Pertanian merupakan salah satu sektor terbesar dalam pembangunan ekonomi. Hal ini bisa dilihat pada PDRB Jawa Barat 2016. Namun seiring berjalannya waktu, lahan yang digunakan untuk pertanian semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh semakin banyak penduduk yang datang. Penurunan lahan yang terjadi setiap tahunnya mencapai 10%, permasalahan ini diakali oleh para petani untuk membuka lahan pertanian khususnya lahan pangan hortikultura di area lahan sempit, seperti di pekarangan rumah. Hal ini juga menyebabkan Kabupaten Bandung, khususnya Kawasan Agropolitan Ciwidey juga tergolong tingkat kesejahteraan rendah. Pada Kawasan Agropolitan Ciwidey juga terdapat Kecamatan Rancabali. Kecamatan ini merupakan Kecamatan dengan sektor pertanian hortikultura yang sangat berpotensial. Tanaman hortikultura di Kecamatan ini ditanamani dengan pola tanam monokultur dan tumpang sari. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan variasi spasial pola usaha tani hortikultura berdasarkan luas lahan di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung serta menjelaskan hubungan antara pola usaha tani terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga petani. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif spasial, yaitu mentabulasi silangkan antara pola usaha tani terhadap luas lahan dan aksesibilitas. Serta mentabulasi silangkan antara variasi spasial pola usaha tani terhadap tingkat kesejahteraan. Diketahui hasil dari variasi spasial pola usaha tani ialah mayoritas petani melakukan kegiatan pertanian sendiri tanpa dibantu tenaga kerja lain dengan pola tanam monokultur baik di aksesibilitas tinggi maupun sedang. Kualitas aksesibilitas sebanding akan bergerak lurus dengan tenaga kerja. Semakin buruk aksesibilitas maka akan terjadi penambahan tenaga kerja. Untuk hubungan dengan tingkat kesejahteraannya adalah semakin baik aksesibilitas lahannya, maka semakin tinggi sejahteranya. Petani yang berada pada aksesibilitas sedang ke buruk, tingkat kesejahteraannya akan meningkat jika memiliki lahan yang luas.
Agriculture is one of the biggest sectors in economic development. This can be seen in the West Java PDRB 2016. But over time, the land used for agriculture is decreasing, this is caused by more and more people coming. The decrease in land that occurs every year reaches 10%, this problem is tricked by farmers to open agricultural land, especially horticultural food land in a narrow area of land, such as in the yard. This also caused the Bandung Regency, particularly the Ciwidey Agropolitan Area, to also be classified as a low welfare level. In the Ciwidey Agropolitan Area there are also Rancabali Districts. This sub-district is a sub-district with a very potential horticultural agriculture sector. Horticultural plants in this district are planted with monoculture and intercropping cropping patterns. This study aims to explain the spatial variation in horticultural farming patterns based on land area in Rancabali District, Bandung Regency and explain the relationship between farming patterns and the level of welfare of farm households. The analysis used is a spatial descriptive analysis, which is a cross tabulation between farming patterns and land conditions and accessibility. As well as cross tabulating between spatial variations in farming patterns and welfare levels. It is known that the result of spatial variations in farming patterns is that the majority of farmers do their own farming activities without the help of other workers with monoculture planting patterns in both high and moderate accessibility. The quality of accessibility is proportional to moving straight with the workforce. The worse the accessibility there will be an increase in labor. The relationship with the level of welfare is the better the accessibility of the land, the higher the welfare. Farmers who are in moderate to poor accessibility, their level of welfare will increase if they have large tracts of land.
"DAS Cirasea memiliki aktivitas pertanian yang intensif dan kondisi fisik berupa topografi dan penggunaan lahan yang bervariasi. Namun, aktivitas pertanian intensif dapat menurunkan kemampuan daya dukung lahan akibat ketidaksesuaian pengolahan lahan pertanian, sehingga menyebabkan kekritisan lahan dan erosi di DAS Cirasea. Analisis spasial variasi permeabilitas tanah merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kemampuan tanah. Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan variasi spasial permeabilitas tanah dan hubungannya dengan sifat fisik tanah, serta menganalisis hubungan permeabilitas dengan topografi dan penggunaan lahan di DAS Cirasea Kabupaten Bandung. Survei lapangan dilakukan dengan pengambilan sampel tidak terganggu. Penetapan sifat permeabilitas tanah berdasarkan metode constan head. Hasil menunjukkan permeabilitas tanah di DAS Cirasea bervariasi mulai dari kelas permeabilitas 0,5 – 2,0 cm/jam (agak lambat) sampai >25,5 cm/jam (sangat cepat). Variasi permeabilitas tanah ini terutama disebabkan oleh adanya hubungan faktor sifat fisik tanah berupa pori drainase cepat. Secara spasial terdapat hubungan antara penggunaan lahan dan topografi dengan permeabilitas di wilayah dengan karakteristik tertentu. Topografi yang landai dan penggunaan lahan yang mengalami pengolahan tanah yang intensif dapat menurunkan laju permeabilitas.
Cirasea watershed has intensive agricultural activities and physical conditions in the form of varied topography and land use. However, intensive agricultural activities can reduce the carrying capacity of the land due to the mismatch of agricultural land processing, resulting criticality land and erosion in the Cirasea Watershed. The spatial analysis of soil permeability variation is an effort to determine soil capability. This study aims to describe the spatial variation of soil permeability and its relationship with soil physical properties, as well as to analyze the relationship between permeability and topography and land use in the Cirasea Watershed, Bandung Regency. The field survey was conducted with undisturbed sampling. Determination of soil permeability based on the constan head method. The results showed that soil permeability in the Cirasea Watershed varied from permeability class 0,5 - 2,0 cm/hour (slightly slow) to >25,5 cm/hour (very fast). This variation in soil permeability is mainly due to the relationship between the physical properties of the soil in the form of rapid drainage pores. Spatially there is a relationship between land use and topography with permeability in areas with certain characteristics. Sloping topography and land use with intensive tillage can reduce permeability.
"
Sustainability Livelihood Approach merupakan sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengukur upaya sebuah keluarga untuk melanjutkan sumber mata pencahariannya. Salah satu sumber penghidupan yang saat ini menghadapi masalah adalah menjadi petani pemilik kebun teh. Kebun teh yang dikelola oleh petani secara individu merupakan sebuah fenomena yang dapat ditemukan di beberapa kabupaten di Jawa Barat, salah satunya di Kabupaten Sukabumi. Sebagai pemilik kebun teh, petani juga memiliki berbagai sumber penghidupan yang lain. Berdasarkan aset kepemilikan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengembangan sumber penghidupan rumah tangga petani pemilik kebun teh. Pemberian bobot pada setiap aset dari pendekatan SLA dilakukan berdasarkan kondisi geografis lokasi penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan informan yang telah ditetapkan persyaratannya (purposive sampling). Petani yang bertempat tinggal dekat dengan jalan utama memiliki sumber penghidupan dari kegiatan non-pertanian, yang dapat menopang pengelolaan kebun teh. Sedang petani yang memiliki jarak sosial yang dekat dengan pengambil keputusan, mampu mengembangkan kegiatan pertanian lain selain kebun teh, dan juga kebun tehnya. Petani dengan kepemilikan aset alam yang rendah menghadapi kesulitan untuk melakukan diversifikasi kegiatan ekonomi di dalam desa. Pilihan untuk mempertahankan kebun tehnya adalah dengan melakukan migrasi, bekerja di luar desa. Berdasarkan fakta tersebut maka kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa jarak yang dekat, baik jarak fisik maupun sosial, memberi kesempatan petani untuk dapat terus mengelola kebun tehnya, serta membentuk strategi penghidupan sehari-hari.
The Sustainability Livelihood Approach is a method in measuring the efforts of a household to continue its livelihood. One livelihood that is currently facing problems is being a farmer who owns a tea garden. Tea gardens managed by farmers households are a phenomenon that distributes in several districts in West Java, one of which is Sukabumi. As a tea garden owners, farmers also have various other livelihood sources. Based on ownership assets this study aims to determine the livelihood strategy pattern of tea garden owners. The weighting of each asset from the SLA approach is based on the geographical conditions of the research location. Data collection was carried out by in-depth interviews with informants whose requirements had been determined (purposive sampling). Farmers who liveclose to the main road, support their tea garden by their livelihoods from non-agricultural activities. Meanwhile, farmers who have a close social distance to decision-makers can develop other agricultural activities apart from their tea gardens and also their tea gardens. Farmers with low ownership of natural assets face difficulties to diversify economic activities within the village. The choice to maintain the tea garden is to migrate, by working outside the village. Based on these facts, the conclusions of this study indicate that close distances, both physical and social distance, provide oppurtunities for farmers to be able to continue managing their tea gardens, as well as form a daily livelihood strategy.
"