Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169805 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Latsarizul Alfariq Senja Belantara
"Parameter spinopelvic alignment (sagittal balance) merupakan salah satu etiologi yang dicuriga dalam menyebabkan spondilolisthesis degeneratif. Namun, hasil dari studi-studi sebelumnya menunjukkan hasil yang berlawanan; dimana beberapa studi menemukan hubungan yang signifikan dari beberapa parameter tersebut sedangkan yang lain tidak. Sebelumnya, belum terdapat meta-analisis mengenai hubungan spinopelvic alignment dengan terjadinya spondilolistesis degeneratif. Meta-analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan parameter spinopelvic alignment dengan terjadinya spondilolisthesis degeneratif. Systematic review dan meta-analisis yang dikerjakan berdasarkan metode Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA). Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, EMBASE, ScienceDirect, Cochrane, dan Google Scholar. Kualitas metodologis berdasarkan ceklis Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) cross-sectional study quality methodology checklis dan Newcastle-Ottawa Scale (NOS) untuk studi kohort. Analisis statistik dilakukan menggunakan Rev-Man 5.3. Kekuatan asosiasi diperkirakan menggunakan MD, RR, atau OR dan 95% IK nya. Data disajikan dalam bentuk tabel dan forest plot. Nilai P dibawah 0,05 dianggap sebagai bermakna secara statistik. Efek fixed-effect digunakan ketika tidak terdapat heterogenitas statistik signifikan (I2 < 50%, P > 0.10). Jika tidak, efek random-effects (metode Dersimonian dan Laird) digunakan. Grup disajikan antara lain usia, jenis kelamin, PI, PT, SS, LL, dan TK. Studi subgrup dilakukan berdasarkan area dan desain studi untuk memastikan hubungan area dan heterogenitas. Didapatkan total 3,236 artikel. Sejumlah 281 artikel penelitian didapatkan dari PubMed, 959 artikel dari ScienceDirect, 24 artikel dari Cochrane, 1820 artikel pada Google Scholar. Selain itu, dilakukan juga pencarian artikel secara hand searching dari daftar pustaka masing-masing artikel. Didapatkan sebanyak 10 artikel yang dianggap berhubungan dengan kata kunci penelitian. Ditemukan bahwa pelvic incidence (mean difference [MD] = 11,94 [1,81-22,08], P = 0,02), pelvic tilt (MD = 4,47 [0,81-8,14]), P = 0,02), dan usia (MD = 11,94 [1,81-22,08], P = 0,02) berhubungan terjadinya spondilolistesis degeneratif. Ditemukan pula perempuan memiliki risiko 2,86 kali lipat mengalami spondilolistesis degeneratif dibandingkan dengan laki-laki (OR = 2,86, IK95%=1,49-5,48; p = 0,002). Meta-analisis ini menunjukkan bahwa pelvic incidence, pelvic tilt, usia, dan jenis kelamin perempuan berhubungan terjadinya spondilolistesis degeneratif

Spinopelvic parameter may result in the development of degenerative spondylolisthesis. However, results from previous studies show conflicting results; some studies found significant relationship of some of these parameters with degenerative spondylolisthesis, while others did not. Previously, there was no meta-analysis regarding the association between spinopelvic alignment and degenerative spondylolisthesis. This meta-analysis aims to determine the association between spinopelvic alignment and degenerative spondylolisthesis. Systematic reviews and meta-analyzes are carried out based on the Selected Item Reporting method for Systematic Review and Meta Analysis (PRISMA). Literature search was performed using PubMed, EMBASE, ScienceDirect, Cochrane, and Google Scholar. Methodological quality based on the cross-sectional checklist of the Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) quality check methodology and the Newcastle-Ottawa Scale (NOS) for cohort studies. Statistical analysis was performed using Rev-Man 5.3. The strength of the association is estimated using MD, RR, or OR and 95% of its IK. Data is presented in table and forest plot form. P values below 0.05 are considered as statistically significant. Fixed-effect effects are used when there is no statistically significant heterogeneity (I2 <50%, P> 0.10). Otherwise, random-effects (the Dersimonian and Laird methods) are used. Groups presented include age, gender, PI, PT, SS, LL, and TK. Subgroup studies are conducted based on ethnic and study design to ascertain racial relations and heterogeneity.A total of 3,236 articles were obtained. Get 281 research articles from PubMed, 959 articles from ScienceDirect, 24 articles from Cochrane, 1820 articles on Google Scholar. In addition, a hand searching article was also conducted from the bibliography of each article. 10 articles related to research keywords were obtained. It was found that pelvic incidence (mean difference [MD] = 11.94 [1.81-22.08], P = 0.02), pelvic tilt (MD = 4.47 [0.81-8.14]), P = 0.02), and age (MD = 11.94 [1.81-22.08], P = 0.02) associated with degenerative spondylolisthesis. Compared with men (OR = 2.86, IK95% = 1.49-5.48; p = 0.002). This meta-analysis proves that pelvic incidence, pelvic tilt, age, and female sex are associated with degenerative spondylolisthesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Owen
"Latar belakang: Karies gigi merupakan penyakit gigi multifaktorial yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah peran genetik. Banyak penelitian mengenai hubungan antara peran genetik kerentanan karies gigi telah dilakukan, terutama polimorfisme gen pada gen gigi tertentu.
Tujuan: Untuk memperkirakan kemungkinan asosiasi gen amelogenin (AMELX) dan non-amelogenin (ENAM dan AMBN) terhadap kerentanan karies gigi berdasarkan populasi.
Metode: Enam database elektronik, terdiri dari: PubMed, Scopus, EBSCO, Cochrane Library, ScienceDirect, dan Wiley Online Library dilakukan secara rumit sebagai pencarian data lanjutan untuk tanggal publikasi hingga Februari 2019. Proses menyeluruh dalam studi ulasan ini dilakukan dengan menggunakan Preferred Item pelaporan untuk pedoman Tinjauan Sistematik dan Meta-analisis (PRISMA). Bagian meta-analisis diimplementasikan dengan menggunakan dua perangkat lunak: Review Manager 5.4 dan Comprehensive Meta-analysis 2.0.
Hasil: Empat belas studi termasuk dalam analisis kualitatif (tinjauan sistematis) dan kuantitatif (meta-analisis). Hasil analisis kuantitatif menyimpulkan bahwa ENAM rs3796704 berhubungan sebagai faktor protektif terhadap kerentanan karies gigi, terutama pada alel A (OR=0,7; p-value=0,009), genotipe AG (OR=0,7; p-value=0,03), dan genotipe AA (dominan) (OR=0.7; p-value=0.02). ENAM rs3796704 juga memiliki faktor protektif yang signifikan terhadap karies gigi pada etnis Kaukasia dan kelompok usia anak-anak. Namun, tidak ada hubungan bermakna antara AMELX rs946252, AMELX rs17878486, AMELX rs6639060, AMELX rs2106416, ENAM rs1264848, ENAM rs3796703, AMBN rs4694075, dan AMBN rs34538475 terhadap kerentanan karies gigi.
Kesimpulan: ENAM rs3796704 memiliki hubungan yang signifikan terhadap kerentanan gigi karies.

Background: Dental caries is a multifactorial dental disease that is influenced by many factors. One of them is genetic role. Many studies regarding the association between genetic roles dental caries susceptibility have been conducted, especially gene polymorphisms in certain dental genes.
Aim: estimate the possible association of amelogenin (AMELX) and non-amelogenin (ENAM and AMBN) genes to dental caries susceptibility in population-based.
Methods: Six electronic databases, consist of: PubMed, Scopus, EBSCO, Cochrane Library, ScienceDirect, and Wiley Online Library are carried out intricately as data advanced searches for publication date until February 2019. The thorough process in this review study is carried by using the Preferred Reporting items for Systematic Reviews and Meta-analyses (PRISMA) guideline. The meta-analysis part is implemented by using two softwares: Review Manager 5.4 and Comprehensive Meta-analysis 2.0.
Results: Fourteen studies are included in both qualitative (systematic review) and quantitative (meta-analysis) analyses. The result of the quantitative analysis concluded that ENAM rs3796704 is associated as protective factor to dental caries susceptibility, especially in allele A (OR=0.7; p-value=0.009), genotype AG (OR=0.7; p-value=0.03), and genotype AA (dominant) (OR=0.7; p-value=0.02). ENAM rs3796704 also has a significant protective factor to dental caries in caucasian ethnicity and children age group. However, there was no significant association of AMELX rs946252, AMELX rs17878486, AMELX rs6639060, AMELX rs2106416, ENAM rs1264848, ENAM rs3796703, AMBN rs4694075, and AMBN rs34538475 to dental caries susceptibility.
Conclusion: ENAM rs3796704 plays a significant association to dental caries susceptibility.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadyn Permata Arofah Laksmana
"Latar belakang: Kanker mulut merupakan salah satu dari enam keganasan yang paling sering terjadi di Asia dengan frekuensi kejadian hampir 274.300 kasus baru setiap tahunnya. Dibandingkan dengan benua lain di dunia, Asia memiliki insidensi, mortalitas, dan prevalensi yang paling tinggi dengan persentase sebanyak 65,8%, 74%, dan 60,9% secara berurutan. Tingginya angka kejadian kanker mulut di Asia ini dihubungkan dengan beberapa faktor seperti smokeless tobacco, rokok, dan alkohol yang digunakan secara luas di berbagai wilayah di Asia. Tujuan: Untuk mengetahui apakah smokeless tobacco, rokok, dan alkohol merupakan faktor risiko dari kanker mulut. Metode: Pencarian studi dilakukan melalui tiga database elektronik, kemudian dilakukan seleksi menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Setelah itu, dilakukan penentuan studi-studi yang diinklusi untuk dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dihitung menggunakan OR pooled analysis yang diolah melalui perangkat lunak Review Manager 5.4. Hasil: Didapatkan 15 studi yang diinklusi untuk analisis kualitatif dan 14 studi untuk analisis kuantitatif. Berdasarkan systematic review, seluruh studi yang membahas mengenai hubungan antara smokeless tobacco dan rokok dengan kanker mulut menyatakan bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor risiko kanker mulut. Sedangkan, sebagian besar studi yang membahas mengenai hubungan alkohol dengan kanker mulut menyatakan bahwa alkohol merupakan fakor risiko kanker mulut. Berdasarkan hasil meta-analisis secara keseluruhan, didapatkan bahwa smokeless tobacco dan rokok merupakan faktor risiko dari kanker mulut, namun tidak demikian dengan alkohol. Namun, berdasarkan meta-analisis subgrup, alkohol tetap merupakan faktor risiko kanker mulut. Kesimpulan: Penggunaan tembakau dalam bentuk smokeless tobacco dan rokok merupakan faktor risiko kanker mulut. Alkohol juga merupakan faktor risiko kanker mulut berdasarkan meta-analisis subgrup dan didukung dengan sebagian besar studi pada systematic review.

Background: Oral cancer is one of the six most common malignancies in Asia with an incidence of nearly 274,300 new cases each year. Compared to other continents in the world, Asia has the highest incidence, mortality, and prevalence with percentages of 65.8%, 74%, and 60.9% respectively. The high incidence of oral cancer in Asia is associated with several factors such as smokeless tobacco, smoking, and alcohol which are widely used in various regions in Asia. Objectives: To determine whether smokeless tobacco, cigarettes, and alcohol are risk factors for oral cancer. Methods: Study searches were carried out through three electronic databases, then the study selection was carried out using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guidelines. After that, the included studies were determined to be analyzed qualitatively and quantitatively. Quantitative analysis was calculated using OR pooled analysis which was processed through the Review Manager 5.4 software. Results: Fifteen studies were included for qualitative analysis and fourteen studies for quantitative analysis. Based on the systematic review, all of the studies discussing the relationship between smokeless tobacco and smoking with oral cancer state that these two factors are risk factors for oral cancer. Meanwhile, most of the studies discussing the relationship between alcohol and oral cancer state that alcohol is a risk factor for oral cancer. Based on the results of the meta-analysis, it was found that smokeless tobacco and smoking were risk factors for oral cancer, except for alcohol. However, according to subgroup meta-analysis, alcohol is still considered as risk factor for oral cancer. Conclusion: Smokeless tobacco and smoking are risk factors for oral cancer. Alcohol is a risk factor for oral cancer based on subgroup meta-analysis and supported by the majority of studies in the systematic review."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harun Wijanarko Kusuma Putra
"Latar Belakang: Benign prostate hyperplasia (BPH) dan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah dua masalah urologi yang sering ditemukan bersatu pada pria yang lebih tua. Meskipun teori telah menyarankan bahwa BPH mungkin merupakan faktor risiko untuk CKD, luas asosiasi tetap tidak diketahui. Ulasan ini ingin membangun analisis sistematis, menyelidiki hubungan antara BPH dan CKD dari studi observasi yang diterbitkan.
Metode: Pencarian literatur pada studi observasional dilakukan menggunakan kombinasi operator Boolean dalam tiga database medis: MEDLINE, EMBASE, dan SCOPUS; menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditentukan sebelumnya. Literatur yang dipilih dinilai untuk kualitasnya menggunakan indeks kualitas Downs dan Black yang dimodifikasi. Data yang diekstrak dikumpulkan untuk analisis menggunakan model efek acak DerSimmonian dan Laird, karena desain studi yang berbeda. Heterogenitas diukur menggunakan statistik I2, analisis subgroup dilakukan untuk pengukuran hasil yang berbeda dan cut-off.
Hasil: Lima studi observasi dipilih, terdiri dari dua kohort dan tiga studi cross-sectional, dan melibatkan total 38460 peserta. Hasil penilaian kualitas pada studi tersebut mencapai skor rata-rata 80,6%. Analisis gabungan menunjukkan hubungan yang signifikan antara dua pengukuran BPH (Qmax <15 mL/s dan IPSS >7) dan CKD, dengan OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) dan OR 2.12 ( 95%CI 1.12-4.02, I2 = 72%) masing-masing. Pengukuran prostat, yaitu volume prostat dan tingkat PSA, tidak terkait secara signifikan dengan CKD. (Nilai P dari 0,89 dan 0,60 masing-masing).
Kesimpulan: BPH bertindak sebagai faktor risiko dan faktor memperburuk perkembangan CKD. Screening dan pengobatan segera untuk koeksistensi BPH dan CKD harus diterapkan dalam praktek klinis sehari-hari dan harus dimasukkan ke dalam pedoman masa depan.

Background: Benign prostate hyperplasia (BPH) and chronic kidney disease (CKD) are two urological problems commonly found coexisting in older men. Though theories have suggested that BPH might be a risk factor for CKD, the extend of the association remains unknown. This review would like to construct a systematic analysis, investigating the association between BPH and CKD from published observational studies.
Methods: Literature search on observational studies was done using combinations of Boolean operators in three medical databases: MEDLINE, EMBASE, and SCOPUS; using predetermined inclusion and exclusion criteria. Selected literatures were assessed for their quality using modified Downs and Black quality index. Extracted data was pooled for analysis using DerSimmonian and Laird random-effect model, due to varying study designs. Heterogeneity were quantified using I2 statistic, subgroup-analysis were conducted for different outcome measures and cut-offs.
Result: Five observational studies were selected, consisting of two cohorts and three cross-sectional studies, and involving a total number of 38460 participants. Results of quality assessment on the studies was in average score of 80.6 %. Pooled analysis showed significant association between two BPH measures (Qmax <15 mL/s and IPSS >7) and CKD, with OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) and OR 2.12 (95%CI 1.12-4.02, I2=72%) respectively. Prostatic measures, namely prostate volume and PSA level, were not significantly associated with CKD (P value of 0.89 and 0.60 respectively).
Conclusion: BPH act as both risk factor and aggravating factor for progression of CKD. Screening and prompt treatment for coexistence of BPH and CKD should be applied in daily clinical practice and should be included in future guidelines.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Irham Arif Rahman
"Latar Belakang: Disfungsi ereksi (DE) adalah salah satu penyakit sering ditemukan pada mereka yang menderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Meskipun transplantasi ginjal memperbaiki masalah ini pada beberapa pasien, sebanyak 20 hingga 50% penerimanya terus menderita DE. Sampai saat ini, literatur mengenai efek transplantasi ginjal terhadap DE masih kontroversial. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa pasien mendapatkan kembali fungsi ereksi setelah transplantasi ginjal, sedangkan penelitian lain menunjukkan efek minimal transplantasi terhadap status DE. Kami melakukan tinjauan sistematis untuk merangkum efek transplantasi ginjal terhadap status DE.
Metode: Pencarian literatur sistematis di PubMed, Cochrane, dan Scopus, dilakukan pada bulan April 2020 dengan menggunakan kata bebas dan istilah MeSH. Kami memasukkan semua penelitian prospektif yang menyelidiki skor IIEF sebelum dan sesudah transplantasi pada penerima transplantasi ginjal dengan DE.
Hasil: Pencarian database awal di PubMed dan Google Scholar menghasilkan 4.052 makalah. 42 makalah dipertimbangkan untuk analisis teks lengkap. Dari 42 teks lengkap yang dicari, empat diantaranya dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Sebanyak 152 dari 230 subjek menunjukkan peningkatan fungsi ereksi melalui skor IIEF-5 setelah transplantasi ginjal. Meta-analisis yang dilakukan terhadap skor IIEF dan kadar Testosteron menunjukkan perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah transplantasi.
Kesimpulan: Temuan kami telah mengkonfirmasi bahwa transplantasi ginjal meningkatkan fungsi ereksi. Dengan demikian, peningkatan signifikan dalam skor testosteron dan IIEF pasca transplantasi terbukti secara statistik dalam penelitian ini. Namun, karena jumlah penelitian yang ada terbatas, bukti yang ada pun terbatas. Penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang lebih baik dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk menyelidiki pengaruh transplantasi ginjal pada fungsi ereksi.

Introduction: Erectile dysfunction (ED) is a major health burden worldwide frequently found in those with end-stage renal disease (ESRD) Although renal transplant improves the problem in some patients, as many as 20 to 50% of recipients continue to suffer ED. To this date, literature regarding the effect of kidney transplantation on ED has been contradictory. Majority of studies have shown that patients regain erectile function following renal transplant, whereas other studies showed minimal effect of transplantation on the status of ED.1,2 We did a systematic review to summarize the effects of kidney transplantation on the status of ED.
Methods: A systematic literature search on PubMed, Cochrane, and Scopus, were carried out in April 2020 by using both free words and MeSH terms. We included all prospective studies investigating the pre- and post-transplant IIEF scores of renal transplant recipients with ED.
Results: The initial database search on PubMed and Google Scholar produced 4,052 papers. 42 papers were considered for full-text analysis. Out of 42 full texts sought, four were included in the systematic review. A total of 152 out of 230 subjects showed improvement of erectile function by means of IIEF-5 score after renal transplantation. Meta-analysis performed on IIEF score and Testosterone level show significant differences pre and post-transplantation.
Conclusion: Our findings have confirmed that renal transplantation improves erectile function. Thus, significant improvement in testosterone and IIEF score post- transplantation were proven statistically in this study. However, as there were only a limited number of studies, the evidence is limited. Further studies with better methodology and larger sample size are needed to investigate the effect of renal transplantation on erectile function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nabhila Artenia Kezia Finelly
"Latar Belakang: Penyakit periodontal tidak hanya mempengaruhi kesehatan mulut, tetapi juga berkontribusi pada berbagai gangguan sistemik termasuk hiperlipidemia yang merupakan salah satu faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskular. Mekanisme inflamasi yang mendasari penyakit periodontal diyakini dapat memengaruhi metabolisme lipid, sehingga memperburuk profil lipid pasien. Perawatan periodontal non-bedah telah diusulkan sebagai intervensi potensial untuk dapat mengurangi peradangan sistemik dan memperbaiki profil lipid pada beberbagai studi, tetepi hasil penelitian sebelumnya menunjukkan temuan yang tidak konsisten. Tujuan: Mengetahui pengaruh perawatan periodontal non-bedah pada pasien dengan hiperlipidemia dan periodontitis terhadap kadar biomarker pro-inflamasi TNF-α, IL-1β, IL-6, dan CRP serta profil lipid. Metode: Pencarian studi melalui basis data elektronik menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analysis (PRISMA). Studi yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi, kemudian dinilai risiko biasnya. Selanjutnya, dilakukan meta-analisis. Hasil: Sintesis kualitatif menunjukkan adanya hasil yang signifikan terhadap pengaruh perawatan periodontal non-bedah pada penurunan kadar TNF-α, IL-1β, dan IL-6 pasca perawatan, tetapi tidak ditemukan adanya penurunan kadar yang signifikan pada biomarker CRP dan profil lipid pasca perawatan. Meta-analisis sebelum dan sesudah perawatan periodontal non-bedah menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan secara statistik pada kadar IL-6 dengan perbedaan rerata -0,74 pg/mL (95% CI:[-0.90;-0.57], p<0,00001) dan kadar TC dengan perbedaan rerata -36,19 (95% CI: [-61,00; - 11,38], p = 0,004) serta tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap kadar HDL dengan perbedaan rerata 0,12 (95% CI: [-2,28; 2,52], p = 0,92). Kesimpulan: Perawatan periodontal non-bedah pada pasien dengan hiperlipidemia dan periodontitis menunjukkan pengaruh yang signifikan pada kadar TNF-α, IL-1β, dan IL-6, tetapi kadar CRP dan profil lipid tidak menunjukkan padanya pengaruh yang signifikan pasca perawatan pada pasien dengan hipelipidemia dan periodontitis.

Background: Periodontal disease not only affects oral health but also contributes to a variety of systemic disorders including hyperlipidemia which is one of the major risk factors for cardiovascular disease. The inflammatory mechanisms underlying periodontal disease are believed to affect lipid metabolism, thereby worsening the lipid profile of patients. Non-surgical periodontal treatment has been proposed as a potential intervention to reduce systemic inflammation and improve lipid profiles in various studies, despite previous findings showing inconsistent findings. Objective: To determine the effect of non-surgical periodontal treatment in patients with hyperlipidemia and periodontitis on the levels of pro-inflammatory biomarkers, TNF-α, IL-1β, IL-6, and CRP as well as lipid profile. Methods: Study searches were conducted through electronic databases using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analysis (PRISMA) guidelines. Studies that meet the inclusion and exclusion criteria are then assessed for bias risk. Next, a meta-analysis was carried out. Results: Qualitative synthesis showed significant results on the effect of non-surgical periodontal treatment on the reduction of TNF-α, IL-1β, and IL-6 levels after treatment, but no significant reduction in CRP and lipid profile was found after treatment. Meta-analyses before and after non-surgical periodontal treatment showed a statistically significant effect on IL-6 levels with a mean difference of -0.74 pg/mL (95% CI:[-0.90;-0.57], p<0.00001) and TC levels with a mean difference of -36.19 (95% CI: [-61.00; - 11.38], p = 0.004). There is no significant effect on HDL levels with a mean difference of 0.12 (95% CI: [-2.28; 2.52], p = 0.92). Conclusions: Non-surgical periodontal treatment in patients with hyperlipidemia and periodontitis showed a significant effect on TNF-α, IL-1β, and IL-6 levels, but CRP levels and lipid profiles did not show a significant post-treatment effect on patients with hyperlipidemia and periodontitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maransdyka Purnamasidi
"Latar Belakang: Aktivasi komplemen dapat menyebabkan respon imun berlebihan dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas serta mortalitas pasien COVID-19. Beberapa penghambat aktivasi komplemen saat ini sedang dipelajari untuk menghambat aktivasi sistem komplemen yang berlebihan pada pasien COVID-19. Resiko, keuntungan, waktu pemberian dan bagian dari sistem yang akan ditargetkan perlu dipertimbangkan pada saat akan menggunakan penghambat komplemen, oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah pemberian terapi penghambat sistem komplemen dapat menurunkan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian terapi penghambat sistem komplemen terhadap mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, Embase, Cochrane, dan Scopus database dengan pembatasan waktu 2019 sampai dengan sampai 31 Desember 2022. Protokol studi ini telah diregistrasi di PROSPERO (CRD42022306632). Semua penelitian pemberian terapi penghambat komplemen pada pasien COVID-19 dimasukkan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Review Manager 5.4.
Hasil: 5 penelitian memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam telaah sistematis serta meta-analisis dengan total 739 pasien COVID-19. Hasil analisis Forest plot menunjukan bahwa pemberian terapi penghambat sistem komplemen menurunkan mortalitas sebesar 28% pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit (RR 0,72; 95% CI: 0,46 – 1,14, I2 = 61%, P-value = 0.16).
Kesimpulan: Pemberian terapi penghambat sistem komplemen secara statistik tidak signifikan menurunkan mortalitas pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit

Background: Complement activation can cause an exaggerated immune response and is one of the factors that influence the morbidity and mortality of COVID-19 patients. Several complement activation inhibitors are currently being studied to inhibit excessive complement activation in COVID-19 patients. The risks, benefits, time of administration and the part of the system to be targeted need to be considered when using complement inhibition, therefore this systematic review was made to conclude whether the administration of complement system inhibition therapy can reduce the mortality of COVID-19 patients who are hospitalized based on available studies.
Objective: To determine the effect of complement system inhibitory therapy on the mortality of hospitalized COVID-19 patients
Methods: Using specific keywords, we comprehensively searched the PubMed, Embase, Cochrane, and Scopus databases for potential articles from 2019 to December 31, 2022. The research protocol was registered with PROSPERO (CRD42022306632). All studies administering complement inhibitory therapy to COVID-19 patients were processed. Statistical analysis was performed using Review Manager 5.4 software.
Result: 5 studies met the criteria and were included in a systematic review and meta-analysis of a total of 739 COVID-19 patients. The results of the Forest plot analysis showed that administration of complement system inhibitor therapy reduced mortality by 28% in hospitalized COVID-19 patients (RR 0.72; 95% CI: 0.46 – 1.14, I2 = 61%, P -value = 0.16).
Conclusion: Providing complement system inhibitor therapy did not statistically significantly reduce mortality in hospitalized COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronal Yosua Limen
"Latar Belakang: Janus Kinase (JAK)-inhibitors telah digunakan untuk terapi beberapa penyakit inflamasi dan autoimun karena kemampuannya untuk mengendalikan respon imun dan cytokine release syndrome. Saat ini penggunaan baru dari Janus Kinase (JAK)-inhibitors diperuntukan untuk terapi coronavirus disease 2019 (Covid-19), namun bukti mengenai kegunaannya masih belum jelas. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa efikasi dari Janus Kinase (JAK)-inhibitors untuk mengurangi mortalitas pasien Covid-19.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian terapi Janus Kinase (JAK)-inhibitors terhadap mortalitas pasien Covid-19.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, Europe PMC, and ClinicalTrials.gov database dengan pembatasan waktu sampai 2 Juni 2021. Semua penelitian tentang Covid-19 dan JAK-inhibitors dimasukan. Analisa statistik dilakukan denganReview Manager 5.4 software.
Hasil: 13 penelitian dengan 4339 pasien Covid-19 dimasukan dalam meta-analisis. Data kami menyimpulkan bahwa terapi JAK-inhibitors berhubungan dengan menurunnya mortalitas pasien Covid-19 (RR 0.52; 95%CI: 0.36-0.76, p=0.0006, I2 = 33%, random-effect modelling).
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan terapi JAK-inhibitors berhubungan dengan menurunnya mortalitas pasien Covid-19. Namun dibutuhkan randomized clinical trials yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.

Background: : Janus Kinase (JAK)-inhibitors have been used for treating several inflammatory and autoimmune disease because of its ability to restrains immune systems and cytokine release syndrome. Currently, JAK-inhibitors are repurposed for the treatment of coronavirus disease 2019 (Covid-19), however the evidence regarding their benefit are still unclear. This study sought to analyze the efficacy of JAK-inhibitors in improving the mortality outcomes of Covid-19 patients.
Objective: To determine the effect of JAK-inhibitors as therapy in Covid-19 patients related to mortality.
Methods: Using specific keywords, we comprehensively searched the potential articles on PubMed, Europe PMC, and ClinicalTrials.gov database until June 2nd, 2021. All published studies on Covid-19 and JAK-inhibitors were retrieved. Statistical analysis was conducted using Review Manager 5.4 software.
Results: A total of 13 studies with 4,339 Covid-19 patients were included in the meta-analysis. Our data suggested that JAK-inhibitors was associated with reduction of mortality from Covid-19 (RR 0.52; 95%CI: 0.36 – 0.76, p=0.0006, I2 = 33%, random-effect modelling).
Conclusion: Our study suggests that JAK-inhibitors may offer beneficial effects on Covid-19 mortality. However, more randomized clinical trials warrant to confirm the findings of our study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abirianty Priandani Araminta
"Latar Belakang: Dengan kesintasan lima tahun sebesar 18%, menempatkan karsinoma sel hati (KSH) sebagai kanker paling mematikan setelah kanker pankreas. Salah satu faktor yang diperkirakan berperan dalam menentukan prognosis KSH adalah kompsosisi tubuh pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai sarkopenia sebagai faktor prognostik pasien KSH memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Menilai peran sarkopenia terhadap kesintasan dan kekambuhan pasien KSH.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan pada basis data PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase, dan Scopus hingga 1 September 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada sitasi studi terkait dan perpustakaan elektronik serta pengumpulan informasi melalui Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Seleksi Studi: Studi kohort yang menilai prognosis dengan melaporkan perbandingan kesintasan, mortalitas, dan/atau periode bebas penyakit pasien KSH berdasarkan ada atau tidak adanya sarkopenia serta periode observasi minimal tiga bulan akan diikutsertakan. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian terhadap judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua peninjau independen. Dari 990 studi, 44 di antaranya memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau. Konfirmasi data studi dilakukan dengan menghubungi peneliti. Tidak ada data tambahan yang didapatkan.
Hasil: Studi yang melaporkan kesintasan kumulatif dirangkum secara kualitatif. Studi yang melaporkan Cox proportional hazard ratio (HR) dimasukkan ke dalam meta-analisis. Hasil meta-analisis menggunakan random-effects model dari 39 studi menunjukkan sarkopenia berhubungan dengan kesintasan yang lebih rendah (HR 1.74, IK 95% 1.49-2.02) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia pada seluruh stadium. Sarkopenia juga berhubungan dengan kekambuhan yang lebih tinggi (HR 1.42, IK 95% 1.15-1.76) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia yang menjalani terapi kuratif. Analisis subgrup berdasarkan tujuan terapi (kuratif dan paliatif), jenis intervensi yang diberikan, serta parameter diagnostik yang digunakan tidak memengaruhi arah hasil luaran.
Kesimpulan: Sarkopenia berhubungan dengan kesintasan pasien KSH yang lebih rendah dan periode bebas penyakit yang lebih singkat pada pasien yang menjalani terapi kuratif.

Background: With overall 5-year survival of 18%, HCC is the second most lethal cancer after pancreatic cancer. One of the factors compromising prognosis in HCC patients is body composition. Nonetheless, studies evaluating sarcopenia as prognostic factor in HCC show inconsistent results.
Objective: To assess the role of sarcopenia in overall survival and disease-free survival of HCC patients.
Data Source: We searched PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase and Scopus through September 1, 2020. Secondary searching was done by snowballing method including references of qualifying articles and manual searching through e-library and information gathering through Indonesian Association for the Study of Liver.
Study Selection: Cohort studies evaluating prognosis and reporting comparation of overall survival, all-cause mortality, and/or disease-free survival of HCC patients with and without pre-existing sarcopenia and minimum observation period of three months were included. No restriction regarding year of publication and language. Titles, abstracts, and articles were reviewed by two independent reviewer. Of 990 studies identified in our original search, 44 articles met our eligibility criteria.
Data extraction: Data extraction was done by two reviewer. We contacted authors for data confirmation and no additional information were obtained.
Result: Studies reporting cumulative survival were summarized qualitatively. Studies reporting Cox proportional hazard ratio (HR) were combined in a metaanalysis. A random-effects model meta-analysis of 35 studies showed that sarcopenia was associated with an reduced overall survival HR of 1.59 (95% CI 1.42-1.77) and increased recurrence with HR of 1.10 (95% CI 1.03-1.17) after curative treatment compared with non-sarcopenic HCC patients through all stages. Subgroup analyses showed aim of treatment (curative vs palliative), type of interventions, and parameter used to define sarcopenia did not modify both clinical outcomes.
Conclusion: Sarcopenia is associated with reduced overall survival and shorter disease-free survival in HCC patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winson Jos
"Latar belakang: Deteksi dini dengue berat dapat mengurangi mortalitas akibat infeksi dengue. Saat ini, observasi harian terhadap keadaan klinis dan laboratorium pasien merupakan cara yang paling lazim dipakai dalam mendeteksi kejadian dengue berat. Namun demikian, cara ini biasanya terlambat mendeteksi kebocoran plasma berat. Laktat serum adalah salah satu penanda yang lazim dipakai dalam menilai hipoksia atau hipoperfusi jaringan akibat penyakit sistemik sehingga dipikirkan dapat dipakai sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Tujuan: Menilai kemampuan laktat darah sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian primer dilakukan melalui penulusuran artikel secara daring di PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, dan Scopus®. Penelusuran sekunder dilakukan secara daring menggunakan Google Scholar® dan portal lokal di Indonesia serta secara manual dengan korespondensi dengan peneliti atau Institusi yang berhubungan. Artikel dicari dengan kata kunci “dengue” dan “laktat” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Artikel yang diambil dan mencakup studi observasi prospektif dan retrospektif pada pasien dewasa (> 15 tahun) dengan infeksi dengue yang melaporkan hasil pemeriksaan laktat. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan RevMan dan Medcalc untuk mencari effect measure kemampuan laktat darah dalam prediksi kejadian dengue berat.
Hasil: Sebanyak enam artikel diinklusi ke dalam telaah sistematis ini dan lima diantara artikel tersebut diikutsertakan ke dalam meta-analisis. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik dengan pooled OR 8,38 (95%CI: 2,13 – 32,93); I2 87%, p <0,00001 dan pooled AUC 0,749 (95%CI 0,687-0,81); I2 48,98%, p = 0,1176. Lebih jauh, laktat darah terutama lebih baik dalam prediksi kejadian renjatan dengue/gagal organ (pooled OR 21,27 (95%CI 11,05 – 40,91); I2 44%, p = 0,17) dibandingkan terhadap kejadian kebocoran plasma tanpa gagal organ/renjatan dengue (pooled OR 1,6 (95%CI 0,77 – 3,32); I2 0%, p = 0,33). Beberapa hal yang diketahui dapat mempengaruhi kemampuan prediksi laktat terhadap kejadian dengue berat antara lain, waktu pengambilan laktat darah, luaran yang dinilai, dan nilai ambang batas laktat yang dipakai.
Kesimpulan: Laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik, terutama terhadap kejadian renjatan dengue/gagal organ.

Background: Early detection of severe dengue may decrease mortality caused by dengue infection. Currently, daily observation of patient’s clinical and laboratorium parameter is the most common way to detect severe dengue. However, this common practice is lacking in punctuality to detect severe dengue. Serum lactate is one of common biomarkers to detect hypoxia or hypoperfusion due to systemic disease. Accordingly, serum lactate may be a valuable predictor of severe dengue.
Objective: Evaluate the value of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Methods: This systematic review is conducted by following the PRISMA standard. PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, and Scopus® were systematically searched for studies evaluating the value of blood lactate to predict severe dengue. Moreover, manual searching by searching Google Scholar® and local Indonesia journal database and by corresponding to some researchers or any institution that may have conducted research about the topic. “Dengue” and “lactate” in English and Bahasa were used as keywords. Prospective and retrospective cohort studies with samples of adult (> 15 y.o) with dengue infection and reported the blood lactate result of any language and publication years are included. Data analysiswas conducted by using RevMan and Medcalc to synthesis the pooled effect measure of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Results: This systematic review included six articles. However, only five articles were included in the meta-analysis. The analysis showed that blood lactate was a fairly good predictor of severe dengue with a pooled OR: 8.38 (95% CI: 2.13 - 32.93); I2 87%, p <0.00001 and pooled AUC: 0.749 (95% CI 0.687-0.81); I2 48.98%, p = 0.1176. Furthermore, blood lactate was particularly better at predicting dengue shock/organ failure (pooled OR: 21.27 (95% CI 11.05 - 40.91); I2 44%, p = 0.17) compared to predict plasma leakage without organ failure/dengue shock (pooled OR 1.6 (95% CI 0.77 - 3.32); I2 0%, p = 0.33). Several things that are known to affect the ability of blood lactate to predict the incidence of severe dengue including the time of blood lactate examination, the outcome measured, and the value of lactate’s cut-off.
Conclusions: Blood lactate is a fairly good predictor of severe dengue, particularly good predictor to predict the incidence of dengue shock/organ failure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>