Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, David Mangapul H.
"Tesis ini membahas mengenai penetapan beberapa penyimpangan terkait persatuan harta kekayaan yang disepakati oleh pasangan suami dan istri, yang dibuat dalam bentuk Perjanjian Kawin, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dimana sebelum berlakunya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Kawin tertanggal 19 Mei 2017, Perjanjian Kawin hanya dapat dibuat sebelum dan pada saat Perkawinan, namun setelah keluarnya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri, Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai Penetapan Pengadilan Tangerang Nomor 874/Pdt.P/2017/PN.Tng tertanggal 1 November 2017, yang diperlukan terkait permohonan pencatatan perkawinan yang dicatatkan saat perkawinan dilangsungkan; dan, status harta perkawinan sebelum dan setelah dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode yang digunakan dalam tesis ini adalah Yuridis-Normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Adapun Analisa data dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Analisa didasari pada fungsi dari Penetapan Pengadilan terkait pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan dilangsungkan setelah dikeluarkannya Surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL dan akibat hukum yang mungkin akan terjadi dari pencatatan perjanjian kawin selama perkawinan berlangsung. Hasil penelitian adalah bahwa pada tanggal 19 Mei 2017, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil telah mengakui adanya pencatatan perjanjian kawin setelah perkawinan dilangsungkan dan tidak mensyaratkan perlunya penetapan dari Pengadilan Negeri, serta akibat hukum dari pencatatan perjanjian perkawinan seperti ini adalah dipenuhinya unsur publisitas menjadikan pihak ketiga ikut tunduk kedalam Perjanjian Kawin.

This thesis discussed the establishment of several deviations regarding wealth affiliation between husband and wife that defined in the Marriage agreement, stated in Article 29 Law No. 1 of 1974 about Marriage. Before the creation of General Director Letter of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL on the Report Registration of Marriage Agreement, dated Mei 19th, 2017, marriage agreement could only be created before or on the marriage itself, but after the release of General Director Letter Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL), marriage agreement could be created before the day, on the day and during the marriage ceremony. Therefore, the problem that specified in this thesis is about the stipulation of Tangerang District Court No. 874/Pdt.P/2017/PN.Tng dated November 1st, 2017, about the need for a plea in registering marriage that registered during the marriage ceremony and the status of marriage wealth before and after registered to Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL). To answer the problem, Juridical-Normative method is used with descriptive typology research. The data analysis method that is used is the statute approach and case approach. The analysis were based on the function of the establishment of court regarding the registration of marriage agreement during the marriage ceremony after the letter of General Director of Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) No: 472.2/5876/DUKCAPIL is issued. And also the law consequences that might happened to the registration of the marriage agreement during the marriage ceremony. The result of this research is that on May 19th, 2017, Population and Civil Registration Agency (DUKCAPIL) is already admitted the registration of marriage agreement during the marriage ceremony and did not give any requirement from the national court. Also, the consequences of the marriage agreement like this are full of publicity that makes the third party should obey the Marriage Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Bianca Putri
"Perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya, yaitu perjanjian antara dua orang calon suami dan istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah. Perjanjian kawin pada dasarnya berlaku dan mengikat suami dan istri sejak perkawinan berlangsung, sedangkan bagi pihak ketiga berlaku sejak perjanjian kawin tersebut didaftarkan. Daya laku dari akta perjanjian kawin yang didaftarkan setelah terjadinya perkawinan, adalah sah secara hukum, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris yang memenuhi 4 syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan perjanjian kawin tersebut akan mengikat pihak ketiga apabila telah memenuhi unsur publisitas.

Marriage agreements are basically are the same as agreements in general, agreements between two prospective husbands and wives to regulate their personal assets made before marriage, and legalized by a marriage registrar employee. The marriage agreement basically applies and binds husband and wife since the marriage takes place, while for the third party is valid since the marriage agreement is registered. The power of the marriage agreement deed registered after the marriage is legal, as long as the agreement does not conflict with the applicable provisions, the agreement is made in the form of a notary deed that fulfills the 4 legal terms of the agreement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code and the marriage agreement will bind a third party if it fulfil the publicity element."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T53534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Susanto
"Pada kenyataannya terdapat pembatalan perjanjian kawin yang dikabulkan oleh Hakim. Dikabulkannya pembatalan perjanjian kawin membawa akibat terciptanya kembali persatuan harta bulat di antara suami dan istri, kecuali harta bawaan masing-masing yang dibawa ke dalam perkawinan dan masing-masing pihak tetap bertanggung jawab atas hutang yang pernah ditimbulkannya kepada pihak ketiga atau kreditor. Pihak kreditor berhak untuk mengambil kekurangan pelunasan dari persatuan harta bulat.
Hingga kini belum terdapat kepastian hukum mengenai pembatalan perjanjian kawin, sehingga dikabulkan atau tidak dikabulkannya pembatalan perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung berdasarkan pertimbangan hakim.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Pembatalan perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dapat dilakukan dengan cara permohonan atau mengajukan gugatan kepada hakim dengan alasan-alasan tertentu yang nantinya akan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh hakim.

In reality there is a cancellation of the prenuptial agreement which was granted by Judge. The granting of the cancellation of the prenuptial agreement bring back unity round assets in between husband and wife, except the inherent assets of each are brought into the marriage and each party remains liable for debts ever caused to third parties or creditors. The creditor is entitled to take shortfall repayment of unity round the property.
Until now there has been no legal certainty regarding the cancellation of the prenuptial agreement, so that the granting or refusal of cancellation of the prenuptial agreement after the marriage takes place based on the consideration of judges.
The method used is qualitative normative juridical approach. Cancellation of the prenuptial agreement after the marriage can be done by way of a petition or file a lawsuit to judge the specific reasons which will be considered first by the judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Adella
"Peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ketentuan undangundang inilah yang berlaku. Ketentuan perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang- Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa perjanjian dibuat dengan bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Berdasarkan pasal 29 ayat 3 yang menegaskan perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan juga harus didaftarkan bersamaan dengan pendaftaran perkawinan untuk dapat disahkan bersamaan dengan perkawinan.
Dalam membahas yang menjadi permasalahan Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum dan data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan survey lapangan dengan wawancara notaris dan pegawai arsip Pengadilan Negeri.
Dari hasil penelitian dalam masyarakat terhadap warganegara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia setelah kembali ke Indonesia harus mendaftarkan perkawinan dan perjanjian perkawinan secara bersamaan di Indonesia. Namun karena yang dicatatkan hanya perkawinannya saja sehingga perjanjian perkawinannya tidak ikut dicatatkan bersamaan pencatatan perkawinan. Terhadap pendaftaran perjanjian perkawinan setelah perkawinan belum memiliki pengaturan dalam perundang-undangan. Untuk itu digunakan jalan keluar dengan meminta izin kepada Pengadilan Negeri berupa Penetapan Pengadilan Negeri.

Legislation have been set regarding the marriage covenant. Provisions regarding the aggrement marriage set forth in the Book of the Civil Code Act, but after the passing of Law set forth in article 29 of Law Civil Law. In Article 29 paragraph 1 stated that the agreement made with the written form and approved by the Civil Registrar of Marriage. Beside article 29, paragraph 3 which confirms the marriage agreement effective from the marriage took place, then the marriage contract should also be registered conducted with the registration of marriages to be legalized along with marriage.
The author discusses the problems of using a normative juridical approach. Legal materials and data obtained through library research and field survey by interviewing the notary and civil court records.
From the results of research in Indonesian society of citizens who hold a marriage outside Indonesian territory after returning to Indonesia must register the marriage and the marriage covenant together in Indonesia. However, because the only recorded marriage alone, so the marriage agreement did not enter recorded simultaneously recording marriage. Against registration of a marriage agreement after the marriage has not been setup in the legislation. It is used to exit with the permission from the District Court of the District Court Decision.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43624
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fabiola
"Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan (Postnuptial Agreement) yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan atas harta campur bulat yang telah ada, selain harus dibuat dengan diikuti pencatatan pada Instansi yang berwenang, Postnuptial Agreement tersebut pun harus mendapatkan pengesahan melalui Penetapan Pengadilan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan batalnya Postnuptial Agreement tersebut serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Perubahan isi Pasal 29 UU Perkawinan, menyebabkan banyak dibuatnya Postnuptial Agreement. Pada praktiknya, ditemukan adanya Postnuptial Agreement bermasalah, dikarenakan isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada, dan Postnuptial Agreement tersebut hanya dilakukan pencatatan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Salah satu Postnuptial Agreement yang bermasalah yaitu, akta Perjanjian Perkawinan Nomor 00 yang dibuat di hadapan IM Notaris di KB.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah mengenai (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat dan (2) keabsahan transaksi jual beli tanpa persetujuan pasangan pihak penjual dan perlindungan terhadap kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada penelitian ini telah digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Data yang digunakan ialah data sekunder serta wawancara sebagai data pendukung, dengan metode analisis data kualitatif.
Hasil analisis, (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat adalah tidak sah atau batal demi hukum jika yang dilakukan yaitu, pembagian dan pemisahan terhadap harta yang telah ada. Agar Postnuptial Agreement ini dapat sah dan mengikat, maka harus dilakukan permohonan pengesahan pada Pengadilan Negeri. (2) Keabsahan transaksi jual beli yang dilakukan tanpa adanya persetujuan pasangan pihak penjual dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan penetapan pengadilan adalah tidak sah atau batal demi hukum, akan tetapi pembeli beriktikad baik dilindungi. Adapun kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement telah dilindungi oleh hukum baik dalam bentuk perlindungan hukum preventif maupun represif.

The drawing up of a Postnuptial Agreement setting out terms regarding the distribution and separation of existing community property, other than having to be registered to the regulatory authorities, such Postnuptial Agreement must acquire validation through a Court Order. This is done so as not to cause the voiding of the Postnuptial Agreement and to provide legal certainty to third parties. The existence of Article 29 of Marriage Law, has caused the creation of many Postnuptial Agreements. In practice, the existence of Postnuptial Agreements is problematic, as the contents set out terms regarding the distribution and separation of existing community property, and towards such Postnuptial Agreement a simple registration is done to the Department of Population and Civil Registration without being followed by a Court Order. An example of a problematic Postnuptial Agreement is Deed of Marriage Agreement Number 00 made before IM, Notary in KB.
The problem raised within this research is on (1) the validity of a Postnuptial Agreement containing terms on the distribution and separation of existing community property that is registered without being followed by a Court Order and (2) the validity of a sale purchase transaction without the spousal consent of the seller and the protection towards third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the distribution and separation of community property within the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order. To address such problem, this research uses a judicial-normative method through prescriptive research typology. The data used is secondary data with interviews as supporting data, with a qualitative data analysis method.
The result of such analysis is that, (1) the validity of the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order that sets out terms related to the distribution and separation of joint marital property is that it is not valid or should be null and void if what is set out is the distribution and separation of existing community property. In order for the Postnuptial Agreement to be valid and binding, an application for the validation by a District Court. (2) the Validity of the sale purchase transaction conducted without the spousal consent of the seller due to the existence of distribution and separation of existing community property within a Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a court order is invalid or null and void, however a buyer in good faith is protected. Third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the existence of separation and division of existing joint marital property within a Postnuptial Agreement is also protected by law, whether through preventive or repressive legal protection.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zaky Madany
"Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini, globalisasi tidak hanya merubuhkan "batasan" suatu negara dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan, namun juga pergaulan manusia yang dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus perkawinan yang terjadi antara dua orang yang tunduk pada dua hukum yang berbeda karena perbedaan status kewarganegaraan. Perkawinan campuran pada perkembangannya menimbulkan berbagai permasalahan hukum, salah satunya yaitu dalam ruang lingkup status harta kekayaan bersama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis berkesimpulan bahwa Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran (dengan Warga Negara Asing) dapat tetap memiliki properti dengan status hak milik dengan cara membuat perjanjian pemisahan harta. Karena seperti yang kita ketahui bersama, hak milik atas tanah hanya melekat pada Warga Negara Indonesia. Sedangkan pada prinsipnya, apabila tidak ada perjanjian pemisahan harta, maka harta yang timbul setelah terjadinya perkawinan akan menjadi harta bersama. Sehingga, untuk tetap mendapatkan status hak milik dari properti tersebut, Warga Negara Indonesia yang bersangkutan harus membuat perjanjian pemisahan harta untuk memastikan bahwa secara sah properti yang dimiliki adalah milik Warga Negara Indonesia dengan status hak milik.

In today`s development, globalization does not only knock down the "boundaries" of a country in the fields of economy, politics and culture, but also human relations which can be seen from the increasing number of marriages that occur between two people who are subject to two different laws because of differences citizenship status. Mixed marriage in its development raises various legal problems, one of which is in the scope of the status of shared assets. By using a normative juridical research method, the authors conclude that Indonesian citizens who carry out mixed marriages (with foreign nationals) can continue to own property with the status of property rights by making a prenuptial agreement concerning about separation of property. Because as we all know, property rights to land are only inherent in Indonesian citizens. Whereas in principle, if there is no agreement on the separation of property, the assets arising after the marriage will become a joint asset. So, in order to continue to obtain the property status of the property, the Indonesian citizen concerned must make a property separation agreement to ensure that legally owned property belongs to Indonesian citizens with ownership status."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"ABSTRAK Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Kata Kunci: Harta Kawin, Perkawinan Campuran, Pemisahan Harta


ABSTRACT Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property.

Keywords: Marriage Assets, Mixed Marriage, Property Separation

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T51855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Mulyo Yanuar
"Perkawinan campuran adalah suatu perkawinan antara dua warganegara yang berbeda, dimana satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain warga negara asing. Calon suami istri sebelum atau pada waktu perkawinan atau suami istri setelah perkawinan, dapat membuat perjanjian kawin mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan mengenai harta kawin berupa hak atas tanah, tidak dapat berlaku surut terhadap hak atas tanah yang diperoleh sebelum adanya perjanjian kawin. Status hak atas tanah berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna, usaha, tidak dapat dipunyai atau dimiliki oleh warga negara asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagaimana jika hak atas tanah berupa hak guna bangunan yang diperoleh selama perkawinan campuran, dilakukan pemisahan harta berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam menjawab masalah tersebut, dipergunakan metode penelitian normatif, dengan mengkaji keabsahan perkawinan campuran,  subjek dan objek hak atas tanah dan waktu  hak atas tanah diperoleh, yaitu sejak atau sebelum  perkawinan campuran sah secara hukum. Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh sebelum perkawinan campuran sah, tetap merupakan milik pribadi masing masing suami istri, yang tidak dapat dijadikan objek pemisahan harta  Harta kawin berupa hak atas tanah yang diperoleh setelah perkawinan campuran sah, yang oleh undang-undang pokok agraria, dilarang dipunyai oleh warga negara asing melalui perkawinan campuran, tidak dapat dilakukan melalui pemisahan harta.

Mixed marriage is a marriage between two different citizens, where one party is an Indonesian citizen and the other is a foreign citizen. Prospective husband and wife before or at the time of marriage or husband and wife after marriage, can make a marriage agreement regarding property in marriage. Agreements for marriage in mixed marriages, which are made after the marriage takes place regarding the property of marriage in the form of land rights, cannot apply retroactively to the rights to land acquired prior to the marriage agreement. The status of land rights in the form of property rights, building use rights and usufructuary rights, business, cannot be owned or owned by foreign citizens either directly or indirectly. What if the land rights in the form of building usufructuary rights obtained during mixed marriages are carried out by the separation of assets based on court decisions. In answering the problem, normative research methods are used, by examining the validity of mixed marriages, the subject and object of land rights and when land rights are obtained, ie from or before a mixed marriage is legally legal. Marital assets in the form of land rights acquired before a mixed marriage are legal, still private property of each husband and wife, which cannot be the object of the separation of assets of married property in the form of land rights obtained after a legal mixed marriage, which is based on agrarian law, prohibited from being owned by foreign nationals through mixed marriages, cannot be done through the separation of property."
2016
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Ayu Cassandra
"ABSTRAK
Pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan campuran seringkali tidak
memperhatikan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, khususnya terhadap
harta bersama. Untuk melindungi diri pribadi dan agar di kemudian hari konsekuensi
hukum atas suatu perbuatan hukum dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing
pihak sehingga tidak melibatkan harta yang dimilikinya, hendaknya pasangan yang
melakukan perkawinan campuran membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sesuai Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pada studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 613/PDT/2017/PT.DKI, pasangan suami isteri tersebut sempat membuat
perjanjian kawin yang dibuat pada Notaris di Indonesia, setelah perkawinan
dilangsungkan di Australia, namun kemudian perjanjian kawin tersebut batal demi
hukum. Penulis mengadakan penelitian atas kasus tersebut dengan jenis penelitian
yuridis normatif dan sifat penelitiannya deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian,
Penulis menyimpulkan bahwa implikasi hukum atas pembatalan perjanjian kawin
menyebabkan seperti dari semula tidak pernah ada suatu perjanjian. Oleh karenanya
dalam perkawinan campuran tersebut terdapat harta bersama yang harus dibagi antara
suami isteri setelah perkawinan berakhir karena perceraian yakni masing-masing 50%
(lima puluh persen) atau setengah bagian dari harta bersama.
ABSTRACT
Married couples who do a mixed marriage often do not pay attention to the legal
consequences of the mixed marriage, especially for joint property. To protect oneself
and so that in the future the legal consequences of a legal action can be accounted for by
each party so that it does not involve the assets they own, couples who have to make a
mixed marriage make a marriage agreement. Marriage agreement before the
Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, in accordance with Article
29 paragraph (1) of the Marriage Law can only be made during or before the marriage
takes place. In the case study of the Decision of the High Court of the Special Capital
Region of Jakarta Number 613/PDT/2017/PT.DKI, the couple made a marriage
agreement made to a notary in Indonesia, after the marriage took place in Australia, but
then the marriage agreement was null and void. . The author conducted research on
these cases with a type of normative juridical research and the nature of the research
was analytical descriptive. Based on the results of the study, the author concludes that
the legal implications of the cancellation of the marriage agreement cause that from the
beginning there was never an agreement. Therefore, in a mixed marriage there is a Joint
asset which must be divided between husband and wife after the marriage ends due to
divorce, each of which is 50% fifty percent or half of the joint property.
"
2020
T54459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Permana
"Tesis ini membahas mengenai permasalahan perjanjian kawin yang tidak didaftarkan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan salah satu bentuk "perikatan" antara seorang pria dengan seorang wanita. Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang dikenal dengan istilah "hukum perkawinan" yakni sebuah himpunan dari peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah laku manusia dalam perkawinan. Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai implikasi perjanjian kawin yang tidak didaftarkan terhadap pihak ketiga dan status kepemilikan properti milik WNI setelah perkawinan dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen. Ketidaktahuan hukum dalam pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dan keterlambatan pendaftaran perjanjian kawin, akan menjadi pemicu masalah hukum bagi suami istri maupun pihak ketiga karena merasa dirugikan, dan dapat berakibat pada pembatalan perjanjian kawin. Pihak ketiga akan dirugikan apabila tidak dilakukan pendaftaran, karena perjanjian kawin tersebut dianggap hanya berlaku pada pihak suami dan istri saja, tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila tidak didaftarkan. Bagi calon pasangan perkawinan campuran yang akan mengadakan perjanjian kawin dalam perkawinannya, sudah sebaiknya mencari informasi baik melalui instansi pemerintah yakni pada Kantor Catatan Sipil maupun profesi hukum yang memiliki kompetensi atau pengetahuan berkaitan dengan pembuatan perjanjian kawin, seperti Notaris atau pengacara.

This thesis discusses the issue of marriage agreements that are not registered. Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman, as a husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Marriage is one form of "engagement" between a man and a woman. The engagement is regulated in a law that applies in society, known as "marriage law" which is a set of rules that regulate and sanction human behavior in marriage. The main problem in this thesis is about the implications of the marriage agreement that is not registered with the third party and the property ownership status of the Indonesian citizen after the marriage is held according to the applicable law in Indonesia. The author uses a normative juridical research method, the type of data used is secondary data collected through document studies. The ignorance of the law in making marriage agreements after marriage and the delay in the registration of marriage agreements, will be a trigger for legal problems for husband and wife and third parties because they feel disadvantaged, and can result in the cancellation of the marriage agreement. Third parties will be disadvantaged if registration is not carried out, because the marriage agreement is considered only valid on the part of husband and wife only, does not apply to third parties if not registered. For prospective mixed marriages who will enter into marriage agreements in their marriages, it is better to seek information through government agencies, namely the Civil Registry Office and the legal profession that has the competence or knowledge related to making marriage agreements, such as Notaries or lawyers."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>