Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115423 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dexanda Pravian
"ABSTRAK
Latar belakang: External Counter Pulsation (ECP) dapat diaplikasikan sebagai pilihan terapi pada pasien dengan angina refrakter yang tidak adekuat dikendalikan dengan terapi medis, angioplasti perkutan (IPK) ataupun bedah pintas arteri koroner (BPAK). Hasil bervariasi masih diperoleh pada perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien yang menjalani ECP. Metode 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) dianggap lebih unggul menilai perbaikan klinis, namun hingga kini belum ada penelitian yang mengevaluasi mekanikal ventrikel kiri dengan menggunakan 2D-STE pada pasien yang menjalani protokol standar ECP (35 sesi).
Tujuan: Mengetahui perubahan mekanik ventrikel kiri sesudah dilakukan 35 protokol standar ECP dibandingkan dengan kontrol/sham pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK).
Metode: Pasien dengan angina refrakter yang tidak dapat dilakukan revaskularisasi lebih lanjut secara konvensional (IPK/BPAK) dirandomisasi menjadi 2 kelompok: kelompok terapi standar ECP (300 mmHg) dan kelompok placebo/sham (75 mmHg). Terapi standar ECP diberikan selama 35 sesi, durasi 1 jam/hari/sesi, selama 5 hari/minggu, selama 7 minggu. Data 2D-STE mencakup strain longitudinal dan post systolic index (PSI) diambil sebelum dan sesudah terapi (dengan double-blind).
Hasil: Terdapat 46 subjek ikut serta dalam penelitian dan tidak ada subjek yang mengalami drop-out. Tiga pasien dieksklusi karena kualitas ekokardiografi sub-optimal. Dua puluh dua subjek disertakan dalam Grup Terapi ECP dan 21 subjek dalam Grup Kontrol (sham). Karakteristik dasar strain homogen sebelum dilakukan perlakuan baik secara global (Grup Terapi 12,42±4,55 vs Grup Sham 12,00±4,92; p 0,774) maupun secara segmental/regional (Grup Terapi 12,63 (0,01-25,16) vs Grup Sham 12,43 (0,01-27,20); p 0,570). Setelah perlakuan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik antar kelompok pada parameter mekanik ventrikel kiri baik secara global (p 0,535) maupun regional (p 0,434). Parameter PSI mengalami perbaikan pada grup Terapi (p 0,049) dan segmen dengan PSI≥20% cenderung mengalami perbaikan strain longitudinal pada grup Terapi dibanding grup Sham (p 0,042).
Kesimpulan: Terapi ECP sebanyak 35 sesi tidak memberikan perbaikan mekanik ventrikel kiri secara global maupun regional/segmental pada pasien angina refrakter yang tidak ideal menjalani revaskularisasi konvensional (IPK/BPAK) dibanding sham.

ABSTRACT
Background: External Counterpulsation (ECP) can be applied as a therapeutic option in patients with debilitating refractory angina inadequately controlled by medical therapy, percutaneous angioplasty (PCI), or coronary artery bypass surgery (CABG). Varied results are still obtained in the improvement of the left ventricular ejection fraction in patients undergoing ECP. The 2D-Speckle Tracking Echocardiography (2D-STE) method is considered superior in assessing clinical improvement, but there has been no study evaluating mechanical parameters of the left ventricle using 2D-STE in patients undergoing the standard ECP protocol (35 sessions).
Objective: To determine the effect of ECP on left ventricular mechanical parameters changes after performing 35 ECP standard protocols compared with sham (control) in patients with refractory angina who are not ideal for conventional revascularization (PCI/CABG).
Methods: We conducted a double-blind randomized control trial. Patients with refractory angina who could not be further revascularized conventionally (PCI/CABG) were randomized into 2 groups: the ECP group (300 mmHg) and the Sham group (75 mmHg). ECP standard therapy was given for 35 sessions, duration of 1 hour/day/session, for 5 days/week, for 7 weeks. 2D-STE data including strain and post systolic index (PSI) were obtained before and after therapy.
Results: There were 46 subjects included in the study without any drop-out. Three patients were excluded due to suboptimal echocardiographic images. Twenty-two subjects were included in the ECP group and 21 subjects into the sham group. A homogenous baseline strain was found either globally (ECP group 12.42 ± 4.55 vs Sham group 12.00±4.92; P=0.774) or segmentally/regionally (ECP group 12.63 (0.01-25.16) vs the Sham group 12.43 (0.01-27.20); P=0.570). After treatment, there was no statistically significant improvement between groups in the mechanical function of the left ventricle both globally (P=0.535) or regionally/segmentally (P=0.434). There were improvements in the PSI parameters found in the ECP group (P=0.049) and segments with PSI ≥20% tended to improve longitudinal strains in the Therapy group compared to the Sham group (p 0.042).
Conclusion: 35 sessions of ECP therapy did not improve the global nor regional/segmental left ventricular mechanical parameters in patients with refractory angina who were not ideally suited for conventional revascularization (PCI/CABG) compared to Sham."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Lilihata
"Latar Belakang : External counterpulsation (ECP) ditunjukkan dapat mengurangi gejala angina dan memperbaiki kualitas hidup pasien penyakit jantung koroner (PJK) dengan angina refrakter. Efek protektif jangka panjang ini dipikirkan merupakan efek dari peningkatan pulsatile shear stress pada endotel vaskular sehingga terjadi perbaikan pada fungsi endotel. Dalam proses ini, sekelompok miRNA berfungsi meregulasi ekspresi gen dan dipengaruhi oleh shear stress, diantaranya adalah miR-92a yang bersifat proatherosklerosis. Tujuan : Mengetahui pengaruh ECP terhadap kadar miR-92a di plasma pada pasien PJK dengan angina refrakter. Metode : Sebanyak 50 pasien PJK dan angina refrakter direkrut dan diacak ke salah satu dari kelompok terapi ECP atau sham (1:1), dan menjalani 35 sesi yang berdurasi 1 jam tiap sesi. Terapi sham serupa dengan terapi ECP namun memberikan tekanan yang jauh lebih rendah. Level miR-92a di sirkulasi diukur di plasma darah sebelum dan sesudah selesai seluruh terapi, kemudian besar perubahan pada kedua kelompok dibandingkan. Hubungan antara keluaran klinis seperti keluhan angina, kapasitas fisik dan ejection fraction (EF) ventrikel kiri dengan kadar miR-92a juga dinilai.
Hasil : miR-92a di plasma meningkat bermakna pada kelompok ECP [+5.1 (+4.2 s.d +6.4) menjadi +5.9 (+4.8 s.d +6.4), p value <0.001] dan sham [+5.2 (+4.1 s.d +9.4) menjadi +5.6 (+4.8 s.d +6.3), p value 0.008]. Besar perubahan dan fold changes cenderung lebih besar pada kelompok ECP namun tidak berbeda bermakna secara statistik dibandingkan kelompok sham. Kadar miR-92a post intervensi berkorelasi signifikan dengan rasio diastolik/sistolik selama terapi dan perbaikan EF pasca intervensi. Selain itu, perubahan miR-92a berkorelasi positif dengan perbaikan kapasitas fisik.

Background : Noninvasive modality External counterpulsation (ECP) can improve angina frequency and exercise capacity in refractory angina (RA) patients. The long term benefit is thought to be the result of increase in shear stress on vascular endothelial cells resulting in improvement of endothelial dysfunction. In this process, a group of miRNA regulating gene expression in relation to shear stress is called flow-sensitive miRNA, among them is miR-92a. Aim : To evaluate ECP effect on plasma miR-92a level in RA patients. Method : Fifty subjects with RA were enrolled and randomized to either one of ECP or sham therapy (1:1 randomization). Each therapy session was one hour, for a total of 35 sessions. As a control, sham gave same sensation as ECP but with lower pressure. Plasma miR-92a level was measured before and after therapy and delta changes was compared between group. Secondary clinical outcome such as angina class, physical capacity and left ventricle Ejection Fraction (EF) were also measured and correlated with miR-92a level.
Result : Plasma miR-92a level increased in both treatment groups [in ECP group +5.1 (+4.2 to +6.4) to +5.9 (+4.8 to +6.4), p value <0.001, in sham group +5.2 (4.+1 to 9.4) to +5.6 (+4.8 to +6.3), p value =0.008]. There was higher delta increase and fold changes in ECP group, however the difference did not reach statistically significant. miR-92a level post intervention correlated significantly with Diastolic/Systolic ratio during intervention and improvement in ejection fraction (EF) post intervention. Moreover, changes in miR- 92a correlated positively with improvement in physical capacity. Conclusion : ECP did not cause significant different increase of miR-92a compared to sham.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I.G.N. Putra Gunadhi
"Untuk menilai manfaat tindakan Kontra Pulsasi Extemal Diperkuat
(KPEK - ’EECP’) pada penatalaksanaan penderita APS, telah dilakukan penelitian "pre-post uncontrolled clinical trials" terhadap 38 penderita APS (36 laki-laki, 2 wanita) berumur rata-rata 56,31±1,34 tahun dengan rentang usia 43 - 73 tahun, dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta pada periode 1 Desember 1992 sampai dengan 31 Agustus 1993. Semua penderita menjalani tindakan KPEK 36 jam, 1 jam setiap hari yang sama) pra dan pasca tindakan KPEK serta perubahan keluhan subyektif
pasca tindakan. 35 orang diantaranya dievaluasi dengan uji latih Jantung beban dan skintigrafi talium 1 minggu pra dan pasca tindakan KPEK. Didapatkan perbaikan kelas angina sesuai kriteria CCS pada 32 (84,2%) penderita serta. Dari hasil skintigrafi talium 201, 9 penderita (23,6%) tidak
didapatkan defek iskemi lagi, pengurangan area iskemi didapatkan pada 24 penderita (63,2%) dan hanya 5 penderita (13,2%) tidak mengalami perbaikan. Sehingga total penderita yang menunjukkan perbaikan defek iskemi adalah 33 orang (86,8%). Toleransi latihan (’exercise duration’) dari ULJB juga mengalami peningkatan pada kelompok penderita yang menunjukkan bebas defek iskemi dari 5,76±2,35 menjadi 7,78±2,28 menit (P<0,02), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 5,61±2,19 menjadi 6,65±1,85 menit ( P < 0,05 ). Sedangkan pada kelompok yang tidak
mengalami perbaikan tidak menunjukkan peningkatan toleransi latihan. Produk ganda pada ULJB pada kelompok penderita yang mengalami bebas defek iskemi menunjukkan penurunan dari 25166,67±4609,26 menjadi 24503,33±4012,03 ( P < 0,001 ), demikian juga pada kelompok yang menunjukkan pengurangan area iskemi dari 22910,48±6193,11 menjadi 21644,29±4227,46 ( P < 0,001 ), tapi sebaliknya pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan menunjukkan peningkatan dari 23392±4470,75 menjadi 26908±5738,59 mmHg LJ/menlt ( P < 0,001 ). Perbaikan defek reperfusi dan peningkatan toleransi latihan menggambarkan perbaikan perfusi koroner ke daerah miokard yang mengalami iskemi."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rampengan, Starry Homenta
"Latar belakang: Gagal jantung kronik merupakan penyakit progresif lambat dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Penggunaan obat-obatan seringkali tidak berhasil, sehingga Enhanced External Counterpulsation (EECP) yang bersifat non-invasif dapat menjadi alternatif terapi dalam penanganan gagal jantung.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinik terkontrol secara randomisasi terbuka terhadap kelompok yang menjalani terapi EECP dan yang tidak menjalani terapi (non-EECP). Masing-masing kelompok terdiri dari 33 pasien. Pada semua pasien dilakukan pemeriksaan mieloperoksidase (MPO) sebagai penanda inflamasi pada awal dan setelah 6 bulan pengamatan untuk dinilai kelompok mana yang lebih banyak mengalami kejadian kardiovaskular.
Hasil: Pengukuran kadar MPO awal (743,4 ± 232,9 pM) dan setelah 6 bulan pengamatan (534,8 ± 191,3 pM) pada kelompok EECP mengalami penurunan bermakna secara statistik (p < 0,001) tetapi pada kelompok non-EECP (679,4 ± 332,3 pM menjadi 517,6 ± 189,7 pM) secara statistik tidak bermakna (p = 0,110). Penurunan kadar MPO sangat bermakna secara statistik pada semua pasien kelompok EECP dibandingkan kelompok non-EECP (13 pasien). Hasil perhitungan risiko relatif (RR) menyatakan bahwa risiko penurunan MPO pada kelompok EECP 2,08 kali lebih baik daripada kelompok non-EECP. Pengamatan kejadian kardiovaskular setelah 6 bulan penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p = 0,037). Kejadian kardiovaskular kelompok non-EECP ditemukan 15 pasien (45,5 %) sedangkan pada kelompok EECP hanya ditemukan 7 pasien (21,2 %).
Kesimpulan: Terapi EECP menurunkan kadar MPO pasien GJK dan dapat menurunkan kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan pengamatan. Makin tinggi kadar MPO berkorelasi dengan makin tingginya insiden kejadian kardiovaskular.

Background: Chronic heart failure (CHF) is a slowly progressive disease with high morbidity and mortality; the management using pharmacological treatments frequently fail. Therefore, Enhanced External Counterpulsation (EECP), a non-invasive treatment, may serve as alternative treatment for heart failure.
Methods: Our study was an open randomized controlled clinical trial. All subjects were categorized into two groups, i.e. the group who had EECP therapy and those who did not have EECP (non-EECP group). Each group consisted of 33 patients. Myeloperoxidase (MPO) as inflammatory marker was examined in all subjects at baseline and after 6 months of observation to assess which group had more cardiovascular events.
Results: Baseline MPO measurement (743.4 ± 232.9 pM) and after 6 months (534.8 ± 191.3 pM) in 32 patients in EECP group showed statistically significant reduction (p < 0.001); however in the non-EECP group, mean reduction value of MPO from 679.4 ± 332.3 pM to 517.6 ± 189.7 pM was not statistically significant (p = 0.110). MPO level reduction was statistically significant in all subjects of EECP group compared to non-EECP group (13 patients). Measured relative risk (RR) demonstrated that there was 2.08 fold risk of reduced MPO in EECP group compared to non-EECP group. Cardiovascular events observed after 6 months study showed that there was a significant difference between groups (p = 0.037).
Conclusion: EECP therapy can reduce MPO level in CHF patients. It may lower cardiovascular events in 6 months observation. Higher MPO level are associated with higher incidence of cardiovascular events.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Hanggadhi Nugroho
"Latar belakang: Aritmia ventrikular idiopatik, baik kompleks ventrikel prematur (KVP) maupun takikardia ventrikel (TV), dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (VKi) yang akan menimbulkan kardiomiopati dan meningkatkan mortalitas. Banyak faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya kardiomiopati akibat KVP (KA-KVP) meskipun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya dipahami. Variasi sirkadian KVP dilaporkan berhubungan dengan terjadinya penurunan fraksi ejeksi VKi. Deteksi dini adanya disfungsi sistolik intrinsik Vki dapat dilakukan melalui pemeriksaan speckle tracking ekokardiografi dengan mengukur nilai global longitudinal strain (GLS). Sampai saat ini belum diketahui apakah variasi sirkadian KVP berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik dengan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan total subjek 67 pasien (17 laki-laki [25,4%]; usia rata-rata 46.5 + 9.8 tahun; fraksi ejeksi ventrikel kiri 63,2% + 7,5%) dengan KVP yang berasal dari jalur keluar ventrikel dari pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan. Semua pasien menjalani pemeriksaan Holter monitoring 24 jam dan speckle tracking ekokardiografi. Dilakukan perhitungan variasi sirkadian beban KVP dan nilai global longitudinal global (GLS) kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil: Sebanyak 31 pasien (46.3%) mengalami gangguan fungsi sistolik Vki (GLS lebih buruk dari -18%). Pasien dengan gangguan fungsi sistolik VKi memiliki GLS yang kurang negatif (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0,001), beban KVP yang lebih tinggi (22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), variasi sirkadian beban KVP yang rendah (koefisien variasi beban KVP per 6 jam 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0,001), dan episode TV non-sustained yang lebih sering (10 pasien [76.9%] vs 3 pasien [23.1%]; p=0,019). Sebanyak 70.6% pasien dengan jenis kelamin laki-laki mengalami gangguan disfungsi sistolik VKi (p=0,002). Pada analisis multivariat didapatkan beberapa prediktor terhadap gangguan fungsi sistolik Vki antara lain variasi sirkadian beban KVP yang rendah dengan [(koefisien variasi beban KVP per 6 jam < 35%), odds ratio (OR)=3.89 interal kepercayaan (IK)95%=1.09-13.80 p=0.036], episode TV non-sustained (OR=14.4, IK 95%=2.36-88.55, p=0.008), beban KVP > 9% (OR=6.81, IK 95%=1.35-34. Kesimpulan: Variasi sirkadian aritmia ventrikular idiopatik yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui speckle tracking ekokardiografi. Variasi sirkadian beban KVP per 6 jam < 35% memiliki risiko 3.89 kali lebih tinggi untuk terjadinya disfungsi sistolik ventrikel kiri

Background: Idiopathic ventricular arrhythmias (AVI) including premature ventricular complex (PVC) or ventricular tachycardia (VT) can cause left ventricular (LV) dysfunction which may lead to cardiomiopathy. The mechanisms of this cardiomyopathy remain elusive, many factors are believed to contribute. PVC burden is influenced by circadian rhythmicity and lack of PVC circadian variability was proposed as one mechanism of LV dysfunction. Since early detection of LV systolic dysfunction can be done by speckle tracking echocardiography examination, further studies are needed to assess intrinsic left ventricular systolic function and its correlation with PVC circadian variation in patients with idiopathic ventricular arrhythmias.
Objective: This study aimed to investigate the correlation between circadian variation of IVA and left ventricular intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography.
Methods: The subjects of this cross sectional study were 67 consecutive patients (17 men [25.4%]; mean age 46.5 + 9.8 years; left ventricular ejection fraction 63.2% + 7.5%) with PVC originated from ventricular outflow tract based on 12 lead electrocardiogram. All patients underwent 24-hour Holter monitoring and speckle tracking echocardiography examinations. The circadian variation of PVC burden and global longitudinal strain (GLS) were determined and statistical analysis was conducted to evaluate their correlation. Results: A total 31 patients (46.3%) had impaired LV systolic function by GLS ( worse than -18%). Patients with impaired LV systolic function had a less negative GLS (-15.1% + 1.8% vs -21.3% + 2.0%; p=<0.001), a higher PVC burden ((22.2% + 11.1% vs 13.9% + 8.3; p=0,001), less variation in circadian PVC distribution (coefficient of variation 6 hourly 26.8% + 15.6 vs 52.0 % + 28.2%; p=<0.001), and more frequent episode of non-sustained VT (10 patients [76.9%] vs 3 patients [23.1%]; p=0.019). Total 70.6% patient with male gender experienced impaired LV systolic function (p=0.002). Independent predictors for impaired systolic LV function were less variation in circadian PVC distribution [(coeficient of variation < 35%), odds ratio (OR)=3.89, 95% confidence interval (CI)= 1.09-13.80, p=0.036)], episode of non-sustained VT (OR=14.4, 95%CI=2.36-88.55, p=0.008), PVC burden > 9% (OR=6.81, CI 95%=1.35-34.41, p=0.020), and male gender (OR=14.4, CI 95%=2.02-101.1, p=0.004).
Conclusion: Lack of circadian variation of IVA is associated with impaired LV systolic function by GLS. Coefficient of variation PVC burden < 35% has 3.89 times higher risk for development of left ventricular systolic dysfunction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agita Maryalda Zahidin
"Latar Belakang: Kompleks prematur ventrikel (KVP) dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi ventrikel dan gagal jantung, dan meningkatkan mortalitas jangka panjang. Variasi sirkadian yang rendah merupakan salah satu prediktor terjadinya kardiomiopati yang diinduksi oleh KVP. KVP idiopatik tipe independen merupakan salah satu bentuk dari KVP dengan gambaran distribusi variasi sirkadian yang rendah. Namun tidak semua KVP independen memiliki variasi sirkadian yang rendah. Belum ada studi yang menilai perbedaan fungsi sistolik intrinsik VKi menggunakan global longitudinal strain (GLS) pada KVP idiopatik independen dengan KVP idiopatik non-independen.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen dengan GLS ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking pada pasien tanpa penyakit jantung struktural.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan data pasien aritmia ventrikel idiopatik yang dikumpulkan di RSPJD Harapan Kita Jakarta pada bulan Februari 2021- Mei 2021. Evaluasi KVP idiopatik dilakukan dengan EKG 12 sandapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Data dasar ekokardiografi diambil dan penilaian fungsi sistolik intrinsik ventrikel kiri (Vki) dilakukan menggunakan ekokardiografi speckle tracking dengan global longitudinal study (GLS).
Hasil: Dari 67 pasien KVP idiopatik yang disertakan dalam penelitian, didapatkan sebesar 27 pasien (40,2%) dengan KVP tipe independen dan 40 pasien (59,8%) dengan KVP non-independen. Sebanyak 31 (46,3%) pasien memiliki disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pemeriksaan GLS (kurang dari -18). KVP tipe independen (OR 5,3; IK 95% 1,10-33,29; p = 0,038), beban KVP 9% (OR 16; IK 95% 1,58-163,61; p = 0,019), jenis kelamin laki-laki (OR 6,58; IK 95% 0,80-0,99; p = 0,029), dan episode TV non-sustained (OR 13,88; IK 95% 1,77-108,53; p = 0,012) berhubungan secara signifikan dengan penurunan fungsi sistolik intrinsik Vki.
Kesimpulan: Kompleks ventrikel prematur idiopatik tipe independen berhubungan dengan penurunan sistolik intrinsik ventrikel kiri melalui ekokardiografi speckle tracking. Evaluasi tipe KVP idiopatik perlu dilakukan karena berhubungan dengan prognosis pasien dalam praktik klinis.

Background: Premature ventricular complexes (PVC) was associated with a risk of decreased ventricular function and heart failure, and increased long-term mortality. Low circadian variation is one of the predictors of PVC-induced cardiomyopathy. Independent-type-PVC (I-PVC) is a form of PVC with a low distribution of circadian variation. However, not all I-PVC show low circadian variation. No studies have been performed to examine differences in intrinsic systolic function of left ventricle (LV) using global longitudinal strain (GLS) in independent versus non-independent idiopathic PVC.
Objective: To determine the relationship between I-PVC and intrinsic systolic function of LV using speckle tracking echocardiography in patients without structural heart disease.
Methods: A cross-sectional study was conducted using data from patients with idiopathic ventricular arrhythmias collected at RSPJD Harapan Kita Jakarta in February 2021-May 2021. Evaluation of idiopathic PVC was carried out using a 12-lead ECG, 24-hour Holter monitoring. Basic echocardiography was performed then LV intrinsic systolic function was assessed using speckle tracking echocardiography with global longitudinal study (GLS).
Results: Of the 67 patients with idiopathic PVC included in the study, 27 (40.2%) patients included in independent PVC group and 40 (59.8%) patients in non-independent PVC group. A total of 31 (46.3%) patients had LV systolic dysfunction on GLS examination (less than -18). Independent-type-PVC (OR 5.3; 95% CI 1.10-33.29; p = 0.038), PVC burden of 9% (OR 16; 95% CI 1.58-163.61; p = 0.019), male gender (OR 6.58; 95% CI 0.80-0.99; p = 0.029), and non-sustained VT episodes (OR 13.88; 95% CI 1.77-108.53; p = 0.012) was significantly associated with a decrease in LV intrinsic systolic function.
Conclusion: Independent-type-PVC was associated with decreased in LV intrinsic systolic function assessed by speckle tracking echocardiography. Evaluation of the type of idiopathic PVC needs to be considered since it is related with patient's prognosis in clinical practice.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Rafika Nursyirwan
"Latar belakang Kardiotoksisitas subklinis merupakan kondisi yang sering terjadi pada anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi, tetapi belum dapat terdeteksi menggunakan pemeriksaan ekokardiografi konvensional. Pemeriksaan global longitudinal strain menggunakan ekokardiografi speckle tracking dilaporkan dapat mendeteksi disfungsi ventrikel kiri lebih awal dibandingkan ekokardiografi konvensional. Namun, belum banyak penelitian terkait pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan ekokardiografi speckle tracking pada anak dengan keganasan. Studi ini diharapkan dapat membantu deteksi dini gangguan fungsi jantung. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap 49 subyek anak berusia 6 bulan sampai 17 tahun 10 bulan pada September-November 2022. Subyek penelitian adalah anak yang baru terdiagnosis keganasan, tidak memiliki masalah jantung sebelumnya, dan mendapatkan kemoterapi kemudian dievaluasi pemeriksaan kuantitatif fungsi jantung dengan pemeriksaan kuantitatif ekokardiografi (konvensional, Doppler jaringan, speckle tracking) sebelum dan sesudah mendapat kemoterapi 3 bulan. Pasien yang mengalami reduksi relatif GLS >15% dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa biomarker jantung troponin I. Hasil ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk deteksi disfungsi sistolik ventrikel kiri lebih dini dengan sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34). Subyek yang mengalami kardiotoksisitas subklinis didapatkan sebanyak 63,3% ditandai dengan reduksi relatif GLS>15% setelah kemoterapi 3 bulan. Didapatkan penurunan bermakna nilai LPSS ventrikel kiri segmen mid dan segmen apikal serta GLS dari median -18,4 (RIK -17,3 sd. -19,6) % sebelum kemoterapi menjadi -15,3 (RIK -13,65 sd. -17,85) % (p<0,0001) sesudah kemoterapi 3 bulan dengan median dosis kumulatif antrasiklin 150 (RIK 120-300) mg/m2. Reduksi relatif GLS>15% ini ditemukan di saat yang bersamaan belum ditemukan penurunan EF/FS sampai di bawah batas normal. Tidak terbukti usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan regimen kemoterapi memengaruhi kardiotoksisitas subklinis pada pasien anak dengan keganasan yang mendapat kemoterapi selama 3 bulan pada penelitian ini. Kesimpulan Pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam mendeteksi kardiotoksisitas subklinis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 100% (IK 95% 82,35-100) dan spesifisitas 60% (IK 95% 40,60-77,34).

Background Subclinical cardiotoxicity is a condition that often occurs in children with malignancy who receive chemotherapy, but it has not been frequently detected using conventional echocardiography. Global longitudinal strain examination using speckle tracking echocardiography is reported to be able to identify left ventricular dysfunction earlier than conventional echocardiography. However, there are not many studies related to quantitative examination of cardiac function by speckle tracking echocardiography in children with malignancy. This study is expected to help early detection of impaired heart function. Methods This research is a cross sectional study at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta on 49 child subjects aged 6 months to 17 years 10 months in September-November 2022. The research subjects were children who had just been diagnosed with malignancy, had no previous heart problems, and received chemotherapy. Then they were evaluated by quantitative echocardiography (conventional, tissue Doppler, speckle tracking) before and after 3 months of chemotherapy. Patients who experienced a relative reduction of GLS > 15% underwent further examination of troponin I.Results Speckle tracking echocardiography can be considered for early detection of left ventricular systolic dysfunction with 100% sensitivity (95% CI 82.35-100) and 60% specificity (95% CI 40.60-77.34). Children with subclinical cardiotoxicity were found to be 63.3% characterized by a relative reduction in GLS>15% after 3 months of chemotherapy, with a significant decrease in mid and apical segment left ventricular LPSS values and GLS from a median -18.4 (IQR -17.3 sd. -19.6) % before chemotherapy to -15.3 (IQR -13.65 sd. -17.85) % (p<0.0001) after 3 months of chemotherapy with a median cumulative dose of anthracycline 150 (IQR 120-300) mg/m2. This relative reduction of GLS> 15% was found at the same time that there was no decrease in EF/FS below normal limits. There was no evidence that age, gender, nutritional status, and chemotherapy regimen had an effect on subclinical cardiotoxicity in pediatric patients with malignancy who received chemotherapy for 3 months in this study. Conclusion Speckle tracking echocardiography can be considered for detecting subclinical cardiotoxicity. This examination has a sensitivity of 100% (95% CI 82.35-100) and a specificity of 60% (95% CI 40.60-77.34)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Budiono
"Shear stress tinggi terbukti berkaitan dengan penglepasan dan peningkatan sintesa EDRF, khususnya nitrogen monoksida (NO). Telah diketahui bahwa konsep respon endotil terhadap shear stress mendasari perbaikan fungsi endotil pada penelitian in vitro maupun in vivo. Penelitian mengenai efek olah raga terhadap fungsi endotil pada binatang percobaan maupun penderita gagal jantung, menjelaskan dugaan bahwa stimulus peningkatan aliran darah yang berlangsung lama, dapat merangsang pemulihan disfungsi endotil. Adanya peningkatan aliran darah (shear stress) juga telah dibuktikan pada penderita yang menjalani enhanced external counterpulsation (EECP), sehingga diduga akan menimbulkan respon yang mirip dengan aktivitas olah raga, yaitu pelepasan NO oleh sel endotil. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah terdapat peningkatan kadar NO plasma pada penderita penyakit jantung koroner yang mendapat perlakuan EECP. Dilakukan penelitian eksperimental dengan desain pra-pasca pada 20 penderita penyakit jantung koroner (PJK), di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Seluruh penderita berjenis kelamin laki koronerangiografi dengan hasil 9 (47,4%) penderita dengan penyempitan di tiga pembuluh koroner utama, 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan laki, dengan rerata umur 58,1 ± 7,72 tahun, telah menjalani pemeriksaan dua pembuluh koroner utama dan 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan pada satu pembuluh koroner utama. Satu orang penderita dikeluarkan dari penelitian karena akan operasi tumor paru. Seluruh penderita tersebut mendapat perlakuan EECP satu jam perhari sampai tiga puluh enam kali, minimal lima kali seminggu. Setelah puasa 12 jam, pengambilan sampel darah dari vena kubiti dilakukan sesaat sebelum EECP pertama dimulai dan sesaat sesudah EECP pertama selesai. Pengambilan sampel darah berikutnya dilakukan sesaat sebelum dan sesudah EECP ke tiga puluh enam. Kadar NO plasma diukur secara tidak langsung memakai reagen Griess. Analisa statistik dilakukan dengan uji non parametrik Wilcoxon sign rank test untuk distribusi tidak normal atau paired t test bila distribusi sampel normal, menggunakan perangkat Sigma Stat Jandel Scientific Software 1994. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar NO sebelum dan sesudah EECP ke-1 (p-0,046), sebelum EECP ke-1 dan sebelum EECP ke-36 (p=0,003) dan kadar NO sesudah EECP ke-36 dan sebelum EECP ke-1 (p=0,002). Sedangkan efek langsung peningkatan kadar NO pada EECP ke-36 tidak signifikan (p=0,181). Dari analisa statistik, kelompok umur < 60 tahun, memiliki peningkatan signifikan kadar NO3 dibanding dengan NO (p= 0,043) dibanding dengan kelompok umur ≥ 60 tahun (p= 0,077). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok usia < 60 tahun memiliki respon lebih baik terhadap perlakuan EECP kumulatif dibandingkan dengan kelompok usia > 60 tahun. Keadaan ini sejalan dengan konsep bahwa proses penuaan berpengaruh terhadap fungsi endotil. Pengelompokan berdasar jumlah vessel disease memperlihatkan adanya peningkatan signifikan rerata kadar NO3 dibandingkan dengan NO (p=0,04) dan NO4 dengan NO1 (p=0,015) pada kelompok 1-2 vessel disease, sedangkan kelompok 3 vessel disease hanya terjadi peningkatan signifikan kadar NO4 dibandingkan dengan NO, (p=0,021). Peningkatan kadar NO yang belum signifikan, sekalipun telah mendapat perlakuan EECP 35 kali, mencerminkan bahwa perlakuan tersebut belum cukup adekuat untuk meningkatkan kemampuan memproduksi NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Neunteufl dkk, yang mengatakan bahwa luasnya stenosis arteri koroner sebanding dengan luasnya disfungsi endotil sistemik. Seperti halnya pada organ lain, proses pemulihan fungsi akan sangat dipengaruhi oleh seberapa berat gangguan fungsi yang dihadapi. Secara umum hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Daisuke Masuda, dkk. Mereka, menggunakan tehnik pemeriksaan kadar NO dengan reagen Griess, melaporkan bahwa pada 11 pasien PJK yang dilakukan EECP selama 35 kali mengalami kenaikan rerata kadar NO dari 50 ± 26 menjadi 108 ± 9 uMolar/ L. Penelitian yang dilakukan oleh Giu-Fu Wu dkk, juga melaporkan terjadinya kenaikan rerata kadar NO secara signifikan pada 43 pasien PJK sejak jam pertama (1,26 ±0,06 menjadi 1,48 0,06 mg/ L, (1 pg/ul = 1μM)) dan kenaikan kadar NO tertinggi terjadi setelah EECP ke-36 (2,11 ± 0,20 mg/l). Kenaikan kadar NO diikuti penurunan kadar endotelin-1 sehingga rasio endotelin-1/ NO turun bermakna dari 96,37 5,95 menjadi 35,15 ± 4,39. Pada populasi penelitian kami, kadar basal NO lebih rendah. Populasi penelitian Masuda memiliki rerata kadar basal NO pra EECP 50 ± 26 Mol/L, sedangkan populasi penelitian kami 12,30 ± 6,82 µMol/L. Kadar NO basal yang lebih rendah mungkin menggambarkan kondisi disfungsi endotil yang lebih berat. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya ialah; 1. Jumlah sampel kecil. 2. Tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi respon endotil terhadap stimulus shear stress seperti kadar gula darah dankadar kolesterol. KESIMPULAN:
1. Terjadi peningkatan kadar NO pada penderita PJK yang diberi perlakuan EECP
2. Pada kelompok usia kurang dari 60 tahun terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
3. Pada kelompok 2 vessel disease terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok 3 vessel disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Zuhri
"Latar Belakang: ECP mampu menurunkan frekuensi angina, meningkatkan kualitas hidup, serta memperbaiki exercise–induced ischemia time. Manfaat tersebut dapat bertahan beberapa tahun setelah ECP. Mekanisme manfaat jangka panjang ECP tersebut telah dibuktikan akibat adanya angiogenesis yang diduga diperankan VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a.
Tujuan: Mengetahui efek ECP terhadap VEGF-A dan VEGFR-2, serta hubungannya dengan miR-92a pada pasien angina refrakter.
Metode: Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang melibatkan 50 subjek dengan angina refrakter. Subjek dirandomisasi (1:1) ke dalam kelompok terapi ECP atau sham, yang masing-masing dilakukan selama 1 jam, hingga 35 kali. Kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a plasma diukur sebelum dan sesudah terapi menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk VEGF-A dan VEGFR-2, serta quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR) untuk miR-92a. Keluaran klinis sekunder seperti derajat angina, kualitas hidup, 6-minutes walk test (6MWT), dan ejection fraction (EF) juga dinilai.
Hasil: Kadar VEGF-A dan VEGFR-2 dipertahankan pada kelompok ECP, sedangkan kadar VEGF-A dan VEGFR-2 mengalami penurunan yang signifikan pada kelompok sham [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; ΔVEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. Kadar miR-92a meningkat secara signifikan pada kelompok ECP [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. Tidak terdapat korelasi antara perubahan kadar VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; uji Spearman), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229, p = 0.11; uji Spearman), dan VEGR-2 vs miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; uji Spearman)].
Kesimpulan: ECP mampu mempertahankan angiogenesis dengan cara mempertahankan kadar VEGF-A dan VEGFR-2. Pada kondisi iskemia, baik high shear stress (ECP) maupun low shear stress (sham) dapat menginduksi pelepasan miR-92a. ECP mempengaruhi VEGF-A, VEGFR-2, dan miR-92a secara independen.

Background: ECP is able to reduce angina frequency, improve quality of life, and improve exercise time-induced ischemia time. These benefits can last several years after the ECP. The mechanism for the long-term benefit of ECP has been proven by the presence of angiogenesis, which is thought to be mediated by VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a.
Objective: To determine the effect of ECP on VEGF-A and VEGFR-2, and its relationship with miR-92a in patients with refractory angina.
Methods: This study was a double-blind randomized clinical trial involving 50 subjects with refractory angina. Subjects were randomized (1:1) into either ECP or sham therapy groups, each administered for 1 hour, up to 35 times. Plasma VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels were measured before and after therapy using the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method for VEGF-A and VEGFR-2, as well as quantitative reverse transcription-polymerase chain reaction (qRT-PCR). ) for miR-92a. Secondary clinical outcomes such as degree of angina, quality of life, 6-minute walk test (6MWT), and ejection fraction (EF) were also assessed.
Results: VEGF-A and VEGFR-2 levels are maintained in the ECP group, while VEGF-A and VEGFR-2 levels decrease in the sham group [ΔVEGF-A ECP vs sham: 1 (-139 to160) vs -136 (-237 to 67) pg/ml, p = 0.026; VEGFR-2 ECP vs sham: -171(-844 to +1166) vs -517(-1549 to +1407) pg/ml, p = 0.021, respectively]. MiR-92a levels increase significantly in the ECP group [5.1 (4.2 – 6.4) to 5.9 (4.8 – 6.4), p<0.001] and sham [5.2 (4.1 – 9.4) to 5.6 (4.8 – 6.3), p=0.008]. There is no correlation between changes in VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a levels [VEGF-A vs VEGFR-2 (r = 0.243, p = 0.09; Spearman's test), VEGF-A vs miR92-a (r = 0.229 , p = 0.11; Spearman's test), and VEGR-2 vs. miR92-a (r = 0.08, p = 0.581; Spearman's test)].
Conclusion: ECP therapy is able to maintain angiogenesis by maintaining VEGF-A and VEGFR-2 levels. In ischemic conditions, both high shear stress (ECP) and low shear stress (sham) can induce the release of miR-92a. ECP affects VEGF-A, VEGFR-2, and miR-92a independently.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Felani
"Latar Belakang: Studi sebelumnya telah menyebutkan bahwa kontraksi ventrikel prematur (KVP) beban tinggi dapat menjadi faktor resiko terhadap kejadian disfungsi ventrikel kanan, sebagaimana kejadian disfungsi ventrikel kiri atau kardiomiopati terkait KVP (KM-KVP) pada umumnya. Sampai saat ini masih belum terdapat penelitian khusus sebelumnya yang menganalisa antara besar persentase beban KVP idiopatik aksis inferior terhadap penurunan fungsi ventrikel kanan.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara besar persentase beban KVP idiopatik aksis inferior terhadap disfungsi ventrikel kanan menggunakan ekokardiografi speckle tracking.
Metode: Studi observasional potong lintang pada 24 pasien dengan KVP idiopatik aksis inferior beban tinggi yang didiagnosis di Poliklinik Aritmia dan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi speckle tracking (global longitudinal strain / GLS dan free wall longitudinal strain / FWLS) di Poliklinik Ekokardiografi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita sejak 1 Januari - 31 Maret 2023. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara besar persentase beban KVP terhadap disfungsi ventrikel kanan menggunakan ekokardiografi GLS dan FWLS ventrikel kanan.
Hasil: Dari 24 subjek penelitian, proporsi jenis kelamin perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (17 orang berbanding 7 orang), dengan mayoritas morfologi KVP adalah blok berkas cabang kiri (BBCKi) aksis inferior sebanyak 83.3%. Rerata besar beban persentase KVP pada populasi penelitian ini adalah 18.6 ± 9.6%. Besar persentase beban KVP secara bivariat ditemukan berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan melalui parameter GLS ventrikel kanan (p = 0.031), namun dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan secara independen terhadap disfungsi ventrikel kanan (p = 0.063, OR 1.18, 95% CI 0.99 - 1,41). Besar persentase beban KVP tidak berhubungan terhadap disfungsi ventrikel kanan melalui parameter FWLS ventrikel kanan dari analisis bivariat dan multivariat.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara persentase beban KVP terhadap disfungsi ventrikel kanan pada populasi pasien KVP idiopatik aksis inferior beban tinggi di RSJPD Harapan Kita.

Background: Previous studies have proved that high burden premature ventricular contractions (PVC) can be a risk factor for right ventricular dysfunction as similar to left ventricular dysfunction or PVC-induced cardiomyopathy (PIC) in general. There has been no previous specific study that analyzed how large percentage of idiopathic inferior axis PVC burden that could lead to right ventricular dysfunction.
Aim: To evaluate the association between idiopathic inferior axis PVC burden percentage and right ventricular dysfunction using speckle tracking echocardiography examination.
Methods: A cross-sectional observational study on 24 patients with high burden of idiopathic inferior axis PVC underwent right ventricular global longitudinal strain (GLS) and free wall longitudinal strain (FWLS) using speckle tracking echocardiography in outpatient clinic of National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) from January 1st - March 31st, 2023. Statistical analysis performed to find out the association between the percentage of idiopathic inferior axis PVC burden and right ventricular dysfunction using right ventricular GLS and FWLS.
Results: From the 24 study subjects, the proportion of female sex was higher than male (17 people compared to 7 people), with the majority of PVC morphology was inferior axis and left bundle branch block (LBBB) pattern as much as 83.3%. The average of the percentage of PVC burden in this study population is 18.6 ± 9.6%. The percentage of PVC burden was found to be associated bivariately with right ventricular dysfunction through the right ventricular GLS parameter (p = 0.031), but there is no independent association with right ventricular dysfunction from multivariate analysis (p = 0.063, OR 1.18, 95% CI 0.99 – 1.41). The percentage of PVC burden had no association to right ventricular dysfunction through right ventricular FWLS parameters from both bivariate and multivariate analysis.
Conclusion: There is no independent association between the percentage of PVC burden and right ventricular dysfunction in patients with high burden of idiopathic inferior axis PVC
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>