Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66927 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ciputra Linardy
"

Introduksi: Rekonstruksi mandibula pada kasus-kasus tumor mandibula menggunakan flap fibula bebas merupakan hal penting untuk mengembalikan fungsi dan estetik pada defek pascareseksi. Penelitian ini ditujukan untuk menilai hubungan karakteristik klinis dengan fungsi menelan, fungsi bicara, fungsi makan, dan kualitas hidup pada pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi.

Metode: Dilakukan studi dengan desain potong lintang dan survei mengikutsertakan pasien yang dilakukan rekonstruksi mandibula menggunakan flap fibula bebas pascamandibulektomi di RSCM pada tahun 2014-2019. Dilakukan penilaian terhadap kelas defek mandibula, panjang defek, jumlah subunit mandibula, ekstensi defek, jumlah segmen tulang, selanjutnya dilakukan penilaian fungsi melalui wawancara menggunakan European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Hasil: Tercatat 63 pasien dengan mandibulektomi dan dilakukan rekonstruksi. Hanya 14 dapat dinilai. Hanya panjang defek dan ekstensi defek yang memiliki hubungan bermakna dengan fungsi. Panjang defek mandibula memiliki korelasi positif dengan gangguan pada fungsi menelan (p = 0,032), fungsi bicara (p = 0,020), dan kualitas hidup (p = 0,032). Ekstensi defek intraoral dan ekstraoral menyebabkan gangguan fungsi menelan (p = 0,035).

Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa fungsi menelan, fungsi bicara, dan kualitas hidup tergantung defek pascamandibulektomi.

 


Introduction: Mandibular reconstruction utilizing free fibula flap is essential in restoring the function, and aesthetics outcomes post mandibular tumor resection. This study looks into the association of clinical characteristics with functional outcomes such as swallowing, speaking, eating, and quality of life on patients undergoing post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap.

Methods: We performed a cross-sectional study that includes patients who underwent post-mandibulectomy mandibular reconstruction using free fibula flap at RSCM in 2014-2019. Mandibula defect class, defect length, the number of mandibula subunits, defect extension, and the number of osteotomy segments was evaluated. The functional outcomes were assessed using the European Organization for Research and Treatment of Cancer Head and Neck Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-H&N35).

Results: 63 patients underwent mandibulectomy and reconstruction using free fibula flap. Only 14 were included in the study. Defect length and extension are significantly associated with functional outcomes. Mandibula defect length has positive correlation with problems in swallowing function (p = 0.032), speaking function (p = 0.020), and quality of life (p = 0.032). Both intraoral and extraoral defect extension causes swallowing function problem (p = 0.035).

Conclusion: This study discovered that swallowing function, speaking function, and quality of life are associated with post-mandibulectomy defect.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhita Kurniasari
"Pendahuluan: Masalah fungsional dan kosmetik semakin meningkat akibat adanya defek pada area craniofacial termasuk mandibula yang membentuk bagian bawah wajah. Rekonstruksi mandibula bertujuan memberikan kemungkinan maksimal dari hasil fungsional dan estetik. Hasil yang optimal dari fungsi rekonstruksi mandibula adalah salah satu tujuan dari penggunaan teknik flap bebas fibula. Dengan bantuan dari perkembangan system proses komputer dalam desain dan pembuatan, operasi craniomaxillofacial dapat dilakukan dengan bantuan komputer melalui berbagai bentuk dan variasi tujuan. Dalam rangka menelaah kualitas dari penelitian yang telah tersedia dan memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, kajian mengenai perbadingan operasi dengan bantuan komputer (CAS) dengan metode konvensional freehand (CFS) menjadi penting untuk dilakukan.
Metode: Pencarian pustaka sistematis dilakukan pada pusat data PubMed, ProQuest, Cochrane Library, EBSCOhost, Wiley Library, Science Direct, dan Scopus, mencakup semua studi dengan data utama yang membandingkan hasil akurasi, efisiensi, komplikasi, dan fungsional diantara kelompok CAS dan CFS. Risiko bias studi dinilai menggunakan Newcastle-Ottawa Scale (NOS). Meta-analisis dilakukan melalui Review Manager.
Hasil: Enam belas studi kohort memenuhi kriteria eligibilitas dari 355 studi pada pencarian awal. Studi dengan hasil yang sama (akurasi, efisiensi, komplikasi, dan fungsional) dibandingkan antara kelompok CAS dan CFS. Sebanyak 13 studi menunjukkan hasil signifikan secara statistik pada penilaian efisiensi: waktu ischemia lebih singkat (-34.84 menit, 95% CI: -40.04 to -29.63; p<0.00001; I2=94%), total waktu operasi lebih singkat (-70.04 menit, 95% CI: -84.59 to -55.49; p<0.00001; I2=77%), waktu rekonstruksi lebih singkat (-41.86 minutes, 95% CI: -67.15 to -16.56; p=0.001; I2=93%), dan lama rawat inap yang lebih singkat(-2.98 days, 95% CI: -4.35 to -1.61; p=0.0001; I2=7%) pada kelompok CAS dibanding kelompok CFS.
Kesimpulan: Kajian sistematis dan meta-analysis menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok CAS dibandingkan dengan CFS yang signifikan pada hasil efisiensi, Namun beberapa studi melaporkan berbagai analisis statistik dengan berbagai parameter untuk kategori hasil komplikasi, akurasi, dan fungsional. Seluruh studi sepakat bahwa CAS memberikan manfaat yang lebih dibandingkan CFS, walaupun CFS masih dapat menjadi pilihan.

Background: Major functional and cosmetic problems will arise from defects in craniofacial regions, including mandible which constructs the shape of lower third of the face. The aim of mandibular reconstruction is to achieve the best possible functional and aesthetic outcomes. The optimal return of mandibular bone function is one of the reconstruction goals using free fibular flap (FFF). With aid of the evolving computer processing system for design and manufacturing, craniomaxillofacial surgery can be conducted with computer-aided surgery in many forms and varied proposes. In order to evaluate the quality of available article and to provide information for decision-making, review of comparison between computer-aided surgery (CAS) and conventional freehand surgery (CFS) need to be evaluated.
Methods: A systematic search was conducted on PubMed, ProQuest, Cochrane Library, EBSCOhost, Wiley Library, Science Direct, and Scopus, including all studies with primary data that compared accuracy, efficiency, complication, and functional outcomes between CAS and CFS group. Risk of bias for included studies were assessed based on Newcastle-Ottawa Scale. Meta-analysis was performed in Review Manager.
Results: Sixteen cohort studies were included that meet the eligibility criteria from initial searches of 355 studies. Studies with the same outcome (accuracy, efficiency, complication, and functional) are compared in CAS and CFS group. Thirteen studies demonstrated statistically significant efficiency outcomes: shorter ischemia time (-34.84 minutes, 95% CI: -40.04 to -29.63; p<0.00001; I2=94%), shorter total operative time (-70.04 minutes, 95% CI: -84.59 to -55.49; p<0.00001; I2=77%), shorter reconstruction time (-41.86 minutes, 95% CI: -67.15 to -16.56; p=0.001; I2=93%), and shorter length of hospital stay (-2.98 days, 95% CI: -4.35 to -1.61; p=0.0001; I2=7%) in CAS group than CFS group.
Conclusion: Systematic review and meta-analysis demonstrated higher outcomes CAS group compared to conventional group significantly in efficiency outcomes. However, some studies performed diverse statistical analysis on several parameters for outcomes category such as complications, accuracy, and functional. All studies agreed that CAS group has higher benefits than conventional method, although the conventional method is still an option.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Victor Ercantez
"Latar Belakang : Berdasarkan WHO (World Health Organization) pada tahun 2017, ameloblastoma dinyatakan sebagai suatu tumor epitelial odontogenik yang berasal dari jaringan pembentuk gigi, memiliki sifat lokal invasif serta destruktif. Gold standard dalam tatalaksana kasus ameloblastoma ialah pembedahan reseksi diikuti dengan free fibula flap. Kendati demikian, prosedur yang digunakan memiliki efek samping pasca operasi dalam beberapa aspek, seperti halnya fungsi mastikasi, penampilan, hingga psikologis. Peninjauan efek samping yang ada dinilai berdasarkan kualitas hidup dari responden menggunakan kuesioner bernama UW-QOL.
Tujuan : Mengetahui kualitas hidup responden dilihat dari perbedaan score UW-QOL antar kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula melibatkan kondilus dan yang tidak melibatkan kondilus.
Metode : Penelitian dilakukan menggunakan kuesioner guna mengumpulkan score UW- QOL. Responden berjumlah 32 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok berdasarkan klasifikasi defek mandibula mencapai kondilus dan tidak mencapai kondilus. Analisis data dilakukan menggunakan IBM SPSS dengan uji Mann-Whitney U untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan score yang bermakna maupun tidak.
Kesimpulan : Hasil uji non-parametrik Mann-Whitney U menunjukkan kualitas hidup antar kelompok dengan defek mandibula sama baiknya ditunjukkan dengan tidak adanya perbedaan bermakna pada seluruh aspek seperti pada aspek Penampilan, Aktivitas, Rekreasi, Bicara, Cita Rasa, Air Liur, serta Suasana Hati. Namun, terdapat 3 aspek yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna secara statistik ditunjukkan dengan alpha kurang dari 0,05 yaitu aspek Menelan, Mengunyah, serta Kecemasan.

Background: Based on the WHO (World Health Organization) in 2017, ameloblastoma is stated as an odontogenic epithelial tumor originating from tooth-forming tissue, which has locally invasive and destructive properties. The gold standard in the management of ameloblastoma cases is surgical resection followed by a free fibula flap. However, the procedures used have post-operative side effects in several aspects, such as masticatory function, appearance and psychology. The review of existing side effects was assessed based on the quality of life of the respondents using a questionnaire called UW-QOL. Objectives: To determine the quality of life of respondents seen from the differences in UW-QOL scores between groups based on the classification of mandibular defects involving the condyle and those not involving the condyle.
Methods: The research was conducted using a questionnaire to collect UW-QOL scores. Respondents totaled 32 people who were divided into 2 groups based on the classification of mandibular defects reaching the condyle and not reaching the condyle. Data analysis was carried out using IBM SPSS with the Mann-Whitney U test to see whether there were significant differences in scores or not.
Conclusion: The results of the non-parametric Mann-Whitney U test show that the quality of life between groups with mandibular defects is equally good, as shown by the absence of significant differences in all aspects such as appearance, activity, recreation, speech, taste, saliva and mood. . However, there are 3 aspects that show statistically significant differences, indicated by an alpha of less than 0.05, namely the Swallowing, Chewing and Anxiety aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
Jakarta: UI Publishing, 2019
616 THE f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Okkian Wijaya Kotamto
"ABSTRAK
Latar belakang
Tingginya angka komplikasi morbiditas pasien-pasien yang menjalani prosedur mandibulektomi pada pasien-pasien dengan tumor mandi.bula telah banyak dilaporkan di jurnal-jurnal internasional. Komplikasi tersebut menyebabkan interfensi bedah, bertambahnya lama rawat dan disabilitas. Komplikasi tersebut meliputi infeksi, ekspose plate, rembesan luka, hematorna yang luas, operasi, nyeri, hilangnya sensorik daerah tersebut, jaringan parut yang buruk.
Metode
Pengambilan sampel dilakukan dengan menelusuri data rekam medik pasien yang menjalani operasi mandibulektomi di divisi bedah onkologi tahun 2011. Didapat 10 pasien dengan tumor mandibulla yang menjalani mandibulektomi dan rekontruksi dengan bone graft.
Hasil
Dari 10 pasien yang karni dapat, 4 pasien pria dan sisanya wanita. (6 pasien). Satu pasien dengan tumor ganas. Empat pasien menjalani prosedur hemi-mandibulektomi dan sisanya menjalani operasi sub-total mandibulektomi (6 pasien). Sehubungan dengan komplikasi pada tempat resipien diantarnya empat pasien mengalami infeksi pasca operasi, dari empat pasien tersebut tiga pasien didapat adanya fistel dan exposed plate dan satu pasien menajalani pengangkatan plate. Dua pasien mengeluhkan. gangguan gerak mulut dan keloid. Tidak ditemukan komplikasi tempat donor diantaranya tidak adanya keluhan dalam berjalan, nyeri pasca operasi maupun keloid. Lama pemakaian naso-gastric tube sebagai sarana intake antara 5 sampai 60 hari dengan rerata 31 hari.
Kesimpulan
Prosedur mandibulektomi khususnya pada tumor mandibular membutuhkan perhatian yang sangat serius dan perencanaan yang matang, hal tersebut berhubungan dengan tingginya morbiditas.;"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyanti Saidah
"Panjang mandibula dapat diukur dari titik Kondilus ke titik Gnathion melalui gambaran sefalometri lateral. Panjang mandibula juga dapat diprediksi ukurannya menggunakan suatu rumusan, akan tetapi belum diketahui prediksi panjang mandibula pada anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit. Pada penelitian ini akan dibuat rumusan prediksi panjang mandibula melalui analisis vertebra servikalis 3 dan 4 yang terlihat dari gambaran sefalometri lateral.
Tujuan : Mengetahui kemungkinan penggunaan usia skeletal vertebra servikalis dalam memprediksi panjang mandibula anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit kelompok usia 9 sampai 13 tahun.
Material dan metode : Subyek penelitian terdiri dari 2 kelompok, masing-masing 20 anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labioplasti dan palatoplasti pada usia 9-13 tahun. Kelompok pertama digunakan untuk membuat rumusan prediksi panjang mandibula. Kelompok kedua digunakan untuk menguji rumusan yang telah didapat pada kelompok pertama. Usia skeletal ditentukan dari analisis vertebra servikalis 3 dan 4 sesuai dengan metode Mito, 2003. Uji pada kelompok pertama menggunakan analisis regresi yang menghasilkan suatu persamaan linier, dan uji pada kelompok kedua digunakan uji t berpasangan untuk mengetahui perbedaan antara pengukuran langsung dan penghitungan menggunakan rumusan.
Hasil : Dari kelompok pertama, diperoleh rumusan prediksi panjang mandibula 96,079 + 0,516 x usia skeletal (dalam satuan millimeter) dengan R2 sebesar 2,0%. Pada kelompok kedua, terdapat perbedaan bermakna antara sub kelompok pengukuran langsung dan sub kelompok penghitungan menggunakan dengan rumusan (p=0,001).
Kesimpulan : Usia skeletal hanya menyebabkan sebagian kecil variasi panjang mandibula (2%), sedangkan 98%-nya merupakan faktor-faktor risiko lain seperti faktor tumbuh kembang, faktor genetika dan faktor lingkungan. Sehingga persamaan yang diperoleh, tidak dapat digunakan dalam memprediksi panjang mandibula pada anak usia 9-13 tahun dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit.

Introduction : The mandibular length can be measured from Condylus point to Gnathion point using lateral cephalograms. The mandibular length also can be predicted using a formula, but there are still no formulas for predicting the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate. In this study, the formula for predicting mandibular length will be derived by analyzing the third and fourth cervical vertebrae (CV 3 and CV 4).
Objective : The purpose of this study was to assess the possibility of using cervical vertebrae bone age to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty between 9 and 13 years of age.
Methods : The subjects were 2 groups of 40 children, one group to derive a formula for predicting mandibular length, the other to compare actual values and predicted values. The cervical vertebrae bone age was calculated from CV 3 and CV 4 according to the method of Mito, 2003. A regression analysis was used to determine a formula for predicting mandibular length in group one. In group two, an paired t-test was run for 10 subjects with actual values and 10 predicted values subjects.
Results : In group one, the formula for predicting mandibular length was 96,079 + 0,516 x bone age (in millimeters) with R2 of 2,0%. In the group two, there was significant mandibular length difference between actual and predicted values (p = 0,001).
Conclusion : Cervical vertebrae bone age affected only 2% of a mandibular length variation, while 98% were affected by other risk factors such as growth factors, genetic factors and environmental factors. The formula might not be used to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate between 9 and 13 years of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Berwin
"Latar Belakang: Gigi impaksi merupakan kondisi ketika gigi mengalami kegagalan untuk erupsi sepenuhnya ke lengkung gigi dalam waktu yang diharapkan. Berdasarkan frekuensi kejadiannya, gigi molar tiga rahang bawah (M3 RB) paling sering mengalami impaksi dengan prevalensi mencapai 60.6% di Indonesia. Salah satu faktor lokal utama terjadinya gigi M3 RB impaksi adalah kurangnya ruang pada lengkung rahang bawah yang sering dikaitkan dengan proses pertumbuhan tulang mandibula. Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran morfologi tulang mandibula yang mencerminkan kuantitas dan arah pertumbuhan tulang seperti tinggi simfisis mandibula, panjang badan mandibula, dan sudut gonial berpotensi untuk mempengaruhi kejadian gigi M3 RB impaksi.
Tujuan: Mengevaluasi hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan morfologi tulang mandibula.
Metode: Sebanyak 110 sampel sisi rahang bawah diperoleh dari 67 data radiografi panoramik digital pasien RSKGM FKG UI (50 perempuan dan 17 laki-laki; usia: 21.22–30.91 tahun). Sampel yang tersedia kemudian dibagi menjadi kelompok kasus (sisi rahang dengan gigi M3 RB yang mengalami impaksi baik fully unerupted atau partially erupted) dan kelompok kontrol (sisi rahang dengan gigi M3 RB yang erupsi sempurna) untuk dilakukan perbandingan. Pada studi ini, uji-t independen dan uji Anova 1 arah digunakan untuk menganalisis hubungan status impaksi gigi M3 RB dan klasifikasinya dengan morfologi tulang mandibula pada data berdistribusi normal. Di sisi lain, uji Mann-Whitney U dan Uji Kruskal Wallis digunakan untuk menganalisis hubungan status impaksi gigi M3 RB dan klasifikasinya dengan morfologi tulang mandibula pada data berdistribusi tidak normal.
Hasil: Tinggi simfisis mandibula dan sudut gonial secara statistik (p < 0.05) lebih rendah pada kelompok kasus. Sementara itu, panjang badan mandibula antara kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak berbeda secara statistik (p > 0.05). Pada hasil tinjauan pasien laki-laki saja, tidak ditemukan adanya perbedaan tinggi simfisis, panjang badan mandibula, dan sudut gonial antara kelompok kasus dan kelompok kontrol secara statistik (p > 0.05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan ukuran tinggi simfisis dan sudut gonial. Semakin kecil ukuran tinggi simfisis dan sudut gonial, semakin besar kemungkinan gigi M3 RB mengalami impaksi. Di sisi lain, tidak ditemukan adanya hubungan kejadian gigi M3 RB impaksi dengan ukuran panjang badan mandibula.

Background: An impacted tooth is a condition when a tooth fails to fully erupt into the dental arch within the expected time. Based on the frequency of occurrence, the mandibular third molar (M3M) is the most frequently impacted with a prevalence of 60.6% in Indonesia. One of the main local factors for impacted M3M is the lack of space in the lower arch which is often associated with the growth process of the mandibular bone. Several studies have shown that the size of the mandibular bone morphology that reflects the quantity and direction of bone growth such as symphisis mandibular height, mandibular body length, and gonial angle has the potential to influence the occurance of impacted M3M.
Objective: To evaluate the relationship between the occurance of impacted M3M and mandibular bone morphology.
Methods: A total of 110 samples of the mandibular side were obtained from 67 digital panoramic radiographic data of RSKGM FKG UI patients (50 women and 17 men; age: 21.22–30.91 years). The data were then divided into the case group (jaw side with M3M that were fully unerupted or partially erupted) and the control group (jaw side with M3M that fully erupted) for comparison. In this study, an independent t-test and 1-way ANOVA test was used to analyze the relationship between the impaction status of M3M and their classification with the morphology of the mandible in normally distributed data. On the other hand, the Mann-Whitney U test and the Kruskal Wallis test were used to analyze the relationship between the impaction status of the M3M tooth and its classification with the morphology of the mandible bone in abnormally distributed data.
Results: Symphisis mandibular height and gonial angle were statistically (p < 0.05) lower in the case group. Meanwhile, the mandibular body length between the case group and the control group was not statistically different (p > 0.05). In the results of the review of male patients only, there was no statistical difference in symphisis height, mandibular body length, and gonial angle between the case group and control group (p > 0.05).
Conclusion: There is a relationship between the occurance of impacted M3M with the size of the symphisis height and gonial angle. The smaller the size of the symphisis height and gonial angle, the more likely the M3M to experience impaction. On the other hand, there was no relationship between the occurance of impacted M3M and mandibular body length.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parintosa Atmodiwirjo
"Risiko kegagalan dapat terjadi pada rekonstruksi dengan flap bebas karena mengandalkan vaskularisasi kecil. Pemeriksaan klinis yang merupakan baku emas dalam evaluasi sirkulasi flap masih bersifat subjektif dan sulit untuk mendeteksi gangguan vaskularisasi secara dini. Indocyanine green (ICG) merupakan instrumen pemeriksaan objektif yang dapat digunakan untuk evaluasi sirkulasi flap, tetapi belum ada konsensus mengenai dosis ICG dan kekuatan fluoresensi bersifat dose-dependent. Pada penelitian awal model in vitro dan hewan coba didapatkan konsentrasi 0,5 mg/mL menghasilkan fluoresensi yang setara dengan konsentrasi standar (5 mg/mL). Analisis dosis titrasi ICG dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi (sirkulasi) flap bebas menggunakan kamera near-infrared radiation standar serta korelasinya terhadap pemeriksaan suhu flap, TcPCO2, TcPO2, kadar HIF-1α, dan gambaran histopatologi flap untuk menunjang bedah mikro rekonstruksi. Penelitian menggunakan desain eksperimental uji klinis acak tersamar ganda di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Persahabatan (RSP) pada bulan September 2022 hingga Januari 2024. Sebanyak 63 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dari kuesioner skrining dilakukan randomisasi menjadi 3 kelompok konsentrasi ICG, yaitu 5 mg/mL, 2,5 mg/mL, dan 0,5 mg/mL yang diberikan ICG secara intravena, dengan jumlah masing-masing 21 flap. Data diambil segera pasca-operasi, 24 jam, 72 jam, serta 120 jam pasca-operasi. Ketiga kelompok menunjukkan peningkatan fluoresensi ICG dari waktu ke waktu, dengan intensitas fluoresensi pada konsentrasi 2,5 mg/mL serupa dengan konsentrasi standar (p = 0,792), tetapi intensitas konsentrasi 0,5 mg/mL lebih lemah (p = 0,006 dan p = 0,041). Intensitas fluoresensi tidak berkorelasi dengan pemeriksaan objektif lainnya. Disimpulkan besar dosis ICG memengaruhi intensitas fluoresensi karena fenomena quenching effect dan keseimbangan ikatan ICG dengan protein plasma. Analisis konsentrasi 5 mg/mL dan 2,5 mg/mL menghasilkan intensitas serupa sehingga penggunaan dosis 2,5 mg/mL dapat menggantikan dosis standar pada praktik klinis. Pemeriksaan objektif lainnya belum dapat menggantikan pemeriksaan ICG untuk evaluasi sirkulasi flap bebas.

The risk of failure in free flap reconstruction may occur due to small vascularization. Clinical examination, which is the gold standard for free flap evaluation, is subjective and difficult to detect early vascularization problems. Indocyanine green (ICG) is an objective instrument to evaluate flap circulation, but there is no ICG consensus and the fluorescence emitted is dose-dependent. In the preliminary studies conducted in vitro followed by in vivo with animal models, we found that 0.5 mg/mL concentration produced equivalent fluorescence to the standard concentration (5 mg/mL). This study aimed to analyze the titration dose of ICG to evaluate free flaps using a standard near-infrared radiation camera and its correlation with the examination of flap temperature, TcPCO2, TcPO2, HIF-1α levels, and histopathological to support reconstructive microsurgery procedure. This was a randomized, double-blind clinical trial at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and Persahabatan Hospital from September 2022 to January 2024. A total of 63 patients that met the inclusion criteria through screening questionnaire were randomized into 3 ICG concentration groups: 5 mg/mL, 2.5 mg/mL, and 0.5 mg/mL. The ICG was given intravenously to each group which consist of 21 subjects. The data were obtained immediately postoperative, 24 hours, 72 hours, and 120 hours post-operative. There were 63 flaps divided into three groups with 21 flaps each. All three groups showed an increase in ICG fluorescence over time, with fluorescence intensity emitted by 2.5 mg/mL concentration is equivalent to the standard concentration (p = 0.792), but the fluorescence from 0.5 mg/mL concentration emitted weaker intensity (p = 0.006 and p = 0.041). Fluorescence intensity did not correlate with other objective examinations. It was concluded that the titration dose of ICG influenced the fluorescence intensity due to quenching effect and ICG and plasma protein bond equilibrium. Analysis of 5 mg/mL and 2.5 mg/mL concentration groups produced similar intensities, leading to the feasibility of 2.5 mg/mL concentration to replace the standard dose in clinical practice. Other objective examinations can not replace ICG examination for free flap perfusion evaluation."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elrica Sapphira
"Latar Belakang: Indocyanine green (ICG) telah banyak digunakan dalam prosedur rekonstruksi, salah satu penggunaanya adalah untuk menentukan ukuran flap dengan memanfaatkan fluoresens ICG yang menandai hotspot. Dalam penelitian ini, penulis menyoroti ICG untuk evaluasi perfusi flap, di mana membutuhkan beberapa kali penggunaan ICG. Akan tetapi, penggunaan ICG dengan konsentrasi standar untuk berkali suntikan mungkin mahal, oleh karena itu studi akan meneliti tentang konsentrasi ICG yang berbeda, yang dapat berguna untuk mengurangi biaya.
Metode: Studi ini merupakan penelitian yang dilakukan pada 25 ekor tikus Wistar. Subjek penelitian dibagi menjadi 5 kelompok, dibedakan berdasarkan konsentrasi ICG yang disuntikkan; 1) larutan ICG standar (konsentrasi 100%); 2) 75% larutan standar; 3) 50% larutan standar; 4) 25% larutan standar, dan 5) 10% larutan standar. Flap abdomen pada tikus dielevasi dan vitalitasnya dievaluasi. Kemudian subjek akan disuntikkan larutan ICG dalam berbagai konsentrasi dan dinilai dengan menggunakan kamera dekat inframerah. Studi ini dilakukan sesuai dengan standar etik dan telah disetujui oleh komisi etik hewan di institusi kami. Analisis data menggunakan SPSS versi 20.0.
Hasil: Para penilai tidak mengetahui intervensi yang diberikan pada saat mengulas video dari fluoresens ICG. Penilai pertama menemukan bahwa 1 fluoresens pada kelompok larutan dengan konsentrasi 25% tidak memberikan gambaran fluoresens yang adekuat, dan penilai kedua menilai seluruh gambaran fluoresens ICG adekuat. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok yang didapatkan dari hasil penghitungan ANOVA 1 arah (F = 1.00, p = 0.431).
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa berbagai konsentrasi ICG yang diteliti dapat memberikan gambaran flap dalam keadaan vital. Kami menemukan dengan menggunakan konsentrasi serendah 10% dari larutan standar dapat memberikan gambaran fluoresens yang adekuat. Studi ini menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk penggunaan ICG lebih lanjut dalam praktik sehari-hari dengan biaya yang lebih rendah.
Kata kunci: indocyanine green, ICG, fluoresens, perfusi flap, tikus, pengenceran

Background: Indocyanine green (ICG) has been used in many reconstructive procedures, one of them is for determining flap size by utilizing fluorescence of ICG marking the hotspot. In this study, author highlights the use of ICG for flaps with perfusion issues, at which the ICG is used in sequences. The use of the standard concentration for multiple injections, however, might be costly, therefore study on different concentrations might be useful to reduce the cost.
Methods: This was an experimental study on 25 Wistar rats. Subjects were divided into 5 groups based on the concentrations of injected ICG; 1) Standard ICG solution (100% concentration); 2) 75% of standard solution; 3) 50% of standard solution; 4) 25% of standard solution, and 5) 10% of standard solution. The epigastric flap was raised and evaluated for its vitality. Then, subjects were injected using various concentrations of ICG and the perfusion of the flap was evaluated using modified Near Infrared Camera (NIR) system. The study was conducted in accordance with the ethical standards and approved by our institutional animal research ethics board. Data analysis was performed by using SPPS version 20.0.
Results: Appointed assessors were blinded from the intervention given reviewed the videos of ICG fluorescence. The first assessor evaluated that 1 the ICG fluorescence in the 25% concentration was not adequate for depicting vital flap while the second assessor evaluated all ICG fluorescence was adequate. There was not a statistically significant difference between groups as demonstrated by one-way ANOVA (F = 1.00, p = 0.431).
Conclusions: This study concluded that using various concentrations of ICG provided adequate fluorescence to depict vital flap. We found that as low as 10% concentration of standard ICG solution was able to depict adequate fluorescence. This study shows promising results for further usage of ICG in daily practice at a lower cost.
Keywords: indocyanine green, ICG, fluorescence, flap perfusion, rats, dilution"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Joel Bolang
"ABSTRAK
Latar Belakang: Diagnosis dari fraktur mandibula diperlukan pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologi yang akurat. Pemeriksaan radiolografis diperlukan untuk pemeriksaan ketebalan tulang dan evaluasi dari kondisi tulang tersebut, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya kerusakan struktur anatomi tulang antara lain cedera akar gigi dan kanalis mandibula.CBCT merupakan radiografis teknologi digital tiga dimensi yang dapat digunakan untuk melihat kondisi tulang tersebut. Tujuan: Mengetahui ketebalan tulang kortikal bukal dan tulang bukal pada regio gigi C P1 P2, serta ketebalan tulang kortikal regio foramen mental yang diukur menggunakan CBCT pada pria jika dibandingkan dengan wanita. Metode Penelitian: 32 sampel penelitian terdiri dari 16 pria dan 16 wanita yang merupakan pasien di RSGM RE Martadinata Ladokgi. Hasil foto radiografis CBCT dilakukan pengukuran ketebalan tulang kortikal bukal, tulang bukal pada regio gigi C P1 P2, dan ketebalan tulang kortikal regio foramen mental. Hasil: Ketebalan tulang kortikal bukal dan tulang bukal regio gigi C P1 P2, serta ketebalan tulang kortikal regio foramen mental jika dibandingkan antara pria terhadap wanita terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) dimana pada pria menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada wanita. Kesimpulan: Ketebalan tulang kortikal bukal dan tulang bukal regio gigi C P1 P2, serta ketebalan tulang kortikal regio foramen mental yang diukur menggunakan CBCT menunjukkan hasil yang berbeda antara pria dan wanita.

ABSTRACT
Background: Accurate clinical examinations and radiographic evaluations are required to construct a proper diagnosis for mandibular fractures. To reduce risks of anatomical bone damages such as injuries to dental roots or mandibular canal, radiographic examinations are suggested to determine bone thickness and evaluate bone conditions. CBCT is a digital 3D radiographic technology used in such circumstances. Aim: To determine mandibular buccal cortical bone and buccal bone thickness in canine, first premolar and second premolar region and cortical bone thickness in mental foramen region under gender differentiation using CBCT. Research Method: 32 subjects comprised of 16 male and 16 female patients from RSGM RE Martadinata Ladokgi Hospital; with CBCT radiographs analyzed to determine mandibular buccal cortical bone and buccal bone thickness in canine, first premolar and second premolar region and cortical bone thickness in mental foramen region. Results: There is a significant differences (p<0.05) between females? and males? thickness of mandibular buccal cortical bone and buccal bone in canine, first premolar and second premolar region and the thickness of cortical bone in mental foramen region. Male subjects was found to have greater number of thickness compared to those of females?. Conclusion: Determination of mandibular buccal cortical bone and buccal bone thickness in canine, first premolar and second premolar region and cortical bone thickness in mental foramen region under different gender using CBCT, showed a different result."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>