Sejarah pelaksanaan pemungutan suara di luar negeri oleh pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak beberapa dekade terakhir. Sebagai negara berkembang dengan peningkatan demokrasi, pelaksanaan pemungutan suara di luar negeri oleh negara ini perlu dikaji. Dengan menggunakan analisis kualitatif data makro dan survei kuesioner di Tokyo, studi ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana pelaksanaan pemungutan suara di luar negeri oleh pemerintah Indonesia? Bagaimana pemilihnya Dan bagaimana pendaftaran, administrasi, fasilitasi pemungutan suara, dan metode pemungutan suara mempengaruhi partisipasi pemilih di luar negeri pada pemilihan di negara asal Hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah menyiapkan sumber daya yang cukup besar untuk memfasilitasi pemungutan suara di luar negeri. Meski demikian, hasil survei menunjukkan bahwa fasilitasi tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah pemilih. Meskipun warga yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki kesadaran yang tinggi tentang pemilihan negara asal, beberapa masalah dalam fasilitasi pemungutan suara dapat menghalangi mereka dalam menggunakan hak suaranya.
The history of external voting by the Indonesian government dates back to the last few decades. As an emerging country with increasing democracy, the implementation of external voting in this country needs to be studied. Using qualitative analysis of macro data and questionnaire survey in Tokyo, this study attempts to address the following questions: How is the implementation of external voting by the Indonesian government? How is the voter And how does the registration, administration, voting facilitation, and voting method influence voter participation in home country elections The findings suggest that the government provide a lot of resource to facilitate external voting. Nevertheless, survey results revealed that some facilitation was inadequate compare to the number of voters. Although highly educated citizens tend to have a high awareness of home country election, some problems in voting facilitation might prevent them from voting.
"Penelitian ini membahas tentang strategi pemenangan suara milenial dalam Pemilihan Presiden 2019 dengan aktivisme politik. Studi kasus penelitian ini adalah Kita Satu sebagai kelompok relawan milenial pendukung Jokowi – Maruf Amin dan Gerakan Milenial Indonesia sebagai kelompok relawan milenial pendukung Prabowo –Sandiaga Uno. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang perbandingan strategi pemenangan suara milenial yang dilakukan oleh Kita Satu dan Gerakan Milenial Indonesia dalam Pemilihan Presiden tahun 2019. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis fenomena aktivisme politik Kita Satu dan Gerakan Milenial Indonesia. Norris (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam aktivisme politik, yaitu agensi, repertoar, dan target. Secara lebih lanjut peneliti akan mengelaborasi tiga aspek aktivisme politik ini untuk membandingkan strategi pemenangan suara milenialKita Satu dan Gerakan Milenial Indonesia. Peneliti juga menggunakan konsep cyberactivism dalam membangun penelitian ini. Temuan dari penelitian ini adalah perbedaan strategi pemenangan yang dijalankan oleh Kita Satu dan Gerakan Milenial Indonesia menghasilkan basis relawan milenial yang berbeda.
This research discusses the strategy of winning millennial votes in the 2019 Presidential Election with political activism. The case study of this research are Kita Satu as a millennial volunteer group supporting Jokowi - Maruf Amin and Gerakan Milenial Indonesia as a millennial volunteer group supporting Prabowo - Sandiaga Uno. This research aims to explain comparisons of millennial voting strategies undertaken by Kita Satu and Gerakan Milenial Indonesia in the 2019 Presidential Election. Researcher used a qualitative approach to analyze the phenomenon of political activism between Kita Satu and Gerakan Milenial Indonesia. Norris (2002) explained that there are three main aspects of political activism, namely agency, repertoire, and target. More details, researcher will elaborate the three aspects of political activism to compare the millennial voting strategies by Kita Satu and Gerakan Milenial Indonesia. Researcher also use the concept of cyberactivism in building this research. The results of this study are the different millennial voting strategies carried out by Kita Satu and Gerakan Milenial Indonesia produce a different millennial voluntary base.
"