Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203306 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Davindra Fadhlurrahman Widardjo
"

Dalam hubungan antarnegara sebagai sebuah komunitas internasional yang hidup dalam perdamaian, negara-negara diwajibkan untuk menahan diri dari ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata. Tanggung jawab utama atas pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional diberikan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kepada Dewan Keamanan. Dalam menjalankan mandat tersebut, Dewan Keamanan memiliki kewenangan yang spesifik untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif, sebagaimana dipertegas dalam Bab VII Piagam PBB, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata dari negara-negara anggota. Dewan Keamanan telah mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata pada berbagai kasus, seperti pada Perang Teluk, operasi negara-negara di Afrika, dan intervensi militer di Mali terhadap teroris. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif dan data sekunder, penelitian ini berusaha untuk menguraikan kewenangan Dewan Keamanan untuk mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara melalui resolusi yang diadopsi, kemudian mengamati praktik Dewan Keamanan pada kasus-kasus terdahulu, dan pada akhirnya menganalisis penggunaan kekuatan bersenjata pada kasus perang melawan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak dan Suriah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 2249 (2015). Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dewan Keamanan tidak mengotorisasi penggunaan kekuatan bersenjata terhadap ISIS di Irak dan Suriah, namun memberikan perkembangan mengenai teori hak bela diri terhadap aktor non-negara apabila negara teritorial tidak mampu atau tidak mau mengatasi ancaman tersebut. Penelitian ini menyarankan bahwa hendaknya otorisasi Dewan Keamanan tidak serta merta dianggap sebagai cap persetujuan atas operasi militer di negara lain dimana negosiasi dan pembahasan yang panjang akan selalu diperlukan, dan respon militer atas dasar bela diri tetap harus sesuai dengan pembatasan dalam hukum internasional.


In the relationship between states as an international community living in peace, states must refrain from the threat or use of force. The primary responsibility for the maintenance of international peace and security is conferred by the members of the United Nations (UN) on the Security Council. In carrying out its mandate, the Security Council has specific powers to take effective collective measures, emphasized in Chapter VII of the UN Charter, including the use of force of member states. The Security Council has authorized the use of force in many cases, such as in the Gulf War, the state operations in Africa, and the military intervention in Mali against terrorists. By using juridicial-normative method and secondary data, this study attempts to elaborate the power of the Security Council to authorize the use of force by states through adopted resolutions, then examines the practice of the Security Council in the previous cases, and eventually analyses the use of force in the case of war against Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria based on Security Council Resolution 2249 (2015). This study concludes that the Security Council did not authorize the use of force against ISIS in Iraq and Syria, but it provides a development on self-defence theory against non-state actors if the territorial state is unable or unwilling to suppress the threat. This study advises that the Security Council authorization should not be considered as approval stamp for military operation in other state, where long negotiations and discussions will always be needed, and that military response as self-defence must be in accordance with the limitations in international law.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masmuhah
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai strategi intervensi militer asing melawan Islamic State of Iraq and Syria ISIS di Irak dan Suriah sejak tahun 2014 sampai 2017. Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menjelaskan tema di atas adalah konsep intervensi militer, perang asimetris dan kemunduran organisasi terorisme. Analisa tesis ini akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan strategi  intervensi militer apa yang dilakukan oleh pihak asing seperti koalisi AS, Rusia, Iran, dan negara diluar Irak dan Suriah. Penelitian ini menggunakan studi pustaka dan wawancara. Dari data tersebut ditemukan bahwa, kekuatan ISIS berasal dari strategi konvensional dan asimetris untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Kekuatan ISIS ini membuat pemerintah Irak dan Suriah meminta intervensi asing untuk melawan gerakan terorisme ini. Terdapat dua strategi intervensi militer yang digunakan dalam upaya ini, yaitu strategi diplomatik dan strategi militer.  Melalui metode kualitatif yang menggunakan berbagai sumber yang relevan, tesis ini membangun argumen bahwa intervensi militer yang dilakukan oleh pihak asing merupakan langkah strategis dalam upaya menghancurkan ISIS serta kembali menstabilkan kondisi keamanan Irak dan Suriah. Hal ini dibuktikan dengan berkurangnya wilayah yang dikuasai ISIS, jumlah pasukan, serta kondisi fiskal hingga akhir 2017.

ABSTRACT
This study discusses the strategy of foreign military intervention against the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) in Iraq and Syria from 2014 to 2017. The concept of  military intervention, asymmetric warfare and declining of terrorist organizations are used to explain the effect of military intervention to the decline of ISIS. The analysis of this thesis will be directed to explain military intervention strategies which were conducted foreign parties such as the US, Russia, Iran and other countries outside Iraq and Syria. This study uses literature and interviews method. The author found that the power of ISIS is originated from conventional and asymmetrical strategies to expand and maintain its power. The power of ISIS has made the Iraqi and Syrian governments ask foreign intervention to fight this terrorism movement. There are two military intervention strategies used in this effort, diplomatic and military strategy. From various relevant sources with qualitative methods, this thesis builds the argument that military intervention which was carried out by foreign parties is a strategic step in efforts to destroy ISIS an stabilize the security in Iraq and Syria. This is proven by the reduction of ISIS-controlled areas, number of troops, and fiscal conditions until the end of 2017."
2019
T54421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Bilqish
"Skripsi ini membahas mengenai kekuatan mengikat dari Resolusi Dewan Keamanan PBB, kemudian dikaitkan dengan apabila terjadi pelanggaran terhadap Resolusi tersebut. Setelah itu dilihat mengenai tindaklanjut yang dilakukan oleh Dewan Keamanan terkait pelanggaran tersebut, akankah Negara yang melanggar Resolusi Dewan Keamanan tersebut diberikan sanksi atau tidak. Dimulai dengan mempertanyakan teori hukum yang mengatur mengenai kekuatan mengikat Resolusi Dewan Keamanan dan sanksi bagi pelanggaran terhadapnya. Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai proses pembuatan Resolusi Dewan Keamanan yang Resolusi yang dihasilkan. Kemudian pembahasan praktek yang telah terjadi mengenai pemberian sanksi oleh Dewan Keamanan terhadap Negara yang melanggar Resolusinya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil dari penelitian ini adalah ditemukan teori-teori yang mendukung bahwa Resolusi Dewan Keamanan mengikat secara hUkum kepada anggota-anggota PBB. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap Resolusi Dewan Keamanan haruslah dikenakan sanksi sesuai dengan pasal 34, 39, 41, dan 42 Piagam PBB. Akan tetapi pada prakteknya ada Negara-negara yang melanggar Resolusi Dewan Keamanan tanpa diberikan sanksi oleh Dewan Keamanan. Pembedaan perlakuan antara Negara-negara anggota PBB terkait sanksi bagi pelanggar Resolusi Dewan Keamanan ini dipengaruhi faktor dominasi kekuasaan Negara Anggota Tetap Dewan Keamanan dan politik hukum internasional yang ada di Dewan Keamanan.

This thesis discusses the binding force of the UN Security Council resolution, then its associated if there is violation of the resolution. Once it was seen on follow up conducted by the relevant Security Council of the breach, the State would violate UN Security Council sanctions is granted or not. Starting with the question of legal theory governing the binding force and the UN Security Council sanctions for violations against this Resolution. Followed by a discussion about the process of the Security Council Resolution produced. Then the discussion that has occurred regarding the practice of imposing sanctions by the Security Council of the State in violation of resolution. This study is a descriptive qualitative research design.
The results of this study are found to support theories that the UN Security Council are legally binding to members of the United Nations. Therefore, a violation of UN Security Council Resolution shall be sanction in accordance with Article 34, 39, 41, and 42 of the UN Charter. However, in practice there are countries that violate Security Council resolutions without the sanction given by the Security Council. Difference in treatment between UN member states related sanctions for violators of the Security Council Resolution, influence by factor of domination of the Security Council Permanent Member States and international law politic that is exist in the Security Council.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Poppy Luciana
"Tesis ini membahas pemberlakuan sanksi ekonomi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Analisis permasalahan dilakukan dengan melihat mekanisme penetapan sanksi ekonomi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, pemberlakuan sanksi ekonomi melalui resolusi Dewan Keamanan yang mengikat negara anggota PBB yang membutuhkan kerjasama internasional untuk mengoptimalkan pemberlakuan sanksi ekonomi, serta dampak sanksi ekonomi ditinjau dari perspektif hukum internasional dikaitkan dengan kondisi internal negara, dampak sanksi bagi rakyat sipil serta bagi negara ketiga.
Dalam tesis ini, dirumuskan beberapa rekomendasi berkaitan dengan penetapan definisi dan parameter situasi yang merupakan ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi sebagai landasan memberlakukan sanksi ekonomi; pelaksanaan mekanisme monitoring rutin ditindaklanjuti dengan peninjauan sanction exemption bagi alasan kemanusiaan; kerjasama Dewan Keamanan dengan badan internasional maupun badan regional keuangan dalam menyusun dan melaksanakan action-oriented proposal bagi negara ketiga.

The focus of this thesis discussess the imposition of economic sanction of the United Nations Security Council for the maintenance of international peace and security under Chapter VII of the United Nations Charter. Problems analysis is conducted by observing the mechanism to impose economic sanction under Chapter VII of the United Nations Charter, the imposition of economic sanction by means of Security Council resolution which is binding to the United Nations member states that requires cooperation to optimize the imposition of economic sanction, and impact of economic sanction from the perspective of international law in relation with state's internal situation, impact on civil population and on the third state.
This thesis provides some recommendations in relation with the determination on definition and parameter of situation that constitutes action with respect to threats to the peace, breached of the peace and acts of agression as a basis to impose economic sanction; implementation of routine monitoring mechanism and review sanction exemption for humanitarian reasons; cooperation between the Security Council and international or regional financial institution in developing and implementing an action-oriented proposal.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31892
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Soleman
"Perluasan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) hanya terjadi pada tahun 1965 dengan menambahkan empat kursi anggota tidak tetap. Reformasi pasca 1965 terus diupayakan selama berdekade oleh berbagai aktor internasional, karena mereka melihat terdapat banyak urgensinya. Bahkan, saat ini mayoritas negara secara terbuka mendukung adanya reformasi DK PBB. Tidak ada satu pun negara yang secara terbuka menolak reformasi. Mengingat signifikasi institusi, isu reformasi DK PBB juga telah menjadi pembahasan arus utama dalam studi Hubungan Internasional. Tugas Karya Akhir ini berusaha membahas proses upaya reformasi tersebut dengan meninjau 56 literatur akademik di laman SCOPUS. Dalam rangka menjelaskan proses reformasi secara benar penulis menggunakan metode taksonomi, sehingga Bab Pembahasan Tugas Karya Akhir ini terdiri dari empat subbab, yaitu (1) Pengantar: Perkembangan Upaya Reformasi DK PBB; (2) Urgensi Reformasi DK PBB Pasca 1965; (3) Gagasan dan Proposal Reformasi DK PBB Pasca 1965; dan (4) Kritik dan Tantangan Reformasi DK PBB Pasca 1965. Dengan keempat subbab tersebut, Tugas Karya Akhir ini dapat memberikan penjelasan komprehensif. Pembahasan mengungkapkan bahwa upaya reformasi telah dilakukan sejak masa Perang Dingin, tetapi banyak tantangan yang hadir. Meskipun mayoritas negara setuju dengan urgensi reformasi dan hadir berbagai gagasan dan proposal reformasi, tetapi beberapa akademisi melihat klaim urgensi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendirian (DK) PBB dan di antara negara pendukung reformasi juga masih terdapat perbedaan pendapat mengenai realisasi reformasi. Selain itu, tantangan juga hadir dari anggota tetap saat ini yang terkesan ingin mempertahankan status quo mereka. Tantangan-tantangan tersebut telah menjadikan perkembangan reformasi DK PBB berjalan dengan lambat.

The expansion of the United Nations Security Council (UNSC) membership only occurred in 1965, with the addition of four non-permanent seats. Post-1965 reforms have been pursued for decades by various international actors due to their perceived urgency. Currently, the majority of nations openly support the reform of the UNSC, with no country openly opposing it. Given the significance of the institution, the issue of UNSC reform has become a mainstream discussion in International Relations studies. This study attempts to discuss the process of these reform efforts by reviewing 56 academic literatures on the SCOPUS. To explain the reform process properly, the author employs a taxonomic method, resulting the Discussion Chapter consisting of four sub-chapters: (1) Introduction: Development of UNSC Reform Efforts; (2) Urgency of UNSC Reform Post-1965; (3) Ideas and Proposals for UNSC Reform Post-1965; and (4) Criticism and Challenges of UNSC Reform Post-1965. With these four sub-chapters, this study can provide a comprehensive explanation. The discussion reveals that reform efforts have been undertaken since the Cold War era, but many challenges have emerged. Although the majority of countries agree with the urgency of reform and ideas and proposal of reform have emerged, some academics see that the claim of urgency does not align with the founding objectives of the UN(SC), and among the countries supporting reform, there are still differences of opinion regarding the realization of reform. In addition, challenges also come from the current permanent members who seem to want to maintain their status quo. These challenges have made UNSC reform progress slow."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Astuti Nurjanah
"Tesis ini akan membahas kewarganegaraan ditinjau dari perspektif hukum nasional Indonesia dan hukum internasional, dampak hak kewarganegaraan terhadap warga negara Indonesia yang turut serta sebagai Foreign Terrorist Fighters (FTF), serta saran perlindungan terhadap kewarganegaraan anak-anak dari warga Negara Indonesia yang terlibat sebagai FTF di Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang dapat menjamin kepastian hukum dan mendukung kepentingan hak asasi manusia di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif dengan metode penafsiran sistematis. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebijakan untuk mencabut kewarganegaraan eks ISIS di Indonesia masih menimbulkan kontradiksi. Hukum internasional tidak memaksakan Negara kebangsaan secara langsung kewajiban untuk memulangkan anggota keluarga FTF. Meskipun demikian, beberapa komitmen yang relevan didirikan di bawah berbagai bidang internasional, hukum nasional yang mendukung repatriasiasi, sebagai pilihan terbaik untuk bertindak sesuai dengan internasional yang ada dalam kerangka kerja nasional. Dalam mengkaji status kewarganegaraan eks ISIS ini, penting untuk membedakan anak-anak dari orang dewasa karena hak atas kewarganegaraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan peraturan internasional Article 15 Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Article 24 Section 3 the International Covenant on Civil and Political Right, serta Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Meskipun demikian, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan mencabut kewarganegaraan anak-anak dari warga negara Indonesia eks ISIS, bisa saja mereka melakukan hal itu karena tidak dalam kondisi bisa memilih. Jika mereka diterima, maka pemerintah harus siap dengan beberapa konsekuensi. Pertama, pemerintah perlu melakukan identifikasi dan pemilahan anak-anak yang dapat dibawa kembali ke Indonesia. Kedua, menyediakan fasilitas pelayanan Kesehatan dengan sumber daya manusia kesehatan jiwa yang memadai untuk intervensi psikologis anak-anak tersebut. Ketiga, menyiapkan program sosialisasi dan dukungan agar masyarakat dapat menerima anak yatim piatu kombatan ISIS, sebagai bentuk pemenuhan kewajiban pelindungan anak yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah perlu memandang anak-anak sebagai korban, bukan pelaku. Jangan sampai mereka harus menanggung dosa yang dilakukan orang tua mereka, seperti yang terjadi pada anak-anak bekas tahanan politik.

This thesis is aimed to discuss citizenship from the perspective of Indonesian national law and international law, the impact of citizenship rights on Indonesian citizens who participate as Foreign Terrorist Fighters (FTF), as well as advice on protecting the citizenship of children from Indonesian citizens who are involved in the FTF in the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) which can guarantee legal certainty and support the interests of human rights in Indonesia. This research is a normative legal research and uses secondary data which is analyzed descriptively with a systematic interpretation method. The results of the study revealed that the policy to revoke ex-ISIS citizenship in Indonesia still creates contradictions. International law does not impose a national State directly on the obligation to repatriate FTF family members. Nonetheless, several relevant commitments were established under various international, national laws supporting repatriation, as the best option for acting in accordance with existing international frameworks. In reviewing the ex-ISIS citizenship status, it is important to distinguish children from adults because the right to citizenship has been regulated in Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, and international regulations Article 15 of the Universal Declaration of Human Rights in 1948 and Article 24 Section 3 of the International Covenant on Civil and Political Rights, as well as the Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Nonetheless, the government needs to review the policy of revoking the citizenship of children of ex- ISIS Indonesian citizens, not in a state of being able to choose. If they are accepted, then the government must be prepared with some consequences. First, the government needs to identify and sort out children who can be brought back to Indonesia. Second, providing health service facilities with adequate mental health human resources for psychological intervention for these children. Third, prepare a socialization and support program so that the community can accept ISIS combatant orphans, as a form of fulfilling the obligation to protect children as regulated in Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. The government needs to view children as victims, not perpetrators. Do not let them have to bear the sins of their parents, as happened to the children of former political prisoners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Aghyp
"Negara berdaulat merupakan negara yang memiliki kekuasaan tertinggi di wilayahnya sendiri. Hal itu tidak dapat diganggu gugat oleh negara manapun. Dewan Keamanan PBB yang bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan internasional dapat memiliki wewenang terhadap suatu konflik internal. Konflik internal tersebut menjadi kewenangan Dewan Keamanan apabila dapat berkembang menjadi ancaman terhadap perdamaian dunia, pelanggaran terhadap perdamaian dunia dan tindakan agresi. Selama ini dalam prakteknya sering dilakukan intervensi dari suatu negara terhadap negara lain. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai masalah intervensi Dewan Keamanan PBB pada konflik yang terjadi di wilayah Pantai Gading.

A sovereign state is a state where they have the highest power in their territory. This concept can not be breached by any nations. United Nations Security Council that in purpose to maintain international peace and security can have jurisdiction on an internal conflict. The internal conflict becomes United Nations Security Council's jurisdiction if it can be escalated to threat to peace, breach to peace, and an act of aggression. In practice, there have been a lot of cases about intervention done by states. With this research, there is hope to answer the problems about intervention that had been done by United Nations Security Council in Cote d'Ivoire."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42341
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani Selina Prameswari
"Agenda Women, Peace and Security (WPS) merupakan nilai global tentang perempuan dalam perang yang disebarkan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi UNSC 1325 pada tahun 2000. Agenda ini kemudian menjadi kerangka revolusioner pertama yang berusaha memecahkan masalah tentang dampak spesifik gender dalam perang dan konflik terhadap perempuan dan anak perempuan. Berbagai negara kemudian berbondong-bondong untuk mengadopsi resolusi ini menjadi sebuah National Action Plan (NAP) atau Rencana Aksi Nasional (RAN) sebagai bentuk dari implementasi agenda WPS. Usaha-usaha sudah dilakukan pada tingkat multi sektor, namun pada realitanya, masih sulit untuk dicapai. Salah satu kasus menarik terjadi di Irak, sebagai negara pertama yang mempunyai RAN 1325 di kawasan Arab dan Afrika Utara sejak tahun 2014, dimana implementasi agenda WPS terlihat masih mengalami penyimpangan. Padahal, Irak telah menjadi garda terdepan situasi perang dan konflik hingga kini, namun nasib perempuannya masih dipertanyakan kembali. Dengan demikian, penulis memiliki pertanyaan penelitian yaitu bagaimana implementasi agenda WPS di Irak melalui RAN untuk Resolusi UNSC 1325 pada periode tahun 2014-2018? Melalui kerangka berpikir keamanan feminis, penulis berusaha untuk melihat proses implementasi tersebut serta dampaknya terhadap perempuan di wilayah perang dan konflik di Irak.

With the adoption of UN Security Council Resolution 1325 in 2000, the UN Security Council promoted the worldwide value of women in conflict known as the Women, Peace, and Security (WPS) agenda. This resolution is the first revolutionary framework that seeks to address the problem of gender-specific impacts in war and conflict. Then, as part of the WPS agenda, numerous nations sought to adopt this into a National Action Plan (NAP) or Rencana Aksi Nasional (RAN). Multi-sectoral initiatives have been made, but in practice, still challenging to accomplish. One intriguing instance occurred in Iraq, the first country to have RAN 1325 in the Arab and North African area since 2014, where the WPS agenda seems to still be being implemented inconsistently. The fate of women is still being debated, even though Iraq has historically been at the forefront of war and conflict circumstances. As a result, the author's research topic is how, between 2014 and 2018, the WPS agenda in Iraq is being implemented through the NAP for UN Security Council Resolution 1325. The author attempts to understand the implementation process, the perspectives of women in the war and conflict region in Iraq through the lens of a feminist security."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: The Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations, 1997
959.8 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pariama Carolin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S25631
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>