention group and the control group with a p value of 0.000 (<0.05). The results of the confounding variable test showed that there was no relationship between smoking history and wound healing scores in diabetic ulcer patients with a p value of 0.143 (> 0.05). Ankle Range of Motion (ROM) Exercise is expected to be used as additional therapy in wound management in diabetic ulcer patients to accelerate the wound healing process."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Revised and updated for its Third Edition, this highly acclaimed volume is a definitive guide to the clinical imaging of foot and ankle disorders. The title of this edition has changed from Radiology of the Foot and Ankle to Imaging of the Foot and Ankle to reflect a greater emphasis on multimodality imaging approaches to solve diagnostic challenges, specifically the increased use of ultrasound, MR imaging, CT, and diagnostic interventional techniques. The book features increased coverage of ultrasound, PET, and the diabetic foot and upgraded MR and CT images. New syndromes such as impingement have been added to the chapter on soft tissue trauma and overuse. The fractures and dislocations chapter includes OTA classifications and additional MR and CT scans of complications. Other highlights include up-to-date information on new fixation devices and prostheses and state-of-the-art interventional and vascular techniques including use of MRA. This book provides a comprehensive reference for radiologists, radiologists in training, and clinicians who treat foot and ankle disorders including podiatrists, orthopaedic surgeons, rheumatologists, and emergency room physicians"
Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott , 2011
617.585 IMA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>