Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astria Yuliastri Permana
"Latar belakang. Kombinasi anestesi spinal bupivakain dan fentanil dengan penambahan klonidin dosis tinggi diketahui dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik, namun prevalensi timbulnya efek samping cukup tinggi. Dalam studi ini, kami menggunakan klonidin dosis rendah secara intratekal (30 mcg) sebagai adjuvan  bupivakain dan fentanil. 
Tujuan. Penelitian dilakukan untuk membandingkan efektifitas serta efek samping pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dengan dan tanpa klonidin 30 mcg.
Metode. Penelitian studi potong lintang yang dilakukan pada 70 pasien seksio sesarea terbagi kedalam dua kelompok masing-masing 35 pasien yang mendapatkan kombinasi anestesi spinal dengan penambahan klonidin 30 mcg dan tanpa klonidin 30 mcg. Penelitian ini mengevaluasi kualitas blok sensorik dan motorik. Efek samping yang terjadi diamati selama 24 jam paska tindakan seksio sesarea meliputi pruritus, mual muntah, nyeri tungkai, nyeri punggung dan mata merah. 
Hasil Penelitian. Median durasi blok sensorik kelompok kombinasi anestesi bupivakain fentanil dengan klonidin 30 mcg dibandingkan tanpa klonidin 30 mcg (330 menit vs 220 menit), Median durasi blok motorik (193 menit vs 188 menit). Efek samping tertinggi adalah mual muntah terdapat pada kelompok kombinasi tanpa klonidin 30 mcg (42.85%). Perbedaan bermakna (p-value < 0.05) terdapat pada durasi blok sensorik, blok motorik dan efek samping mual muntah.
Kesimpulan. Penambahan klonidin 30 mcg pada kombinasi anestesi spinal bupivakain fentanil dapat memperpanjang durasi blok sensorik dan motorik serta meminimalisir efek samping dibandingkan dengan tanpa klonidin 30 mcg.

Background. The combination of the spinal anesthesia bupivacaine and fentanyl with the addition of high doses of clonidine are known to prolong the duration of sensory and motor blocks, but the prevalence of side effects is high. In this study, we used an intrathecally low dose of clonidine (30 mcg) as an adjuvant to bupivacaine and fentanyl.
Aim. This study was conducted to compare the effectiveness and side effects of the combination spinal anesthesia bupivacaine fentanyl with and without clonidine 30 mcg.
Method. Cross-sectional study conducted on 70 patients with cesarean section divided into two groups of 35 patients each who received a combination of spinal anesthesia with the addition of clonidine 30 mcg and without clonidine 30 mcg. This study evaluates the quality of the sensory and motor blocks. Side effects observed for 24 hours after cesarean section included pruritus, nausea, vomiting, leg pain, back pain and red eyes.
Result. Median sensory block duration in the combination group of the anesthetic bupivacaine fentanyl with clonidine 30 mcg compared without clonidine 30 mcg (330 min vs 220 min), Median motor block duration (193 min vs 188 min). The highest side effect was nausea and vomiting in the combination group without clonidine 30 mcg (42.85%). Significant differences (p-value <0.05) were found in the duration of sensory blocks, motor blocks and side effects of nausea and vomiting.
Conclusion. The addition of clonidine 30 mcg to the combination of spinal anesthesia bupivacaine fentanyl can prolong the duration of sensory and motor blocks and minimize side effects compared to 30 mcg without clonidine.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Agnesha
"Latar Belakang : Brakhiterapi intrakaviter merupakan terapi keganasan pada stadium lanjut yang sering digunakan pada bidang ginekologi. Pasien brakhiterapi pada umumnya dilakukan dengan pelayanan rawat jalan sehingga anestesia yang menjadi pilihan selama ini adalah anestesia spinal.Pemilihan obat yang memiliki waktu pulih anestesia spinal yang lebih cepat membuat pasien dapat pulang kerumah lebih cepat. Penelitian ini mencoba mengetahui waktu pulih anestesia spinal levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dan uji klinik acak tersamar ganda yang akan dilaksanakan di unit radioterapi RSCM pada bulan Oktober 2015. Sebanyak 60 orang subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (LV) dan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (BV) untuk menilai waktu pulih anestesia spinal antara kedua kelompok perlakuan tersebut.
Hasil : Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menilai waktu kesiapan pulang pasien, waktu ambulasi dan waktu pasien dapat miksi spontan. Pada variabel waktu ambulasi, miksi spontan, dan waktu kesiapan pulang didapatkan hasil berbeda bermakna (p < 0,05).
Simpulan : Waktu pulih anestesia spinal, waktu ambulasi dan waktu miksi pada kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.

Introduction : Intracavitary brachytherapy is one of advanced stage cervical cancer modality treatment. These patients were treated as outpatient clinic fashion and the chosen anesthesia was spinal anesthesia. The regimens of spinal anesthesia will influenced the recovery time. The aim of the study is to compare the recovery time between two spinal anesthesia regimens Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl for brachytherapy outpatient clinic patient.
Method: This is a double blind randomized control trial study. The study was taken place at radiotherapy unit RSCM at October 2015. There were 60 patients that divided into two groups Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group. These two groups will be measured for spinal anesthesia recovery time.
Result : The spinal anesthesia recovery time measured by discharged readiness time, ambulation time, spontaneous micturition time. From the result of the study all of these three variables were significantly different between these two group regimens (P< 0,05).
Conclusion : spinal anesthesia recovery time, ambulation time, spontaneous micturition time of Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group were faster than 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group at intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55725
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ambo Sumange
"Latar Belakang: Brakiterapi merupakan modalitas tata laksana kanker serviks dengan radiasi yang dilakukan pada tumor yang besar pada saat akhir atau bersamaan dengan kemoradioterapi. Anestesia spinal merupakan prosedur anestesi yang umum dilakukan pada prosedur rawat jalan brakiterapi intrakaviter untuk kanker serviks. Pemilihan obat yang memiliki waktu kesiapan pulang yang lebih cepat diharapkan dapat membuat pasien pulang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu kesiapan pulang pasca anestesia spinal dengan bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak yang tersamar tunggal yang dilaksanakan pada unit radiologi RSCM. Pada penelitian ini, terdapat 48 orang subyek penelitian yang akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg. Pengukuran waktu kesiapan pulang pada kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan Modified PADSS score. Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menggunakan bromage score.
Hasil: Variabel usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT), dan skor ASA tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Median waktu pulih pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg adalah 60 (30 – 120) menit dan 90 (60-120) menit (p<0,001) sedangkan rata-rata waktu kesiapan pulang adalah 130,00 ± 22,84 menit dan 170,00 ± 22,84 menit (p<0,001). Efek samping hipotensi pasca anestesia hanya ditemukan pada 1 pasien (4,2%) yang mendapatkan bupivakain.
Kesimpulan: Waktu kesiapan pulang, waktu pulih pasca anestesia spinal pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.

Background: Brachytherapy is a treatment modality for cervical cancer in which radiation is applied to large tumors at the end or at the same time with the chemoradiotherapy. Spinal anesthesia is an anesthesia procedure commonly performed in outpatient intracavitary brachytherapy for cervical cancer. The selection of drugs with earlier time to readiness for discharge is expected to make patients go home earlier. This study measures the time to readiness for discharge of after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl in brachytherapy outpatient clinic.
Methods: This was a single-blind randomized controlled trial study conducted at radiotherapy unit Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021. There were 48 patients divided into two groups: 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl. Time to readiness for discharge was measured using Modified PADSS score. Recovery time was measured using Bromage score.
Results: Age, body weight, body mass index (BMI), and ASA score were not significantly different between the two groups. Median of recovery time in 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl group and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl group were 60 (30 – 120) minutes and 90 (60- 120) minutes, respectively (p<0,001) while mean of time to readiness for discharge were 130,00 ± 22,84 minutes and 170,00 ± 22,84 minutes, respectively (p<0,001). Hypotension side effect of spinal anesthesia was only found in 1 patient (4,2%) in bupivacaine group.
Conclusion: Time to readiness for discharge and recovery time after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl was shorter than 5 mg hyperbaric levobupivacaine+ 25 mcg fentanyl in intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyo Lindawati Julia
"LATAR BELAKANG : Hipotensi akibat anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah caesar berbahaya bagi ibu dan janinnya. Sehingga, kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg dan 6 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dengan kualitas analgesia yang adekuat untuk memfasilitasi bedah caesar.
METODE : 394 pasien hamil aterm usia 20 ? 40 tahun yang akan menjalani bedah caesar, baik cito maupun elektif ASA I ? II,yang sesuai dengan kriteria inklusi.Randomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg serta kelompok II (kontrol) yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 6 mg ditambah fentanil 25 mcg.Posisi pasien pada kedua kelompok sama yaitu posisi lateral dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 1,7cc disun tikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke - 3,6,,9,12,15,20,30,40,50,60 setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid.
HASIL : Terdapat 3 subyek penelitian yang dikeluarkan pada kelompok I, karena dikonversi menjadi anestesia umum . Terdapat 2 subyek penelitian pada kelompok II yang mendapatkan fentanil 100 mcg intravena. Angka kejadian hipotensi pada kelompok I 9,3% dan pada kelompok II adalah 12,2%.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND: Hypotension due to spinal anesthesia in patients undergoing cesarean section is dangerous for both mother and fetus. So with a combination of low doses of local anesthetics 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg and 6 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to reduce the incidence of hypotension with adequate quality of analgesia to facilitate cesarean section.
METHODS: 394 pregnant patients at term age 20-40 years undergo caesarean section, either cito and elective ASA I - II, in accordance with the criteria I inclusion. Randomization into groups that received 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II (controls) who received 0.5% hyperbaric bupivacaine 6 mg plus fentanyl 25 mcg.Posisi patients in both groups were the same, namely the lateral position with the highest lumbar puncture L3-4/L4-5.Total injected volume is 1.7 cc with speed of injection 0.2 ml / second. Then move patient to supine position with left lateral tilt. Do blood pressure recording in minute - 3.6,9,12,15,20,30,40,50,60 after injection of local anesthetic drugs into the subarachnoid space.
RESULTS: There were three subjects that excluded subjects in group I, because converted to general anesthesia. There are two subjects in group II who received fentanyl 100 mcg intravenously. The incidence of hypotension in group I and 9.3% in group II was 12.2%.
CONCLUSION: There was no significant difference in the incidence of hypotension in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frank Sapta
"Latar belakang : Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akibat anestesia subarakhnoid pada seksio sesarea yang berpotensi membahayakan ibu dan janin. Kejadian hipotensi pada seksio sesarea dengan dosis bupivakain 8 - 12,5 mg berkisar antara 25 - 60%. Mengkombinasikan anestetika lokal dosis rendah dengan opioid lipofilik dan modifikasi posisi saat injeksi subarakhnoid mungkin dapat lebih menurunkan kejadian hipotensi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas posisi Oxford dalam menurunkan kejadian hipotensi dibanding posisi lateral dengan regimen bupivakain 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg.
Metode : Setelah lolos kaji etik dan mendapatkan persetujuan klinik 180 pasien yang akan menjalani seksio sesarea elektif dirandomisasi blok ke dalam kelompok posisi Oxford atau posisi lateral. Semua pasien mendapatkan dosis intratekal bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg. Coloading kristaloid diberikan 10 ml/ kgBB. Efedrin intravena diberikan sesuai standar. Kondisi hemodinamik dan profil blok sensorimotor dicatat. Penggunaan efedrin, efek samping dan nilai APGAR juga didokumentasikan.
Hasil : Terdapat perbedaan yang secara statistik tidak bermakna pada kejadian hipotensi diantara kedua kelompok (p=0,121). Total jumlah penggunaan efedrin intravena diantara kedua kelompok berbeda dan dapat diperbandingkan. Profil blok sensorimotor diantara kedua kelompok dapat diperbandingkan.
Kesimpulan : Modifikasi posisi Oxford pada anestesia subarakhnoid dengan dosis bupivakain 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg tidak memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan kejadian hipotensi.

Background : Hypotension was one of the complications of subarachnoid anesthesia in caesarean section that potentially detrimental to the mother and baby. The insidens of hypotension in caesarean section with bupivacaine 8 - 12,5 mg were between 25 and 60%. Combining low dose of local anesthetics with lipofilic opioid and modification of position during subarachnoid injection might be more in lowering the hypotension insidens. The study was conducted to prove the effectiveness of Oxford position in lowering the hypotension insidens with regimen 7,5 mg bupivacaine added with 25 mcg fentanyl.
Methods : After ethical clearance and receive informed consent 180 elective caesarean section patient were randomized into Oxford group or lateral group. All the patient were receive the same dose of intrathecal 7,5 mg 0,5% hyperbaric bupivacaine added with 25 mcg fentanyl. Coloading of 10 ml/ kgBW with cristaloid was given. Intravenous ephedrine was given according to a standard. Hemodynamic changes and sensorimotor block profile were documented. Epedhrine consumption, side effect and APGAR score were also documented.
Result : There is a difference that statistically not significant in hypotension insidens between two groups (p=0,121). The total intravenous ephedrine consumption between two groups was different and comparable. The profile of sensorimotor block between two groups could be compared.
Conclusion : Modification of Oxford position in subarachnoid anesthesia with 7,5 mg bupivacaine added with 25 mcg fentanyl was not more effective in lowering insidens of hypotension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Juan Carson Roy Nathanael
"Latar Belakang: Sistoskopi merupakan prosedur urologi yang memerlukan anestesi spinal untuk memberikan kenyamanan pada pasien. Bupivakain merupakan agen anestesi spinal yang lumrah digunakan namun memiliki durasi kerja yang panjang sehingga menimbulkan kerugian. Prilokain merupakan alternatif anestesi spinal untuk prosedur sistoskopi dengan durasi kerja yang lebih singkat dibandingkan dengan bupivakain. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kecepatan waktu pulih anestesi spinal dengan prilokain hiperbarik 2% 50 mg dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg pada prosedur sitoskopi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda yang melibatkan 66 pasien yang menjalani prosedur sistoskopi di RSCM. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu prilokain hiperbarik 2% 50 mg + fentanyl 25 mcg dan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg + fentanyl 25 mcg. Waktu pulih yang dinilai adalah waktu pasien dapat mengangkat tungkai bawah 45 derajat pasca anestesi spinal dan waktu pasien dapat berjalan pasca anestesi spinal.
Hasil: Waktu pasien dapat mengangkat tungkai bawah 45 derajat pasca anestesi spinal dan waktu pasien dapat berjalan pasca anestesi spinal lebih singkat pada prilokain dibandingkan bupivakain. Perubahan hemodinamik dan efek samping yang terjadi tidak berbeda antara kedua obat.
Simpulan: Waktu pulih anestesi spinal dengan prilokain hiperbarik 2% 50 mg lebih singkat dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg pada prosedur sitoskopi.

Introduction: Cystoscopy is a urologic procedure requiring spinal anesthesia to provide comfort to patients. Bupivacaine is a frequently used spinal anesthesia agent, however its long duration of action creates disadvantages. Prilocaine may be an alternative for spinal anesthesia in cystoscopy, which has shorter duration of action compared to bupivacaine. This study aimed to compare spinal anesthesia recovery time of hyperbaric prilocaine 2% 50 mg and hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg in cystoscopy procedure.
Methods: This study was a randomized-controlled trial involving 66 patients who underwent cystoscopy in RSCM. Subjects were randomized into two groups, i.e. hyperbaric prilocaine 2% 50 mg + fentanyl 25 mcg and hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg + fentanyl 25 mcg.Recovery times being assessed were time to raise leg 45 degree and time to walk unassisted after spinal anesthesia.
Results: Time to raise leg 45 degree and time to walk unassisted after spinal anesthesia were shorter in prilocaine group compared to bupivacaine group. Hemodynamic changes and adverse effects were comparable between two groups.
Conclusion: Spinal anesthesia recovery time of hyperbaric prilocaine 2% 50 mg was shorter than hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg in cystoscopy procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
"ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu
digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil
intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced
cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat
induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan
dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap
angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia
umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien
ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek
diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok
(kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random
diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan
5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing
kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan
(1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji
Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif.
Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah
pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan
4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan
20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p=0.131).
Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik
dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.

ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists
in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous
fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough
(FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated
with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence
of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare
injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and
severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in
Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that
underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo
hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the
study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds
group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body
weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and
severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs
observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe
(>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test.
Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in
the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group
(mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group
(mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not
different significantly (p=0.131).
Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group
compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emi Setyaningsih
"Insersi jarum spinal dapat menimbulkan nyeri sehingga perlu dilakukan teknik stimulasi kompres dingin guna menurunkan intensitas nyeri yang dialami. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas kompres dingin dalam menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi. Desain yang digunakan adalah quasy experimental dengan pendekatan post test only design non equivalent control group. Sampel terdiri dari 72 pasien dewasa yang terbagi atas 36 orang kelompok intervensi dan 36 orang kelompok kontrol.
Analisis data untuk mengetahui perbedaan rerata kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dengan intensitas nyeri dan menganalisis hubungan variabel jenis kelamin dan pengalaman nyeri insersi spinal dengan intensitas nyeri menggunakan uji Mann Whitney. Analisis data untuk mengetahui hubungan variabel usia, ukuran jarum spinal dan kecemasan dilakukan uji Kruskal Wallis.
Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dan hubungan bermakna antara variabel kecemasan dengan intensitas nyeri (p<0,05). Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pada variabel usia, jenis kelamin, pengalaman nyeri insersi dan ukuran jarum spinal (p>0,05). Dapat disimpulkan kompres dingin merupakan intervensi yang terbukti efektif untuk menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi.

Spinal needle insertion may cause pain hence cold compress stimulation technique to reduce the intensity of the pain is required. This study aims to identify the effectiveness of cold compress in reducing the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedures. The design used was quasy experimental with post test only design non equivalent control group approach. The sample consisted of 72 adult patients divided into 36 intervention groups and 36 control groups.
Data analysis is to obtain the difference average of treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) with pain intensity and analyze the connection of gender and spinal insertion pain variables and the intensity of pain using Mann Whitney test. Data analysis to obtain the correlation of age, spinal needle size and anxiety variables was conducted using Kruskal Wallis test.
Analysis results show that there are significant differences between treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) and significant relationship between anxiety variables with pain intensity (p <0.05). The results show no significant association in age, sex, insertion pain experience and spinal needle size (p> 0.05). It can be concluded that cold compress is an effective intervention to decrease the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedure."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hayati Heryundari
"Tujuan : dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan morfin 0,05 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca bedah sesar dengan analgesia spinal bupivakain 0,5% 12,5 mg.
Disain : uji klinis acak tersamar ganda.
Metode : 96 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 48 orang mendapat 0,05 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dan kelompok B sebanyak 48 orang mendapat 0,1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg plus NaCi 0,9% 1 cc intramuscular. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan VAS, tekanan darah, frekuensi nadi, nafas dan efek samping pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi.
Hasil : kelompok A mempunyai efek analgesia yang setara dengan kelompok pada pemantauan jam ke 2 hingga ke 24 dan pa 0,05_ Efek samping pruritus, mual muntah kelompok A 14,6%, 2,1%, 2,1% sedangkan kelompok B 43,0%, 10,4%, 4,2%.
Kesimpulan : morfin intratekal 0,05 mg plus ketorolak 30 mg intramuskular menghasilkan analgesia yang tidak berbeda bermakna dengan morfin 0,1 mg dan menurunnya efek samping pruritus, mual dan muntah pasca bedah sesar.

Objective : this study was conducted to compare the effectiveness of 0,05 mg intrathecal morphine plus 30 mg intramuscular ketorolac with 0,1 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after cesarean delivery under spinal analgesia with 12,5 mg of 0,5 % plain bupivacaine.
Design : double blind, randomized clinical study
Methods : 96 patients who underwent cesarean delivery, were divided into 2 groups. Group A : 48 patients got 0,05 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % combined with 30 mg intramuscular ketorolac. Group B : 48 patients got 0,1 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % plus NaCl 0,9 % intramuscular. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours : the effectiveness of analgesia using VAS, BP, HR and RR.
Result : group A have the same effectiveness of post operative pain control with group B during the observations. A significanty greater incidence of pruritus was observed in the group B receiving 0,1 mg of intrathecal morphine. Although no significant difference among groups was observed regarding the incidence of vomiting, there was a trend toward less vomiting with the use of smaller doses of morphine.
Conclusion : a multimodal approach to pain control with the use of a combination drug ( 0,05 intrathecal morphine and 30 mg im ketorolac) have same quality of analgesia that provided with 0,1 mg intrathecal morphine but the incidence of side effects trend to decrease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Fardian
"ABSTRAK
Menggigil merupakan komplikasi paska anestesi spinal dengan insidens yang cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan bagi pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian premedikasi obat golongan antagonis 5-HT3 Granisetron 10 μg/kgBB intravena terhadap kejadian menggigil paska anestesi spinal. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang bersifat eksperimental pada 32 pasien, dengan status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi dengan anestesi spinal yang terbagi dua kelompok yaitu yang mendapat perlakuan (kelompok G) dan kelompok kontrol (kelompok K). Hasil penelitian didapatkan perbedaan angka kejadian menggigil yang bermakna pada kedua kelompok serta terdapat perbedaan signifikan derajat menggigil maksimal pada kedua kelompok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian premedikasi Granisetron dengan dosis 10 μg/kgBB intravena sebelum dilakukan anestesi spinal terbukti bermakna menurunkan angka kejadian menggigil dan mengurangi derajat atau intensitas menggigil paska anestesi spinal.

ABSTRAK
Shivering is a complication of spinal anesthesia with high incidence which has adverse physiological changes to patient. It is important to prevent and treat immediately. This study aims to determine the premedication effect of intravenous Granisetron 10 μg/kgBW on the incidence of post spinal anesthesia shivering. This study was designed as double blind experimental study to 32 patients with ASA 1-2, who underwent surgery under spinal anesthesia and divided into two groups The patients were randomized and divided into two groups : Group G who received premedication before spinal puncture, Group K as a control. The result showed that incidence of shivering between two groups were statistically different and there were significant difference in maximal intensity of shivering between two groups. The conclusion of this study is intravenous Granisetron 10 μg/kgBW as premedication before spinal anesthesia has decreased the incidence and intensity of post anesthesia shivering"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>