Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7846 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Subuntith Nimrat
Pathum Thani: Thammasat University, 2019
670 STA 24:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Alfian Nurcahyanto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai enzim L-asparaginase dimana enzim tersebut termasuk kedalam golongan agen antineoplastik yang digunakan dalam pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut LLA . Hingga saat ini enzim L-asparaginase masih diperoleh dari bakteri Escherichia coli dan Erwina carotovora. Penggunaan enzim ini sebagai obat secara berkelanjutan diketahui sebagai penyebab timbulnya alergi pada pengguna, sehingga dibutuhkan enzim L-asparaginase dengan karakteristik yang berbeda dari sebelumnya.Hakophilic archaea yang merupakan mikroorganisme yang dapat hidup dalam kondisi lingkungan dengan kadar garam yang tinggi, kemungkinan juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim L-asparaginase dengan karakteristik yang berbeda dari mikroorganisme lainnya.Pada penelitian ini proses skrining secara kualitatif dilakukan terhadap 71 isolat Halophilic archaea. Proses identifikasi terhadap isolat yang menghasilkan enzim L-asparaginase dilakukan secara molekular melalui pendekatan 16S rRNA. Pengujian aktivitas enzim dilakukan dengan metoda spektrofotometri Nessler dengan panjang gelombang 400 nm.Hasil dari penelitian ini telah diperoleh 9 isolat Halophilic archaea yang memiliki aktivitas enzim L-asparaginase. Hasil identifikasi dan pengujian aktivitas enzim dari 9 isolat diperoleh aktivitas tertinggi dimiliki oleh Halobaculum sp. 0.3033 U/mL , kemudian diikuti dengan Halostagnicola kamekurae 0.2134 U/mL , Halogranum rubrum 0.0927 U/mL , Haloferax, sp 0.0916 U/mL , Halococcus thailandensis 0.0808 U/mL , Halogranum, sp 0.0646 U/mL , Halococcus, sp 0.0326 U/mL , Halalkalicoccus paucihalaphilus 0.0200 U/mL dan Halococcus hamelinensis 0.0056 U/mL Kata kunci : Archaea, L-Asparaginase, Halophilic archaea, Leukemia Limfoblastik Akut

ABSTRACT
L asparaginase enzyme that uses for treatment of acute lymphoblastic leukemia ALL is still produced from Escherichia coli dan Erwina carotovora. The use of L asparaginase enzyme for medicine in a sustainable way is thought as the most common cause the allergies to the user, so it needs an L asparaginase enzyme with different characteristics than before.Halophilic archaea is a microorganism that can live in extreme environmental condition and probablility have the capability to produce L asparaginase enzyme with different characteristics than another microorganism.Screening process on this research were using qualitative method have been done for 71 isolates of Halophilic archaea. The identification process for the isolates that produce L asparaginase enzyme were using molecular method based on 16S rRNA identification. The activity of enzyme have been done by using spectrophotometry by Nessler with wavelength 400 nm.The result of qualitative screening, 9 isolates of Halophilic archaea have a L asparaginase enzyme activity. The identification and enzyme activity for 9 isolates of Halophilic archaea shown that Halobaculum sp. Has the highest activity 0.3033 U mL and then followed by Halostagnicola kamekurae 0.2134 U mL , Halogranum rubrum 0.0927 U mL , Haloferax, sp 0.0916 U mL , Halococcus thailandensis 0.0808 U mL , Halogranum, sp 0.0646 U mL , Halococcus, sp 0.0326 U mL , Halalkalicoccus paucihalaphilus 0.0200 U mL and Halococcus hamelinensis 0.0056 U mL Keyword Archaea, L Asparaginase, Halophilic archaea, acute lymphoblastic Leukemia "
2018
T49636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Mishbahus Surur
"Resistensi antibiotik merupakan permasalahan kesehatan global yang memerlukan perhatian serius, terutama di negara-negara berkembang dengan tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan pengunjung Apotek Kimia Farma 321 Lamongrejo mengenai penggunaan antibiotik secara rasional dan memberikan intervensi edukasi terkait. Metode yang digunakan adalah observasional non-eksperimental dengan rancangan cross-sectional. Data dikumpulkan melalui survei terstruktur yang terdiri dari 16 pertanyaan serta dilengkapi dengan kegiatan edukasi dan pembagian brosur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik (60%), diikuti oleh sangat baik (20%), cukup (15%), dan kurang (5%). Analisis topik survei menunjukkan bahwa pengetahuan terkait cara penggunaan antibiotik memiliki tingkat pemahaman terendah (76,7%), dengan kesalahan persepsi terutama pada penghentian konsumsi antibiotik saat gejala membaik. Intervensi edukasi terbukti efektif dalam meningkatkan pemahaman responden terkait penggunaan antibiotik yang tepat. Kesimpulan penelitian ini menekankan pentingnya pelaksanaan edukasi berkelanjutan untuk mencegah resistensi antibiotik. Studi lanjutan dengan cakupan responden yang lebih luas dan pendekatan multidisiplin diperlukan untuk mengoptimalkan strategi pengendalian resistensi antibiotik.

Antibiotic resistance is a global health issue requiring serious attention, particularly in developing countries with high antibiotic usage rates, such as Indonesia. This study aims to evaluate the knowledge level of visitors to Kimia Farma Pharmacy 321 Lamongrejo regarding rational antibiotic use and to provide educational interventions on the subject. The study employed a non-experimental observational method with a cross-sectional design. Data were collected through a structured survey comprising 16 questions, complemented by educational activities and the distribution of brochures. The results indicated that the majority of respondents demonstrated a good level of knowledge (60%), followed by very good (20%), sufficient (15%), and poor (5%). Topic-specific analysis revealed that knowledge related to antibiotic usage had the lowest understanding level (76.7%), with misconceptions particularly evident in stopping antibiotic consumption when symptoms improve. Educational interventions proved effective in enhancing respondents’ understanding of proper antibiotic use. The study concludes that continuous educational efforts are essential to prevent antibiotic resistance. Further research with a larger sample size and a multidisciplinary approach is recommended to optimize strategies for controlling antibiotic resistance. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Handiyani
"Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan waktu membersihkan ruangan dengan peningkatan jumlah mikroorganisme melalui aliran udara dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme di udara setelah ruangan dibersihkan. Hal ini penting sebagai salah satu upaya perawat mengontrol infeksi nosokomial dengan cara mengatur jadual kegiatan perawatan klien di rumah sakit. Lowbury, 1981, dikutip dari Pritchard, 1992 menyebutkan bahwa tindakan mengganti balutan sebaiknya dilakukan 30 menit setelah kegiatan pembersihan ruangan. Jadi tidak melakukan aktivitas di ruangan sesaat setelah ruangan dibersihkan. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan yang signifikan jumlah koloni di udara sesaat setelah ruangan dibersihkan dibandingkan dengan jumlah koloni sebelum dibersihkan dan jumlah koloni pada udara setelah ruangan dibiarkan 15 menit setelah dibersihkan. Hal ini tedadi karena mikroorganisme dapat bergerak melalui aliran udara yang bergerak saat ruangan dibersihkan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Fitria
"Sistem pemaparan sangat dipengaruhi oleh agen-agen lingkungan, khususnya agen yang berasal dari udara, dan merupakan sstem pertahanan tubuh yang terdepan dari pemaparan agen-agen lingkungan tersebut. Berdasarkan hasil survey kesehatan masyarakat di Kelurahan Cisalak 2001, gangguan pernapasan dianggap merupakan masalah kesehatan masyarakat di kelurahan tersebut, terutama pada bayi dan balita. Faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya gangguan pemapasan pada bayi dan balita adalah kualitas udara di dalam rumah tempat tinggal, mengingat sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh bayi dan balita tersebut adalah di dalam rumah.
Studi ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara kualitas udara dalam rumah dan kondisi lingkungan rumah dengan terjadinya gangguan pernapasan pada bayi dan balita. Desain studi yang diterapkan adalah cross-sectional, dengan pengukuran kualitas udara yang meliputi parameter PM 10 dan Total Plate Count (TPC) Mikroorganisme Udara.
Sebanyak 200 anak diteliti, ditemukan 31,5 persen yang mengalami batuk pilek dengan demam dan 51,5 persen yang mengalami batuk pilek dengan atau tanpa demam dalam dua minggu terakhir. Pangukuran kualitas udara ditemukan sebanyak 52,5 persen dari rumah yang diukur temyata telah melewati ambang batas kadar PM10 sebesar 90 μg/m3, dan 77.8 persen dari rumah yang diukur udaranya mengandung lebih dari 750.000 koloni/m3 total plate count mikroorganisme udara. Analisis statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kualitas udara dengan terjadinya gangguan pernapasan pada bayi dan balita. Namun demikian, terdapat perbedaan proporsi gangguan pernapasan yang cukup besar antara anak yang tinggal di rumah dengan kualitas udara yang buruk dengan anak yang tinggal di rumah dengan kualitas udara yang baik.
Hubungan yang bermakna terdapat antara variabel rasio luas lubang angin/luas kamar dan variabel kebiasaan merokok dengan gangguan pernapasan. Pada anak yang tidur di kamar dengan ventilasi yang kurang. peluangnya untuk mengalami gangguan pernapasan adalah 3 - 3,589 kali lebih besar dari anak yang tidur di kamar dengan ventilasi yang cukup. Anak yang tinggal di rumah dengan perokok berpeluang untuk mengalami gangguan pernapasan 1,997 kali lebih besar daripada anak yang tinggal di rumah tanpa perokok. Variabel-variabel lingkungan rumah yang lain, walaupun tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, namun memperlihatkan adanya perbedaan proporsi gangguan pernapasan yang cukup besar antara anak yang tinggal di rumah dengan kondisi lingkungna rumah yang buruk dibandingkan anak yang tinggal di rumah dengan kondisi lingkungan rumah yang baik.
Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis obat nyamuk, suhu dan kelembaban relatif udara, jumlah perokok dalam tiap rumah, serta jumlah rokok yang dihisap per hari dengan kadar PM10 di dalam rumah. Analisis linier ganda menghasilkan sebuah persamaan yang menjelaskan variasi kadar PM10 melalui variabel-variabel rasio luas lubang angin/luas rumah, kepadatan hunian rumah, kelembaban relatif udara, dan jumlah perokok dalam tiap rumah. Antara kelembaban relatif udara dengan TPC mikroba udara terdapat hubungan yang bermakna.
Analisis regresi linier ganda menghasilkan persamaan yang menjelaskan variasi jumlah koloni mikroorganisme udara melalui variabel suhu dan kelembaban relatif udara dalam rumah. Secara keseluruhan, terdapat beberapa variabel yang patut mendapat perhatian karena secara konsisten berhubungan ataupun menunjukkan kecenderungan untuk berhubungan dengan kualitas udara dalam rumah dan dengan gangguan pemapasan pada bayi dan balita. Yaitu rasio luas lubang angin/luas kamar, rasio luas lubang angin/luas rumah, kepadatan hunian rumah, penggunaan obat nyamuk, dan kebiasaan merokok.

The respiratory system is commonly affected by environmental agents and is often the body's first line of defense against them. According to the public health survey conducted in Kelurahan Cisalak in year 2001. respiratory disease was one of public health concern, especially in infants and voting children. Factors that influence the disease seemed to be indoor air quality, since infants and young children spent almost all of their time in home.
The purpose of this study was to analyze the relationship between indoor air quality, housing environment, and respiratory disease in infants and young children. Study design was cross-sectional survey, including the measurement of PM to and total plate count (TPC) of airborne microorganisms as parameters of indoor air quality.
A number of 200 hundred children were randomly selected. As much as 31.5 percents of the children had runny nose and cough with fever and 51.5 percents had runny nose and cough with or without fever in the last two weeks. The measurement of indoor air quality showed that 52.5 percents of houses had indoor PMI0 concentration over 90 µglm3, and 77.8 percents of the houses had more than 750.000 CFU/m3 of total plate count of airborne microorganisms. Bivariate analysis showed that there were no relationship between indoor air quality and respiratory disease in infants and young children. But the proportions of respiratory diseases were different between children who lived in bad indoor air quality and children who lived in good indoor air quality,
Significant relationship was showed between bedroom ventilation and smoking with respiratory disease. Probability of having respiratory disease in children sleeping in inadequate bedroom ventilation was 3 - 3.589 times higher compared with children sleeping in adequate bedroom ventilation. Probability of having respiratory disease in children living with smokers was 1.997 times higher compared with children living in a house with no smoker. Although there were no significant relationship showed by other housing environment variables, the proportions of respiratory diseases were different between children who lived in bad housing-environment and children who lived in good housing environment.
There were significant correlations between the use of mosquito killer, indoor air temperature and relative humidity, number of smoker in a house, and number of cigarrete per day with indoor PMi0 concentration. Multiple linear regression analysis showed a formula that could explain the variation of indoor PMio concentration from variables of house ventilation, living density in a house, relative humidity, and number of smoker in a house. There was a significant correlation between indoor relative humidity and total plate count of airborne microorganisms.
Multiple linear regression analysis showed a formula that could explain the variation of total plate count of airborne microorganisms from variables of indoor air temperature and relative humidity. Some variables were important to be our concern because consistently showed significant relationships or tend to be related with indoor air quality and respiratory diseases in infants and young children. The variables were bed room ventilation, house ventilation, living density in a house, the use of mosquito killer, and smoking.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: John Wiley & Sons, 1980
576.11 ADS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Toronto: University of Toronto Press, 1968
616.01 MIC
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Imas Noor Arafah
"ABSTRAK
Pada penelitian mi digunakan limbah cair tahu
sebagal substrat fermentasi nata, dengan penambahan 10,0%,
12,5%, 15,0%, atau 17,5% sukrosa dan 0,1%, 0,3%, atau 0,5%
amonium sulfat [(NH4 ) 2SO4 ]. Fermentasi nata dilakukan
dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinwn (Brown)
Bergey dkk.
Tujuan penelitian mi adalah untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh penainbahan beberapa konsentrasi sukrosa
dan (NH4 ) 2 SO4 serta interaksi antara kedua faktor tersebut
terhadap ketebalan rata-rata nata, dan rnenentukan
konsentrasi sukrosa dan (NH 4 ) 2SO4 yang memberikan hasil
ketebalan rata-rata nata paling baik.
Ketebalan rata-rata nata yang tertinggi (0,601 cm)
diperoleh dari penambahan 12,5% sukrosa dan 0,1% (NH4)2SO4.
Ketebalan rata-rata nata yang terendah (0,157 cm) diperoleh
dari penambahan 17,5% sukrosa dan 0,5% (NH4)2SO4.
Uji statistik pada a = 0,01 menunjukkan ada pengaruh
penambahan sukrosa dan (NH4 ) 2SO4 , serta interaksi antara
sukrosa dan (NH4 ) 2SO4 terhadap ketebalan rata-rata nata.
Interaksi penainbahan sukrosa dan (NH4 ) 2 SO4 terlihat pada
penambahan 15,0% atau 17,5% sukrosa. Pada penambahan
sukrosa 15,0% atau 17,5% menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi (NH4 ) 2SO4 yang dltambahkan, semakin rendah
ketebalan rata-rata nata yang dihasilkan
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Hendrian
"ABSTRAK
Penbentukan enzim oleh mikroorganisne dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya faktor komposisi kimia medium. Salah satu unsur makro yang dibutuhkan oleh kapang adalah fosfor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi fosfor, dengan variasi konsentrasi 0,00%; 0,05%; 0,10%; 0,15%; 0,20%; 0,25%, terhadap aktivitas glukoamilase Aspergillus awamori UICC 314, yang diperoleh dari Laboratoriun mikrobiologi jurusan Biologi FMIPA-UI.
Pengujian aktivitas glukoamilase dilakukan dengan metode Nishise. Satu unit aktivitas glukoamilase setara dengan satu μmol glukosa yang dilepaskan per menit. Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan metode Somogyi-NeIson.
Hasil penghitungan aktivitas enzim sesudah fermentasi 24 jam menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi fosfor yang diberikan, terhadap aktivitas glukoamilase Aspergillus awamori UICC 314. Terdapat perbedaan rata-rata aktivitas glukoanilase aspergillus awamori UICC 314 antara konsentrasi fosfor 0,00% dengan 0,20%, dan konsentrasi fosfor 0,00% dengan 0,25%. Rata-rata aktivitas glukoamilase tertinggi diperoleh pada konsentrasi fosfor 0,00%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sita Paramita Ayuningtyas
"Penelitian ini merupakan randomized, single blind controlled trial yang bertujuan untuk menilai keamanan pemakaian ulang vitrektor single-use. Penelitian ini menilai proporsi, jumlah koloni dan spesies mikroorganisme yang tumbuh pada vitrektor bekas pakai satu kali yang menjalani reprocessing dengan dan tanpa pembilasan povidone-iodine 5%. Sebanyak 88 sampel vitrektor 23G dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok I yang menjalani reprocessing saja dan kelompok II yang menjalani pembilasan povidone-iodine 5% dan reprocessing. Kultur mikroorganisme dilakukan pada bagian tip dan bilasan lumen tip-connector-extension cairan. Pada kelompok I, ditemukan pertumbuhan bakteri Staphylococcus hominis pada satu tip (2,3%), sedangkan semua bilasan lumen steril. Pada kelompok II, semua kultur tip dan bilasan lumen steril. Walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan proporsi pertumbuhan mikroorgansime di kedua kelompok (p=1,000), pertumbuhan bakteri pada kelompok I dapat berpotensi memiliki dampak klinis dan mikrobiologi yang berarti.

A randomized, single blind controlled trial was done to evaluate the safety of reusing a single-use vitrector. This study evaluated the proportion, number of colony, and the species of microorganism growth from vitrectors, which underwent reprocessing with and without 5% povidone-iodine flushing. Eighty-eight samples of 23G vitrector were randomized into two groups; Group I undergone direct reprocessing (cleaning, disinfection, repackaging, and ethylene oxide sterilization), whereas Group II were flushed with 5% povidone-iodine before undergone reprocessing. Microorganism culture of vitrector was performed for the tip and flushing of the tip-connector-fluid extension lumen. In Group I, Staphylococcus hominis was found on culture of one tip (2,3%), whereas all lumen cultures were negative or sterile. In Group II, all tip and lumen cultures were negative or sterile. Although no significant difference in proportion of microorganism growth between groups (p=1.000), microorganism growth found in Group I might have a clinical and microbiological effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>