Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89399 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wins Senor
"Tesis ini membahas proses penataan administrasi pemerintah Hindia Belanda di Mamasa dan mengulas perubahan sebagai akibat pengaruh dari penerapan sistem administrasi kolonial yang berawal dari ekspansi militer pada 1906 sampai pada berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda pada 1942. Perubahan yang terjadi di Mamasa pada masa kolonial tidak dapat disederhanakan ke dalam pandangan dimana pemerintah kolonial sebagai penggerak yang menggiring masyarakat Mamasa yang pasif. Namun Sebaliknya, melalui ikatan kekerabatan yang telah terbentuk sebelumnya, elite-elite lokal yang tersingkirkan dari wilayah kekuasaan mereka pasca reorganisasi administratif mampu untuk bereaksi melalui perlawanan dan mampu mengantisipasi tekanan pemerintah kolonial Belanda. Gerakan perlawanan itu tidak hanya berdampak pada kondisi keamanan di Mamasa tetapi juga memaksa pemerintah Belanda untuk mengatur ulang keputusan resmi mengenai penataan yang telah ditetapkan sebelumnya sekaligus melakukan penataan ulang cabang pemerintahan di afdeling Mandar, terutama Mamasa. Hadirnya pemerintah Belanda di Mamasa yang membawa pengaruh zending memicu transformasi sosial masyarakat yang sebelumnya menganut kepercayaan lokal kemudian ikut ke dalam pengaruh zending. 

This thesis discusses the process of structuring the administration of the Dutch East Indies government in Mamasa and reviews changes as a result of the influence of the application of the colonial administrative system that began with military expansion in 1906 until the end of Dutch colonial rule in 1942. The changes in Mamasa in the colonial period cannot be simplified to in the view that the colonial government was the driving force that led the passive Mamasa community. However, on the contrary, through the previously formed kinship ties, local elites who were removed from their territories after administrative reorganization were able to react through resistance and were able to anticipate the pressure of the Dutch colonial government. The resistance movement not only had an impact on the security conditions in Mamasa but also forced the Dutch government to rearrange the official decision on the arrangements that had been set beforehand while at the same time reorganizing the branches of government in Mandar, especially Mamasa. The presence of the Dutch government in Mamasa which brought zending influences triggered a social transformation of the community which previously adhered to local beliefs and then joined the influence of zending."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ansaar
Jakarta: Direktorat tradisi, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata , 2011
720.598 47 ANS a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Usmar
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998
398.21 ADN c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Subhan
"Disertasi ini menganalisis rivalitas elite dalam konflik etno-religius yang timbuul saat pemekaran daerah di Mamasa, Sulawesi Barat. Pada 2002, sebagai bagian dari kerangka besar kebijakan otonomi, Mamasa menjadi daerah otonom, dimekarkan dari Kabupaten Polmas. Dalam pelaksanaannya muncul perbedaan antara kelompok pro dan kelompok kontra pemekaran. Rivalitas kelompok pro versus kelompok kontra semakin runyam karena merepresentasikan kontestasi antara kabupaten induk versus kabupaten pemekaran Kabupaten Polmas mendukung kelompok kontra yang ingin tetap bergabung dengan kabupaten induk. Sebaliknya Kabupaten Mamasa memberi dukungan kepada kelompok pro. Rivalitas dua kelompok tersebut menimbulkan kekacauan dalam sistem pemerintahan karena terjadi dualisme pemerintahan, yang membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan normal sehingga mengganggu pelayanan publik.
Penelitian disertasi ini menggunakan metode kualitatif. Data lapangan diperoleh melalui teknik wawancara mendalam, observasi lapangan, dan data sekunder. Berbagai studi menunjukkan bahwa otonomi dapat memicu konflik karena persaingan elite dalam perebutan posisi-posisi politik, sumber daya ekonomi, dan ruang kekuasaan lainnya. Namun, berbeda dengan studi-studi literatur sebelumnya yang lebih bertumpu pada konflik politik atau konflik etnik, penelitian ini menunjukkan politisasi identitas etno-religius sebagai instrumen yang menimbulkan konflik antara dua etnik berbeda agama, Mandar-Islam versus Toraja-Kristen. Pemekaran daerah mengubah konstelasi dominasi sosio-politik. Mandar-Islam yang mayoritas berubah menjadi minoritas, sebaliknya Toraja-Kristen yang tadinya minoritas menjadi mayoritas.
Rivalitas elite memperebutkan ruang kekuasaan di daerah otonom baru dengan menggunakan politik identitas yaitu sentimen identitas etno-religius berdasar perubahan konstelasi dominasi dan hegemoni sosio-politik di Mamasa. Akibatnya, orang Mandar-Islam (orang PUS) menolak pemekaran yang dianggap sebagai bentuk proyek Kristenisasi. Menurut Fox (1999), apabila kerangka religius yang ditantang maka responnya adalah sikap defensif yang cenderung konflik. Sebab, agama menyangkut sistem kepercayaan yang mengandung ketaatan pada nilai-nilai, memiliki standar dan tata aturan, membangun kohesivitas di antara penganutnya, sekaligus melegitimasi setiap tindakan para aktornya.

Pemekaran daerah which literally means territorial split or administrative fragmentation whereby new provinces and districts are created by dividing existing ones and which ironically strengthens the sense of identity based on race, ethnic group, religion, and other communal identity is one that triggers such conflicts. This study discusses the rivalry of the elites in the ethno-religious conflicts that erupted during the process of territorial split of Mamasa district of West Sulawesi, Indonesia, in 2002. Mamasa, which was once part of the mother district of Polmas, was established into an autonomous district. Not only was the district divided but people in this region also had differing opinion on the idea of territorial split. Supporters of the administrative fragmentation were dubbed pro while opponents were called kontra. The conflict between the two factions had escalated because the conflict itselt was also the representation of conflict between the mother district and the newly-established district. The government of Polmas ditrict was with the kontra while the government of Mamasa gave their full support for the pro. The rivalry between the two parties had brought chaos to the government system. The government was divided (government dualism).
This research uses qualitative method. The data were collected through in-depth interviews, field observations, and secondary data. Studies reveal that autonomy is the potential cause of conflicts because it allows for competition among the contending elites who fight for political positions, economic resources, and other aspects of power. Unlike previous literature studies that put an emphasis on political conflicts and ethnic conflicts, this research focuses on ethno-religious conflicts involving two contending ethnic groups practicing two different religions: the Mandar who are predominantly Muslims and the Toraja who are Christians. The territorial split has indeed changed the socio-political constellation. The Mandar who was once the dominant ethnic group is now a minority and the Toraja have now become the dominant ethnic group.
The competition among elites in the newly-established autonomous district by using the sentiment of ethno-religious identity has changed the constellation of socio-political hegemony and domination in Mamasa. As a result, the Muslim-Mandar (the PUS people) voiced their opposition to the territorial split which they consider part of Christian mission. Fox (1999) states that when a religious framework is challenged, the response will be the defensive action that is prone to conflict. This is due to the fact that religion is a belief system that organizes adherents to the values, has standards and norms, builds cohesiveness among its followers, and legitimate the actors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D2811
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adnan Usmar
Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas, 2002
499.221 ADN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Razan Fadhlilah
"Penelitian ini adalah penelitian yang mencoba mengkaji hubungan antara relief alat musik berdawai pada masa Jawa Kuno (VIII-XV Masehi) dengan sikap dan cara pakai yang diambil dari kitab Natyasastra dan Berbagai buku Ikonografi sebagai sumber tertulis mengenai seni pertunjukan melalui pendekatan Behavioral Archaeology. Dalam penelitian ini, digunakan metode Arkeologi untuk memahami sikap dan cara pakai alat musik berdawai serta implikasinya terhadap praktik sosial dan nilai-nilai masyarakat pada masa itu. Pendekatan Behavioral Archaeology digunakan sebagai kerangka teoretis untuk memahami bagaimana hubungan alat musik berdawai dengan cara pakai menjadi bagian integral dari aktivitas manusia pada masa Jawa Kuno. Teori ini memungkinkan kita untuk melihat alat musik berdawai sebagai cerminan perilaku atau cara pakai masyarakat pada zaman itu. Penelitian ini akan melibatkan analisis relief-relief candi yang menggambarkan penggunaan alat musik berdawai pada masa Jawa Kuno. Data akan dikumpulkan melalui perekaman verbal dan piktorial, dan analisis kontekstual untuk memahami bagaimana alat musik berdawai digunakan dalam berbagai posisi seperti duduk, berdiri, maupun penggambaran terbang yang terdapat pada relief.

This research is an attempt to study the relationship between the relief of stringed musical instruments in ancient Java (VIII-XV AD) with attitudes and uses taken from the books of Natyasastra and various books of Iconography as written sources on the art of performance through the approach of Behavioral Archaeology. In this study, archaeological methods were used to understand the attitudes and ways of using musical instruments as well as their implications for social practices and values of society at the time. Behavioral Archaeology is used as a theoretical framework to understand how the relationship between musical instruments and their use became an integral part of human activity in ancient Java. This theory allows us to see the musical instrument as a reflection of the behavior or the way society used it at that time. This research will involve a relief-relief analysis of the temple that describes the use of musical instruments in ancient Java. The data will be collected through verbal and pictorial recordings, and contextual analysis to understand how the instrument is used in various positions such as sitting, standing, and flying depictions on the relief."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ediningsih S.
"Sejak masa lampau sampai sekarang rumah mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, karena rumah merupakan kebutuhan dasar di samping makan dan pakaian, atau yang disebut dengan istilah kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Bagi kebanyakan keluarga rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi mempunyai nilai yang lebih tinggi lagi, yakni/sebagai investasi, untuk dijual kembali atau disewakan (Feather 1982 : 131 - 139 ).
Menurut Llyod Warner ( 1949 ), pada suatu kelompok sosial, rumah juga menjadi tolok ukur bagi tinggi rendahnya status seseorang ( De F1eur, dkk., 1971 ; 218 ).
Pada masyarakat Jawa misalnya, rumah sebagai lambang martabat dan mantapnya kedudukan seseorang tercermin dalam ungkapan curigo (senjata), turunggo (kuda, dalam arti kendaraan ) wismo ( rumah ), wanito ( istri ), kukilo (burung sebagai alat rekreasi). Kelima hal tersebut merupakan jangkauan hidup seorang kepala rumah tangga dalam mempersiapkan masa depan keluarganya. ( Ronald, 1986 ; 167 ).
Selain itu, bagi orang Jawa, rumah merupakan harta warisan yang paling utama di antara harta warisan lain seperti tanah pertanian, pohon buah-buahan, binatang peliharaan, perhiasan benda pusaka dan tanah jabatan beserta jabatan yang dapat diwariskan (Koentjaraningrat, 1984 ; 162 )
Itu semua karena rumah mempunyai nilai yang lebih mantap dan bersifat universal. Mantap, karena rumah di samping tanah adalah kebutuhan pokok yang harus diupayakan sedapat-dapatnya.
Dalam pada itu, pada saat ini di kota-kota besar kebutuhan akan fasilitas perumahan semakin meningkat, sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat. Laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat bukan hanya disebabkan oleh pertambahan internal, melainkan lebih disebabkan oleh pertumbuhan eksternal, khususnya urbanisasi. Berkaitan dengan mobilitas penduduk ke kota, Djoko Marsudi dalam papernya "Masalah fisik dalam pemugaran / perbaikan perumahan"(1980), menyatakan bahwa meskipun penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan kota besar di negara lain, dengan pertambahan penduduk kota antara tahun 1961-1971 mencapai 44% dibanding pertambahan penduduk secara keseluruhan 22%. Untuk kota Semarang ± 2,2,5% pertahun, sedang kota Surabaya sama dengan kota Jakarta sebesar 4,5 7. pertahun (Frick, 1986:23)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T1612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afra Hafny Noer
"Fenomena overimitation merupakan cara anak melakukan pembelajaran budaya cultural learning , melalui observasi dan meniru dengan persis tindakan model atau overimitation. Pembelajaran budaya sering terjadi pada situasi eavesdrop menyadap yakni anak memeroleh keterampilan sosial tanpa diajarkan secara langsung melainkan belajar melalui pengamatan dan melakukan overimitation terhadap pihak ketiga. Terdapat perbedaan pendapat mengenai mekanisme yang mendorong terjadinya overimitation. Pembelajaran dapat dilakukan karena anak memahami intensi orang lain melalui isyarat sosial yang ditampilkannya. Isyarat sosial menggunakan ekspresi emosi visual yaitu ekspresi wajah, tatapan mata, dan gestur tangan serta ekspresi emosi vokal yakni, intonasi suara dan pengulangan kata. Pada budaya kolektivisme seperti budaya Sunda yang mementingkan hubungan yang harmonis, ekspresi emosi ditampilkan secara terbatas agar tidak menimbulkan konflik. Oleh karena itu perlu diketahui peran masing-masing ekspresi emosi dalam mengarahkan perilaku anak. Pertanyaan penelitian ini akan diuji melalui Studi 1-isyarat sosial. Hasil dari studi ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu mekanisme apa yang memengaruhi terjadinya overimitation pada anak Sunda saat terpapar isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda? Pertanyaan dijawab melalui Studi 2-overimitation. Studi 1 ndash; Isyarat sosial dilakukan melalui metode eksperimen terhadap pasangan ibu dan anak untuk melihat isyarat sosial yang ditampilkan ibu untuk memengaruhi anak dan reaksi anak terhadap isyarat sosial tersebut. Hasil dari Studi 1 adalah ibu Sunda hampir selalu mengombinasikan ekspresi wajah datar dalam setiap isyarat sosial yang ditampilkannya, tetapi menggunakan intonasi suara sebagai penanda persetujuannya. Studi 2 ndash; overimitation melakukan eksperimen dengan menggunakan peranti baru yang cara penggunaannya diperkenalkan melalui film eksperimen. Pada film tersebut dalam melakukan tindakan model tidak langsung mengajarkan kepada anak, akan tetapi diberi isyarat persetujuan khas budaya Sunda yaitu dengan ekspresi wajah datar dengan kombinasi intonasi suara dan gestur tangan. Diperoleh hasil bahwa penggunaan isyarat sosial persetujuan khas budaya Sunda saja tidak cukup untuk mendorong terjadinya overimitation jika tidak dibarengi dengan pembentukan norma sosial sebagai social influence terjadinya overimitation. Keberadaan isyarat sosial penting sebagai penanda pentingnya tindakan bagi anak tetapi belum cukup. Perlu diikuti oleh pembentukan norma sosial melalui adanya sanksi sosial atau jumlah model yang lebih dari satu. Pada pembelajaran budaya, norma sosial menjadi latar belakang yang mendorong terjadinya belajar melalui pengamatan seperti overimitation pada situasi eavesedroping.

Overimitation phenomenon is the means children engage in cultural learning, through observation and imitation with precise modeling or overimitation. Cultural learning often occurs in eavesdrop situations which is children acquire social skills without being taught directly but learn through observation and overimitation the third parties. There are several concept of overimitation mechanisms. Children will overimitate intentional action that indicate through social cues. Children could understand others social cues due to maturity of their Theory of Mind ToM . Social cues using the visual emotional expression ie facial expressions, eye gaze, and hand gestures and also vocal emotional expression ie, voice intonation and repetition of words. Sundanese culture as one of the collectivist culture prioritizes harmonious relationships therefore, display of emotion expression should be controlled to avoid conflict. Thus, we need to know the role of each emotional expression in directing the child 39;s behavior. This research question will be answered in Social cues study. The results of this study are needed to answer the main question: what mechanisms influence the occurrence of overimitation in Sundanese children when exposed to Sundanese social cues of distinctive consent? Main Question will be answered through Overimitation study. Social cues study are carried out through experimental methods of mother and child pairs to see the social cues that mother utilize to influence children and the child 39;s reaction to the social cues. The result of Study 1 is that Sundanese mother almost always combines still face expressions in her social cues, but uses voice intonation as a marker of her approval. Overimitation study use experiment method to observed children reaction while learn novel apparatus through a video. In the video model does not directly teach and instruct chilren. Nevertheless her action to the novel apparatus is approved by ldquo;apparatus owner rdquo; using typical Sundanese social cues which is combination of voice intontation, hand gesture and still face expression. The result is that the use of Sundanese social cues on certain action is not sufficient to encourage overimitation. Establishment of social norm is required as social influence that could encourage overimitation. The social cues as a marker of the importance of an action should be followed by the formation of social norms through social sanctions or certain number of model. In cultural learning, social norms serve as social settings that encourage learning through overimitation in eavesdropping situations."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2492
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati
"Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan "Mengapa suku bangsa Batak Tuba lebih berhasil di bidang pendidikan daripada suku bangaa Melayu?". Upaya untuk mengungkapkannya adalah dengan mempelajari gambaran motivasi berprestasi, dan keterkaitan antara pola pengasuhan dan motivasi berprestasi pada kedua suku bangsa tersebut. Motivasi berprestasi adalah kecenderungan dari diri individu untuk mencapai prestasi secara optimal yang tampak dari usaha yang gigih untuk mencapai keberhasilan dalam segala aktifitas kehidupan dengan menggunakan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standart tertentu. (McClelland, dalam Zimbardo,1985). Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh pola asuh yaitu seperangkat sikap dan perilaku yang tertata, yang diterapkan oleh orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya (Baumrind, dalam Achir,1990). Sementara itu pola pengasuhan anak dipengaruhi oleh latar belakang etnografis yaitu lingkungan hidup yang berupa habitat, pola menetap, lingkungan sosial, sejarah, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem kemasyaratan, sistem kepercayaan, upacara keagamaan dan sebagainya. Karena itu, cara pengasuhan anakpun berbeda-beda di berbagai masyarakat dan kebudayaan. (Danandjaja,19B8). Untuk menjawab permasalahan di atas, dilakukan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi tidak terlibat sebagai metode utama dalam pengumpulan data. Subyek penelitian adalah orangtua dan anak suku bangsa Batak Toba dan MeIayu, yang bertempat tinggal di desa asalnya, yaitu suku bangsa Melayu di desa Bogak, dan suku bangsa Batak Toba, di desa Parparean II. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku bangsa Batak Toba di desa Parparean II memiliki lingkungan geografis berstruktur tanah gersang, sehingga tingkat kesuburannya tergantung pada curah hujan, membuat masyarakatnya tidak termanjakan oleh alam. Bermata pencaharian sebagai petani, menariknya, penggarap sawah mayoritas adalah perempuan. Suku bangsa Batak Toba meletakkan nilai pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Hal ini dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba, bahwa jalan menuju tercapainya kegayaan (hamoraon) dan kehormatan ( hasangapon) adalah melalui pendidikan. Dalam hal pola pengasuhan, cenderung bergaya authoritative. Sekalipun demikian, gaya authoritarian tetap masih ada berkaitan dengan keinginan agar anak bersikap taat pada aturan agama dan orangtua. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak berupa dukungan, kontrol dan kekuasaan. Hal yang juga menarik, ternyata nilai kerja yang tinggi dimiliki oleh Orangtua Batak Toba Berhasil dan Anak Batak Toba Berhasil yang secara nyata diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari guna merealisasikan pencapaian keberhasilan pendidikan. Sedangkan suku bangsa Melayu di desa Bogak, yaitu sebuah desa pantai, mayoritas tinggal di rumah-rumah panggung yang non permanen, berdinding kayu dan beratap daun nipah atau seng. Mata pencaharian penduduk yang utama adalah nelayan. Hal yang menonjol adalah banyaknya sarana hiburan di desa ini. Berbeda dengan daerah di tempat suku Batak Toba tinggal, di daerah ini, pada pagi dan siang hari saat jam pelajaran sekolah berlangsung, tampak banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan. memilih bekerja sebagai "anak. itik" yang berpenghasilan minimal sebesar Rp 20.000, dan adakalanya mendapatkan Rp 100.000,- per harinya. Tergambar bahwa anak mempunyai "nilai .ekonomis", dalam arti untuk membantu penghasilan keluarga. Dengan demikian, dapat dimaklumi bila pada akhirnya nilai pendidikan bukan menjadi hal yang utama dalam. pandangan suku ini. Nilai kerjalah yang dominan bagi suku bangsa Melayu."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>