Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110966 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noor Hafidz
"Latar Belakang.: COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS CoV 2. Jumlah penderita sampai saat ini 1,7 juta orang di seluruh dunia, dan semakin bertambah setiap harinya. Sebanyak 2,3% dari pasien COVID-19 memerlukan intubasi. Intubasi pada pasien COVID-19 memiliki risiko pajanan terhadap jalan napas pasien yang memiliki viral load yang tinggi. Anestesiologis yang melakukan prosedur intubasi harus memakai alat pelindung diri (APD) yang sesuai untuk mengurangi risiko penularan. Intubasi trakeal pada pasien tersangka COVID-19 dapat dianggap intubasi dengan penyulit karena pemakaian APD lengkap berpotensi menimbulkan hambatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemakaian APD lengkap dengan kesulitan intubasi pada pasien tersangka COVID-19.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik retrospektif menggunakan metode survei berbasis googleform. Sampel penelitian adalah peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis – 1 Anestesiologi dan Terapi Intensif tahap magang dan mandiri. Survei dilakukan pada minggu pertama bulan Mei 2020. Hasil survei disajikan dalam bentuk tabel, dan analisa hubungan kemaknaan antar variabel dilakukan dengan uji Chi square serta uji Fisher.
Hasil. Sebanyak 65 responden berpartisipasi. Kesulitan intubasi dialami oleh 28 (43,1%) responden. 24 responden melaporkan kesulitan bergerak saat memakai APD seluruh tubuh, namun hanya 15 (23,1%) responden mengalami kesulitan intubasi (p = 0,016). 48 (73,8%) responden melaporkan kesulitan visualisasi saat memakai APD wajah, namun hanya 24 (36,9%) responden yang mengalami kesulitan intubasi (p = 0,058). 27 (41,5%) responden menyatakan face shield merupakan APD wajah dengan visualisasi terbaik, dan 47 (72,43%) responden menganggap kombinasi goggle dan face shield memberikan visualisasi terburuk. Penggunaan kacamata, satu jenis atau kombinasi APD wajah, penggunaan aerosol box atau plastic cover, dan durasi pemakaian APD tidak berhubungan dengan kesulitan intubasi. Faktor lain yang berhubungan dengan kesulitan intubasi adalah bila intubasi dilakukan pada keadaan emergensi. Sebagian besar responden setuju bahwa pemakaian APD saat melakukan intubasi akan membuat kesulitan melihat, kesulitan bergerak dan menimbulkan rasa panas yang menghambat pekerjaan.
Simpulan. Terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan kesulitan intubasi pada pasien tersangka COVID-19.

Background. COVID-19 is a disease caused by the SARS CoV 2 virus. The number of patients to date is 1.7 million people worldwide and counting. As many as 2.3% of COVID-19 patients require intubation. Intubation in COVID-19 patients has a risk of exposure to the patient’s airway that has high viral load. Anesthesiologists who carry out intubation procedures must use appropriate personal protective equipment (PPE) to reduce the risk of transmission. Tracheal intubation in confirmed or suspected COVID-19 patients can be considered as difficult intubation. This is because the use of PPE can hindrance the intubation procedure itself. This study aims to determine the relationship between the use of PPE with difficulty in intubating suspected COVID-19 patients.
Method. This research is a retrospective analytic descriptive study using the Googleform-based survey method. Respondents were senior and middle Anesthesiology and Intensive Therapy resident. The survey was conducted in the first week of May 2020. The results of the survey are presented in tabular form, and the analysis of the significance of the relationships between variables was carried out using the Chi square test and Fisher's exact test.
Result. A total of 65 respondents participated. Difficult intubation was experienced by 28 (43.1%) respondents. 24 respondents reported difficulty moving while wearing full body PPE and among those 15 (23.1%) respondents had difficulty intubating (p = 0.016). 48 (73.8%) respondents reported difficulty visualizing when using facial PPE, but only 24 (36.9%) respondents had difficulty intubating (p = 0.058). 27 (41.5%) respondents stated that face shield was the best facial PPE, and 47 (72.43%) respondents considered the combination of goggle and face shield to provide the worst visualization PPE. The use of glasses, one type or combination of facial PPE, the use of aerosol boxes or plastic covers, and the duration of wearing PPE are not related to intubation difficulties. Another factor related to intubation difficulties is when intubation is performed in an emergency situation. Most respondents agreed that the use of PPE during intubation would make it difficult to see, to move and cause a heat sensation that impedes work.
Conclusion. There is a relationship between the use of PPE and the difficulty of intubating suspected COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Antonius W.
"Latar belakang: World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 menjadi pandemi pada April 2020. Komplikasi yang berpotensi dan terus mengancam adalah gagal napas akut yang membutuhkan intubasi. Intubasi dikatakan memiliki risiko penyebaran viral load yang tinggi. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan menjadi hal yang harus dilakukan secara konsisten tanpa melupakan keselamatan pasien yang menjalani prosedur intubasi pipa endotrakeal. Penelitian ini ditujukan sebagai studi pendahuluan untuk melihat pengaruh dari penggunaan APD dan jenis laringoskop terhadap proses intubasi yang dilakukan pada pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study) dengan uji klinis acak terbuka (open randomized clinical trial). Pengambilan data penelitian dilakukan di kamar operasi IGD, Unit Pelayanan Bedah Pusat (UPBT), UPK Mata Kirana, dan kamar operasi Cleft and Craniofacial Center (CCC) RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Agustus hingga September 2020. Intubasi dilakukan oleh residen Anestesiologi dan Terapi Intensif tahap II atau magang. Populasi subjek adalah pasien yang bukan tersangka dan bukan terkonfirmasi COVID-19 sesuai dengan penapisan oleh tim Pinere RSCM.
Hasil: Durasi total proses intubasi cenderung lebih panjang pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskopi video dibandingkan kelompok lainnya. Keberhasilan percobaan pertama tindakan intubasi lebih banyak pada kelompok yang menggunakan laringoskop direk. Kejadian desaturasi paling banyak terjadi pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk. Komplikasi cedera jalan napas selama proses intubasi paling banyak ditemukan pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk
Kesimpulan: Terdapat perbedaan antara ketiga kelompok penelitian yang menggunakan tingkat APD dan jenis laringoskopi yang berbeda pada studi pendahuluan ini.

Introduction: World Health Organization (WHO) declare COVID-19 pandemi on April 2020. One of the fatal complications of COVID-19 are respiratory failure with the need of an intubation. However, intubation has been reported as high-risk viral load spread. Protection for healthcare workers should be done consistently without jeopridizing patient’s safety, especially in intubation process. This pilot study is aimed to describe the effect of level 3 PPE usage and types of laryngoscope to intubation process in COVID-19 pandemic.
Method: This study is a preliminary study with open randomized clinical trial. Data collection was conducted in operating room, central operating room, Kirana opthalmology centre, and Cleft and Craniofacial Center (CCC) of Cipto Mangunkusumo National hospital on August to December 2020. The intubation process was done by anesthesiology and intensive care residents at the second phase (second until third year) of recidency. Subjects are non COVID-19 suspect which has been examined by Pinere RSCM team.
Results: Total duration of intubation was tend to longer in level 3 PPE with video guided laryngoscopy. First time success was higher in the group with direct laryngoscopy. Complicaton such as desaturation and airway injury was higher in level 3 PPE with direct laryngoscope.
Conclusion: There is a difference of intubation process between the PPE groups and the use of laryngoscopy in this pilot study. Therefore, further study can be conducted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Utari Prasetya Ningrum
"Vaksinasi dan penggunaan antivirus remdesivir dan favipiravir merupakan strategi yang dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan COVID-19. Namun penelitian tentang pengaruh vaksinasi terhadap efektivitas terapi antivirus pada pasien COVID-19 secara klinis masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh vaksinasi terhadap efektivitas terapi remdesivir dan favipiravir pada pasien terkonfirmasi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif dilakukan di rumah sakit Universitas Indonesia, Depok. Data diambil dari rekam medis RS periode Januari 2021 hingga Agustus 2022. Efektivitas terapi ditentukan dengan menilai kelompok sudah vaksin dan belum vaksin berdasarkan perbaikan kondisi klinis pasien, lama rawat inap, dan kematian pada pasien COVID-19. Hasil analisis menunjukkan bahwa vaksinasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi klinis, lama rawat inap, dan kematian (p < 0,05) pada pasien yang diberi terapi remdesivir dan telah divaksin dibandingkan dengan pasien yang belum divaksin. Pada pasien yang diberi terapi favipiravir vaksinasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kondisi klinis, lama rawat inap, dan kematian pada pasien yang telah divaksin dibandingkan dengan pasien yang belum vaksin. Vaksinasi memiliki pengaruh yang baik terhadap efektivitas terapi remdesivir pada pasien COVID-19, yaitu dapat meningkatkan perbaikan kondisi klinis pasien kearah yang lebih baik, mengurangi lama rawat inap dan kematian. Namun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas terapi favipiravir.

Vaccination and the use of the antivirals remdesivir and favipiravir are strategies that can be used to suppress the growth of COVID-19. However, clinical research on the effect of vaccination on the effectiveness of antiviral therapy in COVID-19 patients is still limited. This study aims to analyze the effect of vaccination on the effectiveness of remdesivir and favipiravir therapy in patients with confirmed COVID-19. This study was an observational study with a retrospective cohort design conducted at Universitas Indonesia Hospital, Depok. Data were taken from medical records for the period from January 2021 to August 2022. The effectiveness of therapy was determined by assessing the vaccine and non-vaccine groups based on improvement in the patient's clinical condition, length of stay, and mortality in COVID-19 patients. The results of the analysis showed that vaccination had a significant effect on improving clinical condition, length of stay, and mortality (p <0.05) in patients who were given remdesivir therapy and vaccinated compared to patients who not vaccinated. In patients who were given favipiravir, the vaccination did not show a significant effect on improving clinical conditions, length of stay, and death in patients who had been vaccinated compared to patients who not vaccinated. Vaccination has a positive effect on the effectiveness of remdesivir therapy in COVID-19 patients, which can improve the patient's clinical condition, reducing length of stay and mortality. However, it does not have a significant effect on the effectiveness of favipiravir therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincencia Monica Renata Laurent
"Latar belakang: Pasien yang dinyatakan masuk kedalam kategori “Suspect COVID-19” adalah jika seseorang memiliki beberapa tanda yaitu demam, sakit tenggorokkan, batuk, menderita ISPA, dan memiliki kontak dengan pasien yang sudah terkonfirmasi positif COVID-19. Untuk memilah agar ruang gawat darurat digunakan untuk pasien yang cukup parah gejalanya, pihak rumah sakit melakukan identifikasi kepada pasien dengan suspect COVID-19 sehingga mengetahui tatalaksana yang tepat untuk pasien dan mendahulukan pasien yang membutuhkan perawatan intensif. Untuk melihat peluang pasien yang termasuk kategori suspect COVID-19 menjadi terkonfirmasi positif COVID-19 kita dapat meneliti hasil lab darah perifer lengkap pada pasien. Beberapa penelitian melihat morfologi dari masing-masing darah perifer lengkap dimana terlihat adanya abnormalitas morfologi pada pemeriksaan darah perifer lengkap dengan mikroskop. Untuk menjadikan hasil lab darah perifer lengkap sebagai parameter untuk mempresiksi diagnosis, prognosis, dan melihat adanya perubahan hasil lab darah perifer lengkap pasien suspect dengan pasien terkonfirmasi dibutuhkan waktu yang cukup lama jika dilihat dari morfologinya maka dari itu diperlukan analisis kadar dari masing-masing darah perifer.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang komparatif dua kelompok. Subjek merupakan pasien Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data Pasien diperoleh pada Bulan Juni 2021 dimana kasus COVID-19 sedang bertambah cukup pesat hingga Januari 2022 dimana penyebaran COVID-19 mulai surut. Pasien memiliki komorbid seperti diabetes,hipertensi, dan penyakit ginjal kronik. Rekam medis pasien dilihat hanya dari profil darah lengkap yaitu hemoglobin, leukosit, neurofil, limfosit, monosit, dan trombosit.
Hasil: Jumlah pasien suspect COVID-19 berjumlah 51 pasien dan jumlah pasien terkonfirmasi COPVID-19 berjumlah 47 pasien. Dilihat dari profil darah perifer lengkap terdapat persebaran jumlah hemoglobin normal sebanyak 50 % dari seluruh subjek penelitian serta jumlah hemoglobin rendah sebanyak 39,7% dari seluruh subjek penelitian. Terdapat persebaran jumlah leukosit normal sebanyak 55,1% dari seluruh subjek penelitian serta jumlah leukosit tinggi sebanyak 35,7% dari seluruh subjek penelitian. Terdapat persebaran jumlah neutrofil tinggi sebanyak 51,0% dan jumlah lelukosit normal sebanyak 42,8% dari seluruh subjek penelitian. Terdapat persebaran jumlah limfosit rendah sebanyak 64,2% dan jumlah limfosit normal sebanyak 31,6% dari seluruh subjek penelitian. Terdapat persebaran jumlah monosit normal sebanyak 59,1% dan jumlah monosit tinggi sebanyak 34,6% dari seluruh subjek penelitian. Terdapat persebaran jumlah normal sebanyak 70,4% dan jumlah trombosit tinggi sebanyak 25,5% dari seluruh subjek penelitian. Hubungan antara profil darah perifer lengkap dengan proporsi pasien suspect COVID-19 dengan pasien terkonfirmasi COVID-19 menunjukkan adanya hubungan (p>0,05).
Kesimpulan: Adanya hubungan antara profil darah perifer lengkap pada proporsi pasien suspect COVID-19 dengan pasien terkonfirmasi COVID-19

Introduction: Patients who are declared to be in the "Suspect COVID-19" category are if someone has several signs, namely fever, sore throat, cough, suffering from ARI, and has contact with patients who have been confirmed positive for COVID-19. To sort out that the emergency room is used for patients whose symptoms are quite severe, the hospital identifies patients with suspected COVID-19 so that they know the right treatment for patients and prioritize patients who need intensive care. To see the chances of a patient belonging to the suspect category of COVID-19 being confirmed positive for COVID-19, we can examine the results of the complete peripheral blood lab on the patient. Several studies looked at the morphology of each complete peripheral blood where there were morphological abnormalities on complete peripheral blood examination with a microscope. To make the complete peripheral blood lab results as a parameter for predicting diagnosis, prognosis, and seeing any changes in the complete peripheral blood lab results from suspect patients with confirmed patients, it takes quite a long time when viewed from the morphology, therefore it is necessary to analyze the levels of each peripheral blood .
Method: This study used a two-group comparative cross-sectional method. The subject is a patient in RSUP Persahabatan. Patient data was obtained in June 2021 where COVID- 19 cases were growing quite rapidly until January 2022 where the spread of COVID-19 began to recede. Patients have comorbidities such as diabetes, hypertension, and chronic kidney disease. The patient's medical record is seen only from the complete blood profile, namely hemoglobin, leukocytes, neurophiles, lymphocytes, monocytes, and platelets.
Result: The number of suspected COVID-19 patients is 51 patients and the number of confirmed COPVID-19 patients is 47 patients. Judging from the complete peripheral blood profile, there was a normal distribution of hemoglobin in 50% of all research subjects and 39.7% of low hemoglobin in all research subjects. There is a distribution of normal leukocyte counts as much as 55.1% of all research subjects and high leukocyte counts as much as 35.7% of all research subjects. There was a distribution of high neutrophil counts as much as 51.0% and normal leukocyte counts as much as 42.8% of all research subjects. There was a distribution of 64.2% low lymphocyte count and 31.6% normal lymphocyte count of all research subjects. There was a distribution of the normal monocyte count as much as 59.1% and the high monocyte count as much as 34.6% of all research subjects. There was a normal distribution of 70.4% and a high platelet count of 25.5% of all research subjects. The relationship between complete peripheral blood profile and the proportion of suspected COVID-19 patients with confirmed COVID-19 patients showed a relationship (p>0.05).
Conclusion: There is a relationship between complete peripheral blood profile in the proportion of patients suspected of COVID-19 with confirmed patients of COVID-19
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Wiji Wicaksono
"Latar Belakang: Intubasi nasotrakeal adalah manajemen jalan napas yang banyak digunakan, terutama pada operasi di daerah oral. Beragam perangkat ditemukan untuk melakukan teknik intubasi, seperti video laringoskop. Penggunaan Video Laringoskop C-MAC® (CMAC) memungkinkan visualisasi glottis yang lebih baik bila dibandingkan dengan laringoskop Machintosh. Pada kasus jalan napas sulit, CMAC meningkatkan angka kesuksesan intubasi orotrakeal. Namun perangkat ini
tidak umum digunakan pada intubasi nasotrakeal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 86 subjek penelitian untuk membandingkan keberhasilan intubasi dan durasi waktu intubasi nasotrakeal pada pasien dewasa ras Melayu antara penggunaan laringoskop video C-MAC® dengan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok derajat 2 atau 3, hipertensi tak terkontrol, Sindrom Guillen Barre, Myasthenia Gravis, dan
kontraindikasi intubasi nasotrakeal. Hasil: Penggunaan CMAC meningkatkan angka keberhasilan upaya pertama kali intubasi (RR 1,265, CI 95% (1.084-1.475)) dan membutuhkan durasi waktu
intubasi yang lebih singkat (nilai p<0,001) dibandingkan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh pada populasi dewasa ras Melayu. Simpulan: Pada pasien dewasa ras Melayu, intubasi nasotrakeal lebih mudah dengan menggunakan video laringoskop CMAC dibandingkan dengan menggunakan laringoskop konvensional Macintosh. Kemudahan intubasi didefiniskan sebagai keberhasilan upaya pertama kali yang lebih sering dan waktu prosedur intubasi yang lebih singkat.

Background: Nasotracheal intubation is a widely used airway management, especially in oral surgery. Various devices were found to perform intubation techniques, such as video laryngoscopes. The use of the C-MAC® Video Laryngoscope (CMAC) enables better glottis visualization compared to the
Machintosh laryngoscope. In the case of a difficult airway, CMAC increases the success rate of orotracheal intubation. However, this device is not commonly used in nasotracheal intubation. Methods: A single blinded randomized clinical trial study of 86 subjects has been done to compare the success of intubation and duration of nasotracheal intubation
in adult Malay patients between the use of C-MAC® video laryngoscopes and the use of a conventional Macintosh laryngoscope. Exclution criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, heart failure, second or third degree block, uncontrolled hypertension, Guillen Barre syndrome, Myasthenia Gravis, and contraindications to nasotracheal intubation. Results: The use of CMAC increased the success rate of the first attempt at intubation (RR 1,265, 95% CI (1,084-1,475)) and required a shorter duration of intubation (p value <0.001) than the use of conventional Macintosh laryngoscopes in the adult Malay race population. Conclusion: In adult Malay patients, nasotracheal intubation is easier using the CMAC video laryngoscope compared to using a conventional Macintosh
laryngoscope. The ease of intubation is defined as the high rate of successful first attempt and the shorter time of the intubation procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Fauziyyah
"Penelitian mengenai pengaruh remdesivir terhadap perubahan nilai cycle threshold (Ct) atau viral load masih sedikit, memiliki hasil yang berbeda-beda, dan belum pernah dilakukan pada subjek dari Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh remdesivir terhadap perubahan nilai Ct dan keamanannya pada pasien COVID-19 derajat berat. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan desain kohort studi. Subjek penelitian terdiri dari kelompok remdesivir (n=80) dan non remdesivir (n=80). Pengamatan yang dilakukan adalah perubahan nilai Ct sebelum dan sesudah penggunaan antivirus pada gen ORF1ab, E, dan N, kebutuhan oksigenasi, mortalitas, kejadian yang tidak dikehendaki (KTD) dan analisis kausalitas KTD dengan Algoritma Naranjo. Hasil yang ditemukan menunjukkan remdesivir mempengaruhi peningkatan nilai Ct pada pasien COVID-19 derajat berat daripada kelompok non remdesivir, dengan peningkatan pada gen ORF1ab adalah 97,5% vs 83,8% (p=0,005), peningkatan pada gen E adalah 95% vs 81,2% (p=0,013), dan peningkatan gen N adalah 97,5% vs 82,5% (p=0,003). Hasil analisis multivariat, remdesivir mempengaruhi peningkatan gen ORF1ab 7,6 kali (95% CI: 1,600-36,449), gen E 5,1 kali (95% CI: 1,528-17,071), dan gen N 8,9 kali (95% CI: 1,864-42,265). Kebutuhan oksigenasi dan mortalitas kelompok remdesivir menunjukkan persentase yang lebih rendah daripada kelompok non remdesivir (15% vs 22,5%; p=0,311; dan 63,8% vs 70%; p=0,502). KTD lebih banyak terjadi pada kelompok remdesivir daripada kelompok non remdesivir (58,8%, vs 53,8%; p=0,633). Kejadian yang signifikan dan memiliki proporsi yang tinggi pada kelompok remdesivir adalah peningkatan ALT (p=0,037). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa remdesivir mempengaruhi peningkatan nilai Ct, namun menunjukkan terjadinya gangguan fungsi hati yang bermanifestasi pada peningkatan nilai ALT.

Studies on the effect of remdesivir on changes in the cycle threshold (Ct) values or viral load are still limited with varied results, even have never been conducted on subjects from Indonesia. This study aims to evaluate the effect of remdesivir on changes in Ct values and its safety in severe COVID-19 patients. The study was conducted retrospectively with a study cohort design. Research subjects consisted of remdesivir group (n=80) and non-remdesivir group (n=80). Observations focused on changes in the Ct values before and after antiviral use in the ORF1ab, E, and, N genes, oxygenation requirements, mortality, adverse events (AE), and AE causality analysis using the Naranjo Algorithm. The results showed that remdesivir affected the increase in Ct values in severe COVID-19 patients than the non-remdesivir group, with an increase in the ORF1ab gene was 97.5% vs. 83.8% (p = 0.005), an increase in the E gene was 95% vs 81.2% (p = 0.013), and an increase in the N gene was 97.5% vs 82.5% (p=0.003). The results of multivariate analysis showed that remdesivir increased the ORF1ab gene 7.6 times (95% CI: 1.600-36.449), the E gene 5.1 times (95% CI: 1.528-17.071), and the N gene 8.9 times (95% CI: 1.864-42.265). Oxygenation requirements and mortality in the remdesivir group showed lower percentages than the non-remdesivir group (15% vs 22.5%; p=0.311; and 63.8% vs 70%; p=0.502). AE in the remdesivir group was higher than in the non-remdesivir group (58.8%, vs. 53.8%; p=0.633). A significant event and a high proportion in the remdesivir group was an increase in ALT (p=0.037). The results of this study can be concluded that remdesivir affects the increase in Ct values, but shows the occurrence of impaired liver function which manifests in the increase in ALT values. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia , 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikar
"Latar belakang: Intubasi merupakan standar emas untuk menjaga patensi jalan nafas. Rapid Sequence Induction (RSI) adalah metode induksi anestesia yang cepat untuk mencapai kontrol jalan nafas dengan meminimalkan risiko regurgitasi dan aspirasi lambung. Video laringoskop CMAC® mempermudah tampilan visualisasi laring sehingga diharapkan mempermudah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya.
Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya dengan teknik RSI antara video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Total 120 pasien Ras Melayu yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan dan menandatangani informed consent, menjalani operasi elektif dengan anestesia umum fasilitasi intubasi dengan induksi teknik RSI dibagi dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok dengan menggunakan video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh. Penilaian yang diambil adalah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya antara dua kelompok. Data yang terkumpul di olah dengan SPSS dan di uji statisik.
Hasil: Angka keberhasilan intubasi pertama kali upaya dengan video laringoskop CMAC adalah 81,7% dan pada laringoskop konvensional adalah 76,3%. Uji statistik chi-square didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05)
Simpulan: Angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya menggunakan video laringoskop CMAC® dibandingkan laringoskop konvensional dengan teknik RSI pada ras Melayu tidak lebih tinggi.

Background: Intubation is the gold standard for maintaining airway patency. Rapid Sequence Induction (RSI) is a rapid method of induction of anesthesia to achieve airway control by minimizing the risk of gastric regurgitation and aspiration. The CMAC® laryngoscope video facilitates laryngeal visualization so that it is expected to facilitate the success rate of intubation at the first attempt.
Objective: To compare the first attempt success rate of intubation with the RSI technique between CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope Method: This study was a single blind randomized clinical trial. Total 120 patients Malay Race who met the inclusion criteria, did not meet the exclusion criteria and signed the consent, undergoing elective surgery with general anesthesia and intubation with RSI induction techniques then divide into two treatment groups, namely the group using CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope. The assessment taken was the first attempt success rate of intubation between the two groups. The collected data is analyze and statistically tested with SPSS.
Results: The first attempt success rate of intubation with CMAC® laryngoscope video was 81.7% and the conventional laryngoscope was 76.3%. Chi-square test found no significant difference between two group (p> 0.05).
Conclusion: The first attempt success rate of intubation using CMAC® video laryngoscope compared conventional laryngoscopy with RSI technique in the Malay race is statistically not significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrahiza Satryo Bimantoro
"Latar Belakang: Virus COVID-19 pertama kali diidentifikasi pada tanggal 31 Desember 2019. Sejak ditemukan, virus ini telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia. Varian delta pertama kali ditemukan pada Oktober 2020 di India. Virus ini sangat mudah menular dengan tingkat penularan 50-60% lebih tinggi dibandingkan dengan varian sebelumnya. Varian ini juga lebih sulit untuk diobati dikarenakan adanya mutasi pada sisi penempelan antigen-antibodi. Data epidemiologi dan dampak dari varian ini di Indonesia masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas pada pasien COVID-19 varian delta di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI).
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kasus-kontrol dengan melibatkan 224 rekam medis pasien COVID-19 dari bulan Juni-Agustus 2021. Faktor-faktor yang dianalisis adalah usia, jenis kelamin, derajat keparahan, komorbiditas, D-dimer, SGOT, dan temuan radiologi.
Hasil: Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa semua faktor meningkatkan odds ratio mortalitas kecuali jenis kelamin. CKD/AKI (p=0,01), kerusakan hati (p=0,01), derajat kritis-berat (p=<0,01), dan peningkatan SGOT (p=<0,01) secara signifikan berkontribusi pada model akhir.
Kesimpulan: Hubungan signifikan ditemukan antara mortalitas dan usia, tingkat keparahan, komorbiditas, peningkatan D-dimer dan SGOT, serta temuan radiologi yang abnormal. Selain itu, semua faktor ini berkontribusi dalam meningkatkan odds ratio mortalitas.

Introduction: The COVID-19 virus was first identified on December 31st of 2019. Ever since it was discovered, the virus has infected more than 700 million people worldwide. The delta variant was first discovered in October 2020 in India. The virus was found to be highly transmissible with 50-60% higher transmission rate compared to the previous variant. The variant was also found to be more difficult to treat and manage. The epidemiological data and the impact of this variant in Indonesia is still undermined. This study intends to investigate the factors that affects mortality in COVID-19 patients during the delta variant in Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI).
Method: This research utilizes a case-control design including 224 COVID-19 patients’ medical records from June-August 2021. Factors analyzed are age, gender, degree of severity, comorbidities, D-dimer, SGOT, and radiology findings.
Results: Logistic regression analysis revealed all factors increases the odds ratio of mortality except for gender. CKD/AKI (p=0.01), liver injury (p=0.01), severe-critical degree (p=<0.01), and SGOT elevation (p=<0.01) were significantly contributing to the final model.
Conclusion: Significant relationship between mortality and age, degree of severity, comorbidities, D-dimer and SGOT elevation, and abnormal radiology findings. Additionally, these factors are all contributing to increasing the odds ratio for mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinal Effendi
"Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya.
Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor.
Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati.

Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score.
Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform.
Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Amadea Gunawan
"Latar Belakang COVID-19 berdampak secara signifikan bagi dunia. Tingginya prevalensi dan insidensi, serta banyaknya kasus berderajat keparahan sedang-berat, mendorong dunia dan Indonesia untuk mencari terapi yang tepat. Salah satunya adalah anti-interleukin-6 untuk mengatasi badai sitokin yang kerap terjadi pada pasien COVID-19. Anti-interleukin-6 berupa Tocilizumab yang digunakan untuk mengatasi COVID-19 derajat sedang-berat hingga saat ini masih minim diteliti di dunia maupun di Indonesia. Maka, Peneliti berharap penelitian ini dapat berkontribusi pada perkembangan dunia medis di Indonesia. Metode Penelitian ini dilakukan dengan desain kohort retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan rekam medis pasien COVID-19 berderajat sedang-berat guna menilai hubungan antara pemberian Tocilizumab dengan tingkat mortalitas, lama rawat, dan kadar biomarker inflamasi yaitu C-reactive protein dan D-dimer. Hasil Diperoleh 52 pasien yang diberikan obat Tocilizumab dan 52 pasien kontrol. Pada kelompok pasien yang diberikan Tocilizumab, 48 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 4 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Pada kelompok kontrol, 32 pasien dirawat pada bulan Januari-Juni dan 20 pasien dirawat pada bulan Juli-Desember. Ditemukan sebanyak 40,4% pasien yang memperoleh Tocilizumab hidup dan sembuh, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 16,4% pasien yang sembuh (p=0,014). Rata-rata lama rawat pasien kelompok uji mencapai 20,9±11,5 hari, lebih lama dibandingkan kelompok kontrol yaitu 16,5±12,4 hari (p=0,007). Rata-rata penurunan kadar CRP pada kelompok uji adalah -74,65±72,59 mg/L, sedangkan pada kelompok kontrol meningkat (p=0,001). Kadar D-dimer pasien yang diberikan Tocilizumab mengalami penurunan namun tidak signifikan. Kesimpulan Tocilizumab terbukti menurunkan angka mortalitas, menurunkan kadar CRP, dan cenderung menurunkan kadar D-dimer pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat.

Introduction COVID-19 has a significant impact globally. The high prevalence and incidence, also the large number of moderate-severe cases, encouraged the world and Indonesia to look a better therapy. One of them is anti-interleukin-6 to overcome cytokine storm that occurs in COVID-19 patients. Today, there is minimal research that learn about anti-interleukin-6, Tocilizumab. This research hope could contribute to the development of the medical sector in Indonesia. Method This research conducted with a retrospective cohort design at Universitas Indonesia Hospital. This study used medical records of COVID-19 moderate-severe patients to assess the relation between Tocilizumab administration and mortality, length of stay, and levels of C-reactive protein and D-dimer. Result There were 52 moderate-severe COVID-19 patients receiving Tocilizumab and 52 control patients. In the test group, 48 patients treated in January-June and 4 patients treated in July-December. In the control group, 32 patients treated in January-June and 20 patients treated in July-December. It was found that 40,4% of patients who were given Tocilizumab survived, while in the control group only 16,4% of patients survived (p=0,014). The average length of stay for test group reached 20,9±11,5 days, longer than the control group, which was 16,5±12,4 days (p=0,007). The average CRP levels decrease in test group was -74.,65±72,59 mg/L, while it increased in the control group (p=0,001). The D-dimer levels of patients given Tocilizumab decreased but not significant. Conclusion Tocilizumab has been proven to reduce mortality rates, lower CRP levels, and tends to reduce D-dimer levels in moderate-severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>