Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69716 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Prabaningrum
"ABSTRAK
Nomor Protokol Internet sebagai sumber daya utama untuk berkomunikasi melalui
jaringan internet perlu dikelola dengan baik untuk dapat mendukung Industri 4.0 di
Indonesia. Forum Nasional Kebijakan Nomor Protokol Internet adalah kolaborasi
dalam pengelolaan Nomor Protokol Internet antara pemerintah dan pemangku
kepentingan non-pemerintah dari berbagai sektor. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis proses tata kelola kolaborasi dalam kebijakan pengelolaan Nomor
Protokol Internet dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam tata
kelola kolaborasi tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
distributed internet governance dari Verhulst et al. (2014), serta teori collaborative
governance dari Ansell dan Gash (2007). Penelitian menggunakan pendekatan
postpositivist dengan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui studi literatur dan wawancara mendalam dengan informan terkait. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penerapan tata kelola kolaborasi dalam kebijakan
pengelolaan Nomor Protokol Internet belum optimal memenuhi konsep distributed
internet governance dari Verhulst et al. (2014). Selanjutnya untuk faktor yang
berpengaruh dalam tata kelola kolaborasi sesuai dengan teori Ansell dan Gash
(2007) adalah faktor kondisi awal dan desain kelembagaan.

ABSTRACT
Internet Protocol Number as the primary resource for communicating through the
internet network needs to be appropriately managed to be able to support Industry
4.0 in Indonesia. Forum Nasional Kebijakan Nomor Protokol Internet is a
collaboration between the government and non-government stakeholders from
various sectors to manage Internet Protocol Number. This study aims to analyze the
collaborative governance process in the management policy of the Internet Protocol
Number and analyze the factors that influence collaboration governance. The theory
used in this study is the theory of distributed internet governance from Verhulst et
al. (2014), and collaborative governance theory from Ansell and Gash (2007). The
study used a postpositivist approach with qualitative methods. Data collection
techniques were carried out through literature studies and in-depth interviews with
relevant informants. The results showed that the application of collaborative
governance in the management policy of Internet Protocol Number has not
optimally met the concept of distributed internet governance from Verhulst et al.
(2014). Furthermore, the influential factors in collaborative governance under
Ansell and Gash's theory (2007) are the initial conditions and institutional design
factors."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Analisa
"Perumahan merupakan kebutuhan dasar masyarakat selain sandang dan pangan. Pemerintah memiliki kebijakan yang sifatnya strategis yaitu pembangunan satu juta rumah untuk rakyat. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, diperlukan kerja sama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan yang terkait. Penelitian ini menganalisis tata kelola kolaborasi dalam pembangunan satu juta rumah untuk rakyat yang dilakukan pada Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Ekonomi, Infrastruktur dan Kemaritiman, Setwapres dan pemangku kepentingan terkait lainnya Kementerian PUPR, Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, REI, dan HUD Institute. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1 menganalisis proses tata kelola kolaborasi dalam kebijakan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat; 2 menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap tata kelola kolaborasi dalam kebijakan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat. Penelitian ini menggunakan pendekatan postpositivis dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dengan informan terkait. Hasil dari data dan informasi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kompensial. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa 1 proses tata kelola kolaboratif yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terkait dengan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat belum sepenuhnya sempurna. 2 dalam proses tata kelola kolaborasi pembangunan satu juta rumah untuk rakyat, desain kelembagaan/institusi dan kepemimpinan fasilitatif memiliki pengaruh terhadap jalannya proses kolaborasi tersebut. Kata kunci: Tata kelola kolaborasi; kebijakan publik; perumahan rakyat xiii 107 halaman; 4 bagan; 5 tabel; 1 lampiran

Housing is a basic need of society in addition to clothing and food. The government has a policy of strategic nature, namely the construction of one million houses for the people. To realize these policies, there is the need for cooperation and collaboration among relevant stakeholders. This study analyzes the governance of collaboration in the construction of one million houses for the people undertaken by the Deputy for Economic, Infrastructure and Maritime Policy Support, Secretariat of Vice President, and other relevant stakeholders Ministry of PUPR, Ministry of Home Affairs, Ministry of ATR BPN, REI, and HUD Institute. The purpose of this study is to 1 analyze the governance process of collaboration in the development of the one million houses for the people policy 2 analyze the factors that affect the governance of the collaboration in the development of the one million houses for the people policy. This research uses a post positivist approach with qualitative methods of data collection techniques such as in depth interviews with relevant informants. The results of the data and information obtained were analyzed using comparative analysis techniques. From the results of the research, it was found that 1 the collaborative governance process carried out by the stakeholders associated with the construction of one million houses for the people has not been fully completed 2 in the governance process of collaboration in building one million houses for the people, institutional design and facilitative leadership have influence on the course of the collaboration process. Keywords Collaborative governance, public policy, affordable housing xiii 107 pages 4 figures 5 tables 1 attachments "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T51663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Patriastya
"Tesis ini membahas mengenai Tata Kelola Kolaboratif Dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sampah Anorganik Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Untuk dapat menjelaskan hal tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam untuk mengetahui ukuran keberhasilan dan faktor-faktor yang menghambat pada Tata Kelola Kolaboratif kegiatan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tata Kelola Kolaboratif kurang berhasil dikarenakan pelaksanaannya masih sekadar formalitas dan komitmen yang semakin berkurang dari masing-masing pihak yang berkompeten. Faktorfaktor yang menghambat adalah budaya, institusi dan politik.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis Tata Kelola Kolaboratif atau kolaborasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam implementasi kebijakan pengelolaan sampah Anorganik di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.

This Thesis is mainly discussed about ?Tata Kelola Kolaboratif? or Collaborative Governance in the Policy Implementation of Anorganic Waste Management at the District of Pancoran Mas Depok. To explain more about it, the research uses qualitative approach with data collection through the literature study and in-depth interviews to know the indication and factors which obstruct the Collaborative Governance during the activities.
The research indicate that Collaborative Governance does not perform effectively because the implementation itself is sometimes too formal and the commitment among stakeholders is reducing gradually. Factors which obstruct the collaboration are internal culture, institution and politics.
This research aims to analyze Collaborative Governance between government and societies in the policy implementation of anorganic waste management at the District of Pancoran Mas Depok.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Purbantara
"

Pembangunan desa merupakan proses peningkatan atau perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Pemerintah Desa Panggungharjo dalam upayanya membangun sistem jaminan sosial bagi masyarakat menggunakan pendekatan tata kelola kolaborasi. Kolaborasi dilakukan dengan  melibatkan masyarakat dan penyedia layanan untuk menjalin suatu hubungan dan bekerja sama dan berkomitmen untuk mencapai tujuan lebih cepat dan lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kebijakan publik berupa sistem jaminan sosial yang dibangun oleh Pemerintah Desa Panggungharjo dengan tata kelola yang kolaboratif diharapkan akan lebih cepat meningkatkan kualitas hidup dasar berupa pendidikan dan kesehatan.

 

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aspek leadership dari kepala desa sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah program pembangunan di desa. Penelitian ini menganalisis keberhasilan Pemerintah Desa Panggungharjo dalam upayanya mewujudkan sistem jaminan sosial melalui tata kelola yang kolaboratif.  Melalui pendekatan kualitatif, penelitian mempergunakan wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi dan studi literatur untuk mengumpulkan data. Informan dipilih dengan purposive sampling dan snowball. Jumlah seluruh informan sebanyak delapan belas (18) informan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemerintah Desa Panggungharjo membangun sistem jaminan sosial di desa tersebut secara partisipatif dengan menggunakan potensi lokal.

 

Kata Kunci: Pembangunan Desa, Tata Kelola Kolaboratif, Jaminan Sosial, Lembaga Sosial.

 


Village development is a process of increasing or improving the quality of life and economic well-being of people living in rural areas. The Village Government in their efforts to build a social security system for the community uses a collaborative governance approach. Collaboration is held by entangling the community and service providers to establish a dealings and team up in committment to achievee the goals faster and greater than working individually. Public policy in the form of a social security system built by the Panggungharjo Village Government with collaborative governance is expected to produce  improvement of education and health as basic quality of life.

 

Previous research showed that the role of heads of village have big influences to the village program’s fruitfulness. This study analyzes the triumph of the Panggungharjo Village Government for their exertion to raise a social security system based on participation of the stakeholders in community. Through a qualitative approach, research used in-depth interviews, focus group discussions, observation and literature studies to collect data. Informants were selected by purposive sampling and snowball. The total number of informants was eighteen (18) informants. The results of the study showed that the Panggungharjo Village government used a collaborative governanance to construt a participative social security system in the village based on local potential

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusnul Nur Kasanah
"Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul menghadapi berbagai permasalahan dalam pengembangan geowisata di Geopark Gunung Sewu yang menunjukkan adanya keterbatasan sumber daya pemerintah daerah, sehingga mendorong Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul membangun tata kelola kolaboratif dengan berbagai pemangku kepentingan. Menggunakan pendekatan postpositivism dan metode kualitatif, penelitian ini menjawab bagaimana proses tata kelola kolaboratif dalam pengelolaan pariwisata Geopark Gunung Sewu di Kabupaten Gunungkidul dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses tata kelola kolaboratif telah terbangun antara Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, Pemerintah Desa setempat, Kelompok Masyarakat Pengelola Geosite, dan Perguruan Tinggi karena adanya kepercayaan dan kesetaraan pemahaman tentang konsep pengembangan geopark, komitmen yang ditunjukkan dengan keterlibatan dalam proses kolaborasi, serta hasil yang sudah dirasakan oleh pemangku kepentingan, sedangkan dialog menjadi media untuk membangun kepercayaan, pemahaman, komitmen, dan mencapai hasil antara. Keterlibatan swasta dalam proses tata kelola kolaboratif masih terbatas, belum terbangun secara luas, dan kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Pacitan dan Dinas Pariwisata Kabupaten Wonogiri belum direalisasikan. Faktor ketokohan dan keberadaan pemimpin organis ditingkat kelompok masyarakat menentukan jalannya proses tata kelola kolaboratif. Penelitian juga menemukan bahwa budaya masyarakat Gunungkidul dan teknologi komunikasi menjadi faktor yang mempengaruhi proses tata kelola kolaboratif. Inklusifitas forum sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi proses tata kelola kolaboratif diupayakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul dengan menginisiasi pembentukan PHRI dan HPI Cabang Gunungkidul, serta Forum Promosi Pariwisata Daerah yang diikuti oleh lintas pelaku. Kelembagaan Badan Pengelola Geopark Gunung Sewu yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor 171 Tahun 2017 belum efektif mendorong tata kelola kolaboratif antara tiga kabupaten, karena tidak memiliki instrumen untuk menyatukan komitmen.

The Gunungkidul Regent`s Tourism Office has been dealing with various problems in geo tourism management of Geopark Gunung Sewu, mainly caused by the local government`s limited resources, which in turn prompting the government to establish solid collaboration with relevant stakeholders. The study adopts a postpositivism approach using qualitative methods and will address the issue on a collaboration process of tourism management and other factors affecting it in Geopark Gunung Sewu in the Gunungkidul Regency. The result reveal that collaborative governance processes has been established between the Gunungkidul Regent`s Tourism Office, the local Village Government, the Geosite Management Community Group, and the College Academics, because they shared the mutual beliefs and understanding of geopark development concepts, demonstrated their commitment by fully involved in the collaborative process, and acknowledged the results, while using dialogue as a medium to build trust, understanding, commitment, and achieve intermediate outcomes. Private involvement in collaborative governance processes is still limited, not yet widely established, and cooperation with the Pacitan Regent`s Tourism Office and Wonogiri Regent`s Tourism Office has not been realized. The leadership factor and the presence of organic leaders at the community level determined the process of collaborative governance. The study also found out that the community culture of Gunungkidul and communication technology has become a factor affecting collaborative governance process. The inclusiveness of the forum as one of the factors influencing the collaborative governance process was endeavored by the Gunungkidul Regent`s Tourism Office through the initiation of the formation of PHRI and HPI Branch of Gunungkidul, as well as the Tourism Promotion Forum of the Region joined by cross stakeholders. The establishment of Geopark Management Board of Gunung Sewu, which was formed by the Decision of Bupati of Gunungkidul Number 171 of 2017, has not been effective in promoting collaborative governance between the three regents, as it has no instruments to unite the commitments. "
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T53632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmat Fadholi
"Simpati dan dukungan publik terhadap gugatan Santi Warastuti terhadap UU 35 tahun 2009 untuk melegalkan ganja medis menjadikan BNN sebagai sasaran kemarahan publik dunia maya. Kemarahan netizen ini disebabkan sikap tegas BNN menolak wacana legalisasi medis  ini karena ganja masuk dalam golongan 1 UU narkotika.  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan isu legalisasi ganja medis melalui konsep collaborative governance para pemangku kepentingan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis naratif. Pengambilan data dilakukan dengan melalui analisis dokumen dan wawancara kepada Pakar Hukum Narkotika. Hasil penelitian ini menemukan pengelolaan isu legalisasi ganja medis belum mengaplikasikan konsep collaborative governance. Analisis penelitian menemukan, adanya ketimpangan kekuasaan antara pemangku kepentingan, tidak adanya kepemimpinan fasilitatif dan desain kelembagaan kolaborasi yang belum memasukkan aktor non-negara.

Public sympathy and support for Santi Warastuti's lawsuit against Law 35 of 2009 to legalize marijuana made BNN the target of cyber public anger. The anger of netizens is due to BNN's firm stance in rejecting this legalization discourse because marijuana is included in group 1 of the narcotics law.  This study aims to analyze the management of medical marijuana legalization issues through the concept of collaborative governance of stakeholders in Indonesia. This research uses a qualitative approach with narrative analysis. Data collection was carried out through document analysis and interviews with narcotics law experts. The results of this study found that the management of the issue of legalization of medical marijuana has not applied the concept of collaborative governance.  The research analysis found that there are power imbalances between stakeholders, the absence of facilitative leadership and collaborative institutional design that has not included non-state actors. "
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Sahar
"Dalam rezim SDGs, pendekatan yang ditujukan untuk memberantas kemiskinan adalah collaborative partnership. Diskursus ini mengemuka karena kemiskinan merupakan isu multisektoral yang dinamis dan kompleks. Pemetaan solusinya pun merujuk pada pelibatan berbagai jenjang organisasi, multidispilin, dan lintas yurisdiksi. Penelitian ini akan meninjau penerapan dan hal yang berpengaruh pada tata kelola kolaboratif dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Pinrang dengan menggunakan pendekatan postpositivism. Selain itu, semangat reformasi birokrasi dan inovasi sektor publik juga merupakan cerminan dari penerapan tata kelola kolaboratif pada level pemerintahan lokal, khususnya di Kabupaten Pinrang. Pada 2016, sebagai momentum reformasi birokrasi, Pemerintah Pinrang membentuk OPD yang concern dalam menanggulangi kemiskinan melalui kerangka kolaboratif antar jenjang pemerintahan dan pihak non pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan trust dan mutual understanding mengalami stunting kolaborasi sehingga kinerja kolaborasi tidak mampu mengentaskan kemiskinan di angka 6 persen pada tahun 2018.

in SDGs regime, collaborative partnership used to reduce poverty. The rise of collaborative governance discourse is just because an involvement of the multiple stakeholders in multiple organizations across multiple jurisdictions who has its own understanding of the problem and solution differently. In this paper, we examine the implementation of collaborative governance and its affected in Pinrangs poverty alleviation by using postpositivism approach. Since 2016, local government initiated The Poverty Reduction Department (Bagian Penanggulangan Kemiskinan) as a special board for eradicating poverty by an integrative framework for collaborative governance. This board intended to assist on the Regional Poverty Alleviation Coordination Team (TKPKD), to integrate a number of poverty alleviation programme, and also to merge the database differences between The Central Statistics Agency (BPS) and TKPKD. However, while BPK has an important role to play, there are many conditions and settings that bother for driving progressively cyclical or iterative interactions between multiple stakeholders. In addition, the Pinrang poverty rate was increased in 2016 period. BPS announced that the number of people living below the poverty line was 256.054 in 2017 or 8,5 percent of the total population. This study argues that a lack of trust and mutual understanding shape the prospects for and challenges of initiating and sustaining collaborative governance in Pinrangs poverty alleviation programme.

"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiandri
"Tata Kelola Kolaborasi merupakan sebuah proses Kerjasama pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan secara Bersama. Secara umum, Tata Kelola Kolaborasi selalu melibatkan seluruh Pemangku kepentingan mulai dari kondisi awal, proses kolaborasi, desain kelembagaan dan kepemimpinan fasilitatif menjadi dimensi utama dalam menjawab permasalahan. Tujuan untuk menganalisis faktor dan proses yang mempengaruhi Tata Kelola Kolaborasi dalam Ekowisata Pesisir di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau Penelitian ini mengunakan kualitatif pada Post Positivist dan konstruktivisme dengan teknik analisis data mengunakan teknik triangulasi, dengan instrument NVivo seperti Coding, Kategorisasi serta Linking dalam menganalisasis Proses dan factor yang mempengaruhi Tata Kelola Kolaborasi Ekowisata Pesisir Mangrove di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.  Hasil temuan menunjukan factor dan Proses yang mempengaruhi Tata Kelola Kolaborasi pada tingkat formal belum dilaksanakan dengan baik, hal ini dikarenakan strategi kebijakan yang dibuat masih belum maksimal. Ditemukan bahwa aturan dan regulasi belum berjalan dengan baik, ego sektoral pemangku kepentingan, hak dan kewenangan tumpang tindih, serta minim program yang dihasilkan dalam Tata Kelola Kolaborasi itu sendiri. Penyebab utamanya segala fasilitas pendukung dalam Tata Kelola Kolaborasi ekowisata pesisir di Pulau Bintan tidak menjadi prioritas utama. Alternatif dari temuan peneliti mengembangkan Desain Tata Kelola Kolaborasi dengan memperkuat instrument pada dua pendekatan yaitu Pendekatan VUCA serta Pendekatan Penta-Helix dalam Tata Kelola Kolaborasi dalam ekowisata Mangrove pesisir Pulau Bintan. Pengembangan Desain ini berdasarkan, karakteristik, ruang lingkup, situasi dan kondisi atas objek serta lokus yang diteliti dengan menggunakan pendekatan Tata Kelola Kolaborasi yang telah dikonstruksi oleh Ansell & Gash.

Collaborative Governance is a collaboration of stakeholders to achieve common goals. In general, Collaborative Governance always involves all Stakeholders starting from the initial conditions, the collaboration process, institutional design and facilitative leadership are the main dimensions in answering problems. The purpose of this research is to analyze the factors and processes that affect Collaborative Governance in Coastal Ecotourism on Bintan Island, Riau Islands Province. This study uses qualitative Post-Positive and constructivism with data analysis techniques using triangulation techniques, with NVivo instruments such as Coding, Categorization and Linking in analyzing the Process and Factors influencing the Collaborative Governance of Mangrove Coastal Ecotourism on Bintan Island, Riau Archipelago Province. The findings show that the factors and processes that affect Collaborative Governance at the formal level have not been implemented properly, this is because the policy strategy made is still not optimal. It was found that the rules and regulations had not been running well, the sectoral egos of stakeholders, overlapping rights and authorities, and the lack of programs produced in Collaborative Governance itself. The main reason is that all supporting facilities in the Collaborative Governance of coastal ecotourism on Bintan Island are not a top priority. The alternative of the research findings is to develop a Collaborative Governance Design by strengthening the instrument in two approaches, namely the VUCA Approach and the Penta-Helix Approach in Collaborative Governance in Bintan Island coastal Mangrove ecotourism. The development of this design is based on the characteristics, scope, situation and condition of the object and locus under study using the Collaborative Governance approach that has been constructed by Ansell & Gash."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Nurhasan
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas terkait dengan pengaruh kualitas penerapan Good Corporate Governance (GCG) terhadap pengelolaan modal kerja perusahaan dimana melihat dari kemampuan perusahaan dalam mengubah kas yang mereka miliki menjadi barang/ inventory untuk dijual atau diubah menjadi kas kembali (Cash Conversion Cycle). Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan Cash Conversion Cycle(CCC), Days of Sales Outstanding (DSO), Days of Inventory Oustanding (DIO), Days of payable outstanding (DPO) sebagai variable dependen dan menggunakan Corporate Governance Score sebagai variable independen, serta menggunakan firm size,sales growth dan firm performa sebagai variable kontrol. Hasil penelitian ini adalah bahwa kualitas penerapan Good Corporate Governance berpengaruh terhadap Cash Conversion Cycle perusahaan dan komponen penyusunnya.

ABSTRACT
This thesis discusses the affect of the implementation quality of Good Corporate Governance on the working capital management in view of the company's ability to change their own cash into goods / inventory to be sold or converted to cash back (Cash Conversion Cycle). This research is quantitative research with descriptive design. using Cash Conversion Cycle(CCC), Days of Sales Outstanding (DSO), Days of Inventory Oustanding (DIO), Days of payable outstanding (DPO) as the dependent variable, using Corporate Governance Score as an independent variable, and using firm size, sales growth and firm performance as the control variable. The result of this research is that the quality of Good Corporate Governance implementation affect the company's Cash Conversion Cycle and its components."
2017
S65826
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Priyanto
"Kajian dalam disertasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa melindungi kelestarian fungsi lingkungan seharusnya dilakukan sejak tahap perumusan kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Sehubungan dengan itu, pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan menjadi penting. Persoalannya, di berbagai daerah pengarusutamaan tersebut seringkali tidak dilakukan dan kalaupun dilakukan prinsip-prinsip tersebut tidak mengejawantah dalam pelaksanaan pembangunan.
Dari perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah memiliki posisi penting dan menentukan dalam pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Analisis dalam disertasi ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan lembaga pengelolaan hidup daerah tidak dapat mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pengembangan konsep kebijakan pengelolaan lingkungan hidup agar terwujud tata kelola lingkungan hidup yang baik, dan membangun model kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup daerah agar mampu mengarrusutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah Teori Sistem dari Niklas Luhmann, Teori Kebijakan Publik, Teori Deep Ecology dari Arne Naess, dan beberapa teori serta konsep lain yang relevan. Penelitian dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam dengan informan, dan diskusi kelompok terfokus. Data yang diperoleh kemudian dianalisis, melalui langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Disertasi ini menemukan berbagai faktor yang menyebabkan lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah tidak mampu mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertama, posisi lembaga pengelolaan lingkungan hidup yang mengakibatkan lembaga tersebut memiliki keterbatasan dalam pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kedua, lemahnya kapasitas kelembagaan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dan ketiga, terdistorsi makna otonomi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar terwujud tata kelola lingkungan hidup yang baik, diperlukan konsep kebijakan pengelolaan lingkungan hidup daerah dengan karakteristik sebagai berikut: (a) input kebijakan diwarnai oleh paradigma deep ecology; (b) proses formulasi kebijakan bersifat demokratis; (c) substansi kebijakan mencerminkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development); dan (d) lingkungan kebijakan berada dalam ketepatan pemaknaan otonomi daerah. Di samping itu, agar dapat mengarusutamakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka lembaga pengelolaan lingkungan hidup daerah harus dikembangkan untuk mencapai karakteristik sebagai berikut: (a) didasarkan pada pendekatan ecoregion; (b) visi lembaga adalah menjaga fungsi stock sumber daya alam; (c) struktur organisasi dan tata kerjanya disesuaikan dengan tipologi daerah; (d) bersifat inklusif; (e) menyelenggarakan fungsi koordinasi perencanaan pembangunan; (f) Konwledge-Based Organization; (g) sumber daya manusianya memiliki visi dan komitmen dalam perlindungan lingkungan; dan (h) pendanaan kelembagaan harus diperkuat.

This study is based on cognition that protecting the environmental sustainability should be carried out from the formulation of policy, plan, and program. Accordingly, mainstreaming of the principles of sustainable development into development planning documents becomes important. The problem is in many user mainstreaming is rarely done. If it is done, these principles do not manifest in the impelementation of development program.
Based on perspective of Law Number 32 Year 2009 concerning on the Protection and Management of the Environment, the local environmental management agency has an important and decisive position in mainstreaming sustainable development principles. Analysis of the dissertation is aimed to determine the factors caused the local environmental management agency can not encourage implement the mainstreaming of the principles of sustainable development; develop the concept of environmental management policy in order to realize good environmental governance. This is build the institutional model of local environmental management agency to be able mainstreaming the sustainable development principles.
This disertation used a qualitative approach. The theory used to analyze the problems is Niklas Luhman's Systems Theory, Public Policy Theory, Arne Naess Theory of Deep Ecology, and several theories as well as other relevant concepts. The study was conducted through observation, in-depth interviews with informants, and actor research. The obtained data analyzed through the steps of data reduction, data presentation, and deduced and verification.
This disertation found the various factors that cause local environmental management agency does not able to mainstream sustainable development principles. First, the position of local environmental management agencies that resulted limitedness of these institutions in mainstreaming sustainable development principles. Second, weak institutional capacity in carrying out duties and functions, and the third, distorted the meaning of autonomy in local governance practices. In order to realize good environmental governance, required the concept of environmental management policy with the following characteristics: (a) input policy paradigm characterized by deep ecology, (b) the policy formulation process is democratic, (c) the substance of the policy reflects the principles of sustainable development, and (d) the policy environment is in the accuracy of interpretation of regional autonomy. In addition, in order to mainstream the principles of sustainable development, the local environmental management agency should be developed to achieve the following characteristics: (a) based on the ecoregion approach, (b) the institution's vision is to maintain the function of the stock of natural resources, (c ) organizational structure adapted to the typology of area; (d) inclusive, (e) carry out the functions to coordinate the development planning; (f) konwledge-Based organization, (g) human resources have the vision and commitment to environmental protection, and (h) funding institutions should be strengthened.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>